Siapa yang menjadi subjek dalam perselisihan hubungan industrial?

Hubungan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja tau Serikat Pekerja (SP) dalam praktik Hubungan Industrial mungkni saja timbul perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan karena adanya perselisihan-perselisihan seperti: perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahan, serta perselisihan pemutusan hubungan kerja. Dengan adanya perselisihan-perselisihan tersebut, munculah beragam proses penyelesaian persengketaan. Yaitu mediasi, Litigasi, Arbitrase, Konsiliasi, Konseling, Negosiasi, Fasilitasi, Case Appraisal, Mini-Trial, dan Private-Judging. Adanya Arbitrase sebagai salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa bagi penyelesaian perselisihan hubungan industri, sesuai dengan Undang-undang No.39 tahun 1999. Perspektif lembaga arbitrase dimasa depan akan semakin berkembang khususnya di bidang sengketa perdagangan, meskipun dapat terjadi perkembangan yang lain jika ternyata badan peradilan Indonesia dapat mengatasi berbagai kendala sebagai diuraikan dalam 4 (empat) kerangka tujuan metode ADR di atas. Keunggulan Lembaga Arbitrase dengan lembaga dading hanya terletak pada 2 (dua) aspek, yaitu : 1) Aspek kerahasiaan dalam proses, 2) aspek keahlian dari arbiter.

Berdasarkan Undang-undang No.30 tahun 1999 pasal 1, Lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut dapat memberikan pendapat yang mengikat suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.

Dalam sebuah perusahaan, baik itu pengusaha maupun pekerja pada dasarnya memiliki kepentingan atas kelangsungan usaha dan keberhasilan perusahaan. Meskipun keduanya memiliki kepentingan terhadap keberhasilan perusahaan, tidak dapat dipungkiri konflik/perselisihan masih sering terjadi antara pengusaha dan pekerja.

Perselisihan dalam hubungan industrial merupakan hal yang kerap terjadi dalam dunia. Perselisihan hubungan industrial menurut UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) ialah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh.

Pasal 2 UU PPHI mengatur empat jenis perselisihan hubungan industrial, yaitu perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Lalu apa perbedaan dari keempat jenis peselisihan kerja tersebut?

  1. Perselisihan hak ialah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Hak yang dimaksud dalam perselisihan ini adalah hak normatif, yang sudah ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama atau peraturan perundang-undangan. Perselisihan ini dapat terjadi ketika misalnya pekerja menolak gaji yang diberikan oleh perusahaan karena masing-masing pihak mempunyai definisi atas gaji yang berbeda dari perjanjian kerja yang telah dibuat.
  2. Perselisihan kepentingan Adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Misalnya adalah jika perusahaan mengubah isi dari perjanjian kerja tanpa adanya kesepakatan dari karyawan.
  3. Perselisihan pemutusan hubungan kerja Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak. Kasus yang sering terjadi adalah ketika perusahaan memutuskan hubungan kerja secara sepihak dengan pekerjanya dan pekerja tersebut tidak setuju dengan keputusan perusahaan tersebut.
  4. Perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan Perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan adalah perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan.

Untuk menyelesaian perselisihan di atas, terdapat beberapa cara yang dapat digunakan yaitu:

Yang dimaksud dengan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana yang dimaksud dalam pasal ini meliputi pengurus pada tingkat perusahaan, tingkat kabupaten/kota, tingkat Provinsi dan Pusat baik serikat pekerja/serikat buruh, anggota federasi, maupun konfederasi.

Berdasarkan Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang di bentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

Dengan demikian pihak yang berselisih dalam perselisihan hubungan industrial adalah pengusaha, gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh yang penyelesaiannya merupakan wilayah hukum atau kompetensi absolut pengadilan hubungan industrial

Ditulis oleh: Dr. Abdul Rachmad Budiono, S.H., M.H.Dosen Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Email:

PENDAHULUAN

Istilah hubungan industrial terdapat dalam tiga undang-undang, yaitu (1) Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan, (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan (3) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Perselisihan yang timbul karena adanya hubungan industrial ini disebut perselisihan hubungan industrial (lihat pasal 1 angka 16 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997, pasal 1 angka 22 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, dan pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004). Undang-undang yang disebutkan pertama dinyatakan tidak berlaku oleh undang-undang yang disebutkan kedua (pasal 192 angka 13).

Menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sesungguhnya di antara tiga unsur tersebut, yaitu (1) pengusaha, (2) pekerja/buruh, dan (3) pemerintah, mungkin saja terjadi perselisihan. Perselisihan bisa saja terjadi antara pengusaha dengan buruh, pengusaha dengan pemerintah, dan buruh dengan pemerintah. Dari tiga kemungkinan ini ternyata hanya perselisihan antara pengusaha dengan buruh saja yang merupakan perselisihan hubungan industrial. Dua perselisihan lainnya bukan merupakan perselisihan hubungan industrial. Hal ini didasarkan pada pengertian perselisihan hubungan industrial menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 (pasal 1 angka 22) juncto Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (pasal 1 angka 1). Menurut dua undang-undang ini perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Berdasarkan rumusan ini, khusus untuk perselisihan hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja, dapat ditarik unsur-unsur pembentuk perselisihan hubungan industrial, yaitu:

1. Formalitas                : perbedaan pendapat yang mengakibatkanpertentangan;

2. Subjek hukum         : pengusaha atau gabungan pengusaha di satu pihak dengan  buruh atau serikat buruh di pihak lain;

3. Objek                          : perusahaan. perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan
perselisihan antar serikat buruh dalam satu.

Apabila tiga unsur pembentuk itu muncul, maka muncullah perselisihan hubungan industrial, khusus perselisihan hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja. Ada perbedaan mengenai perselisihan antar serikat buruh dalam satu perusahaan. Unsur pembentuk perselisihan hubungan industrial khusus perselisihan antar serikat buruh dalam satu perusahaan adalah (berdasarkan pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004):

  1. Formalitas              : perselisihan;
  2. Subjek hukum       : serikat buruh di satu pihak dengan serikat buruh lainnya di pihak lain dalam satu perusahaan;
  3. Objek                        : tidak ada persesuaian paham mengenai keanggotaan,

pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatburuhan.

Karena ada perbedaan ini sesungguhnya menurut struktur ketatabahasaan rumusan pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tidak tepat. Hal ini karena berdasarkan rumusan tersebut seolah-olah seluruh perselisihan hubungan industrial bersubjek hukum pengusaha atau gabungan pengusaha dengan buruh atau serikat buruh, padahal kenyataannya ada perselisihan hubungan industrial yang bersubjek hukum serikat buruh dengan serikat buruh lain dalam satu perusahaan. Berdasarkan penafsiran sistematis, terutama dengan mengaitkan pasal 1 angka 1 dengan pasal 1 angka 5, diperoleh pengertian bahwa dalam perselisihan hubungan industrial ada dua kemungkinan subjek hukum, yaitu (1) antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan buruh atau serikat buruh, dan (2) antara serikat buruh dengan serikat buruh lain dalam satu perusahaan.

Di masa lalu, berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, istilah yang digunakan adalah perselisihan perburuhan. Menurut undang-undang ini perselisihan perburuhan adalah pertentangan antara majikan atau perkumpulan majikan dengan serikat buruh atau gabungan serikat buruh berhubung dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan (pasal 1 ayat (1) huruf c). Berdasarkan rumusan ini buruh perseorangan tidak dapat tampil sebagai pihak dalam perselisihan perburuhan. Hal ini juga ditegaskan dalam Memori Penjelasan undang-undang tersebut, yaitu bahwa undang-undang ini hanya meliputi perselisihan antara majikan dan serikat buruh; perselisihan antara majikan dan buruh perseorangan atau segerombolan buruh tidak diliput oleh undang-undang ini (angka 5 huruf a).

Di samping itu, kalau dilihat latar belakang kelahiran undang-undang tersebut memang yang dimaksudkan hanya perselisihan antara majikan dengan serikat buruh.[1]  Pada tahun lima puluhan, sebagaimana diterangkan dalam “Memori Penjelasan” undang-undang tersebut, perselisihan perburuhan yang benar dan penting yang disertai pemogokan-pemogokan mulai timbul setelah pengakuan kedaulatan, karena kaum buruh dan rakyat pada umumnya dengan penuh kesadaran akan harga pribadinya mulai membelokkan perhatiannya ke arah perjuangan di lapangan sosial-ekonomi.

Berdasarkan pengertian perselisihan perburuhan yang terdapat dalam pasal 1 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957, dalam berbagai kepustakaan, perselisihan perburuhan dibedakan menjadi dua, yaitu (1) perselisihan hak atau rechtsgeschillen, dan (2) perselisihan kepentingan atau belangengeschillen. D Berdasarkan hal ini ternyata di masa lalu pun ada perselisihan hak maupun perselisihan kepentingan. Jika dibandingkan dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004, perbedaannya terletak pada penegasannya. Di masa lalu penegasan adanya dua perselisihan itu terdapat di dalam doktrin, sedangkan dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 dua hal tersebut tercantum secara tersurat (eksplisit). Di samping itu, mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja diatur dalam undang-undang tersendiri, yaitu Undang-undang Nomor 14 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1964 tidak mengenal perselisihan antar serikat buruh dalam satu perusahaan. […bersambung]

[download full paper]

[1] Abdul Rachmad Budiono, Hukum Perburuhan di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995, hlm. 156.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA