Kebangkitan Daulah Usmani diprakarsai oleh Muhammad I, kemenangan Timur Lenk atas Daulah Usmani meninggalkan luka yang sangat mendalam, ditambah perselisihan antar saudara di dalam keluarga Usmani. Berkat kecerdikan yang dikaruniakan oleh Allah Swt kepadanya, Muhammad I berhasil meredam perselisihan putra-putra Bayazid. Bisa dikatakan bahwa Muhammad I adalah pendiri Daulah Usmani periode kedua setelah membawa bangsanya berjuang kembali meraih kejayaannya. Dengan tekad yang kuat, Muhammad I mempersatukan seluruh keluarga dan saudara-saudaranya, akhirnya Daulah Usmani bangkit dan berjaya. Melampauai kejayaan yang diperoleh pendiri Daulah Usmani pada masa sebelumnya. Daulah Usmani sebagai daulah Islamiyah diakui kembali sebagai penguasa dunia dengan kemajuan peradaban dan ilmu pengetahuan. Di antara para penguasa Daulah Usmani generasi kedua yang membawa ke puncak kejayaan adalah : 1. Muhammad I (817-824 H/1403-1421 M). Muhammad I adalah putera bungsu dari Bayazid, setelah berkuasa menggantikan ayahnya ia mulai menyusun kekuatan kembali dan memulihkan keadaan Turki Usmani dari upaya memecah-belah yang dilakukan oleh Timur Lenk. Strategi Muhammad I adalah menjalin hubungan diplomatik dengan para penguasa Byzantium dan Venesia, dengan maksud agar kedua negeri ini tidak mengganggu kerja utamanya yaitu mendamaikan kekhalifahan Usmani. Berkat usahanya yang gigih, Muhammad I berhasil mengangkat citra Daulah Usmaniyah sehingga dapat bangkit kembali, yaitu dengan menyusun pemerintahan, memperkuat tentara dan memperbaiki kesejahteraan kehidupan masyarakat. Sultan Muhammad I adalah sosok yang sangat cinta kedamaian dan ilmu pengetahuan. Mencintai Fuqafa, termasuk alasan memindahkan ibu kota dari Adrianopel ke Busra. Karena Busra sering juga disebut sebagai kota para Fuqaha. Sultan Muhammad I hadir pada waktu yang tepat, di saat rakyat mendapat seorang penguasa yang sesuai dengan harapan, namun Allah Swt berkehendak lain. Pada SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM KELAS XI 39tahun 824 H/1421 M Sultan Muhammad I meninggal dunia di Kota Urnah dalam usia 43 tahun. 2. Murad II (824-855 H/1421-1451 M). MuradIImenggantikan ayahandanya Muhammad I pada usia yang masih 18 tahun.Dia dikenal sebagai penyair dan orang yang mencintai ulama. Cita-cita Sultan Murad II adalah melanjutkan usaha perjuangan Muhammad I. Prioritas utama perjuangannya adalah merangkul kembali daerah-daerah yang terlepas dari Daulah Usmani sebelumnya, yaitu daerah Asia Kecil, Soloniki, Albania, Falakh, dan Hongaria. Sultan Murad II membuat istana penguasa bernuansa akademis, hal tersebut dilakukan agar kegiatan keilmuan tetap berkembang pada zamannya. Dia mengirimkan sejumlah uang untuk kesejahteraan penduduk Makkah, Madinah dan Baitul Maqdis sebanyak 3.500 dinar setiap tahunnya. Sultan Murad II menghembuskan nafas terakhir pada tanggal 16 Muharram 855 H. Bertepatan dengan tanggal 18 Februari 1451 M di Andrianopel menjelang usia 47, dan sesuai wasiatnya kemudian dimakamkan pada hari Jum`at di samping masjid Jami` Muradiyah di Bursa. 3. Muhammad II Al-Fatih (855-884 H/1451-1481 M). Al-Fatih adalah gelar kebanggaan beliau karena berhasil menaklukan Konstantinopel, Muhammad Al-Fatih atau Abu Al-Khairat diangkat menjadi pemimpin Daulah Usmaniyah ketika itu baru berumur 22 tahun. Muhammad Al-Fatih berusaha membangkitkan kembali sejarah umat Islam sampai dapat menaklukkan Konstantinopel sebagai ibu kota Byzantium. Sejak beliau, Muhammad A-Fatih sudah dididik oleh ulama-ulama rabbani. Di antara gurunya adalah Muhammad bin Hamzah al-Dimasyqi al-Rumi, beliau lebih populer dengan sebutan Syekh Syamsuddin (792-863 H/1389 M-1459 M) di antara gurunya lagi adalah Syekh Ahmad bin Ismail al-Kurani. Berdasarkan hadis Nabi Muhammad Saw; “Pada suatu saat kota Konstantinopel pasti akan ditaklukan oleh umat Islam dan sebaik-baiknya pemimpin adalah yang menaklukannya dan sebaik baik pasukan adalah pasukannya”. Konstantinopel merupakan kotayang sangat penting dan belum bisa dikuasai penguasa Islam sebelumnya. Konstantinopel merupakan salah satu kota terpenting di dunia. Kota ini dibangun pada kisaran tahun 330 M oleh Kaisar Byzantium yaitu Constantine 1. Memiliki letak yang sangat strategis, sehingga dikatakan “andaikata dunia ini sebagai kerajaan, maka Konstantinopel akan cocok untuk menjadi ibu kota kerajaan itu”. Muhammad Al-Fatih berhasil menguasai Konstantinopel dengan perencanaan dan persiapan yang matang dan juga strategi yang baik.Kota Konstantinopel jatuh ke pangkuan umat Islam pada 20 Jumadil Ula 857 H atau 29 Mei 1453 M. Setelah memasuki Konstantinopel disana terdapat sebuah gereja Hagia Sofia (Aya Sofia) Al-Fatih memasuki gereja tersebut yang digunakan sebagai tempat perlindungan terakhir para pendeta, Rahib dan masyarakat. Al-Fatih dengan kebaikan akhlaknya memberikan sikap bijaksananya dan perlindungan kepada seluruh penduduk Konstantinopel. Setelah salib-salib, berhala dan gambar-gambar diturunkan, Aya Sofia dibersihkan dan kemudian dijadikan masjid bagi umat Islam. Akhirnya kota Konstantinopel dijadikan sebagai ibu kota kerajaan Turki Usmani dan namanya diganti menjadi Islambul atau kota Islam yang kemudian dikenal dengan nama Istambul. 4. Bayazid II (884-918 H/1481-1512 M). Menggantikan kedudukan ayahnya, Bayazid II penguasa yang tidak terlalu kuat. Pada masanya terjadi perselisihan dengan saudaranya yaitu Jem yang diikuti juga oleh pengikut Jem. Ketidakharmonisan ini sedikit banyak berpengaruh terhadap kondisi masyarakat yang sebelumnya sangat dinamis. Bayazid II sangat perhatian terhadap pembangunan dan sarana umum, Takaya, Zawiyah (tempat berkhalwat para sufi). Kesejahteraan para guru/pengajar juga sangat diperhatikan. Sultan dikenal sebagai seorang pemimpin yang mencintai penduduk dua kota suci Makkah dan Madinah. Pada tanggal 18 Shafar 918 H atau 25 April 1512 M Sultan Bayazid II menyerahkan estafet kepemimpinannya kepada Sultan Salim I. Sultan Bayazid II meninggal dalam perjalanan ke Daimutika, jenazahnya kemudian dibawa ke Istambul dan dikuburkan di dekat Masjid Jami` yang dibangunnya. 5. Salim I (1512-1520 M/918-926H). Selama menjabat sebagai pemimpin tertinggi, Salim I membuat wajah baru dalam pemerintahan Daulah Usmani. Dimasa pemerintahannya banyak kebijakan yang dilakukan dalam bidang kemiliteran. Salim I merupakan salah satu penguasa Usmani yang paling berhasil dan dihormati, giat, dan pekerja keras. Meski masa kekuasaannya terbilang singkat, para sejarawan sepakat bahwa Salim I telah SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM KELAS XI 41mempersiapkan Daulah Usmani untuk mencapai titik puncaknya pada masa putra dan penerusnya, Sulaiman Al-Qanuni. Salim I juga seorang pujangga yang menulis puisi dalam bahasa Turki dan Persia menggunakan nama Mahlas Selimi, yang kumpulan puisi Persianya masih utuh hingga hari ini Dalam salah satu puisinya, dia menulis, "Sebuah permadani cukup besar untuk diduduki oleh dua orang sufi, tetapi dunia tidak cukup besar untuk dua orang raja.” 6. Sulaiman Al-Qanuni (927-974 H/1520-1566 M) Sulaiman lahir pada tanggal 6 November 1469 M di Trabzon. Sulaiman I atau Sulaiman Al-Qanuni naik tahta pada saat Turki Usmani mengalami puncak kejayaan, peristiwa penting di masa kepemimpinannya, ialah upaya penyempurnaan undang-undang Turki Usmani. Ia tidak hanya merupakan pemimpin militer yang besar, manusia dari pedang, seperti ayah dan kakeknya, merupakan manusia dari pena. Sulaiman Al-Qanunimerupakan legislator ulung, berdiri di depan mata rakyatnya sebagai penguasa berjiwa besar dan eksponen keadilan yang murah hati. Sulaiman I diberi gelar Al-Qanuni atau the Magnificent “pembuat undang-undang”, karena jasanya meletakkan dasar-dasar hukum bagi Daulah Usmani dan tentunya yang paling lama memerintah. Kitab undang-undang itu diberi nama Multaqa’ al Abhrar/Multaqul Abhur (muara segala samudera). Ketika hukum Qanun mencapai bentuk akhirnya, undang-undang tersebut dikenal sebagai QanunOsmani. Undang-undang tersebut diterapkan selama lebih dari tiga ratus tahun. Sulaiman Al-Qanuni melakukan pembangunan yang fenomenal. Pembangunan Masjid Sulaiman, 81 masjid jami’, 52 masjid kecil, 55 madrasah, 7 asrama pelajar, 5 buah takiyah (tempat memberi makan fakir miskin), 7 jembatan, 33 istana, 18 pesanggrahan, 5 museum dan 33 pemandian umum. Dalam sebuah dokumen yang dibuat tahun 1526 terdaftar 40 kelompok seniman dengan lebih dari 600 anggota. Seniman yang bekerja di istana meliputi pelukis, penjilid buku, penjahit pakaian dari bulu, pengrajin perhiasan, dan penempa emas. Istanbul menjelma menjadi pusat kesenian visual, musik, penulisan serta filasafat. Inilah periode yang paling kreatif dalam sejarah Daulah Usmani. Daulah Usmaniyah pada saat itu telah menjadi menjadi kekuatan yang disegani di dunia. Penaklukan yang dilakukan Sulaiman A-Qanuni menyebabkan kesultanan menguasai kota-kota besar Islam seperti Mekah, Madinah, Yerusalem, Damaskus, dan Baghdad. Sebagian besar di Balkan serta sebagian besar Afrika Utara. Bagaimanapun juga, pemerintahan pada masa Sulaiman Al-Qanuni merupakan representasi puncak kejayaan politik Daulah Usmani dan puncak keemasan pemerintahan Usmani yang menjangkau sampai tiga benua. Sultan Sulaiman Al-Qanuni wafat pada tanggal 5 September 1566 M. Hari itu adalah hari yang penuh duka cita, umat Islam merasakan kesedihan dan kehilangan yang sangat mendalam. Bayezid II (Turki Utsmaniyah: بايزيد ثانى Bāyezīd-i s̱ānī, Turki: II. Bayezid atau II. Beyazıt; lahir, 3 Desember 1447, wafat, 26 Mei 1512) adalah penguasa Utsmani kedelapan yang berkuasa pada 1481–1512. Dia adalah anak tertua dari Mehmed II.[3] Bayezid dikenal akan kebijakannya memberikan suaka kepada umat Yahudi dan Muslim yang diusir dari Andalusia setelah Penaklukan Granada. Pada masa kekuasaannya, Utsmani terlibat perang dengan Mamluk dan Venesia, juga menyaksikan kebangkitan Wangsa Safawiyah di Persia yang menjadi pesaing berat Utsmani selama beberapa abad berikutnya.
Masjid Bayazid II, Istanbul Bayezid lahir pada 1447 dan merupakan putra tertua ayahnya, Sultan Mehmed II. Pada saat Mehmed mangkat pada 3 Mei 1481, Şehzade (Pangeran) Bayezid memerintah daerah Sivas, Tokat, dan Amasya, sedangkan Şehzade Cem yang merupakan adik tiri Bayezid memerintah Karaman dan Konya. Mehmed tidak menunjuk salah seorang dari kedua putranya ini sebagai putra mahkota, sehingga perang perebutan takhta segera meletus sepeninggal Mehmed. Wazir agung (perdana menteri) saat itu, Karamanlı Mehmed Pasya, berusaha membuat agar Cem dapat tiba lebih dulu di ibu kota dan dinobatkan sebagai sultan yang baru. Namun Bayezid sudah memantapkan jaringan politik dengan para pejabat tinggi dan pasukan Yanisari saat itu. Mengetahui rencana Mehmed Pasya, pasukan Yanisari yang lebih mendukung Bayezid atas Cem melakukan pemberontakan dan membunuh Mehmed Pasya. Kerusuhan meluas di Konstantinopel, sedangkan posisi sultan dan wazir agung kosong. Keadaan yang mengkhawatirkan ini mendorong mantan wazir agung Ishak Pasya untuk turun tangan, memohon agar Bayezid dapat segera tiba di ibu kota. Setelah itu Ishak Pasya mengangkat Şehzade Korkud yang berusia sebelas tahun sebagai wali sampai ayahnya tiba di ibu kota. Bayezid tiba di Konstantinopel pada 21 Mei 1481 dan dinobatkan sebagai Sultan Bayezid II. Enam hari kemudian, Cem menduduki kota İnegöl dengan kekuatan 4.000 pasukan. Bayezid mengutus salah satu wazir (menteri). Ayas Pasya, untuk memimpin pasukan dan menghukum mati Cem. Setelah berhasil mengalahkan pasukan Bayezid pada 28 Mei, Cem menyatakan dirinya sebagai Sultan Anatolia. Cem mengajukan perundingan dengan Bayezid agar membagi kekaisaran menjadi dua dengan Bayezid menguasai bagian Eropa. Usulan tersebut ditolak Bayezid dengan peryataan, "antara penguasa, tidak ada hubungan keluarga,"[4] yang kemudian menggalang kekuatan menuju Bursa, pusat pemerintahan Cem. Pertempuran terjadi di Yenişehir pada 19 Juni 1481 dan pihak Bayezid memenangkan pertempuran, menjadikan Cem dan keluarganya mengungsi ke Mamluk Mesir. Saat Cem berusaha meminta bantuan Ordo Kesatria Santo Yohanes untuk menggulingkan Bayezid, pemimpin mereka justru melakukan perjanjian damai dengan Bayezid dan Cem menjadi tahanan mereka. Pada akhirnya, Cem menjadi tahanan Paus Innosensius VIII. Demi menjaga agar Cem tetap berada dalam tahanan, Bayezid memberikan biaya jaminan kepada Paus sebesar 45.000 dukat per tahun. Sebagian besar biaya terkait Kapel Sistina dibayar dengan dana dari Utsmani.[5] Saat akhirnya Cem meninggal di Italia pada 1495, Bayezid menyatakan masa berkabung selama tiga hari, tetapi jasadnya baru dikirim ke tanah Utsmani empat tahun kemudian demi mendapat uang tebusan besar dari Bayezid. Jenazahnya kemudian dikebumikan di Bursa.[4] Utsmani maupun Mamluk adalah negara besar di kawasan Timur Tengah saat itu. Utsmani menguasai Balkan dan Anatolia, sedangkan Mamluk menguasai Mesir, Syam, dan Hijaz, dan keduanya sama-sama berusaha menguasai jalur perdagangan rempah. Di sisi lain, Utsmani sendiri ingin menguasai kota Makkah dan Madinah yang berada di wilayah kekuasaan Mamluk.[6] Kedua negara ini dipisahkan oleh negara-negara bangsa Turki (Turkmen) seperti Karaman, Aq Qoyunlu, Dulkadir, dan Ramazanid, yang mereka ini kerap berganti dari memihak satu pihak ke pihak lain. Perang dimulai saat Bozkurt (juga dikenal dengan nama "Alaüddevle"), Adipati Dulkadir, menyerang kota Malatya yang termasuk wilayah Mamluk dengan dukungan Bayezid. Mamluk melakukan serangan balik dan meskipun mengalami kekalahan dalam perang pertama, pihak Alaüddevle dan Utsmani dapat dipukul mundur.[7] Pada 1485, pasukan Utsmani di bawah pimpinan Karagöz Mehmed Pasya yang kebanyakan merupakan pasukan provinsi melancarkan serangan darat dan laut kepada Mamluk dan berhasil menundukkan suku Turgudlu dan Vasak yang memberontak dan merebut beberapa benteng di Kilikia, wilayah pesisir selatan Anatolia.[6] Namun mereka dikalahkan di luar Adana pada 9 Februari 1486 dan meski telah mendapat bantuan pasukan pimpinan Hersekzade Ahmed Pasya, Mamluk dapat kembali mengalahkan Utsmani pada 15 Maret pada tahun yang sama. Kilikia sendiri kembali dikuasai Mamluk.[8][9] Pada 1487, Utsmani mengerahkan pasukan besar di bawah pimpinan wazir agung Koca Davud Pasya dan didukung pasukan Dulkadir, tetapi Davud menghindari untuk menyerang Mamluk dan lebih memusatkan perhatian untuk menundukkan pemberontakan suku Turgudlu dan Vasak agar bagian belakang mereka tetap aman.[8] Tahun 1488, pasukan Utsmani melancarkan serangan skala besar dari darat dan laut. Armada laut dipimpin Hersekzade Ahmed Pasya, sedangkan angkatan darat dipimpin Hadım Ali Pasya, Gubernur Rumelia. Utsmani meminta Venesia agar bisa menggunakan pantai timur Siprus untuk memasok pasukan mereka dari laut. Tidak hanya menolak, pihak Venesia bahkan mengerahkan pasukan ke Siprus untuk mencegah armada Utsmani mendarat di sana. Mamluk juga meminta bantuan pihak Italia, tetapi juga ditolak.[8][10] Dua pasukan bertemu di dekat Adana pada 26 Agustus 1488. Pihak Utsmani membuat kemajuan di sayap kiri, tetapi sayap kanan mereka dipukul mundur. Setelah pasukan Karaman melarikan diri dari medan perang, pihak Utsmani dipaksa menyerah, menandai kemenangan Mamluk.[11][12] Pasukan Utsmani mundur ke Karaman dan menderita lebih banyak korban jiwa karena serangan dari suku-suku Turkmen. Hersekzade Ahmed Pasya berhasil meraih kemenangan, tetapi Kilikia tetap aman di tangan Mamluk. Di sisi lain, sekutu-sekutu Utsmani dari bangsa Turkmen mulai beralih keberpihakan kepada Mamluk, termasuk Alaüddevle.[13][11][14] Pada 1490, Mamluk melancarkan serangan menuju Karaman dan mengepung Kayseri yang terletak di Anatolia tengah. Namun setelah Hersekzade Ahmed Pasya memimpin pasukan bantuan, pengepungan itu berakhir dan pasukan Mamluk mundur ke Kilikia. Pihak Mamluk mengalami kesulitan keuangan, sementara Utsmani sendiri berjaga-jaga akan serangan pasukan Kristen dari Eropa, ditambah menyebarnya kelaparan dan wabah, menjadikan kedua negara ini pada akhirnya mengadakan perjanjian damai pada Mei 1491. Batas wilayah antar kedua negara ini pada dasarnya juga tidak banyak berubah.[11][6][15][13] Secara garis besar, pasukan Utsmani mampu menandingi Mamluk di laut, tetapi pasukan darat Mamluk mampu membendung serangan Utsmani berkat serangkaian benteng mereka di Anatolia dan Syam, juga negara-negara Turki yang menjadi batas antara Utsmani dan Mamluk.[6] Utsmani unggul dalam kekuatan militer, tetapi dilemahkan oleh perselisihan internal dan kurangnya komando terpusat dari Bayezid yang masih bertahan di Konstantinopel.[14] Pada 1487, Wangsa Nasri yang merupakan penguasa Keamiran Granada, satu-satunya negara Muslim yang berdiri di Iberia saat itu, meminta pertolongan Utsmani dan Mamluk dalam melawan Spanyol.[16][17] Rencananya pasukan Utsmani akan berlabuh di Valencia dan bergabung dengan 200.000 Mudéjar melawan pihak Katolik Spanyol.[16] Namun pihak Utsmani sendiri sangat sibuk berperang dengan Mamluk sehingga tidak dapat memberikan bantuan secara maksimal.[16][18] Meski demikian, Bayezid mengirim laksamananya, Kemal Reis. Ini adalah kali pertama Utsmani terlibat dalam masalah politik di kawasan Mediterania barat.[19] Armada Kemal Reis yang berbasis di Bône, Bougie, dan Jerba aktif dalam menyerbu pantai Spanyol.[16] Meski begitu, Keamiran Granada pada akhirnya jatuh pada 1492.[16] Kemal Reis juga mengangkut banyak pengungsi Muslim dari Spanyol ke Afrika Utara.[19] Pada 1493, dia mengungsikan sekitar 6.000 Muslim keluar dari Iberia.[20] Kemal Reis sendiri diperintahkan kembali pada 1495.[16] Para pengungsi Spanyol yang terdiri dari umat Yahudi dan Muslim ini diterima oleh pihak Utsmani. Di antara mereka adalah seorang Yahudi bernama Moses Hamon yang menjadi tabib terkenal di istana Utsmani.[21] Bayezid mengeluarkan maklumat di seluruh kekaisaran bahwa kedatangan para pengungsi diterima dan mereka dijadikan warga negara Utsmani. Bayezid mengkritik tindakan Raja Aragon Fernando II dan Ratu Kastila Isabel I yang mengusir dari Spanyol orang-orang yang berbakat dan berguna bagi negara. Di hadapan para pejabatnya, Bayezid berujar, "Kalian berusaha mengatakan kalau Fernando adalah pemimpin yang bijak. Dia memiskinkan negaranya sendiri dan memakmurkan negaraku!"[22] Lukisan Pertempuran Zonchio Pada masa Bayezid, Utsmani kembali berhadapan dengan Republik Venesia untuk memperebutkan kepulauan di Laut Aegea, Ionia, dan Adriatik. Januari 1499, Kemal Reis berlayar dari Konstantinopel dengan kekuatan 10 galai dan 4 kapal jenis lain dan mengambil alih kepemimpinan dari armada Utsmani yang lebih besar pada Juli 1499 untuk mengobarkan perang skala besar dengan Venesia. Armada Utsmani sendiri terdiri dari 67 galai, 20 galiut (galai yang lebih kecil), dan 200 kapal kecil. Agustus 1499, Kemal Reis berhasil mengalahkan armada Venesia di bawah pimpinan Antonio Grimani pada Pertempuran Zonchio (juga dikenal dengan Pertempuran Sapienza dan Pertempuran Lepanto pertama). Itu adalah pertempuran laut pertama yang menggunakan meriam dalam kapal. Perang ini terjadi dalam empat hari terpisah, yakni tanggal 12, 20, 22, dan 25 Agustus 1499. Setelah mencapai Laut Ionia, Kemal Reis memukul mundur pasukan Venesia yang terdiri dari 47 galai, 17 galiut, dan 100 kapal kecil pimpinan Antonio Grimani. Antonio ditahan pada 29 September tetapi kemudian dibebaskan. 10 galai Venesia hasil rampasan perang diberikan kepada Kemal Reis. Desember 1499, pihak Venesia menyerang Lepanto yang berada di pesisir utara Teluk Korintus dengan harapan dapat mengambil kembali wilayah mereka di kawasan Laut Ionia. Kemal Reis berlayar dari Kefalonia dan mengambil alih kembali Lepanto. Dia berdiam di Lepanto pada bulan April hingga Mei 1500 dan kapal-kapalnya diperbaiki 15.000 perajin Utsmani dari daerah tersebut. Dari sini, Kemal Reis berlayar dan menyerang pelabuhan Venesia di Kerkyra (Korfu) dan kembali mengalahkan Venesia. Kemal Reis juga menyerang benteng Modon (Methoni) dari laut dan menduduki kota tersebut. Pasukan Utsmani dengan cepat mengambil alih wilayah kekuasaan Venesia di Yunani, termasuk Modon dan Koroni yang keduanya terletak di Peloponnesa barat daya. Doge (pemimpin/adipati) Venesia saat itu, Agostino Barbarigo, meminta bantuan Paus, juga Raja Fernando dan Ratu Isabel. Pada 24 Desember, pasukan gabungan Spanyol-Venesia di bawah kepemimpinan Gonzalo Fernández de Córdoba menduduki Kefalonia, menahan laju serangan Utsmani ke wilayah timur Venesia untuk sementara. Serangan Utsmani ke Dalmasia memaksa Venesia untuk mengadakan perjanjian dengan Raja Hongaria Vladislaus II dan Paus Aleksander VI untuk membayar 140.000 dukat setiap tahun kepada Kerajaan Hongaria demi mendapat bantuan perlindungan di kawasan Kroasia selatan, termasuk mempertahankan Dalmasia. Perjanjian ditandatangani pada 13 Mei 1501 setelah perundingan alot.[23] Pada 1501, pasukan Utsmani di bawah Firuz Bey menduduki Durrës yang berada di kawasan Venesia Albania.[24] Pihak Utsmani dan Venesia sepakat melakukan gencatan senjata pada akhir 1502.[23] Januari 1503, Venesia menandatangani perjanjian lain dengan Vladislaus II, yang telah membayar 124.000 dukat sesuai perjanjian terdahulu, untuk membayar 30.000 dukat per tahun dengan tujuan yang sama.[23] Pada 1503, pasukan kavaleri Utsmani menyerang wilayah Venesia di Italia utara, memaksa Venesia mengakui pencapaian Utsmani dan mengakhiri perang. Di masa kekuasaannya, Sultan Bayezid II menetapkan beberapa kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan ayah dan pendahulunya, Sultan Mehmed II. Dipengaruhi para ulama dan para pejabat tinggi, Bayezid mengembalikan hak kepemilikan yang diperuntukkan untuk kepentingan agama dan amal yang diambil pada masa Mehmed untuk kepentingan negara. Bayezid juga membatalkan beberapa kebijakan ayahnya yang pro-Eropa, seperti menghilangkan gambar-gambar karya pelukis Italia dari istana. Dikatakan bahwa Bayezid adalah seorang Muslim yang saleh dan sangat ketat dalam menjalankan perintah Al Qur'an dan syariat Islam. Pada masanya, pendapatan negara diabdikan untuk pembangunan berbagai bangunan umum seperti masjid, sekolah, rumah sakit, dan jembatan. Dia juga menjadi pendukung para ahli hukum, ilmuwan, dan pujangga, baik di dalam maupun di luar negeri. Menurut duta Venesia, Bayezid menaruh ketertarikan pada ilmu filsafat dan kosmografi.[25] Tak seperti sultan lainnya, Bayezid bekerja keras untuk memastikan kelancaran politik domestik, yang membuatnya mendapatkan julukan "Yang Adil". Sebagaimana tradisi, Bayezid menugaskan putra-putranya untuk memerintah suatu daerah tertentu, sebagai bekal para şehzade (pangeran) bila kelak naik takhta. Ahmed memerintah Amasya, Korkud memerintah Antalya, dan Selim memerintah Trebizond. Tradisi menyatakan bahwa şehzade yang tiba lebih dulu di ibu kota setelah sultan yang lama mangkat akan menjadi sultan yang baru, sehingga jauh dekatnya penugasan yang diterima para pangeran sangat berpengaruh. Pangeran yang memiliki wilayah penugasan paling dekat dengan ibu kota juga ditafsirkan sebagai pangeran pilihan sultan yang menjadi pewaris takhtanya kelak. Di antara ketiga bersaudara putra Bayezid ini, Ahmed yang memiliki wilayah penugasan paling dekat dengan Konstantinopel. Meski putra Selim, Suleiman, ditugaskan memerintah wilayah Bolu yang dekat dengan ibu kota, dia kemudian dipindah di Kaffa, Krimea, karena penolakan dari Şehzade Ahmed. Hal ini kemudian ditafsirkan oleh Selim sebagai bentuk dukungan Bayezid terhadap Ahmed sebagai calon pewaris. Selim kemudian meminta wilayah penugasan di Rumelia, istilah untuk merujuk pada wilayah Utsmani di Eropa. Meski awalnya menolak dengan alasan bahwa kawasan tersebut tidak diperuntukkan untuk para pangeran, atas dukungan Meñli I Giray, Khan Krimea saat itu, Selim ditugaskan Bayezid memerintah di Semendire (termasuk kawasan Serbia). Meski memang masuk kawasan Rumelia, jarak Semendire ke Konstantinopel terbilang jauh sehingga Selim menolak dan justru tetap berdiam di ibu kota. Bayezid memandang penolakan Selim ini sebagai bentuk pemberontakan dan dia mengalahkan pasukan Selim di pertempuran pada Agustus 1511. Selim kemudian mengungsi ke Krimea.[26] Kebangkitan Syi'ahDi sisi lain, Bayezid menyaksikan kebangkitan Dinasti Safawiyah di Iran dan sekitarnya, menggeser kepemimpinan negara Aq Qoyunlu yang semula menjadi penguasa di kawasan tersebut. Pendiri dinasti ini, Ismail I, adalah putra Martha (Halima Begum), putri Uzun Hasan dan Theodora. Uzun Hasan sendiri adalah pemimpin Aq Qoyunlu yang berkuasa pada 1453 sampai 1478, sedangkan Theodora adalah putri Yohanes (Ioannes) IV Komnenos, Kaisar Trebizond. Pada masa Ismail, Islam Sunni mulai tersingkir dari Persia karena para pemeluknya dipaksa berpindah ke Syi'ah, diusir, atau dihukum mati. Daniel W. Brown menyatakan bahwa Ismail adalah "penguasa Syi'ah paling berhasil dan tidak toleran setelah jatuhnya Fatimiyah." Kebenciannya pada Sunni dikenal tanpa batas dan siksaannya atas mereka sangat kejam.[27] Bayezid memberikan nasihat secara kebapakan kepada Ismail untuk menghentikan kebijakan anti-Sunni yang dia lakukan, tetapi Ismail mengabaikannya dan melanjutkan penyebaran Syi'ah dengan pedang.[28][29] Alasan penyebaran Syiah secara paksa oleh Ismail di antaranya untuk memberikan jati diri yang khas bagi Safawiyah untuk membedakan mereka dengan negara-negara tetangga mereka yang merupakan negara-negara militer Turki-Sunni seperti Utsmani.[30][31][32] Gerakan Ismail tidak luput dari perhatian pihak Utsmani, tetapi Bayezid yang semakin menua dan sakit-sakitan membuat kendali negara juga melemah, sehingga Ismail berhasil mendapat dukungan dari beberapa bawahan Utsmani, di antaranya adalah Şahkulu (Syah-qulu) yang merupakan anggota suku Turkmen Tekkelu.[33] Saat putra Bayezid, Şehzade Korkud, pergi dari Antalya ke Manisa agar lebih dekat dengan ibu kota, Şahkulu menyerang karavan Sang Pangeran dan mengambil harta bendanya, juga menyerang kota-kota dan membunuh beberapa pejabat pemerintahan di sana. Saat Şahkulu menyerang Alaşehir yang terletak di kawasan Anatolia barat, pasukan Utsmani di bawah pimpinan Karagöz Ahmed Pasya menyerang pasukan Şahkulu, tetapi Şahkulu dapat mengalahkan pasukan Utsmani dan bahkan membunuh Ahmed Pasya. Menyerang karavan pangeran, mengalahkan pasukan, dan membunuh para pejabat tinggi Utsmani meningkatkan ketenaran Şahkulu. Pasukan kedua segera dikirim dengan dipimpin oleh Şehzade Ahmed dengan wazir agung Hadım Ali Pasya. Mereka dapat memojokkan Şahkulu di dekat Altıntaş (Kütahya). Namun Şehzade Ahmed justru meninggalkan medan perang demi mengamankan kedudukannya sebagai pewaris, merebakkan kebingungan di kalangan para prajurit. Pendukung utama Ahmed, Hadım Ali Pasya meninggal saat melawan pemberontakan Şahkulu. Şahkulu sendiri juga meninggal dalam peristiwa ini.[34][35] Meski para pendukung Şahkulu belum dikalahkan sepenuhnya, mereka telah kehilangan pemimpin. Mereka yang paling setia kemudian pergi ke Persia, tetapi di tengah jalan, mereka secara tidak sengaja membunuh seorang tokoh terkemuka. Bukannya mendapat sambutan, Ismail justru menghukum mati mereka atas kejadian tersebut. Turun takhtaSementara itu, mendengar bahwa Bayezid telah mengalahkan pasukan Selim, Ahmed menyatakan dirinya sebagai Sultan Anatolia dan mulai melancarkan serangan kepada keponakannya (yang ayahnya telah meninggal) dan menduduki Konya. Meski sudah diperintahkan Bayezid untuk kembali ke wilayah penugasannya, Ahmed menolak dan bahkan berusaha menduduki ibu kota, tetapi gagal lantaran dihadang para prajurit yang menginginkan sultan yang lebih cakap. Selim kembali dari Krimea dan, dengan dukungan dari pasukan Yanisari, mendesak Bayezid turun takhta pada 25 April 1512.[36][37] Bayezid dikirim ke Demotika untuk menghabiskan masa pensiunnya di sana, tetapi keadaannya sudah tua dan sakit-sakitan saat itu. Sebelum tiba di tempat tujuan, Bayezid meninggal di Büyükçekmece pada 26 Mei 1512. Ayah – Sultan Mehmed II Han, penguasa ketujuh Utsmaniyah. Mendapat julukan 'Sang Penakluk' (Fatih) karena penaklukannya atas Konstantinopel pada 1453, mengakhiri riwayat Kekaisaran Romawi Timur. Ibu – Emine Gülbahar Valide Hatun (sekitar 1432 - 1492), dari keluarga non-Muslim Albania.[38][39][40][41][42][43][44][45][46] Pada masa Sultan Bayezid II, keluarga sultan tinggal di Istana Lama, sedangkan pusat pemerintahan berada di Istana Topkapı. Pada suatu waktu, Gülbahar menulis surat kepada Bayezid yang berisikan keluhan lantaran putranya tersebut tidak mengunjunginya selama empat puluh hari.[2][47] Dia dikebumikan di komplek Masjid Fatih. Sebagian pendapat menyatakan bahwa ibu kandung Sultan Bayezid II adalah Sittişah Mükrime Hatun, putri Suleiman Bey, Adipati Dulkadir.[48][49] Pasangan
Putra
Putri
|