Tulislah 5 kata fenomenal yang terdapat dalam teks artikel sastrawan serbabisa tersebut!

Soal dan jawaban dari tugas 1 kegiatan 1 dalam buku Bahasa Indonesia Kelas 12 SMA/ SMK/ MA/ MAK kurikulum 2013 terbitan kemendikbud halaman 163 bab 5. Peserta didik diminta mengerjakan soal tentang unsur kebahasaan yang sudah ditentukan. Agar lebih jelas, sila perhatikan soal dan jawaban di bawah ini !

Soal

Setelah kamu membaca teks artikel dan cuplikan buku ilmiah di atas, isilah format tabel di bawah ini ! kamu bisa mengerjakan di buku kerjamu! (Format tabel bisa kalian lihat dalam buku kalian masing-masing)

Jawab

Silakan tonton video ini



atau perhatikan jawaban di bawah ini

1. Adverbia Artikel:

- Harian Kompas dan Sinar Harapan kerap memuat cerita pendeknya.


- Memenangi lomba penulisan fiksi baginya sudah biasa.
- Sebagai penulis fiksi sudah banyak buku yang dihasilkannya.
- Tidak sulit untuk mengenalinya karena topi putih selalu bertengger di kepalanya.
- Semasa di SD, saya doyan sekali membaca. - Buku Ilmiah:

- Kami akan memperlihatkan tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar.


- Ini semua terjadi karena mereka belum mengenal Allah SWt dengan iman, hati dan pikiran.
- Kedua, dengan memperhatikan ayat-ayat Kauniyyah yang betrbentang luas di alam semesta ini, bahkan dalam diri kita sendiri. - 2. Konjungsi Artikel: - Karena itu, ia selalu memakai topi. - Meskipun demikian, ia tak pernah diikutkan main dram semasih kanak-kanak, juga ketika SMP. - Semula, ayahnya mengharapkan Putu jadi dokter. - Setelah selesai sekolah menengah atas, ia melanjutkan kuliahnya di Yogyakarta, kota seni dan budaya. - Setelah kira-kira tujuh tahun tinggal di Yogyakarta, Putu pindah ke jakarta. - Di samping itu, ia juga bekerja sebaai redaktur majalah ekspress (1969) - Pada saat masih bekerja di majalah Tempo, ia mendapat beasiswa belajar Drama (Kabuki) di Jepang. - Selain itu, ia juga telah berani tampil dalam karyanya sendiri yang berjudul Lautan Bernyanyi. Buku Ilmiah:

- Namun, ketika kita berbicara tengan ayat-ayat kauniyyah maka sebagian besar dari kita lalai memikirkannya.


- Tidak hanya sifat fisik, tetapi juga sifat psikologis atau perilaku.
- Hingga sanggup membuat DNA begitu kecil dan canggih dalam tubuh manusia. 3. Kosakata Artikel: - Redaktur - Dramawan: - Stream Of Consciousness - Teater - Insting - Buku Ilmiah: - Eksplisit - Qauliyyah - Kauniyyah - Tajalli dzati - DNA

Disclaimer: Jawaban dari blog ini merupakan jawaban dari tim kami, untuk lebih jelasnya silakan tanya kepada guru masing-masing.

Bahasa Indonesia

Tentukan unsur kebahasaan (adverbia, konjungsi, dan kosakata) pada artikel yang berjudul Sastrawan Serba Bisa.

Jawaban : 

Unsur kebahasaan pada artikel berjudul Sastrawan Serba Bisa adalah sebagai berikut 

1. ADVERBIA

> Harian Kompas dan Sinar Harapan kerap memuat cerita pendeknya.
> Novelnya sering muncul di majalah Kartini, Femina dan Horison.
> Tidak sulit untuk mengenalinya karena topi pet putih selalu bertengger di kepalanya.
> Meskipun demikian, ia tak pernah diikutkan main drama semasih kanak-kanak, juga ketika SMP.
> Seperti dalam karya dramanya, dalam novelnya pun ia cenderung mempergunakan gaya objektif dalam pusat pengisahan dan gaya stream of consciousness dalam pengungkapannya.
> Tiap adegan berjalan tangkas, kadang meletup, diselingi humor.

2. KONJUNGSI

> Harian Kompas dan Sinar Harapan kerap memuat cerita pendeknya.
> Tidak sulit untuk mengenalinya karena topi pet putih selalu bertengger di kepalanya.
> Semula, ayahnya mengharapkan Putu jadi dokter.
> Meskipun demikian, ia tak pernah diikutkan main drama semasih kanak-kanak, juga ketika SMP.
> Setelah selesai sekolah menengah atas, ia melanjutkan kuliahnya di Yogyakarta, kota seni dan budaya.
> Ia juga pernah tampil bersama kelompok Sanggar Bambu. Selain itu, ia juga (telah berani) tampil dalam karyanya sendiri yang berjudul "lautan bernyanyi"(1969).
> Di samping itu, ia juga bekerja sebagai redaktur majalah Ekspres (1969). setelah majalah itu mati, ia menjadi redaktur majalah Tempo (1971-1979).
> Namun, karena tidak nyaman dengan lingkungannya, ia belajar hanya sepuluh bulan.
> Pada 1977, ia menikah dengan Renny Retno Yooscarini alias Renny Djajusman yang dikaruniai seorang anak, Yuka Mandiri.

3. KOSAKATA

> Skenario> fiksi> ngaben> punggawa > deklamasi> dramawan> redaktur> pembelotan > stream of consciousness> subversif> insting> esai

Kunjungi terus website telur pintar untuk mendapatkan pembahasan soal-soal lainnya dan jangan lupa tinggalkan komentar.

Good luck 

Putu Wijaya | Tokoh.ID

[ENSIKLOPEDI] Ia sudah menulis kurang lebih 30 novel, 40 naskah drama, sekitar seribu cerpen, ratusan esei, artikel lepas, dan kritik drama. Ia juga menulis skenario film dan sinetron. Sebagai dramawan, ia memimpin Teater Mandiri sejak 1971, dan telah mementaskan puluhan lakon di dalam maupun di luar negeri. Puluhan penghargaan ia raih atas karya sastra dan skenario sinetron.

Harian Kompas dan Sinar Harapan kerap memuat cerita pendeknya. Novelnya sering muncul di majalah Kartini, Femina, dan Horison. Memenangkan lomba penulisan fiksi baginya sudah biasa. Sebagai penulis skenario, ia dua kali meraih piala Citra di Festival Film Indonesia (FFI), untuk Perawan Desa (1980), dan Kembang Kertas (1985). Sebagai penulis fiksi sudah banyak buku yang dihasilkannya. Di antaranya, yang banyak diperbincangkan: Bila Malam Bertambah Malam, Telegram, Pabrik, Keok, Tiba-Tiba Malam, Sobat, Nyali.

Namanya I Gusti Ngurah Putu Wijaya yang biasa disebut Putu Wijaya. Tidak sulit untuk mengenalinya karena topi pet putih selalu bertengger di kepalanya. Kisahnya, pada ngaben ayahnya di Bali, kepalanya digundul. Kembali ke Jakarta, selang beberapa lama, rambutnya tumbuh tapi tidak sempurna, malah mendekati botak. Karena itu, ia selalu memakai topi. “Dengan ini saya terlihat lebih gagah,” tutur Putu sambil bercanda.

Putu yang dilahirkan di Puri Anom, Tabanan, Bali pada tanggal 11 April 1944, bukan dari keluarga seniman. Ia bungsu dari lima bersaudara seayah maupun dari tiga bersaudara seibu. Ia tinggal di kompleks perumahan besar, yang dihuni sekitar 200 orang, yang semua anggota keluarganya dekat dan jauh, dan punya kebiasaan membaca. Ayahnya, I Gusti Ngurah Raka, seorang pensiunan punggawa yang keras dalam mendidik anak. Semula, ayahnya mengharapkan Putu jadi dokter. Namun, Putu lemah dalam ilmu pasti. Ia akrab dengan sejarah, bahasa, dan ilmu bumi.

Semasa di SD, ”Saya doyan sekali membaca,” tuturnya, ”Mulai dari karangan Karl May, buku sastra Komedi Manusia-nya William Saroyan, sampai cerita picisan yang merangsang berahi. Sejak kecil, saya juga senang sekali seni pertunjukan. Mungkin sudah merupakan bakat, senang pada seni laku,” ujarnya mengenang.

Meskipun demikian, ia tak pernah diikutkan main drama semasih kanak-kanak, juga ketika SMP. Baru setelah menang lomba deklamasi, ia diikutkan main drama perpisahan SMA, yang diarahkan oleh Kirdjomuljo, penyair dan sutradara ternama di Yogyakarta. Ia pertama kali berperan dalam Badak, karya Anton Chekov. “Sejak itu saya senang sekali pada drama,” kenang Putu.

Setelah selesai sekolah menengah atas, ia melanjutkan kuliahnya di Yogyakarta, kota seni dan budaya. Di Yogyakarta, selain kuliah di Fakultas Hukum, UGM, ia juga mempelajari seni lukis di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), drama di Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi), dan meningkatkan kegiatannya bersastra. Dari Fakultas Hukum, UGM, ia meraih gelar sarjana hukum (1969), dari Asdrafi ia gagal dalam penulisan skripsi, dan dari kegiatan berkesenian ia mendapatkan identitasnya sebagai seniman.

Selama bermukim di Yogyakarta, kegiatan sastranya lebih terfokus pada teater. Ia pernah tampil bersama Bengkel Teater pimpinan W.S. Rendra dalam beberapa pementasan, antara lain dalam pementasan Bip-Bop (1968) dan Menunggu Godot (1969). Ia juga pernah tampil bersama kelompok Sanggar Bambu. Selain itu, ia juga (telah berani) tampil dalam karyanya sendiri yang berjudul Lautan Bernyanyi (1969). Ia adalah penulis naskah sekaligus sutradara pementasan itu. Naskah dramanya itu menjadi pemenang ketiga Sayembara Penulisan Lakon yang diselenggarakan oleh Badan Pembina Teater Nasional Indonesia.

Setelah kira-kira tujuh tahun tinggal di Yogyakarta, Putu pindah ke Jakarta. Di Jakarta ia bergabung dengan Teater Kecil asuhan sutradara ternama Arifin C. Noer dan Teater Populer. Di samping itu, ia juga bekerja sebagai redaktur majalah Ekspres (1969). Setelah majalah itu mati, ia menjadi redaktur majalah Tempo (1971-1979). Bersama rekan-rekannya di majalah Tempo, Putu mendirikan Teater Mandiri (1974). “Saya perlu bekerja jadi wartawan untuk menghidupi keluarga saya. Juga karena saya tidak mau kepengarangan saya terganggu oleh kebutuhan mencari makan,” tutur Putu.

Pada saat masih bekerja di majalah Tempo, ia mendapat beasiswa belajar drama (Kabuki) di Jepang (1973) selama satu tahun. Namun, karena tidak kerasan dengan lingkungannya, ia belajar hanya sepuluh bulan. Setelah itu, ia kembali aktif di majalah Tempo. Pada tahun 1974, ia mengikuti International Writing Program di Iowa, Amerika Serikat. Sebelum pulang ke Indonesia, mampir di Prancis, ikut main di Festival Nancy.

Putu mengaku belajar banyak dari Tempo dan Goenawan Mohamad. “Yang melekat di kepala saya adalah bagaimana menulis sesuatu yang sulit menjadi mudah. Menulis dengan gaya orang bodoh, sehingga yang mengerti bukan hanya menteri, tapi juga tukang becak. Itulah gaya Tempo,” ungkap Putu. Ia juga membiasakan diri dengan tenggat – suatu siksaan bagi kebanyakan pengarang. Dari Tempo, Putu pindah ke majalah Zaman (1979-1985), dan ia tetap produktif menulis cerita pendek, novel, lakon, dan mementaskannya lewat Teater Mandiri, yang dipimpinnya. Di samping itu, ia mengajar pula di Akademi Teater, Institut Kesenian Jakarta (IKJ).

Ia mempunyai pengalaman bermain drama di luar negeri, antara lain dalam Festival Teater Sedunia di Nancy, Prancis (1974) dan dalam Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985). Ia juga membawa Teater Mandiri berkeliling Amerika dalam pementasan drama Yel dan berpentas di Jepang (2001).

Karena kegiatan sastranya lebih menonjol pada bidang teater, Putu Wijaya pun lebih dikenal sebagai dramawan. Sebenarnya, selain berteater ia juga menulis cerpen dan novel dalam jumlah yang cukup banyak, di samping menulis esai tentang sastra. Sejumlah karyanya, baik drama, cerpen, maupun novel telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara lain bahasa Inggris, Belanda, Prancis, Jerman, Jepang, Arab, dan Thailand.

Gaya Putu menulis novel tidak berbeda jauh dengan gayanya menulis drama. Seperti dalam karya dramanya, dalam novelnya pun ia cenderung mempergunakan gaya objektif dalam pusat pengisahan dan gaya stream of consciousness dalam pengungkapannya – penuh potongan-potongan kejadian yang padat, intens dalam pelukisan, ekspresif bahasanya. Ia lebih mementingkan perenungan ketimbang riwayat.

Adapun konsep teaternya adalah teror mental. Baginya, teror adalah pembelotan, pengkhianatan, kriminalitas, tindakan subversif terhadap logika – tapi nyata. Teror tidak harus keras, kuat, dahsyat, menyeramkan; bahkan bisa berbisik, mungkin juga sama sekali tidak berwarna.

Ia menegaskan, ”teater bukan sekadar bagian dari kesusastraan, melainkan suatu tontonan.” Naskah sandiwaranya tidak dilengkapi petunjuk bagaimana harus dipentaskan. Agaknya, memberi kebebasan bagi sutradara lain menafsirkan. Bila menyinggung problem sosial, karyanya tanpa protes, tidak mengejek, juga tanpa memihak. Tiap adegan berjalan tangkas, kadang meletup, diseling humor.Mungkin ini cerminan pribadinya. Individualitasnya kuat, dan berdisiplin tinggi.

Saat ditanya pemikiran pengarang yang sehari bisa mengarang cerita 30 halaman, menulis empat artikel dalam satu hari ini tentang tulis menulis, Putu menjawab, ”Menulis adalah menggorok leher tanpa menyakiti,” katanya, ”bahkan kalau bisa tanpa diketahui.” Kesenian diibaratkannya seperti baskom, penampung darah siapa saja atau apa pun yang digorok: situasi, problematik, lingkungan, misteri, dan berbagai makna yang berserak. ”Kesenian,” katanya, ”merupakan salah satu alat untuk mencurahkan makna, agar bisa ditumpahkan kepada manusia lain secara tuntas.”

“Saya sangat percaya pada insting,” kata Putu tentang caranya menulis. “Ketika menulis, saya tidak mempunyai bahan apa-apa. Semua datang begitu saja ketika di depan komputer,” katanya lagi. Ia percaya bahwa ada satu galaksi dalam otak yang tidak kita mengerti cara kerjanya. Tapi, menurut Putu, itu bukan peristiwa mistik, apalagi tindak kesurupan.

Selain menekuni dunia teater dan menulis, Putu juga menjadi sutradara film dan sinetron serta menulis skenario sinetron. Film yang disutradarainya ialah film Cas Cis Cus, Zig Zag, dan Plong. Sinetron yang disutradarainya ialah Dukun Palsu, PAS, None, Warteg, dan Jari-Jari. Skenario yang ditulisnya ialah Perawan Desa, Kembang Kertas, serta Ramadhan dan Ramona. Ketiga skenario itu memenangkan Piala Citra.

Pada 1977, ia menikah dengan Renny Retno Yooscarini alias Renny Djajusman yang dikaruniai seorang anak, Yuka Mandiri. ”Sebelum menikah saya menulis Sah, ee, saya mengalami persis seperti yang saya tulis,” ujarnya. ”Pernikahan saya bubar pada 1984.” Tetapi ia tidak lama menduda. Pertengahan 1985, ia menikahi gadis Sunda, Dewi Pramunawati, karyawati majalah Medika. Bersama Dewi, Putu Wijaya selanjutnya hidup di Amerika Serikat selama setahun.

Atas undangan Fulbright, 1985-1988, ia menjadi dosen tamu teater dan sastra Indonesia modern di Universitas Wisconsin dan Universitas Illinois, AS. Atas undangan Japan Foundation, Putu menulis novel di Kyoto, Jepang, 1992. Setelah lama berikhtiar – walau dokter di Amerika mendiagnosis Putu tak bakal punya anak lagi – pada 1996, pasangan ini dikaruniai seorang anak, Taksu.

Rumah tangga baginya sebuah “perusahaan”. Apa pun diputuskan berdasarkan pertimbangan istri dan anak, termasuk soal pekerjaan. Soal pendidikan anak, “Saya tidak punya cara,” ujar Putu. Anak dianggap sebagai teman, kadang diajak berunding, kadang dimarahi. Dan, kata Putu, “Saya tidak mengharapkan ia menjadi apa, saya hanya memberikan kesempatan saja.”

Kini, penggemar musik dangdut, rock, klasik karya Bach atau Vivaldi dan jazz ini total hanya menulis, menyutradarai film dan sinetron, serta berteater. Dalam bekerja ia selalu diiringi musik. Olahraganya senam tenaga prana Satria Nusantara. “Sekarang saya sudah sampai pada tahap bahwa kesenian merupakan upaya dan tempat berekspresi sekaligus pekerjaan,” ujar Putu. e-ti | atur

Data Singkat
Putu Wijaya, Sastrawan / Sastrawan Serba Bisa | Ensiklopedi | Wartawan, Seniman, Sastrawan, redaktur, penulis, sastra, teater

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA