BERPADU dengan iringan gamelan jawa, para penari memasuki arena. Berlemah-gemulai mereka berjalan berurutan. Tiba di tengah ruang, mereka sejenak merendah tubuh sampai posisi pinggul hampir sejengkal dari lantai. Sesaat kemudian mereka merundukkan badan sembari mengambil ancang-ancang untuk menyatukan telapak tangan tepat. Mereka menghormat kepada semua yang hadir. Bukan bermaksud untuk menyembah. Sebab itu hanya sebagai penghormatan. Saat menghormat, kesepuluh jemari mengarah ke atas. Itu simbol dari pernyataan sembah kepada Sang Pencipta. Masing-masing dari mereka tidak berbeda dalam busana, rias, maupun tata rambut. Para penari mengenakan dodot atau basahan. Penari juga menggunakan gelung rambut dan berbagai aksesori perhiasan. Mirip seperti busana pengantin adat Jawa. Mereka menarikan tari Bedaya Purwakanthi dalam acara Gathering Purwakanthi di Balai Sarwono Jakarta pada 31 Mei 2017. Tarian itu sekaligus menjadi salah satu persembahan dalam acara Gathering Purwakanti Menjaga Tradisi. Purwakanthi ialah komunitas para pencinta tari Jawa gaya Surakarta di Jakarta. Sebutan bedaya berasal dari bahasa Sanskerta, yakni bedhaya yang berarti menari berjajar bersama. Jumlah penari ganjil, bisa 5, 7, 9, bahkan 13. Kesemuanya wanita. Bedaya ialah bentuk tarian klasik Jawa yang dikembangkan di kalangan keraton-keraton ahli waris takhta Mataram. Bedaya ditarikan secara gemulai dalam tempo yang lambat. Tentu dengan iringan gamelan meski terkadang hanya beberapa alat dari gamelan yang dibunyikan saat gerak tertentu. Tarian bedaya sering kali merupakan hasil inspirasi mengenai suatu peristiwa tertentu. Bedaya merupakan tarian klasik Jawa dengan jumlah penari ganjil. Biasanya sembilan penari meski terdapat beberapa bedaya dengan tujuh penari yang dikembangkan di kalangan keraton ahli waris takhta sejak zaman Kerajaan Mataram. Merunut asal mulanya, istilah bedaya merujuk pada kelompok penari putri yang dibedakan dengan penari putra. “Tumbuhnya bedaya, bedhayan, atau bedoyo, itu sebenarnya perkembangan dari drama tari. Drama tari itu ada kelompok putri dan kelompok putra. Kelompok putra posisinya menjadi prajurit. Yang putri biasa disebut bedhayan,” terang dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta Daryono. “Kemudian nama bedaya itu digunakan untuk menunjuk garap tari, sebenarnya,” lanjutnya. Memang terdapat beberapa tarian bedaya yang disakralkan dan dikeramatkan. Bahkan beberapa bedaya mensyaratkan penarinya masih perawan, tidak sedang dalam masa menstruasi, dan didahului semacam puasa sebagai bagian dari prasyaratnya. Tarian bedaya jenis itu hanya ditarikan dalam saat tertentu. Tidak diperkenankan ditarikan dalam setiap momen. Seperti Bedaya Ketawang yang ditarikan saat perayaan jumenengan dalem (pelantikan) Sunan Surakarta. Tarian ini menceritakan pertemuan Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul serta perjanjian keduanya untuk saling menjaga kedua kerajaan. Ada pula Bedaya Anglirmendung untuk mengenang pertempuran yang dipimpin Sri Mangkunegara I melawan pasukan gabungan Surakarta dan VOC di Ponorogo pada 1752. Itulah sebabnya jadi garapan baru yang memakai pola tari bedaya disebut bedaya atau bedhayan untuk membedakan dengan tari bedaya yang bernilai sakral dan telah melalui proses panjang. “Dulu ada yang memisahkan. Kalau itu produk istana dan itu masa lalu masih melekat itu bisa disebut sebagai bedaya, tapi kalau diluar bedhayan,” sambung Daryono. Semangat kebersamaan Sesuai dengan khas bedaya yang punya cerita tentang sesuatu, Bedaya Purwakanthi bercerita soal semangat kebersamaan para anggota komunitas itu. Sesuai dengan semangat komunitas yang menjunjung tinggi kebersamaan. “Penginnya terus bersama-sama,” ujar Ketua Purwakanthi Yoesi Ariani. Tembang yang dipilih adalah Ladrang Iling-Iling karya Ki Nartosabdo. “Itu sangat mengandung filosofi bahwa kita harus eling lan waspodo (wawas dan awas),” terang guru tari Martini Brenda. “Menari itu kan eling, kesadaran. Kalau tidak sadar ya joget sendiri. Enggak sadar dengan dirinya,” lanjut wanita yang menjadi pengajar tari di Purwakanthi. Gerak tarian yang lembut dan mengalun bukan diperoleh dari hasil hitungan yang disepakati para penari. Ketika mereka tengah menari, justru yang paling berperan adalah rasa gerak. Bagi Purwakanthi, kebersamaan tidak hanya dalam gerak tari, melainkan dalam semangat, keinginan, dan harapan. “Arahnya semua di sini adalah kempel, joged (tari) yo kempel, duwe kekarepan yo kempel. Kempel itu menyatu. Harus mematahkan egonya. Kalau menari orang lima ya rasanya harus satu, tidak lima. Mengapa harus kita rasa satu? Itulah menyambungkan rasa,” lanjut Martini. Para penari menyatukan seluruh energi positif sekaligus menolak energi negatif. Mereka bersama berdoa dan membersihkan diri lahir batin sekaligus menyatukan rasa untuk membangun sinergi harmoni guna persembahan tentang kebersamaan dalam gerak. “Karena menari itu sama dengan ibadah. Kita berhubungan langsung dengan Tuhan,” pungkas Martini. (M-2)
|