Jakarta - Hak asasi manusia (HAM) merupakan hak dasar yang melekat pada diri setiap orang dan bersifat universal. Pelanggaran terhadap hak asasi manusia diselesaikan melalui Pengadilan HAM yang diatur dalam salah satu instrumen Pancasila. Show
Menurut Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999, HAM didefinisikan sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Berdasarkan deklarasi Universal HAM yang diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948, hak yang dilindungi mencakup hak hidup, bebas dari perbudakan, hingga memperoleh pendidikan dan kehidupan kebudayaan. Berikut poin-poin selengkapnya: - Hak hidup- Bebas dari perbudakan- Bebas dari penyiksaan dan kekejaman- Persamaan dan bantuan hukum- Pengadilan yang adil- Perlindungan urusan pribadi dan keluarga- Memasuki dan meninggalkan suatu negara- Mendapatkan suaka- Hak kewarganegaraan- Membentuk keluarga- Memiliki harta benda- Kebebasan beragama- Berpendapat, berserikat, dan berkumpul- Turut serta dalam pemerintahan- Jaminan sosial, pekerjaan, upah layak, dan kesejahteraan - Memperoleh pendidikan dan kehidupan kebudayaan Instrumen Pancasila yang Atur Pengadilan HAMPengadilan hak asasi manusia diatur dalam salah satu instrumen Pancasila yaitu Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000. Menurut aturan tersebut, Pengadilan HAM bertujuan untuk memelihara perdamaian, kepastian, keadilan, dan perasaan aman kepada perorangan maupun masyarakat dalam upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat. Pelanggaran HAM berat yang diadili oleh lembaga ini meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Keduanya dijelaskan secara lengkap dalam Pasal 8 dan Pasal 9. Kejahatan genosida dilakukan untuk memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis, agama. Beberapa contoh kejahatan genosida adalah membunuh anggota kelompok, mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok, hingga pemindahan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain. Sementara itu, kejahatan terhadap kemanusiaan berupa serangan yang ditujukan langsung terhadap penduduk sipil, seperti pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, penyiksaan, dan tindakan kesewenang-wenangan lainnya. Sekilas Pengadilan HAMPengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Pengadilan ini berkedudukan di daerah kabupaten/kota atau daerah yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri (PN) yang bersangkutan. Khusus wilayah DKI Jakarta, Pengadilan HAM berkedudukan di setiap wilayah PN yang bersangkutan. Pengadilan HAM bertugas dan berwenang dalam pemeriksaan dan pemutusan perkara pelanggaran HAM yang berat. Kewenangan tersebut juga berlaku di luar batas teritorial wilayah Indonesia yang dilakukan oleh warga negara Indonesia. Lembaga ini hanya berwenang untuk memeriksa orang yang berusia di atas 18 tahun. Simak Video "Menengok Kampung Pancasila Ciamis yang Punya 4 Rumah Ibadah Berdekatan" (kri/lus) Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia dibentuk berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dengan tugas dan wewenang untuk memeriksa dan memutus perkara “khusus” terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, yaitu yang menyangkut pelanggaran yang meliputi kejahatan Genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan Genosida Kejahatan Genosida sebagaimana yang telah diatur di dalam Undang-Undang menyebutkan setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok, etnis, dan kelompok agama dengan cara:
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan ialah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, seperti:
Hukum Acara Peradilan HAM di Indonesia Ruang Lingkup kewenangan Pengadilan HAM berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dapat dirangkum sebagai berikut:
Referensi: Sistem Peradilan Indonesia oleh Prof. Dr. T. Gayus Lumbun, SH, MH.
Lihat Foto KOMPAS.com - UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dibentuk untuk menciptakan kepastian hukum dan penegakan keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Menurut R. Wiyono dalam buku Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia (2013), pembentukan UU Nomor 26 Tahun 2000 diharapkan mampu melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) baik perseorangan atau masyarakat. Tidak hanya itu, UU Nomor 26 Tahun 2000 juga diharapkan bisa menjadi dasar penegakan serta kepastian hukum, penciptaan keadilan serta perasaan aman untuk perseorangan atau masyarakat. Isi UU Nomor 26 Tahun 2000Secara garis besar, UU Nomor 26 Tahun 2000 membahas tentang pengadilan hak asasi manusia, khususnya untuk pelanggaran berat. Undang-undang ini terdiri atas 10 Bab dan 51 pasal, yang mana tiap pasalnya membahas berbagai hal terkait pengadilan hak asasi manusia. Baca juga: Isi Aturan tentang Lingkungan Hidup, UU No 32 Tahun 2009 Tugas dan wewenang Pengadilan HAM menurut UU Nomor 26 Tahun 2000Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, Pengadilan HAM memiliki tugas dan wewenang untuk memeriksa serta memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Selanjutnya dalam Pasal 5, Pengadilan HAM juga berwenang untuk memeriksa serta memutus perkara pelanggaran HAM berat di luar teritori wilayah Indonesia, yang dilakukan oleh warga negara Indonesia. Saat menjalankan tugas dan wewenangnya, Pengadilan HAM tidak berwenang untuk memeriksa serta memutus perkara pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh warga negara Indonesia di bawah usia 18 tahun pada saat melakukan kejahatan. Kategori pelanggaran HAM berat menurut UU Nomor 26 Tahun 2000Berdasarkan Pasal 7 UU Nomor 26 Tahun 2000, ada dua jenis pelanggaran HAM berat, yakni kejahatan genosida serta kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam Pasal 8 UU Nomor 26 Tahun 2000, kejahatan genosida diartikan sebagai perbuatan dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis, dan agama, dengan cara:
Baca juga: Contoh Teks Editorial UU Cipta Kerja Beserta Fakta dan Opininya
Pengadilan Hak Asasi Manusia atau Pengadilan HAM diatur dengan UU 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia disusun dengan pertimbangan untuk ikut serta memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan hak asasi manusia serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman kepada perorangan ataupun masyarakat, perlu dibentuk suatu Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat sesuai dengan ketentuan Pasal 104 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. UU 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mencabut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia karena dinilai tidak memadai, sehingga tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menjadi Undang-undang, oleh karena itu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut dicabut. Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia disahkan Presiden Abdurrahman Wahid pada tanggal 23 Novempber 2000 di Jakarta. Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia diundangkan Sekretaris Negara Djohan Effendi pada tangal 23 November 2000 di Jakarta. Agar setiap orang mengetahuinya UU 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ditempatkan pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 208. Penjelasan Atas UU 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ditempatkan pada Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4026. Undang-UndangNomor 26 tahun 2000tentangPengadilan Hak Asasi ManusiaPertimbangan UU 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, adalah:
Dasar hukum UU 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, adalah:
Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia, Ketetapan MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia harus dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab sesuai dengan falsafah yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan asas-asas internasional. Ketetapan MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia menugaskan kepada lembaga-lembaga tinggi negara dan seluruh aparatur pemerintah untuk menghormati, menegakkan, dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat serta segera meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pemberian perlindungan terhadap hak asasi manusia dapat dilakukan melalui pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Pengadilan HAM serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Untuk melaksanakan amanat Ketetapan MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia tersebut, telah dibentuk Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pembentukan Undang-undang tersebut merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di samping hal tersebut, pembentukan Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia juga mengandung suatu misi mengemban tanggungjawab moral dan hukum dalam menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta yang terdapat dalam berbagai instrumen hukum lainnya yang mengatur hak asasi manusia yang telah disahkan dan diterima oleh negara Republik Indonesia. Bertitik tolak dari perkembangan hukum, baik ditinjau dari kepentingan nasional maupun dari kepentingan internasional, maka untuk menyelesaikan masalah pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan mengembalikan keamanan dan perdamaian di Indonesia perlu dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia yang merupakan pengadilan khusus bagi pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Untuk merealisasikan terwujudnya Pengadilan Hak Asasi Manusia tersebut, perlu dibentuk Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia. Dasar Pembentukan Undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 104 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia diharapkan dapat melindungi hak asasi manusia, baik perseorangan maupun masyarakat, dan menjadi dasar dalam penegakan, kepastian hukum, keadilan, dan perasaan aman bagi perseorangan maupun masyarakat, terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Pembentukan Undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut :
Kekhususan dalam penanganan pelanggaran hak asasi manusia yang berat adalah :
Mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang berat seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang berdasarkan hukum internasional dapat digunakan asas tetroaktif, diberlakukan pasal mengenai kewajiban untuk tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi : "Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas maksud hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis". Dengan ungkapan lain asas retroaktif dapat diberlakukan dalam rangka melindungi hak asasi manusia itu sendiri berdasarkan Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut. Oleh karena itu Undang-undang ini mengatur pula tentang Pengadilan HAM ad hoc untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini. Pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden dan berada di lingkungan Peradilan Umum. Disamping adanya Pengadilan HAM ad hoc, Undang-undang ini menyebutkan juga keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud dalam Ketetapan MPR-RI Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang akan dibentuk dengan undang-undang dimaksudkan sebagai lembaga ekstra-yudical yang ditetapkan dengan undang-undang yang bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia pada masa lampau, sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa. Berikut adalah isi Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, bukan format asli: Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada dilingkungan Peradilan Umum. Bagian KeduaTempat KedudukanPasal 3
Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Pasal 5Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia. Pasal 6Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun pada saat kejahatan dilakukan. Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi :
Pasal 8Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :
Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa :
Dalam hal tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini, hukum acara atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana. Bagian KeduaPenangkapanPasal 11
Penuntut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) wajib dilaksanakan paling lambat 70 (tujuh puluh) hari terhitung sejak tanggal hasil penyidikan diterima. Pasal 25Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sewaktu-waktu dapat meminta keterangan secara tertulis kepada Jaksa Agung mengenai perkembangan penyidikan dan penuntutan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Bagian KetujuhSumpahPasal 26Sumpah penyidik dan Jaksa Penuntut Umum ad hoc sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) dan Pasal 23 ayat (3), lafalnya berbunyi sebagai berikut : "Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada siapapun juga". "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian". "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia". "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas ini dengan jujur, seksama, dan obyektif dengan tidak membeda-bedakan orang, dan akan menjunjung tinggi etika profesi dalam melaksanakan kewajiban saya ini dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang petugas yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan". Bagian KedelapanPemeriksaan di Sidang PengadilanParagraf 1UmumPasal 27
Pasal 28
Paragraf 2Syarat Pengangkatan Hakim Ad HocPasal 29Untuk dapat diangkat menjadi Hakim ad hoc harus memenuhi syarat :
Pasal 30Hakim ad hoc yang diangkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) sebelum melaksanakan tugasnya wajib mengucapkan sumpah sesuai dengan agamanya masing-masing yang lafalnya berbunyi sebagai berikut : "Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga". "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian". "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar 1945, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia". "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas ini dengan jujur, seksama, dan obyektif dengan tidak membeda-bedakan orang, dan akan menjunjung tinggi etika profesi dalam melaksanakan kewajiban saya ini dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang petugas yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan". Paragraf 3Acara PemeriksaanPasal 31Perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan HAM. Pasal 32
Pasal 33
BAB VPERLINDUNGAN KORBAN DAN SAKSIPasal 34
BAB VIKOMPENSASI, RESTITUSI, DAN REHABILITASIPasal 35
BAB VIIKETENTUAN PIDANAPasal 36Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, b, c, d dan e dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun. Pasal 37Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, b, d, e, atau j dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun. Pasal 38Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf e, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun. Pasal 39Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf f, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun. Pasal 40Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf g, h, atau i dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun. Pasal 41Percobaan, permufakatan jahat, atau pembantuan untuk melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 atau Pasal 9 dipidana dengan pidana yang sama dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40. Pasal 42
BAB VIIIPENGADILAN HAM AD HOCPasal 43
Pasal 44Pemeriksaan di Pengadilan HAM ad hoc dan upaya hukumnya dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini. BAB IXKETENTUAN PERALIHANPasal 45
BAB XKETENTUAN PENUTUPPasal 46Untuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini tidak berlaku ketentuan mengenai kadaluarsa. Pasal 47
Pasal 48Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang sudah atau sedang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini. Pasal 49Ketentuan mengenai kewenangan Atasan Yang Berhak Menghukum dan Perwira Penyerah Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 dan Pasal 123 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dinyatakan tidak berlaku dalam pemeriksaan pelanggaran hak asasi manusia yang berat menurut Undang-undang ini. Pasal 50Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 191, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3911) dengan ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 51Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Demikian isi Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang disahkan Presiden Abdurrahman Wahid pada tanggal 23 Novempber 2000 di Jakarta. Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia diundangkan Sekretaris Negara Djohan Effendi pada tangal 23 November 2000 di Jakarta. |