Sekolah yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan mengajarkan

KOMPAS.com - Hari ini 108 tahun yang lalu, atau tepatnya 18 November 1912, organisasi Muhammadiyah didirikan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan yang memiliki nama asli Muhammad Darwis.

Dilansir laman resmi Muhammadiyah, awal mula pendirian Muhammadiyah adalah karena KH Ahmad Dahlan melihat kondisi umat Islam saat itu yang dalam keadaan jumud (berpegang pada pemikiran lama dan tidak menerima perubahan) dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik.

Oleh karena itu, Ahmad Dahlan ingin mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya berdasarkan Al Quran dan Hadis.

4+

KOMPAS.com: Berita Terpercaya
Baca Berita Terbaru Tanpa Terganggu Banyak Iklan
Dapatkan Aplikasi

Baca juga: Apa Itu RUU HIP yang Dipersoalkan NU dan Muhammadiyah?

Perjalanannya belajar agama Islam mengantarkannya hingga ke Arab Saudi pada 1890.

Tak hanya pergi haji, di sana dia juga belajar kepada ilmu hadis kepada Kyai Mahfudh Termas dan Syekh Khayat; belajar ilmu qiraah kepada Syekh Amien dan Sayid Bakri Syatha; belajar ilmu falaq pada KH Dahlan Semarang; juga pernah belajar pada Syekh Hasan tentang mengatasi racun binatang; dan masih banyak lagi.

Sebelum menunaikan ibadah haji, Ahmad Dahlan lebih banyak mempelajari kitab-kitab, dari Ahlussunnah waljamaah dalam ilmu aqaid, dari madzab Syafii dalam ilmu Fiqh dari Imam Ghozali dan ilmu tasawuf.

Baca juga: Syarat dan Ketentuan Umrah di Masa Pandemi

Setelah bermukim di Mekah kurang lebih 8 bulan, cakrawala Muhammad Darwis terbuka. Setelah itu pula namanya berganti menjadi Ahmad Dahlan.

Pengalaman Ahmad Dahlan mengajar agama Islam ke masyarakat dimulai setelah ia pulang dari menunaikan ibadah haji pertama.

Ahmad Dahlan mulai dengan membantu ayahnya mengajar para murid yang masih kanak-kanak dan remaja.

Dia merupakan pegawai kesultanan Keraton Yogyakarta sebagai seorang Khatib dan sebagai pedagang.

Baca juga: Ramai Pesepeda di Perempatan Tugu Yogyakarta, Bagaimana Penjelasannya?

Arah kiblat

Sebagai Khatib Amin, Ahmad Dahlan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan agama Islam yang dimiliki, pengalaman berinteraksi dengan berbagai kelompok dalam dunia Islam, serta pengalamannya memberi pelajaran agama Islam selama ini sehingga sering muncul ide dan aktivitas baru.

Berbeda dengan para khatib lain yang cenderung menghabiskan waktu begitu saja ketika sedang bertugas piket di serambi masjid besar Kauman, Ahmad Dahlan secara rutin memberikan pelajaran agama Islam kepada orang-orang yang datang ke masjid besar ketika ia sedang melakukan piket.

Salah satu sumbangsihnya yang menuai kontroversi adalah saat dia melihat arah kiblat masjid Gede Kauman Yogyakarta tidak tepat. Padahal itu merupakan hal krusial bagi umat Islam.

Baca juga: Viral Tugu di Tol Madiun Disebut Mirip Palu Arit, Jasa Marga: Itu Logo Perusahaan

Saat dia mencoba menyampaikan bahwa arah kiblat tersebut salah dan mengatakan perhitungannya yang benar, ide itu tidak langsung diterima.

KH Ahmad Dahlan sampai membuat surat atau mushala sendiri yang menggunakan arah kiblat sesuai. Tapi surau itu pun dirusak massa setelah mendapat perintah dari Kanjeng Penghulu. Lalu surau tersebut dibangun lagi.

Untuk menyebarkan agama Islam, dia juga membangun pondok pesantren.

Pondok itu menampung para murid yang ingin belajar ilmu agama Islam secara umum maupun ilmu lain seperti: ilmu falaq, tauhid, dan tafsir.

Baca juga: Saat Asrama hingga Pondok Pesantren Jadi Klaster Baru Covid-19, Apa yang Terjadi dan Harus Bagaimana?

Para murid itu tidak hanya berasal dari wilayah Residensi Yogyakarta, melainkan juga dari daerah lain di Jawa Tengah.

Walaupun begitu, pengajaran agama Islam melalui pengajian kelompok bagi anak-anak, remaja, dan orang tua yang telah lama berlangsung masih terus dilaksanakan.

Di samping itu, di rumahnya Ahmad Dahlan diadakan pengajian rutin satu minggu atau satu bulan sekali bagi kelompok-kelompok tertentu, seperti pengajian untuk para guru dan pamong praja yang berlangsung setiap malam Jumat.

Pembentukan ide-ide dan aktivitas baru pada diri Ahmad Dahlan tidak dapat dipisahkan dari proses sosialisasi dirinya sebagai pedagang dan ulama serta dengan alur pergerakan sosial-keagamaan, kultural, dan kebangsaan yang sedang berlangsung di Indonesia pada awal abad XX.

Sebagai seorang pedagang sekaligus ulama, Ahmad Dahlan sering melakukan perjalanan ke berbagai tempat di Residensi Yogyakarta maupun daerah lain seperti: Periangan, Jakarta, Jombang, Banyuwangi, Pasuruan, Surabaya, Gresik, Rembang, Semarang, Kudus, Pekalongan, Purwokerto, dan Surakarta.

Baca juga: Mengenang Yunahar Ilyas, Figur Ulama Muhammadiyah

Di tempat-tempat itu ia bertemu dengan para ulama, pemimpin lokal, maupun kaum cerdik cendekia lain, yang sama-sama menjadi pedagang atau bukan.

Dia juga berinteraksi dengan organisasi-organisasi lain di Indonesia seperti Budi Utomo, Sarikat Islam, dan Jamiat Khair.

Hal itu telah membantunya mendapat pengetahuan tentang cara berorganisasi dan mengatur organisasi secara modern.

Baca juga: Curhatan Seorang Guru di Tengah Pandemi Corona...

Mendirikan sekolah

Setelah itu dia juga mendirikan sekolah. Lembaga pendidikan itu menerapkan model sekolah yang mengajarkan ilmu agama Islam maupun ilmu pengetahuan umum. Awalnya dimulai dengan 8 orang siswa yang belajar di ruang tamu rumahnya yang berukuran 2,5 m x 6 m.

Keperluan belajar dipersiapkan sendiri oleh Ahmad Dahlan dengan memanfaatkan dua buah meja miliknya sendiri.

Sementara itu, dua buah bangku tempat duduk para siswa dibuat sendiri oleh Ahmad Dahlan dari papan bekas kotak kain mori dan papan tulis dibuat dari kayu suren.

Baca juga: Masih PJJ, Kapan KBM Tatap Muka di Sekolah Bisa Dilangsungkan?

Pendirian sekolah tersebut ternyata tidak mendapat sambutan yang baik dari masyarakat sekitarnya kecuali beberapa orang pemuda.

Selain ada penolakan dan pemboikotan masyarakat sekitarnya, para siswa yang hanya berjumlah 8 orang itu juga sering tidak masuk sekolah.

Untuk mengatasi hal tersebut, Ahmad Dahlan tidak segan-segan datang ke rumah para siswanya dan meminta mereka masuk sekolah kembali, di samping ia terus mencari siswa baru.

Seiring dengan pertambahan jumlah siswa, Ahmad Dahlan juga menambah meja dan bangku satu per satu sehingga setelah berlangsung enam bulan jumlah siswa menjadi 20 orang.

Baca juga: Polemik Program Organisasi Penggerak, Mundurnya Sejumlah Pihak hingga Permintaan Maaf Nadiem

Setelah Ahmad Dahlan mengatakan permasalah tersebut ke Budi Utomo, dia mendapatkan dukungan dari beberapa tokoh.

Akhirnya setelah proses belajar mengajar semakin teratur, sekolah yang didirikan oleh Ahmad Dahlan itu diresmikan pada 1 Desember 1911 dan diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah.

Organisasi Muhammadiyah dipersiapkan berdiri pada 1912.

Diberi nama demikian karena nama itu berhubungan dengan nama nabi terakhir umat Islam, yaitu Muhammad.

Baca juga: 10.000 Jemaah Asing Tiba di Hari Pertama Tahap 3 Pembukaan Umrah, Bagaimana Perkembangannya?

Berdasarkan nama itu diharapkan bahwa setiap anggota Muhammadiyah dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat dapat menyesuaikan diri dengan pribadi Nabi Muhammad SAW dan Muhammadiyah menjadi organisasi akhir zaman.

Setelah seluruh persiapan selesai, berdasarkan kesepakatan bersama dan setelah melakukan shalat istikharah akhirnya pada 18 November 1912 M atau 8 Dzulhijah 1330 H persyarikatan Muhammadiyah didirikan.

Dalam kesepakatan itu juga ditetapkan bahwa Budi Utomo Cabang Yogyakarta akan membantu mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda agar pembentukan Muhammadiyah diakui secara resmi sebagai sebuah badan hukum.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: John F Kennedy Terpilih sebagai Presiden Termuda AS

Pada Sabtu malam, 20 Desember 1912, pembentukan Muhammadiyah diumumkan secara resmi kepada masyarakat dalam suatu pertemuan yang dihadiri oleh tokoh masyarakat, pejabat pemerintah kolonial, para pejabat dan kerabat Keraton Kasultanan Yogyakarta maupun Kadipaten Pakualaman.

Pada awalnya usahanya tersebut mendapat penolakan dari masyarakat, namun lambat laun orang-orang di sekitar mulai menerimanya.

Awalnya hanya di sekitar kampung Kauman Yogyakarta, lalu menyebar hingga keluar daerah hingga luar pulau Jawa.

Pada awalnya hanya terdapat 9 orang pengurus inti, yaitu: Ahmad Dahlan sebagai ketua, Abdullah Sirat sebagai sekretaris, Ahmad, Abdul Rahman, Sarkawi, Muhammad, Jaelani, Akis, dan Mohammad Fakih sebagai anggota. Sementara itu, para anggota hanya dibatasi pada penduduk Jawa dan Madura yang beragama Islam.

Baca juga: Menjelajahi Salah Satu Museum Islam Terbesar di Dunia Secara Virtual

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link //t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Video

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA