Tokoh golongan tua yang berhasil meyakinkan para pemuda

JAKARTA - Peristiwa Rengasdengklok adalah bagian sejarah Kemerdekaan Indonesia yang paling penting dalahm sejarah.

Peristiwa ini terjadi pada 16 Agustus 1945 dan penuh dengan kisah perselisihan, pertentangan, dan perbedaan pendapat antar dua generasi yaitu golongan tua dan golongan muda.

BACA JUGA:Kelompok Pemberontak yang Pernah Mewarnai Kemerdekaan Indonesia

Para tokoh golongan muda itu terdiri dari Chaerul Saleh, Wikana, dan Sukarni yang menjadi pelopor Peristiwa Rengasdengklok dan menculik dan mendesak Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamirkan kemerdekaan.

Di antaranya juga ada D.N Aidit, Sidik Kertapati, AM. Hanafie, Jusuf Kunto, Sutan Syahrir, Suwirjo, Moweardi, Kusnandar, Subianto, Margono, Abubakar, E. Sudeo, Armansyah, Subadi, dan Darwis.

Sementara itu, golongan tua terdiri dari Soekarno, Mohammad Hatta, serta Achmad Soebardjo.

Peristiwa Rengasdengklok terjadi pukul 03.00 WIB dengan menculik dan mengamankan Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok, Karawang.

Golongan muda melakukan hal tersebut agar Soekarno dan Hatta tidak terpengaruh oleh pemerintah Jepang dan bersedia untuk mempercepat pelaksanaan proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

Sementara golongan tua juga memiliki peran yang sangat penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Mereka inilah yang menjadi motor perjuangan kemerdekaan. Mereka yang memutuskan kapan dan di mana proklamasi kemerdekaan dikumandangkan sehingga penting kiranya bagi golongan muda untuk menyelamatkan golongan tua dari pengaruh Jepang yang dapat menghalangi kemerdekaan Indonesia.

Keinginan golongan muda untuk mempercepat proklamasi kemerdekaan ini kemudian disampaikan ke golongan tua yang berujung pada penolakan Soekarno.

Alasannya adalah harus memenuhi kesepakatan yang telah dibuat oleh Marsekal Terauchi melalui PPKI, masih ada beberapa persiapan yang harus dipersiapkan sebelum Indonesia benar-benar memproklamasikan kemerdekaannya, serta Bung Karno belum yakin bahwa Jepang benar-benar menyerah setelah mereka menyerah tanpa syarat pada Sekutu di tanggal 10 Agustus 1945.

Maka jika buru-buru memproklamasikan kemerdekaan ditakutkan justru akan menumbilan pertumpahan darah yang semakin besar.

Penolakan inilah yang membuat golongan muda mempelopori Peristiwa Rengasdengklok.

Satu hari sebelum Peristiwa Rengasdengklok, Chaerul Saleh memimpin rapat di Pegangsaan Timur, Jakarta, terkait kapan pengumuman proklamasi kemerdekaan Indonesia dilakukan.

Saat itulah ia mendesak Soekarno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan RI.

Sementara Wikana dan Darwis dikirim oleh para anggota muda lainnya untuk bertemu dengan Soekarno dan Hatta, ia juga menuntu keduanya untuk segera memproklamasikan kemerdekaan RI pada 16 Agustus 1945.

Di sisi lain, Suroto dan Subadio bersama para anggota golongan muda lainnya mulai menyusun perenanaan penculikan Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok, dan setelah dibuat, pada 16 Agustus 1945 pukul 06.00, Jusuf Kunto, Muwardi, Shodanco Singgih pun menjemput Soekarno-Hatta untuk dibawa ke Rengasdengklok.

Soekarno-Hatta dibawa ke Rengasdengklok oleh Sukarni dan Kusnandar.

Sebelum Peristiwa Rengasdengklok, Djohar Nur mengadakan rapat di Gedung Bakteriologi pada 15 Agustus 1945 pukul 20.00 WIB terkait pengumuman proklamasi kemerdekaan Indonesia, ia kemudian mengadakan rapat di Jalan Cikini 71 pada 16 Agustus 1945 pukul 01.30 WIB dan turut menyusun rencana penculikan Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok.

Djohar Nur juga menghubungi kantor berita Domei dan juga Radio Hosokioku.

Sementara Subianto dan Margono turut mengadakan rapat di Gedung Bakteriologi pada 15 Agustus pukul 20.00 terkait pengumuman proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Di sisi lain lagi, Sayuti Melik berperan dalam mendesak Soekarno-Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan dan ia jugalah yang mengetik teks proklamasi yang disusun tidak lama setelahnya.

Sudiro yang juga turut mendesak, ia menjadi pengantar Soekarno-Hatta ke Jakarta saat kedua tokoh penting tersebut berhasil diyakinkan.

Ketika diasingkan, Soekarno-Hatta akhirnya berhasil diyakinkan golongan muda dan langsung menyusun naskah proklamasi, menandatanganinya, dan memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Diketahui, naskah proklamasi tersebut dibuat oleh Mohammad Hatta saat kembali ke Jakarta dan menandatanganinya atas nama bangsa Indonesia.

Ada Achmad Soebardjo yang berperan menjadi memediasi antara golongan tua dan golongan muda dalam Peristiwa Rengasdengklok.

Hasil kesepakatan Peristiwa Rengasdengklok saat itu adalah proklamasi kemerdekaan RI harus dilakukan di Jakarta pada 17 Agustus 2022.

Di situlah Achmad Soebardjo berusaha meyakinkan para golongan muda untuk mengizinkan Soekarno-Hatta pulang ke Jakarta.

Ia kemudian membawa Soekarno-Hatta kembali ke Jakarta dan menyusun naskah proklamasi.

Oleh:

Antara/Ipphos Arsip - KABINET PERTAMA. Foto bersama anggota Kabinet RI Pertama, berdiri di baris depan, mulai nomor empat paling kiri : Menteri Kesehatan Dr. Boentaran Martoatmodjo, Menteri Penerangan Mr. Amir Sjarifuddin, Menteri Luar Negeri Mr. Achmad Soebardjo, Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Menteri Dalam Negeri R.A.A Wiranata Kusumah, Menteri Kemakmuran Ir. Surachman Tjokroadisurjo berfoto bersama pada 4 September1945

Bisnis.com, JAKARTA - Sebuah iklan penjualan lahan di kawasan Menteng, Jakarta Pusat sedang menjadi perhatian.

"FOR SALE MENTENG ZONA KOMERSIL BISA 8 LANTAI PINGGIR JALAN RAYA PRIME AREA PUSAT BISNIS MENTENG Luas Tanah 2.915 m2 Luas Bangunan 1676 m2 Golongan D Zona peruntukan Komersil Izin bisa 8 Lantai Bangunan Tua Hitung tanah saja Cocok Untuk Hotel / Office Building / Restaurant Halaman Luas Harga Rp 200 M Nego (68,6 juta/m2)," demikian bunyi iklan tersebut.

Iklan yang diunggah salah satu akun Instagram itu menjadi perhatian bukan semata karena lokasinya, namun juga karena riwayat pemiliknya.

Salah satu akun berkomentar bahwa lahan yang akan dijual adalah rumah Mr. Achmad Soebarjo, Menteri Luar Negeri pertama Republik Indonesia. 

Terkait kebenaran komentar itu, Bisnis.com masih melakukan penelusuran.

Berdasar wikipedia, Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo lahir di Karawang, Jawa Barat, 23 Maret 1896. Ia meninggal di Jakarta, 15 Desember 1978 pada umur 82 tahun.

Achmad Soebardjo adalah tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia, diplomat, dan seorang Pahlawan Nasional Indonesia.

Ia adalah Menteri Luar Negeri Indonesia yang pertama.

Gelar Meester in de Rechten diperoleh Achmad Soebardjo dari Universitas Leiden Belanda pada 1933.

Pria kelahiran Teluk Jambe, Karawang, itu masih keturunan bangsawan Aceh dari Pidie. Ayahnya bernama Teuku Muhammad Yusuf.

Kakek Achmad Soebardjo dari pihak ayah adalah Ulee Balang dan ulama di wilayah Lueng Putu, sedangkan Teuku Yusuf adalah pegawai pemerintahan dengan jabatan Mantri Polisi di wilayah Teluk Jambe, Karawang.

Ibu Achmad Soebardjo bernama Wardinah. Ia keturunan Jawa-Bugis, dan merupakan anak dari Camat di Telukagung, Cirebon.

Ayahnya mulanya memberinya nama Teuku Abdul Manaf, sedangkan ibunya memberinya nama Achmad Soebardjo.

Nama Djojoadisoerjo ditambahkannya sendiri setelah dewasa, saat ia ditahan di penjara Ponorogo karena "Peristiwa 3 Juli 1946".

Ia bersekolah di Hogere Burger School, Jakarta (saat ini setara dengan Sekolah Menengah Atas) pada tahun 1917. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Universitas Leiden, Belanda dan memperoleh ijazah Meester in de Rechten (saat ini setara dengan Sarjana Hukum) di bidang undang-undang pada tahun 1933.

Memperjuangkan Kemerdekaan RI

Semasa mahasiswa, Soebardjo aktif memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui beberapa organisasi seperti Jong Java dan Persatuan Mahasiswa Indonesia di Belanda.

Pada Februari 1927 ia pun menjadi wakil Indonesia bersama dengan Mohammad Hatta dan para ahli gerakan-gerakan Indonesia pada persidangan antarbangsa "Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Penjajah" yang pertama di Brussels dan kemudiannya di Jerman.

Pada persidangan pertama itu juga ada Jawaharlal Nehru dan pemimpin-pemimpin nasionalis yang terkenal dari Asia dan Afrika.

Sewaktu kembali ke Indonesia, Achmad Soebardjo aktif menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dan kemudian Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Peristiwa Rengasdengklok

Pada tanggal 16 Agustus 1945 Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana, Shudanco Singgih, dan pemuda lain, membawa Soekarno dan Moh. Hatta ke Rengasdengklok.

Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Peristiwa ini dinamakan Peristiwa Rengasdengklok.

Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya.

Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Achmad Soebardjo melakukan perundingan. Achmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta.

Maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Achmad Soebardjo ke Rengasdengklok.

Achmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu-buru memproklamasikan kemerdekaan.

Bahkan Achmad Soebardjo memberikan jaminan dengan taruhan nyawa bahwa proklamasi kemerdekaan akan diumumkan pada 17 Agustus 1945 selambat-lambatnya pukul 11.30.

Dengan adanya jaminan itu, Komandan Kompi Peta Rengasdengklok Cudanco Subeno bersedia melepaskan Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta.

Susun Naskah Proklamasi

Achmad Soebardjo terlibat dalam penyusunan naskah proklamasi kemerdekaan RI. Konsep naskah proklamasi disusun Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad Soebardjo di rumah Laksamana Muda Maeda.

Setelah selesai dan beragumentasi dengan para pemuda, dinihari 17 Agustus 1945, Bung Karno pun segera memerintahkan Sayuti Melik mengetik naskah proklamasi.

Sehari setelah proklamasi kemerdekaan, pada 18 Agustus 1945, Soebardjo dilantik sebagai Menteri Luar Negeri pada Kabinet Presidensial, kabinet Indonesia yang pertama.

Ia kembali menjabat menjadi Menteri Luar Negeri pada tahun 1951 - 1952. Selain itu, ia juga menjadi Duta Besar Republik Indonesia di Switzerland antara tahun-tahun 1957 - 1961.

Dalam bidang pendidikan, Soebardjo merupakan profesor dalam bidang Sejarah Perlembagaan dan Diplomasi Republik Indonesia di Fakultas Kesusasteraan, Universitas Indonesia.

Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo meninggal dunia dalam usia 82 tahun pada 15 Desember 1978 di Rumah Sakit Pertamina, Kebayoran Baru, akibat flu yang menimbulkan komplikasi.

Ia dimakamkan di rumah peristirahatnya di Cipayung, Bogor. Pemerintah mengangkat almarhum sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2009.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini, di sini : menteng, menlu

Simak Video Pilihan di Bawah Ini :