usaha-usaha guru dan orang tua dalam menunjang perkembangan sosial anak dan remaja

Peran Orangtua dalam Membentuk Perkembangan Emosi Anak

Salah satu aspek pertumbuhan anak yang penting untuk di kontrol adalah perkembangan emosi. Emosi dapat mendorong munculnya perilaku dan saat anak belum mampu untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan, inginkan, atau pun pikirkan, perilaku ini lah yang merefleksikan apa yang terjadi di dalam anak. Contohnya, anak yang menangis ketika mainannya direbut, tangisan yang ia keluarkan membuat orang disekitarnya mengetahui bahwa ia tidak suka jika mainannya diambil; atau anak yang memukul teman ketika mereka sedang marah dan bertengkar. Namun pada beberapa situasi yang ekstrim, emosi yang tidak terkontrol juga memunculkan perilaku seperti tantrum, merajuk berlebihan, bahkan dalam beberapa kasus, anak dapat menjatuhkan diri dan meronta-ronta di tempat umum.

Tanpa intervensi yang tepat, anak akan bertumbuh tanpa kontrol emosi dan dampaknya akan semakin parah saat anak bertumbuh menjadi remaja. Remaja adalah masa pertumbuhan dimana anak akan mengalami gejolak emosi. Jika anak tidak diajarkan untuk mengelola emosi mereka sejak dini, maka orang tua akan kesulitan untuk melakukannya seiring pertumbuhan anak menjadi dewasa. Hal ini kemudian menjadi lebih kompleks ketika emosi yang tidak dikontrol mulai bersifat destruktif seperti menghancurkan barang, kegagalan menempatkan diri dalam relasi sosial, melukai diri sendiri (sebagai bentuk coping), dan munculnya pemikiran-pemikiran negatif tentang diri sendiri.

Kecerdasan emosi didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk memonitor perasaan serta emosi orang lain dan dirinya sendiri, untuk mendiskriminasikan perasaan dan emosi tersebut, serta menggunakan informasi itu untuk memandu pemikiran dan perilaku (Salove & Mayer, 1990). Beberapa penelitian telah menemukan bagaimana kecerdasan emosi memampukan seseorang untuk membangun relasi yang tepat dilingkungan sosial yang berbeda-beda, membuatnya lebih cooperative (Schutte et al., 2001), meningkatkan kualitas interaksi (Lopez et al., 2004), meningkatkan penyesuaian psikologis, meningkatkan self-esteem, dan mencegah munculnya kecemasan serta depresi (Fernandez-Berrocal et al., 2006; Martinez-Pons, 1998). Kecerdasan emosi dapat dilatih (, dan berikut adalah upaya-upaya yang dapat orangtua lakukan untuk membantu anak melatih kecerdasan emosi mereka:

  • Menjadi teladan
    Teori sosial kognitif mengatakan bahwa anak tidak hanya belajar dari apa yang mereka dengar dan baca, namun juga dari apa yang mereka observasi. Untuk mengajarkan penguasaan emosi pada anak, orang tua terlebih dahulu perlu menjadi teladan untuk mencontohkan kecerdasan emosi yang konstruktif. Sebagai contoh, saat menghadapi stress dalam bekerja, kemampuan orang tua untuk mengontrol dan menghadapi stress tersebut akan dipelajari oleh anak. Bagi anak yang terbiasa melihat orangtua melampiaskan kemarahan yang meledak-ledak di rumah, mereka akan cenderung merasa bahwa melampiaskan amarah yang meledak-ledak adalah hal yang biasa.
  • Mendorong dan memotivasi
    Ketika anak mulai mencoba meniru perilaku orangtua dalam mengontrol emosi, ada kalanya mereka gagal pada percobaan-percobaan awal. Agar anak berhenti mencoba bahkan saat merasa tidak bisa, orangtua tetap harus mendorong mereka untuk terus mencoba. Kecerdasan emosi dapat dilatih dan dikembangkan, dengan demikian anak akan dapat menguasai kemampuan tersebut jika terus berlatih.
  • Memfasilitasi
    Tidak cukup hanya dengan menjadi teladan dan memotivasi, ada kalanya orangtua perlu memfasilitasi anak dalam proses pembelajarannya. Contoh memfasilitasi pembelajaran kecerdasan emosi pada anak adalah dengan menjelaskan dan menanamkan pengertian mengenai perilaku atau situasi tertentu. Sebagai contoh: saat anak merasa ingin merengek-rengek ditempat umum, orangtua perlu menjelaskan mengapa perilaku tersebut tidak baik, dan memberikan masukan bagaimana sebaiknya mereka menanggapi situasi yang mereka hadapi.
  • Memberikan reward dan konsekuensi
    Memberikan reward pada perilaku tertentu akan mendorong anak untuk mengulangi perilaku tersebut, demikian juga konsekuensi akan mengurangi kecenderungan anak melakukan perilaku tertentu. Oleh sebab itu, orangtua perlu mengapresiasi perilaku anak yang mencerminkan kecerdasan emosional dengan positif, dan memberikan konsekuensi pada perilaku yang ingin dihentikan. Tujuannya adalah agar anak bisa mengetahui bahwa apa baik dan tidak baik untuk diulangi lagi.

    Dalam memberikan reward dan konsekuensi, penting bagi orangtua untuk tidak salah dalam memberikan apresiasi atau konsekuensi pada perilaku anak yang berhubungan dengan kecerdasan emosi. Sebagai contoh, saat anak ingin menangis karena kesal tidak dibelikan mainan baru, orangtua perlu jeli untuk melihat bahwa perilaku yang perlu dihentikan adalah perilaku kesal saat tidak dibelikan mainan. Dengan demikian, jika anak hanya berhenti menangis namun masih kesal, orang tua perlu untuk menjelaskan pada anak mengapa apa yang ia lakukan tidak baik. Ketika orang tua hanya mengapresiasi perilaku berhenti menangis tanpa mengintervensi rasa kesal anak, maka mereka akan cenderung menahan perilaku menangis (yang bisa menjadi coping style) saat mereka merasa kesal. Akibatnya, anak akan bertumbuh menjadi anak yang pendiam dan memendam rasa sakit yang ia alami, atau cenderung melampiaskan melalui kemarahan dan perilaku destruktif, seperti penggunaan obat-obatan.
Referensi
  • Fernandez-Berrocal, P., Alcaide, R., Extremera, N., & Pizarro, D. (2006). The role of emotional intelligence in anxiety and depression among adolescents. Individual Differences Research, 4(1).
  • Lopes, P. N., Brackett, M. A., Nezlek, J. B., Schütz, A., Sellin, I., & Salovey, P. (2004). Emotional intelligence and social interaction. Personality and social psychology bulletin, 30(8), 1018-1034.
  • Martinez-Pons, M. (1998). Parental inducement of emotional intelligence. Imagination, cognition and personality, 18(1), 3-23.
  • Salovey, P., & Mayer, J. D. (1990). Emotional intelligence. Imagination, cognition and personality, 9(3), 185-211.Schutte, N. S., Malouff, J. M., Bobik, C., Coston, T. D., Greeson, C., Jedlicka, C., & Wendorf, G. (2001). Emotional intelligence and interpersonal relations. The Journal of social psychology, 141(4), 523-536.

Ditulis oleh: Amanda Teonata, S.Psi.