Hubungan Agama dan NegaraPosted at 19:22h in Kolom Direktur by admin 0 Comments 37 Likes Share HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA Abstrak: Modernisasi politik di Indonesia dalam tingkat tertentu telah menimbulkan sekularisasi politik. Namun di negara yang berideologi Pancasila ini, proses itu tidak akan mengarah kepada negara sekuler. Hubungan antara agama dan negara adalah hubungan persinggungan, tidak sepenuhnya terintegrasi dan tidak pula sepenuhnya terpisah. Di era reformasi ini, modernisasi politik yang demokratisberimplikasi kepada munculnya partai-partai politik baru, termasuk partai-partai Islam. Di sisi lain, ekspresi kebebasan dalam kasus-kasus tertentu telah menimbulkan perselisihan dan konflik yang bisa mengganggu harmoni sosial dan integrasi bangsa. Dalam konteks inilah agama dapat memberikan kontribusi yang positif sebagai faktor integratif yang menghargai kemajemukan masyarakat dan bukan sebagai faktor disintegratif yang mendukung eksklusifisme dalam masyarakat. Kata kunci: modernisasi politik, sekularisasi, agama dan kebijakan publik, agama dan partisipasi politik, agama dan integrasi nasional. Abstract: Political Modernization in Indonesia in some extent has brought about political secularization. Yet in the Pancasila state, the process will not lead to a secular state. The relationship between religion and the state are intersectional relationships, neither fully integrated nor completely separate. In the reform era, political modernization and democratization has resulted the emergence of new political parties, including Islamic parties. On the other hand, the freedom of expression in certain cases has led to disputes and conflicts that could disrupt social harmony and national integration. In this context, religion can provide a positive contribution as an integrative factor that promotes social diversity, and not as a disintegrative factor that supports social exclusivism. Keywords: political modernization, secularization, religion and public policy, religion,religion and political participation, religion and national integration. Pendahuluan Proses modernisasi merupakan proses alamiah sejalan dengan naluri manusia yang selalu berkembang dan berubah yang umumnya menuju ke arah kemajuan. Proses modernisasi yang sudah berlangsung sejak abad pencerahan ini ditandai dengan dominannya rasionalisme dan ilmu pengetahuan serta industrialisasi. Meski terdapat variasi tentang definisi kemoderenan ini, paling tidak ada beberapa kriteria yang dikemukakan oleh para sarjana, yakni: tingkat pertumbuhan keberlanjutan (self-sustaining growth) dalam ekonomi, tingkat partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan negara, penyebaran norma-norma sekuler-rasional dalam kebudayaan, dan peningkatan mobilitas dalam masyarakat.[1] Modernisasi ini hampir mencakup semua aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara, termasuk bidang politik, sehingga dalam pembangunan politik pun disebut modernisasi politik. Modernisasi politik merupakan perubahan politik secara total, baik secara struktural maupun kultural, meski proses perubahan ini mengambil bentuk yang bervariasi, tidak sama antara satu negara dengan negara lainnya. Perubahan politik ini berpengaruh kepada (atau dipengaruhi oleh) proses modernisasi, yakni sekularisasi, rasionalisasi, komersialisasi, industrialisasi, mobilitas sosial yang cepat, restratifikasi; peningkatan materi dalam standar hidup, penyebaran melek huruf, pendidikan dan media; persatuan nasional, dan ekstensi keterlibatan dan partisipasi rakyat dalam politik. Secara historis tahapan tentang perubahan ini dapat dibedakan antara tradisional, transisional dan modern, walaupun pentahapan seperti ini juga tidak terlepas dari kritik. Pada dasarnya perbedaan antara sistem tradisional dan modern dapat dikatakan, jika sistem politik tradisional itu terutama bersifat askriptif dan partikularistik, maka sistem modern terutama bersifat orientasi pada prestasi (achievement-oriented) dan universalistik.[2] Dalam kenyataannya, modernisasi politik itu tidak selamanya menuju kepada kondisi yang positif, melainkan bisa juga menuju ke kondisi negatif, meski halini dalam kasus-kasus tertentu bisa jadi sangat subyektif. Dalam konteks integrasi nasional, misalnya, modernisasi politik di negara-negara Eropa Timur pada awal 1990-an justru melahirkan perpecahan nasional yang berakibat terbagi-baginya sebuah negara menjadi beberapa negara. Di beberapa negara Muslim modernisasi politik melahirkan proses sekularisasi yang kuat seperti terjadi di Indonesia pada masa-masa awal Orde Baru, atau bahkan menjadikan sekularisme sebagai prinsip kehidupan bernegara, seperti terjadi di Turki yang dibangun oleh Kamal Attaturk. Namun kemudian kecenderungan ini terkoresksi dengan munculnya kebangkitan agama dan perlawanan (counter) yang kuat terhadap sekularisasi yanga bisa menghilangkan identitas suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, modernisasi politik ini sebenarnya sudah dicanangkan sejak awal kemerdekaan, sebagaimana dapat dilihat dalam perdebatan-perdebatan pada rapat-rapat persiapan kemerdekaan. Namun hal ini mengalami pasang surut sejalan dengan kecenderungan politik pemerintah.Modernisasi politik secara demokratis baru terjadi pada era reformasi ini, terutama melalui amandemen UUD 1945 yang melahirkan pembatasan kekuasaan presiden, penyelenggaraan pemilihan umum yang bebas, pembangunan sistem multi partai, jaminan kebebasan yang lebih besar untuk berekspresi dan sebagainya. Hanya saja, sebagian dari ekspresi kebebasan itu melahirkan sejumlah aspirasi dan sikap yangpotensial dapat mengancam harmoni sosial dan integrasi nasional, termasuk yang berkaitan dengan aspirasi dan ekspresi keagamaan. Hubungan Agama dan Negara Dalam praktik kehidupan kenegaraan masa kini, hubungan antara agama dan negara dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk, yakni integrated (penyatuan antara agama dan negara), intersectional (persinggungan antara agama dan negara), dan sekularistik (pemisahan antara agama dan negara.Bentuk hubungan antara agama dan negara di negara-negara Barat dianggap sudah selesai dengan sekularismenya atau pemisahan antara agama dan negara. Paham ini menurut The Encyclopedia of Religion adalah sebuah ideologi, dimana para pendukungnya dengan sadar mengecam segala bentuk supernaturalisme dan lembaga yang dikhususkan untuk itu, dengan mendukung prinsip-prinsip non-agama atau anti-agama sebagai dasar bagi moralitas pribadi dan organisasi sosial.[3] Pemisahan agama dan negara tersebut memerlukan proses yang disebut sekularisasi, yang pengertiannya cukup bervariasi, termasuk pengertian yang sudah ditinjau kembali. Menurut Peter L. Berger berarti sebuah proses dimana sektor-sektor kehidupan dalam masyarakat dan budaya dilepaskan dari dominasi lembaga-lembaga dan simbol-simbol keagamaan.[4]Proses sekularisasi yang berimplikasi pada marjinalisasi agama ini bisa berbeda antara satu negara dengan negara lainnya, yang terutama dipengaruhi oleh latar belakang budaya dan sejarah masing-masing masyarakatnya. Negara-negara yang mendasarkan diri pada sekularisme memang telah melakukan pemisahan ini, meski bentuk pemisahan itu bervariasi. Penerapan sekularisme secara ketat terdapat di Perancis dan Amerika Serikat, sementara di negara-negara Eropaselain Perancis penerapannya tidak terlalu ketat, sehingga keterlibatan negara dalam urusan agama dalamhal-hal tertentu masih sangat jelas, seperti hari libur agama yang dijadikan sebagai libur nasional, pendidikan agama di sekolah, pendanaan negara untuk agama, keberadaan partai agama, pajak gereja dan sebagainya.Bahkan sebagaimana dikatakan Alfred Stepan kini masih ada sejumlah negara Eropa yang tetap mengakui secara resmi lembaga gereja (established church) dalam kehidupan bernegara, seperti Inggris, Yunani dan negara-negara Skandinavia (Norwegia, Denmark, Finlandia, dan Swedia).[5] Sekularisasi politik juga terjadi dalam konteks modernisasi politik di negara-negara berkembang, termasuk di negera-negara Muslim. Dalam kaitan dengan halini Donald Eugen Smith beberapa dekade lalu mengatakan, bahwa sebenarnya sekularisasi politik dan pelibatan agama dalam politik ini berjalan secara simultan. Namun menurut dia, sekularisasi ini betul-betul merupakan proses yang lebih mendasar, dan hal ini lambat laut akan melenyapkan fenomena partai politik dan ideologi keagamaan.[6] Sekularisasi politik dalam hal-hal tertentu dan tingkat tertentu memang terjadi di negara-negara Muslim, seperti pembentukan lembaga-lembaga negara modern sebagai perwujudan sistem demokrasi yang menggantikan lembaga-lembaga negara berdasarkan keagamaan, pembentukan partai-partai politik, penyelenggaraan pemilihan umum, dan sebagainya. Bahkan proses sekularisasi secara terbatas juga terjadi di negara-negara agama (religious states), yang mengintegrasikan agama dan negara seperti Arab Saudi dan Iran, dengan melegislasi aturan-aturan operasional tertentu yang awalnya berasal dari negara-negara Barat sekuler, seperti peraturan hukum tentang perdagangan internasional, imigrasi, dan sebagainya. Namun dalam kenyataannya, umat Islam tetap memperhatikan faktor agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, meski negara itu telah melakukan modernisasi dan sekularisasi politik bersamaan dengan proses globalisasi.Hal ini sebenarnya tidak terlepas dari karakteristik ajaran Islam itu sendiri, yang tidak hanya merupakan sistem teologis, tetapi juga cara hidup yang berisi standar etika moral dan norma-norma dalam kehidupan masyarakat dan negara. Islam tidak membedakan sepenuhnya antara hal-hal sakral dan profan, sehingga Muslim yang taat menolak pemisahan antara agama dan negara. Oleh karena itu, sekularisasi yang terjadi di negara-negara Muslim umumnya tidak sampai menghilangkan orientasi keagamaan masyarakat dan negara. Bahkan adopsi sistem sekuler, seperti sistem demokrasi dan penegakan hak asasi manusia, dalam banyak hal dilakukan dengan pemberian legitimasi keagamaan melalui ijtihad dan penyesuaian-penyesuaian tertentu.[7] Tanpa legitimasi ini, ide-ide atau sistem sekuler itu tidak akan mendapat dukungan sepenuhnya dari warga yang mayoritas beragama Islam. Ijtihad ini merupakan bagian dari modernisasi pemahaman keagamaan (modernisme Islam) agar ajaran-ajaran Islam tetap kompatibel dengan perkembangan masyarakat modern tanpa menyalahi ajaran-ajaran Islam yang bersifat mendasar dan absolut (qathi). Menguatnya kembali orientasi keagamaan dan penolakan terhadap sekularisme telah menjadi fenomena di seluruh dunia Islam sejak akhir dasawarsa 1970-an, terutama karena semakin tingginya tingkat pendidikan umat Islam sehingga memunculkan pemahaman dan kesadaran mereka tentang karakteristik ajaran Islam yang memang tidak memisahkan antara agama dan negara. Bahkan sejak dasawarsa 1980-an, kebangkitan agama dalam bentuk desekularisasi politik dan sosial cukup nampak di negara ini sebagai tandingan (counter) terhadap proses sekularisasi politik tersebut.[8] Kecenderungan desekularisasi ini ternyata tidak hanya terjadi dunia Islam, tetapi juga di banyak negara di dunia, termasuk di Amerika Serikat, karena manusia tetap membutuhkan nilai-nilai spiritual, meski mereka hidup dalam masyarakat modern yang menjunjung rasionalitas. Karena kenyataan itulah sosiolog terkemuka, Peter L. Berger pada akhir dasawarsa 1990-an menolak teori secularization, dan sebaliknya mengemukakan teori desecularization of the world. Hal ini terjadi karena dalam kenyataannya proses sekularisasi itu menimbulkan reaksi dalam bentuk gerakan-gerakan tandingan sekularisasi yang kuat (poweful movements of counter-secularization).[9] Jadi teori ini merupakan revisi terhadap teorinya sendiri tentang sekularisasi yang dikemukakan pada akhir dasawarsa 1960-an.[10] Hanya saja, perlu dibedakan antara desekularasi dalam konteks negara (politik) dan desekulariasi dalam kehidupan masyarakat. Di negara-negara Barat fenomena desekularisasi ini umumnya terjadi dalam konteks kehidupan masyarakat, sementara negara masih tetap mendukung sekularisme, walaupun sebagian warga menuntut penghapusan sekularisme. Desekularisasi juga terjadi di Indonesia pada akhir 1980-an sebagai counter terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru yang pada masa-masa awal mendukung sekularisasi sejalan dengan proses modernisasi dan pembangunan. Sekularsasi politik itu dilakukan dengan tema de-ideologisasi politik, terutama dengan menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas yang berimplikasi pada pelarangan simbol-simbol agama dalam politik. Meski terjadi proses sekularasi politik yang sangat kuat pada saat itu, dalam masyarakat tidak terjadi sekularisasi yang berarti, karena umat Islam tetap memiliki orientasi keagamaan dan melakukan sosialisai ajaran-ajaran agama secara kultural. Desekularisasi itu antara lain ditandai dengan revisi kebijakan pemerintah dengan mengakomodasi sebagian aspirasi umat Islam, seperti UU Peradilan Agama No. 7 tahun 1989, UU No. 2 Sistem Pendidikan Nasional tahun 1989 yang mengakomodasi pendidikan agama dan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang mengakomodasi beroperasinya bank dengan sistem bagi hasil (perbankan syariah). Berakhirnya masa Orde Baru dan munculnya Era Reformasi pada 1998, yang mendukung kebebasan dan demokrasi, dijadikan sebagai momentum bagi tokoh Islam untuk mempromosikan kembali politik Islam dengan mendirikan partai-partai Islam atau berbasis massa ormas Islam. Namun belajar dari sejarah perjuangan masa lalu untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara seperti yang terjadi dalam persiapan kemerdekaan pada 1945 dan dalam Konstituante pada 1956-1959, mereka tidak mengulangi lagi perjuangan serupa. Memang di awal-awal era reformasi sempat muncul gagasan dan perdebatan dalam konteks amandermen UUD 1945 untuk memasukkan semangat Piagama Jakarta atau pelaksanaan syariat Islam dalam konstitusi, tetapi gagasan atau usulan itu tidak bisa diterima oleh MPR. Meski demikian, hampir semua kelompok Islam mendukung modernisasi politik dan demokratisasi, dan hanya sebagian kecil yang menolaknya.[11] Dengan demikian, baik dalam konsep sistem ketatanegaraan maupun realitas pada saat ini hubungan antara agama dan negara di Indonesia tetap dalam bentuk yang kedua (intersectional) atau hubungan persinggungan antara agama dan negara, yang berarti tidak sepenuhnya terintegrasi dan tidak pula sepenuhnya terpisah. Dalam hubungan semacam ini terdapat aspek-aspek keagamaan yang masuk dalam negara dan ada pula aspek-aspek kenegaraan yang masuk dalam atau memerlukan legitimasi agama. Oleh karena itu, seringkali dikatakan bahwa Indonesia bukanlah negara agama dan bukan pula negara sekuler. Negara Indonesia adalah negara yang secara kelembagaan berbentuk sekuler tetapi secara filosofis mengakui eksistensi agama dalam kehidupan bernegara. Bahkan agama sebagai dasar negara secara eksplisit disebutkan dalam pasal 29 ayat 1, yakni Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan sila pertama Pancasila dan pasal 29 inilah sejumlah ahli hukum tata negara, seperti Ismail Suny, mengatakan bahwa sistem ketetanegaraan Indonesia mengakui tiga bentuk kedualatan, yakni kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum dan kedaulatan Tuhan.[12] Namun hanya dua kedaulatan yang diakui resmi dan diwujudkan dalam bentuk lembaga negara, yakni kedaulatan rakyat dalam bentuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan kedaulatan hukum dalam bentuk Mahkamah Konstitusi (MK). Pengakuaan akan eksistensi agama dalam kehidupan bernegara diwujudkan terutama dalam bentuk pengakuan resmi lembaga-lembaga keagamaan tertentu dalam negara serta adopsi nilai-nilai dan norma-norma agama dalam sistem nasional dan pengambilan kebijakan publik, seperti legislasi hukum-hukum agama (Islam) tertentu menjadi hukum nasional. Di samping itu, negara juga mengakui eksistensi partai-partai politik dan organisasi-organisasi massa yang berbasis agama. Hanya saja, kini terdapat perkembangan yang menarik dalam orientasi politik warga yang sekaligus menggabungkan antara proses sekularisasi dan desekularisasi. Di satu sisi, terjadi desekularisasi politik dengan munculnya kembali partai-partai agama (Islam) dan akomodasi nilai-nilai dan norma-norma agama dalam pengambilan kebijakan publik. Namun di sisi lain terjadi perubahan orientasi politik warga santri yang tidak otomatis mendukung partai-partai Islam tetapi justru banyak mendukung partai-partai nasionalis. Agama dan Kebijakan Publik Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa negara mengakui eksistenasi lembaga-lembaga keagamaan dalam negara dan masyarakat. Hanya saja, terdapat perbedaan visi dan aspirasi di kalangan warga tentang sejauh mana keterlibatan agama itu dalam negara.[13] Dalam konteks ini, orientasi warga negara tentang keagamaan dalam konteks kehidupan negara cukup bervariasi, yang secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi tiga bentuk. Pertama agama sebagai ideologi, yang didukung oleh mereka yang ingin menjadikan agama sebagai ideologi negara, yang manifestasinya berbentuk pelaksanaan ajaran agama (syariah dalam konteks Islam) secara formal sebagai hukum positif. Orientasi kelompok ini pada agama lebih besar daripada orientasinya pada wawasan kebangsaan, sehingga ia akan bisa menimbulkan dilema jika dihadapkan pada realitas bangsa yang majemuk. Apalagi secara umum kelompok ini memiliki sikap yang absolutis dan eksklusif dalam beragama, di samping kadang-kadang melakukan politisasi agama untuk mendukung cita-cita mereka: Kedua, agama sebagai sumber etika-moral (akhlak), yang didukung oleh mereka yang memiliki orientasi kebangsaan lebih besar daripada orientasi keagamaan. Orientasi ini hanya mendukung pelaksanaan etika-moral agama (religio-ethics), dan menolak formalisasi agama dalam konteks kehidupan bernegara. Posisi agama sebagai sumber pembentukan etika-moral ini dimaksudkan agar bangsa ini memiliki landasan filosofis yang jelas tentang etika-moral, tidak hanya berdasarkan kriteria baik dan buruk yang kadang-kadang bisa sangat subyektif atau sangat temporal.Di satu sisi orientasi ini membawa hal yang positif, karena dapat menghilangkan ketegangan antara kelompok Islam dengan kelompok-kelompok lain serta sangat kondusif bagi terwujudnya integrasi bangsa yang mejemuk ini. Namun di sisi lain, orientasi ini tidak cukup akomodatif terhadap aspirasi umat agama tertentu yang berupaya sedapat mungkin melaksanakan ajaran agama sepenuhnya. Ketiga, agama sebagai sub-ideologi atau sebagai sumber ideologi jika kata sub-ideologi dianggap bisa menimbulkan penolakan dari sebagian kelompok masyarakat. Orientasi pertama memang sangat idealistis dalam konteks Islam, tetapi kurang realistis dalam konteks masyarakat dan bangsa Indonesia yang sangat plural. Sedangkan orientasi kedua sangat idealistis dalam konteks kemajemuakn di Indonesia, tetapi kurang realistis dalam konteks agama Islamsebagai agama mayoritas, yang ajarannya tidak hanya berupa etika-moral melainkan juga sejumlah norma-norma dasar. Tarikan yang kuat ke arah salah satu orientasi ini akan mengakibatkan semakin kuatnya tarikan ke arah orientasi yang berlawanan, dan bahkan akan dapat menimbulkan konflik internal yang lebih besar. Oleh karena itu, diperlukan jalan tengah di antara keduanya, yakni menjadikan agama sebagai sub-ideologi atau sebagai salah satu sumber ideologi Pancasila. Orientasi ketiga tersebut lebih realitis dan moderat, karena meski orientasi ini berupaya melaksanakan etika-moral serta hukum agama atau prinsip-prinsipnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, ia masih tetap mengakui Pancasila sebagai ideologi negara. Karena Pancasila ini merupakan ideologi terbuka dan fleksibel, maka agama dituntut untuk memberikan kontribusi dalam penjabaran konsep-konsep operasional di berbagai bidang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan dunia. Dalam hal inilah nilai-nilai dan norma-norma agama menjadi input dan legitimasi bagi pembentukan dan penguatan etika-moral serta sistem nasional dan kebijakan publik. Di samping itu, orientasi ini mendukung pluralisme dan toleransi yang tinggi terhadap kemajemukan bangsa ini, sehingga semua warga negara memiliki kedudukan yang sejajar. Pelibatan agama dalam penguatan etika-moral (akhlak) bangsa saat ini sangat dibutuhkan, terutama ketika kondisi akhlak bangsa ini secara umum masih sangat lemah, seperti maraknya kebohongan, korupsi, penipuan, kekerasan, radikalisme, pemerkosaan, egoisme, keserakahan dan sebagainya, baik dalam kehidupan masyarakat maupun kehidupan politik, hukum dan birokrasi. Demikian pula, kini semakin banyak terjadi kenakalan remaja, penyalahgunaan narkoba, perkelaian antar kelompok, pergaulan bebas, pornografi, pornoaksi, dan sebagainya. Penguatan akhlak ini kini menjadi sangat penting untuk memperkuat etika politik dalam proses konsolidasi demokrasi yang sudah berlangsung sejak tahun 2004 tetapi kurang berjalan dengan mulus, tidak seperti proses transisi demokrasi yang telah dilewati dengan sukses antara tahun 1998 sampai 2004.[14] Di samping itu, agama menjadi sumber atau input bagi pengambilan kebijakan publik, agar perundang-undangan dan kebijakan publik itu sejalan atau tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran agama (Islam) serta sesuai dengan aspirasi umat. Dalam kenyataannya, ajaran-ajaran agama itu di samping mengandung nilai-nilai yang bersifat universal, juga mengandung nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat pertikular, dan oleh karenanya, aspirasi umat itu juga adakalanya bersifat umum (universal) dan adakalanya bersifat khusus (partikualr). Hanya saja, seringkali aspirasi Islam itu hanya diidentifikasikan pada bentuk aspirasi yang bersifat khusus (partikular), sehingga gerakan-gerakan Islam yang muncul umumnya menggunakan tema-tema aspirasi khusus tersebut, yang notabene bersifat ideologis atau fundamentalistis. Pada hal ajaran Islam itu tidak hanya mencakup hal-hal yang termasuk dalam aspirasi khsusus, tetapi juga aspirasi umum (universal). Sebagaimana diketahui filosofi ajaran Islam (maqashid al-syariah) itu dimaksudkan untuk memelihara dan menghormati lima hal, yakni: agama, jiwa, akal, kehormatan, harta benda, atau dalam bahasa lain untuk memelihara dan meningkatkan eksistensi manusia, baik dalam konteks ekonomi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal maupun makanan. Dalam konteks ini, pelaksanaan hukum agama (syariah Islam) sering kali menjadi perdebatan yang berlanjut, baik ketika masa persiapan kemerdekaan dengan adanya Piagam Jakarta sampai saat ini. Sebagaimana disebutkan di atas, dalam amandemen UU 1945 pada tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002 muncul kembali aspirasi sebagian kelompok Islam untuk memberlakukan Piagam Jakarta atau syariat Islam secara keseluruhan. Namun aspirasi itu tidak didukung oleh mayoritas anggota MPR dalam pembahasan amandemen UUD 1945, terutama pasal 29. Bahkan ormas-ormas besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah pun tidak setuju dengan hal ini.Hal itu dapat menghindarkan perdebatan yang berkepanjangan, yang bisa menimbulkan perselisihan dan konflik antara pendukung dan penentang pelakanaan syariaat Islam secara keseluruhan (kaffah), yang bisa menjadi ancaman bagi integrasi nasional. Dengan demikian, sejalan dengan orientasi ketiga tersebut di atas, penerapan hukum Islam dalam konteks hukum nasional dilakukan dengan tiga bentuk, yakni:
|