Terangkan tentang prinsip kepercayaan perbankan


#Jawaban di bawah ini, bisa saja salah karena si penjawab bisa saja bukan ahli dalam pertanyaan tersebut. Pastikan mencari jawaban dari berbagai sumber terpercaya, sebelum mengklaim jawaban tersebut adalah benar. Selamat Belajar..#


Answered by niam101 on Fri, 25 Mar 2022 10:45:31 +0700 with category Ekonomi and was viewed by 345 other users

Mapel:EkonomiKelas:10Materi:PerbankanJawaban-Prinsip kehati-hatian(prudential principle-Prinsip kepercayaan(Fiduciary principle)-Prinsip kerahasiaan (confidential principle)-Prinsip mengenal nasabah (know your costumer principle 1. Prinsip KepercayaanPrinsip yang paling utama dalam menjalankan kegiatan perbankan adalah prinsip kepercayaan atau fiduciary principle. Prinsip kepercayaan ini yang menjadi dasar hubungan antara bank dengan nasabah. Yaitu menyatakan bahwa kegiatan perbankan dilandasi oleh kepercayaan antara nasabah dengan bank. 2. Prinsip Kehati-hatianPrinsip kehati-hatian merupakan prinsip yang menjadi acuan bank untuk menjalankan usaha perbankan yaitu dengan mengedepankan sikap hati-hati guna melindungi dana nasabah yang telah dipercayakan di bank.3 Prinsip KerahasiaanHubungan yang terjalin antara bank dengan nasabah bukanlah hubungan kontraktual biasa.4. Prinsip Mengenal Nasabah

Prinsip yang keempat adalah prinsip mengenal nasabah yang mana bank memiliki keleluasaan atau hak untuk mengetahui lebih jauh serta mengenal identitas nasabah, memantau setiap transaksi keuangan nasabah serta melaporkan bila ada transaksi yang mencurigakan.

Baca Juga: Coba Buat gambar ilustrasi berdasarkan cerita yang anda buat!​


Apa itu en.dhafi.link?

en.dhafi.link Merupakan Website Kesimpulan dari forum tanya jawab online dengan pembahasan seputar pendidikan di indonesia secara umum. website ini gratis 100% tidak dipungut biaya sepeserpun untuk para pelajar di seluruh indonesia. saya harap pembelajaran ini dapat bermanfaat bagi para pelajar yang sedang mencari jawaban dari segala soal di sekolah. Terima Kasih Telah Berkunjung, Semoga sehat selalu.

Asas demokrasi ekonomi ditegaskan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 setelah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Ini berarti fungsi dan usaha perbankan diarahkan untuk melaksanakan prinsip-prinsip yang terkandung dalam demokrasi ekonomi yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

  • Asas kepercayaan (fiduciary principle)

Adalah suatu asas yang menyatakan bahwa usaha Bank dilandasi oleh hubungan ke.percayaan antara Bank dan nasabahnya. Bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang disimpan padanya atas dasar kepercayaan, sehingga setiap bank perlu terus menjaga kesehatannya dengan tetapp mempertahankan kepercayaannya.

  • Asas kerahasiaan (Confidential Principle)

Asas yang mengharuskan atau mewajibkan merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan lain-lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan. Dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyatakan bahwa bank wajib merahasiakan informasi mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.

  • Asas kehati-hatian (Prudential Principle)

Adalah suatu asas yang menyatakan bahwa bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan padanya. Hal ini disebutkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan bahwa perbankan Indoneia dalam melaksanakan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan asas kehati-hatian. Tujuan diberlakukannya prinsip kehati-hatian tidak lain adalah agar bank selalu dalam keadaan sehat (Lukman Santoso, 2011: 36-38).

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

4 (empat) Prinsip dalam Mengelola Perbankan

Menurut KBBI, prinsip adalah asas, kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir. Dalam pengelolaan bank, terdapat 4 (empat) prinsip yang menegaskan hubungan hukum antara bank dan nasabah penyimpan dana, yakni: (a). Prinsip kepercayaan (fiduciary principle), (b). Prinsip Kerahasiaan (confidential principle); (c). Prinsip kehati-hatian (prudential principle); (d). prinsip mengenal nasabah (know your customer principle).

  1. Prinsip Kepercayaan (Fiduciary Principle)

Bank di dalam menghimpun dan mengelola dana masyarakat harus didasarkan atas prinsip kepercayaan. Nasabah bank mempercayakan dananya untuk disimpan di bank dalam suatu portofolio dan dikelola dengan aman dan jujur, yang sewaktu-waktu diminta kembali, bank tersebut bank mampu menyediakannya.

Secara normatif fiduciary relation termaktub secara tegas dalam Pasal 29 dan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo.Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 selanjutnya disebut UU Perbankan. Pasal 29 UU 7/1992 jo. UU 10/1998 menyatakan bahwa “Bank terutama bekerja dengan dana masyarakat yang disimpan pada bank atas dasar kepercayaan, setiap bank perlu terus menjaga kesehatannya dan memelihara kepercayaan masyarakat padanya.” Pasal 8 ayat (1) berisikan bahwa “Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.”

Untuk menjamin pelaksanaan prinsip kepercayaan, antara lain bank harus memberi saran kepada nasabah tentang risiko yang mungkin terjadi dalam penyimpanan dananya di bank dan bank dalam melaksanakan transaksi untuk kepentingan nasabah harus melakukannya dengan hati-hati. Hal tersebut termuat tegas dalam Pasal 29 ayat (4) Undang-undang Perbankan yakni: “Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank.”

  1. Prinsip Kerahasiaan (Confidential Principle)

Prinsip kerahasiaan bank menjadi sangat penting dijaga dalam industri perbankan karena hal tersebut adalah jiwa dari industri perbankan. Tujuan utama bank menerpakan prinsip kehati-hatian adalah agar nasabah memperoleh tingkat perlindungan dan penjaminan hukum yang memadai atas kepercayaan nasabah yang diberikan kepada bank untuk mengelola dana yang disimpannya tersebut.

Secara normatif prinsip ini diakomodir dalam Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan yakni: “Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpannanya, kecuali dalam hal sebagaiana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A” Pasal 40 tersebut mengandung unsur subyektif berkaitan dengan hal yang harus dirahasiakan oleh bank, dan unsur obyektif yakni simpanan nasabah.

Menurut Nindyo Pramono, terdapat inkosistensi antara Pasal 42 UU Perbankan dengan Pasal 40. Pasal 42 berisikan bahwa: “Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin kepada polisi, jaksa, atau hakim untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank.”

Pasal 40 menentukan bahwa yang wajib dirahasiakan adalah nasabah dan simpanannya. Mengapa dibedakan antara nasabah (subjek) dan simpananya (objek)? Pasal 42 mengatur bahwa yang boleh diinformasikan adalah objeknya. Akan menjadi pertanyaan, mungkinkan menginformasikan simpanan (objek) tanpa implisit termasuk menginformasikan keterangan tentang diri nasabah (subjek).

Permasalahan ke-2 (dua) adalah apakah keterangan yang diminta oleh penyidik mengenai nasabah penyimpan, misalnya keterangan mengenai jati diri nasabah penyimpan, misalnya keterangan mengenai jati diri nsabah penyimpan termasuk keterangan yang wajib dirahasiakan sehingga perlu mengingat izin Bank Indonesia terlebih dahulu atau sebaliknya bank dapat memberikan keterangan mengenai data nasabah penyimpan tersebut kepada penyidik tanpa perlu ada izin dari Bank Indonesia karena berdasarkan Pasal 42 yang harus mendapat izin dari Bank Indonesia adalah keterangan mengenai simpanan nasabah tersangka atau terdakwa sedangkan keterangan mengenai nsabah penyimpan, oleh karena tidak termasuk yang diatur dalam Pasal 42 tersebut, tidak perlu mendapat izin Bank Indonesia terlebih dahulu.

Di Inggris, dalam Tournier’ Case (Tournier v National Provincial and Union Bank of England) 1924, telah diputuskan bahwa bank berhak untuk mengungkapkan informasi mengenai urusan-urusan nsabah hanya dalam 4 (empat) keadaan saja, yakni[1]:

    1. Pengungkapan tersebut diharuskan oleh hukum, diatur dalam undang-undang;
    2. Apabila bank memutuskan merasa berkewajiban untuk melakukan pengungkapan kepada masyarakat demi kepentingan umum;
    3. Jika pengungkapan dikehendaki demi kepentingan bank;
    4. Jika nasabah memberikan persetujuannya.

Page 2

4 (empat) Prinsip dalam Mengelola Perbankan

Menurut KBBI, prinsip adalah asas, kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir. Dalam pengelolaan bank, terdapat 4 (empat) prinsip yang menegaskan hubungan hukum antara bank dan nasabah penyimpan dana, yakni: (a). Prinsip kepercayaan (fiduciary principle), (b). Prinsip Kerahasiaan (confidential principle); (c). Prinsip kehati-hatian (prudential principle); (d). prinsip mengenal nasabah (know your customer principle).

  1. Prinsip Kepercayaan (Fiduciary Principle)

Bank di dalam menghimpun dan mengelola dana masyarakat harus didasarkan atas prinsip kepercayaan. Nasabah bank mempercayakan dananya untuk disimpan di bank dalam suatu portofolio dan dikelola dengan aman dan jujur, yang sewaktu-waktu diminta kembali, bank tersebut bank mampu menyediakannya.

Secara normatif fiduciary relation termaktub secara tegas dalam Pasal 29 dan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo.Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 selanjutnya disebut UU Perbankan. Pasal 29 UU 7/1992 jo. UU 10/1998 menyatakan bahwa “Bank terutama bekerja dengan dana masyarakat yang disimpan pada bank atas dasar kepercayaan, setiap bank perlu terus menjaga kesehatannya dan memelihara kepercayaan masyarakat padanya.” Pasal 8 ayat (1) berisikan bahwa “Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.”

Untuk menjamin pelaksanaan prinsip kepercayaan, antara lain bank harus memberi saran kepada nasabah tentang risiko yang mungkin terjadi dalam penyimpanan dananya di bank dan bank dalam melaksanakan transaksi untuk kepentingan nasabah harus melakukannya dengan hati-hati. Hal tersebut termuat tegas dalam Pasal 29 ayat (4) Undang-undang Perbankan yakni: “Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank.”

  1. Prinsip Kerahasiaan (Confidential Principle)

Prinsip kerahasiaan bank menjadi sangat penting dijaga dalam industri perbankan karena hal tersebut adalah jiwa dari industri perbankan. Tujuan utama bank menerpakan prinsip kehati-hatian adalah agar nasabah memperoleh tingkat perlindungan dan penjaminan hukum yang memadai atas kepercayaan nasabah yang diberikan kepada bank untuk mengelola dana yang disimpannya tersebut.

Secara normatif prinsip ini diakomodir dalam Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan yakni: “Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpannanya, kecuali dalam hal sebagaiana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A” Pasal 40 tersebut mengandung unsur subyektif berkaitan dengan hal yang harus dirahasiakan oleh bank, dan unsur obyektif yakni simpanan nasabah.

Menurut Nindyo Pramono, terdapat inkosistensi antara Pasal 42 UU Perbankan dengan Pasal 40. Pasal 42 berisikan bahwa: “Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin kepada polisi, jaksa, atau hakim untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank.”

Pasal 40 menentukan bahwa yang wajib dirahasiakan adalah nasabah dan simpanannya. Mengapa dibedakan antara nasabah (subjek) dan simpananya (objek)? Pasal 42 mengatur bahwa yang boleh diinformasikan adalah objeknya. Akan menjadi pertanyaan, mungkinkan menginformasikan simpanan (objek) tanpa implisit termasuk menginformasikan keterangan tentang diri nasabah (subjek).

Permasalahan ke-2 (dua) adalah apakah keterangan yang diminta oleh penyidik mengenai nasabah penyimpan, misalnya keterangan mengenai jati diri nasabah penyimpan, misalnya keterangan mengenai jati diri nsabah penyimpan termasuk keterangan yang wajib dirahasiakan sehingga perlu mengingat izin Bank Indonesia terlebih dahulu atau sebaliknya bank dapat memberikan keterangan mengenai data nasabah penyimpan tersebut kepada penyidik tanpa perlu ada izin dari Bank Indonesia karena berdasarkan Pasal 42 yang harus mendapat izin dari Bank Indonesia adalah keterangan mengenai simpanan nasabah tersangka atau terdakwa sedangkan keterangan mengenai nsabah penyimpan, oleh karena tidak termasuk yang diatur dalam Pasal 42 tersebut, tidak perlu mendapat izin Bank Indonesia terlebih dahulu.

Di Inggris, dalam Tournier’ Case (Tournier v National Provincial and Union Bank of England) 1924, telah diputuskan bahwa bank berhak untuk mengungkapkan informasi mengenai urusan-urusan nsabah hanya dalam 4 (empat) keadaan saja, yakni[1]:

    1. Pengungkapan tersebut diharuskan oleh hukum, diatur dalam undang-undang;
    2. Apabila bank memutuskan merasa berkewajiban untuk melakukan pengungkapan kepada masyarakat demi kepentingan umum;
    3. Jika pengungkapan dikehendaki demi kepentingan bank;
    4. Jika nasabah memberikan persetujuannya.


Lihat Ekonomi Selengkapnya

Page 3

4 (empat) Prinsip dalam Mengelola Perbankan

Menurut KBBI, prinsip adalah asas, kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir. Dalam pengelolaan bank, terdapat 4 (empat) prinsip yang menegaskan hubungan hukum antara bank dan nasabah penyimpan dana, yakni: (a). Prinsip kepercayaan (fiduciary principle), (b). Prinsip Kerahasiaan (confidential principle); (c). Prinsip kehati-hatian (prudential principle); (d). prinsip mengenal nasabah (know your customer principle).

  1. Prinsip Kepercayaan (Fiduciary Principle)

Bank di dalam menghimpun dan mengelola dana masyarakat harus didasarkan atas prinsip kepercayaan. Nasabah bank mempercayakan dananya untuk disimpan di bank dalam suatu portofolio dan dikelola dengan aman dan jujur, yang sewaktu-waktu diminta kembali, bank tersebut bank mampu menyediakannya.

Secara normatif fiduciary relation termaktub secara tegas dalam Pasal 29 dan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo.Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 selanjutnya disebut UU Perbankan. Pasal 29 UU 7/1992 jo. UU 10/1998 menyatakan bahwa “Bank terutama bekerja dengan dana masyarakat yang disimpan pada bank atas dasar kepercayaan, setiap bank perlu terus menjaga kesehatannya dan memelihara kepercayaan masyarakat padanya.” Pasal 8 ayat (1) berisikan bahwa “Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.”

Untuk menjamin pelaksanaan prinsip kepercayaan, antara lain bank harus memberi saran kepada nasabah tentang risiko yang mungkin terjadi dalam penyimpanan dananya di bank dan bank dalam melaksanakan transaksi untuk kepentingan nasabah harus melakukannya dengan hati-hati. Hal tersebut termuat tegas dalam Pasal 29 ayat (4) Undang-undang Perbankan yakni: “Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank.”

  1. Prinsip Kerahasiaan (Confidential Principle)

Prinsip kerahasiaan bank menjadi sangat penting dijaga dalam industri perbankan karena hal tersebut adalah jiwa dari industri perbankan. Tujuan utama bank menerpakan prinsip kehati-hatian adalah agar nasabah memperoleh tingkat perlindungan dan penjaminan hukum yang memadai atas kepercayaan nasabah yang diberikan kepada bank untuk mengelola dana yang disimpannya tersebut.

Secara normatif prinsip ini diakomodir dalam Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan yakni: “Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpannanya, kecuali dalam hal sebagaiana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A” Pasal 40 tersebut mengandung unsur subyektif berkaitan dengan hal yang harus dirahasiakan oleh bank, dan unsur obyektif yakni simpanan nasabah.

Menurut Nindyo Pramono, terdapat inkosistensi antara Pasal 42 UU Perbankan dengan Pasal 40. Pasal 42 berisikan bahwa: “Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin kepada polisi, jaksa, atau hakim untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank.”

Pasal 40 menentukan bahwa yang wajib dirahasiakan adalah nasabah dan simpanannya. Mengapa dibedakan antara nasabah (subjek) dan simpananya (objek)? Pasal 42 mengatur bahwa yang boleh diinformasikan adalah objeknya. Akan menjadi pertanyaan, mungkinkan menginformasikan simpanan (objek) tanpa implisit termasuk menginformasikan keterangan tentang diri nasabah (subjek).

Permasalahan ke-2 (dua) adalah apakah keterangan yang diminta oleh penyidik mengenai nasabah penyimpan, misalnya keterangan mengenai jati diri nasabah penyimpan, misalnya keterangan mengenai jati diri nsabah penyimpan termasuk keterangan yang wajib dirahasiakan sehingga perlu mengingat izin Bank Indonesia terlebih dahulu atau sebaliknya bank dapat memberikan keterangan mengenai data nasabah penyimpan tersebut kepada penyidik tanpa perlu ada izin dari Bank Indonesia karena berdasarkan Pasal 42 yang harus mendapat izin dari Bank Indonesia adalah keterangan mengenai simpanan nasabah tersangka atau terdakwa sedangkan keterangan mengenai nsabah penyimpan, oleh karena tidak termasuk yang diatur dalam Pasal 42 tersebut, tidak perlu mendapat izin Bank Indonesia terlebih dahulu.

Di Inggris, dalam Tournier’ Case (Tournier v National Provincial and Union Bank of England) 1924, telah diputuskan bahwa bank berhak untuk mengungkapkan informasi mengenai urusan-urusan nsabah hanya dalam 4 (empat) keadaan saja, yakni[1]:

    1. Pengungkapan tersebut diharuskan oleh hukum, diatur dalam undang-undang;
    2. Apabila bank memutuskan merasa berkewajiban untuk melakukan pengungkapan kepada masyarakat demi kepentingan umum;
    3. Jika pengungkapan dikehendaki demi kepentingan bank;
    4. Jika nasabah memberikan persetujuannya.


Lihat Ekonomi Selengkapnya

Page 4

4 (empat) Prinsip dalam Mengelola Perbankan

Menurut KBBI, prinsip adalah asas, kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir. Dalam pengelolaan bank, terdapat 4 (empat) prinsip yang menegaskan hubungan hukum antara bank dan nasabah penyimpan dana, yakni: (a). Prinsip kepercayaan (fiduciary principle), (b). Prinsip Kerahasiaan (confidential principle); (c). Prinsip kehati-hatian (prudential principle); (d). prinsip mengenal nasabah (know your customer principle).

  1. Prinsip Kepercayaan (Fiduciary Principle)

Bank di dalam menghimpun dan mengelola dana masyarakat harus didasarkan atas prinsip kepercayaan. Nasabah bank mempercayakan dananya untuk disimpan di bank dalam suatu portofolio dan dikelola dengan aman dan jujur, yang sewaktu-waktu diminta kembali, bank tersebut bank mampu menyediakannya.

Secara normatif fiduciary relation termaktub secara tegas dalam Pasal 29 dan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo.Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 selanjutnya disebut UU Perbankan. Pasal 29 UU 7/1992 jo. UU 10/1998 menyatakan bahwa “Bank terutama bekerja dengan dana masyarakat yang disimpan pada bank atas dasar kepercayaan, setiap bank perlu terus menjaga kesehatannya dan memelihara kepercayaan masyarakat padanya.” Pasal 8 ayat (1) berisikan bahwa “Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.”

Untuk menjamin pelaksanaan prinsip kepercayaan, antara lain bank harus memberi saran kepada nasabah tentang risiko yang mungkin terjadi dalam penyimpanan dananya di bank dan bank dalam melaksanakan transaksi untuk kepentingan nasabah harus melakukannya dengan hati-hati. Hal tersebut termuat tegas dalam Pasal 29 ayat (4) Undang-undang Perbankan yakni: “Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank.”

  1. Prinsip Kerahasiaan (Confidential Principle)

Prinsip kerahasiaan bank menjadi sangat penting dijaga dalam industri perbankan karena hal tersebut adalah jiwa dari industri perbankan. Tujuan utama bank menerpakan prinsip kehati-hatian adalah agar nasabah memperoleh tingkat perlindungan dan penjaminan hukum yang memadai atas kepercayaan nasabah yang diberikan kepada bank untuk mengelola dana yang disimpannya tersebut.

Secara normatif prinsip ini diakomodir dalam Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan yakni: “Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpannanya, kecuali dalam hal sebagaiana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A” Pasal 40 tersebut mengandung unsur subyektif berkaitan dengan hal yang harus dirahasiakan oleh bank, dan unsur obyektif yakni simpanan nasabah.

Menurut Nindyo Pramono, terdapat inkosistensi antara Pasal 42 UU Perbankan dengan Pasal 40. Pasal 42 berisikan bahwa: “Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin kepada polisi, jaksa, atau hakim untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank.”

Pasal 40 menentukan bahwa yang wajib dirahasiakan adalah nasabah dan simpanannya. Mengapa dibedakan antara nasabah (subjek) dan simpananya (objek)? Pasal 42 mengatur bahwa yang boleh diinformasikan adalah objeknya. Akan menjadi pertanyaan, mungkinkan menginformasikan simpanan (objek) tanpa implisit termasuk menginformasikan keterangan tentang diri nasabah (subjek).

Permasalahan ke-2 (dua) adalah apakah keterangan yang diminta oleh penyidik mengenai nasabah penyimpan, misalnya keterangan mengenai jati diri nasabah penyimpan, misalnya keterangan mengenai jati diri nsabah penyimpan termasuk keterangan yang wajib dirahasiakan sehingga perlu mengingat izin Bank Indonesia terlebih dahulu atau sebaliknya bank dapat memberikan keterangan mengenai data nasabah penyimpan tersebut kepada penyidik tanpa perlu ada izin dari Bank Indonesia karena berdasarkan Pasal 42 yang harus mendapat izin dari Bank Indonesia adalah keterangan mengenai simpanan nasabah tersangka atau terdakwa sedangkan keterangan mengenai nsabah penyimpan, oleh karena tidak termasuk yang diatur dalam Pasal 42 tersebut, tidak perlu mendapat izin Bank Indonesia terlebih dahulu.

Di Inggris, dalam Tournier’ Case (Tournier v National Provincial and Union Bank of England) 1924, telah diputuskan bahwa bank berhak untuk mengungkapkan informasi mengenai urusan-urusan nsabah hanya dalam 4 (empat) keadaan saja, yakni[1]:

    1. Pengungkapan tersebut diharuskan oleh hukum, diatur dalam undang-undang;
    2. Apabila bank memutuskan merasa berkewajiban untuk melakukan pengungkapan kepada masyarakat demi kepentingan umum;
    3. Jika pengungkapan dikehendaki demi kepentingan bank;
    4. Jika nasabah memberikan persetujuannya.


Lihat Ekonomi Selengkapnya

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA