Pembelian Minyak Goreng Curah Wajib Pakai PeduliLindungi, Pengawasannya? pada 10 Feb 2019, 08:30 WIB Diperbarui 10 Feb 2019, 08:30 WIB Spesialis reparasi kamera analog, Vessela Draganova sedang memperbaiki kamera di bengkel kecilnya di Sofia, Bulgaria, Selasa (24/4). Vessela Draganova telah memperbaiki kamera selama 48 tahun. (AFP PHOTO/Dimitar DILKOFF) Liputan6.com, Jakarta - Trend cetak foto analog rupanya belum sirna, meski era digital makin berkembang. Banyak orang yang masih bertahan menggunakan foto dengan kamera analog. Salah satu alasannya, karena masyarakat masih banyak yang merindukan sensasi mencetak foto dengan film. Meski prosesnya lama, tak menghalangi kecintaan mereka terhadap kamera analog. Hingga saat ini masih banyak tempat untuk mencetak foto analog di Indonesia, baik di Jakarta maupun di daerah. Berikut 6 tempat untuk cetak foto analog. Soup N Film Tempat cuci cetak film ini didirikan oleh penyanyi Tompi bersama empat temannya, yaitu Jerry Surya, Perry Margono, dan Erwin Kindangen. Lokasinya berada di Pasar Baru, Jakarta Pusat. Tompi membuka Soup N Film karena banyak orang yang merasa kesulitan untuk mencetak foto analog. Hipercat Lab Selain di Jakarta, tempat cuci cetak foto analog juga terdapat di Bandung, Jawa Barat. Tempat ini masih ramai dikunjungi masyarakat, termasuk generasi milenial. Menjual berbagai alat untuk cetak analog, toko tersebut tidak pernah sepi pembeli. (Lab) Rana Jakarta Tempat ini beralamat di Kemang Raya, Jakarta Selatan. Selain melayani jasa cetak foto analog, tempat ini juga menjual film dengan ukuran 35 mm. Berdasarkan akun Instagram-nya, proses cetak foto berwarna selama satu jam, sedangkan untuk cetak Hitam Putih (B&W) sekitar 1 sampai 2 minggu. Studio Cuci Cetak Foto Simpati di kawasan Palmerah, Jakarta. (Liputan6.com/Henry) Toko yang sudah didirikan sejak 1977 ini membuka jasa untuk mencetak foto menggunakan rol (klise). Toko ini berlokasi di Palmerah, Jakarta ini buka setiap hari. Di tempat ini juga tersedia studio foto yang sering digunakan untuk pembuatan pas foto. Hungry For Film Selain melayani cetak foto analog. Tempat ini juga menjual perlengkapan untuk cetak analog. Berbagai produk rol yang ditawarkan dengan harga Rp. 45.000 – Rp. 155.00. Toko yang beralamat di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Modern Foto Selain itu, ada juga Modern Photo di kawasan Ragunan, Jakarta Selatan. Selain melayani cetak foto digital, tempat ini juga melayani cetak foto analog, cuci scan foto. (Adinda Kurnia Islami) Saksikan video pilihan di bawah ini: Lanjutkan Membaca ↓
M Fierza dari Hipercatlab yang sedang melakukan proses cuci film
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Putri Puspita TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Berkembangnya kamera digital tak hanya mematikan kamera analog yang kini sudah tidak diproduksi tetapi juga memutus mata rantai usaha proses cuci cetak dari roll film. Perusahaan legendaris seperti Kodak dan Fuji Film pun semakin berkurang bahkan di Indonesia Kodak sudah tidak ada lagi. Hal ini tentu membuat pengusaha dari cuci cetak roll film harus mengambil produk secara impor. Seperti halnya Hipercatlab, sebuah lab film pertama yang menawarkan konsep order online. Hipercatlab didirkan oleh pencinta fotografi film sejak 2012 yang berada di Jalan Jendral Sudirman, Gang Madniah 12A/75, Garuda, Andir, Kota Bandung. "Dalam sehari kami bisa menerima kiriman roll film dan mencuci hingga 100 roll film. Kiriman yang datang tak hanya dari Bandung, justru kebanyakan dari Jakarta, bahkan dari luar pulau seperti Kalimantan dan Papua," ujar penggiat hobi kamera film yang bekerja di Hipercatlab, M Fierza, Senin (17/6/2019). Fierza mengatakan berkurangnya tempat cuci dan cetak foto kamera film saat ini membuat para penggiat hobi kamera film di Indonesia kekurangan tempat proses mencucinya. • Selamat Fani! Juara MasterChef Indonesia S5, Dipuji Buat Kolak Tak Biasa, Ini Kumpulan Komentar Juri Ia pun menunjukan bagaimana proses pencucian yang terlihat tidak mudah karena dilakukan secara manual. Mulai dari proses memasukan pita film ke dalam alat bernama tank developer, Ia harus memasukannya ke dalam kain berwarna hitam. Tentu saja proses ini tidak bisa dilihat dengan mata telanjang, hanya bermodalkan latihan Ia mengaku telah terbiasa melalukannya. Halaman selanjutnya arrow_forward
yang lainnya bisa diliat di flickr ane: http://www.flickr.com/photos/fajaryayat/ atau instagram http://instagram.com/hipercatlab SUMUR BANDUNG, AYOBANDUNG.COM -- Foto analog mulai banyak digandrungi masyarakat. Kamu mungkin suka melihat teman, kerabat, atau kenalanmu mengunggah hasil jepretannya menggunakan kamera analog di media sosial, atau mungkin kamu salah satunya pengguna kamera analog ini. Walaupun zaman semakin modern, dengan perkembangan gadget yang terus menerus melakukan pembaharuan. Smartphone, laptop, bahkan alat rumah tangga pun semakin canggih dari waktu ke waktu. Namun hal tersebut tidak menghentikan tren fotografi analog di kalangan generasi muda. Terutama di kalangan generasi milenial dan z, fotografi analog ini sudah menjadi semacam gaya hidup baru yang menentukan gaul atau tidaknya orang tersebut. Hal ini dikatakan oleh Ahong, praktisi fotografi analog sekaligus pemilik Indigo Film Lab Bandung. “Berbicara analog untuk sekarang sih sudah kayak fashion sebenarnya. Jadi mungkin terpengaruh media sosial, semacam gaya hidup baru,” ujarnya. Ahong mengatakan, para pengguna baru kamera analog tersebut bermacam-macam latar belakangnya, ada yang benar-benar menekuni fotografi, ada juga yang sekedar penasaran dan main-main saja. Tapi dia mengakui bahwa perkembangannya cukup pesat dan kompleks. Untuk siklus perkembangannya, Ahong yang memang sangat memerhatikan karena memiliki jasa cuci foto analog, terdapat tiga gelombang perkembangan fotografi analog ini. Gelombang pertama merupakan pengguna pertama yang menggunakan kamera analog zaman dahulu. Gelombang kedua adalah angkatan seumuran Ahong, yang menekuni fotografi analog sudah lumayan lama dan termasuk generasi milenial. Lalu para pengguna baru saat ini termasuk gelombang tiga, generasi z yang akrab dengan media sosial. Walaupun semakin banyak penggunanya, tidak bisa dipungkiri bahwa banyak pengguna yang hanya ikut-ikutan saja dan tidak terlalu mendalami fotografi analog ini. Menurut Ahong, fotografi analog tidak hanya sekedar jepret dan scan saja, namun banyak tahapan lain yang tidak banyak orang mengetahuinya. “Kalau yang sekarang sedang terjadi, saya bisa bilang analog setengah, karena terhenti sampai scan saja dan masuk ranah digital. Kalau benar-benar murni analog, itu tahapannya sampai dark room dan develop. Kayak proses di kamar gelap itu baru pure analog,” tuturnya. Page 2Ahong dan temannya, Jay, mendirikan Indigo Film Lab berangkat dari hobi dan keinginannya untuk mempertahankan eksistensi analog di kalangan generasi muda. Jasa cuci cetak film (develop) yang terletak di Pasar Cikapundung ini lahir dari sebuah komunitas bernama Kokoreh Analog. Karena mereka melihat jasa develop dan scan untuk film hitam putih sangat jarang dan prosesnya masih sangat lama, mereka pun awalnya mendirikan Indigo Film Lab ini dikhususkan untuk film hitam-putih. Namun seiring waktu, mereka pun menerima film color atau berwarna. “Tapi niatnya memang tidak cari keuntungan, cuma ingin sharing agar nyawa analog ini ada terus, meskipun susah tantangannya dan butuh proses sedangkan saat ini kan ibaratnya milenial, serba cepat, ekstra cepat,” ucap Ahong. Konsumen Indigo Film Lab pun beragam, dari mulai praktisi profesional, generasi tua atau senior, sampai pelanggan dari generasi muda. Bahkan ia pernah menerima permintaan dari anak berumur 5 tahun. Mereka biasanya mendapatkan sekitar 10 pelanggan tiap harinya, dan 50-60 pelanggan per minggu. Mereka juga rutin mengadakan sharing dan pelatihan mengenai fotografi analog. Karena basis mereka bukan mencari keuntungan, Ahong pun mengatakan tidak ada keuntungan yang besar dari bisnis ini, “Karena awalnya kami bukan ingin berbisnis yang menguntungkan, namun kami selalu all out service. Ada sih untung-untung sedikit, cuma untung berlebih dari operasionalnya itu hampir tidak ada.” Tentunya Ahong memiliki harapan untuk perkembangan fotografi analog ini. Dia menegaskan, dalam fotografi tidak ada yang dinamakan foto jelek atau bagus, namun karena analog tidak seperti foto digital yang mudah dihapus, penggunanya harus lebih menghargai proses. “Sebenarnya harapan saya tidak muluk, untuk pengguna analog coba lebih menghargai proses karena dari situ bisa belajar apa arti fotografi sesungguhnya. Kalau dibanding dengan digital ya mungkin lebih hati-hati lagi atau lebih peka lagi sama lingkungan sekitar,” tuturnya. (Fariza Rizky Ananda) Page 3SUMUR BANDUNG, AYOBANDUNG.COM -- Foto analog mulai banyak digandrungi masyarakat. Kamu mungkin suka melihat teman, kerabat, atau kenalanmu mengunggah hasil jepretannya menggunakan kamera analog di media sosial, atau mungkin kamu salah satunya pengguna kamera analog ini. Walaupun zaman semakin modern, dengan perkembangan gadget yang terus menerus melakukan pembaharuan. Smartphone, laptop, bahkan alat rumah tangga pun semakin canggih dari waktu ke waktu. Namun hal tersebut tidak menghentikan tren fotografi analog di kalangan generasi muda. Terutama di kalangan generasi milenial dan z, fotografi analog ini sudah menjadi semacam gaya hidup baru yang menentukan gaul atau tidaknya orang tersebut. Hal ini dikatakan oleh Ahong, praktisi fotografi analog sekaligus pemilik Indigo Film Lab Bandung. “Berbicara analog untuk sekarang sih sudah kayak fashion sebenarnya. Jadi mungkin terpengaruh media sosial, semacam gaya hidup baru,” ujarnya. Ahong mengatakan, para pengguna baru kamera analog tersebut bermacam-macam latar belakangnya, ada yang benar-benar menekuni fotografi, ada juga yang sekedar penasaran dan main-main saja. Tapi dia mengakui bahwa perkembangannya cukup pesat dan kompleks. Untuk siklus perkembangannya, Ahong yang memang sangat memerhatikan karena memiliki jasa cuci foto analog, terdapat tiga gelombang perkembangan fotografi analog ini. Gelombang pertama merupakan pengguna pertama yang menggunakan kamera analog zaman dahulu. Gelombang kedua adalah angkatan seumuran Ahong, yang menekuni fotografi analog sudah lumayan lama dan termasuk generasi milenial. Lalu para pengguna baru saat ini termasuk gelombang tiga, generasi z yang akrab dengan media sosial. Walaupun semakin banyak penggunanya, tidak bisa dipungkiri bahwa banyak pengguna yang hanya ikut-ikutan saja dan tidak terlalu mendalami fotografi analog ini. Menurut Ahong, fotografi analog tidak hanya sekedar jepret dan scan saja, namun banyak tahapan lain yang tidak banyak orang mengetahuinya. “Kalau yang sekarang sedang terjadi, saya bisa bilang analog setengah, karena terhenti sampai scan saja dan masuk ranah digital. Kalau benar-benar murni analog, itu tahapannya sampai dark room dan develop. Kayak proses di kamar gelap itu baru pure analog,” tuturnya. |