Suku Aceh keturunan apa?

Mengenal Lebih Jauh Keturunan Orang Aceh

7 Juli 2010 17:44 |
Diperbarui: 26 Juni 2015 15:01

Aceh

[caption id="" align="alignleft" width="268" caption="Ilustrasi: anekabarang.com"][/caption]

KETURUNAN atau sukee dalam bahasa Aceh dikenal sejak zaman Sultan Ala'uddin Ri'ayat Syah yang diperkirakan pada tahun 1537 Masehi. Sultan Ala'uddin juga dikenal dengan nama dan sebutan lain, yakni Al-Kahhar atau Al-Kahhas setelah mangkat menjadi sultan.

Terdapat empat kaum atau dalam bahasa Aceh disebut kawom, untuk mengenal hal tersebut masyarakat sering mengingatnya dengan lantunan baik itu melalui syair dan sajak yakni sebagai berikut: Sukee Lhee Reutoh ban aneuk drang; Sukee Ja Sandang jra haleuba; Sukee Ja Batee na bacut-bacut; Sukee Imum Peuet nyang gok-gok donya;

Bila diartikan menjadi "Kaum Tiga Ratus sebagai biji drang, sebangsa kacang tanah yang tumbuh setelah musin memotong padi; segala jerami mati lalu tumbuh sendiri pohon drang dengan subur. Kaum Ja Sandang sebagai jeura haleba (biji kelabat) warna kuning. Biji ini digunakan untuk campuran menghilangkan bau hanyir. Biji tersebut lebih besar sedikit dari biji drang. Kaum Ja Batee atau disebut Tok Batee bacut-bacut, yakni hanya sedikit. Kaum Imum Peuet, mereka yang mengguncang dunia maksudnya berpengaruh besar dan berperanan penting dalam pemerintahan."

Syair yang sering dikenal dalam masyarakat tersebut, kini juga populer dinyanyikan oleh seniman asal Aceh, Rafly dalam albumnya Surga Firdaus dengan judul Sukee 300. Jadi, secara tidak langsung banyak juga orang Aceh yang lupa dengan keberadaan kawom dan suku yang berada di Aceh. Sehingga tidak mengherankan, jika sekarang orang akan bertanya-tanya dengan sukee, bahasa apa itu serta apa maksudnya.

Asal Usul Asal muasal sebutan Lhee Reutoh atau "Tiga Ratus", menurut cerita suatu ketika terjadi sengketa hebat antara golongan rakyat asli sekitar tiga ratus orang, dengan golongan pendatang Hindu sekitar empat ratus. Persengketaan hampir saja disusul dengan bentrok senjata antara dua golongan tersebut yang dipicu oleh kasus perzinahan. Namun, ditengah kecamuk tersebut, hadirlah penengah untuk memberikan jalan keluar dari persengketaan yang berlangsung.

Mereka yang bersalah akhirnya menerima keputusan, sehingga kesalahan mereka dimaafkan dan kedua pihak kemudian mengikat silaturrahmi dengan akrab. Cerita ini memang tidak terjamin kebenarannya, karena ada pendapat yang menyatakan bahwa sebutan lhee reutoh dimaksudkan 300 keluarga atau 300 pria yang sanggup berperang, bahwa yang dimaksud disini adalah persekutuan (konfederasi) zaman dulu dan pasti terjadi dalam masa kesukaran atau perjuangan bersama.

Ja Sandang atau Tok Sandang. ja atau to yang berarti nenek moyang, kedua nama tersebut juga disebut Eumpee (dalam bahasa Melayu: empu). Sedangkan Cut berarti kecil, dipakai untuk awal nama pria atau wanita terkemuka. Sandang yang sebenarnya berarti membawa sesuatu di bawah lengan yang diikat pada tali yang melingkar bahu, nama ini masih melekat pada seorang pria saudara lelaki dan banta dari Teuku Nek yang sekarang disebut Teuku Sandang.

Selain ada cerita turun temurun di kawasang Mukim XXII, wilayah suku pribumi Manteue atau sering disebut sekarang daerah Lampanah yang menceritakan bahwa ketika Sulatan Al-Kahhar berangkat ke Pidie untuk suatu pengamanan, maka melewati Mukim XXII Lampanah dan mengalami kehausan, tiba-tiba saja dia bertemu dengan orang penyandang nira (ie jok). Orang tersebut menawarkan air niranya kepada Sultan dan menyambutnya dengan begitu rasa lega terutama setelah selesai memimunnya.

Sultan pun berterima kasih dan mengundang orang tersebut ke Dalam (sebutan Istana, -pen) di Banda Aceh untuk memberikan dia penghargaan sebagai tanda balas jasa atas kebaikan yang diberikannya kepada Sultan. Namun, orang tersebut pun bertanya, bagaimana bisa dia masuk ke Dalam dan dikenal oleh para pengawal istana. Sultan pun memberi petunjuk kepada orang tersebut dengan menyandang bambu (pajok) nira serta memberikan tanda sehelai daun kelapa di kepalanya. Akhir cerita setiap kali Ja Sandang pergi ke Istana, lambat laun diangkat oleh Sultan menjadi kadi dengan gelar Maliku'l Adil (Malikon Ade) karena dipercaya sebagai orang baik.

Ja Batee atau Tok Batee, menurut cerita ketika Sultan Al-Kahhar merencanakan pembangunann sebuah istana batu, maka dikeluarkan perintah supaya golongan pendatang dari luar daerah ini bergotong royong untuk mencari dan membawa batu-batu untuk pembangunan istana. Tiba-tiba pada suatu hari golongan ini saat mengumpulkan batu, Sultan memberikan seruan bahwa pencarian batu bisa dihentikan dan sudah cukup (tok batee). Sejak itulah golongan tersebut dinamakan kaum Tok Batee.

Halaman Selanjutnya


Video

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA