Sebutkan unsur yang berkaitan dengan wacana

DOI: //doi.org/10.33752/disastri.v1i01.499

Wacana adalah kesatuan makna (semantis) antarbagian di dalam suatu bangun bahasa. Dengan kesatuan makna, wacana dilihat sebagai bangun bahasa yang utuh karena setiap bagian di dalam wacana itu berhubungan secara padu. Di samping itu, wacana juga terikat pada konteks. Sebagai kesatuan yang abstrak, wacana dibedakan dari teks, tulisan, bacaan, dan tuturan yang mengacu pada makna yang sama, yaitu wujud konkret yang terlihat, terbaca, atau terdengar. Pemahaman terhadap wacana akan memudahkan kita memahami bahasa secara lebih luas tidak saja dari struktur formal bahasa tetapi juga dari aspek di luar bahasa (konteks). Wacana memiliki dua unsur pendukung utama, yaitu unsur dalam (internal) dan unsur luar (eksternal). Unsur internal berkaitan dengan aspek formal kebahasaan, sedangkan unsur eksternal berkaitan dengan hal-hal di luar wacana itu sendiri. Unsur eksternal wacana merupakan sesuatu yang menjadi bagian wacana, tetapi tidak nampak secara eksplisit. Kehadiran unsur eksternal berfungsi sebagai pelengkap keutuhan wacana. Unsur-unsur eksternal ini terdiri atas implikatur, presuposisi, referensi, inferensi, dan konteks.

Sebagai satuan bahasa terlengkap, wacana tersusun dari untaian kalimat-kalimat yang berkesinambungan, erat, dan kompak sesuai dengan konteks situasi. Artinya, dalam menganalisis wacana terlibat dua unsur pokok, yakni (1) unsur internal bahasa (intralinguistik) yang berkaitan dengan kaidah bahasa seperti sintaksis, morfologi, dan fonologi; serta (2) unsur eksternal bahasa (ekstralinguistik), yang berkaitan dengan konteks situasi. Serasi tidaknya kaidah bahasa dan konteks situasi dihubungkan dengan alat kewacanaan atau unsur-unsur pragmatik seperti deiksis, praduga, implikatur.

1. Unsur Internal

Unsur internal wacana terdiri atas topik dan kalimat. Satuan bahasa yang digunakan untuk menyatakan topik adalah kalimat.

A. Topik, Tema, Judul

Topik, tema, dan judul erat kaitannya. Topik merupakan pokok persoalan yang disampaikan. Topik adalah pokok gagasan yang dikembangkan menjadi sebuah wacana. Dalam sebuah wacana hanya ada sebuah topik. Ganti topik berarti ganti wacana. Untuk membentuk sebuah wacana, topik dikembangkan dengan sebuah kalimat atau lebih.

Tema merupakan amanat utama yang ingin disampaikan oleh pembicara dalam wacana sebagai rumusan dari topik dan menjadi dasar untuk mencapai tujuan. Tema lebih sempit dan abstrak daripada topik. Tema merupkan topik yang dibatasi. Misalnya, topiknya ialah “Bahaya Narkoba”, sedangkan temanya ialah “Cara Menanggulangi Bahaya Narkoba”. Judul atau titel merupakan etiket, label, merek, atau nama yang dikenakan pada sebuah wacana. Judul berguna untuk menarik kepenasaran pesapa terhadap persoalan yang dibicarakan. Judul merupakan slogan yang menuangkan topik dalam bentuk yang lebih menarik. Karena itu, judul harus sesuai dan dapat mewakili keseluruhan isi wacana, jelas, dan singkat. Judul dapat dibuat sebelum maupun sesudah wacana selesai. Judul dapat juga bersifat simbolis. Judul besar sekali manfaatnya. Wacana yang sama segala-galanya, jika diberi judul berbeda, akan dibayangkan atau ditafsirkan berbeda pula.

Misalnya:

Di Stasiun Kareta Api

Entah berapa lama, neng Santi menanti-nanti di sana. Tapi, belum juga datang. Selama duduk, mukanya cemberut, tanda marah. Sebentar-sebentar melihat ke arah timur. Sementara yang dinantikannya belum juga datang. Neng Santi kesal, mau marah tak bisa. Kemudian ia berdiri, karena pantatnya terasa kaku. Akhirnya, ia berdiri, berjalan-jalan ke sana ke mari sambil menggerutu.

Wacana tersebut menjelaskan bahwa seorang sedang menanti kareta api di stasiun. Tentu saja kita tidak akan membayangkan hal lain, tetapi akan tertuju kepada kekesalan Santi karena dia menanti kereta api yang tidak kunjung tiba. Wacana itu akan ditafsirkan berbeda apabila diberi judul yang lain. Bandingkan wacana di atas dengan wacana berikut.

Malam Minggu

Entah berapa lama, neng Santi menanti-nanti di sana. Tapi, belum juga datang. Selama duduk, mukanya cemberut, tanda marah. Sebentar-sebentar melihat ke arah timur. Sementara yang dinantikannya belum juga datang. Neng Santi kesal, mau marah tak bisa. Kemudian ia berdiri, karena pantatnya terasa kaku. Akhirnya, ia berdiri, berjalan-jalan ke sana ke mari sambil menggerutu.

Dengan judul yang berbeda, wacana pertama berubah menjadi wacana kedua yang isinya menjelaskan bahwa Santi sedang menantikan pacarnya yang tidak kunjung tiba. Disini membuktikan bahwa judul wacana dapat memberikan imajinasi yang berbeda pula terhadap isi wacana.

B. Kalimat

Kalimat termasuk unit dalam wacana. Untuk memproduksi sebuah wacana, sekurang-kurangnya digunakan satu kalimat. Hal ini dapat dipahami karena wacana secara konkret merujuk pada realitas penggunaan bahasa yang disebut teks. Teks sebagai perwujudan konkret wacana terbentuk dari untaian kalimat-kalimat. Sebuah kalimat diakhiri dengan intonasi final. Kalimat sering diandaikan seperti sebuah bangunan yang terdiri atas beberapa ruang. Padahal, bisa saja sebuah kalimat hanya terdiri atas satu kata. Namun, kalimat satu kata itu harus merupakan pengungkapan atau tuturan pendek yang memiliki esensi sebagai kalimat (satu ruang itu harus dianggap sebuah rumah). Kalimat pendek seperti itu sering terdapat pada dialog atau percakapan karena pada tempat dan situasi tertentu orang cenderung bertanya jawab dengan kalimat pendek, bahkan mungkin tidak berbentuk kalimat.

 2. UNSUR EKSTERNAL

Unsur eksternal (unsur luar) wacana adalah sesuatu yang menjadi bagian wacana, namun tidak nampak eksplisit. Sesuatu itu berada di luar satuan lingual wacana. Kehadirannya berfungsi sebagai pelengkap keutuhan wacana. Unsur-unsur eksternal ini terdiri atas konteks, implikatur, presuposisi, referensi, dan inferensi. Analisis dan pemahaman terhadap unsur-unsur tersebut dapat membantu pemahaman tentang suatu wacana.

 A. Konteks

Konteks berarti yang berkenaan dengan teks, yakni benda-benda atau hal-hal yang ikut bersama teks dan menjadi kesatuan. Menurut Brown dan Yull (1983), konteks adalah lingkungan atau keadaan tempat bahasa digunakan. Dapat pula dikatakan bahwa konteks adalah lingkungan teks.

Konteks wacana adalah aspek-aspek internal wacana dan segala sesuatu yang secara eksternal melingkupi sebuah wacana (Sumarlam, 2003 : 47). Konteks wacana secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu konteks verbal dan konteks nonverbal.

1) Konteks verbal

Konteks verbal yaitu hubungan dengan satuan bahasa yang melingkupinya contoh: kalimat-kalimat dalam percakapan

2) Konteks nonverbal

Konteks nonverbal yaitu hubungan yang berkaian dengan hal-hal di luar bahasa. Konteks nonverbal meliputi situasi sosial,dan budaya. Pemahaman konteks situasi dan budaya dalam wacana dapat dilakukan dengan berbagai prinsip penafsiran dan analogi. Prinsip-prinsip tersebut yaitu: prinsip penafsiran personal, prinsip penafsiran lokasional, prinsip penafsiran temporal, dan prinsip analogi (Sumarlam, 2005 : 47-54).

Prinsip penafsiran personal berkaitan dengan siapa sesuangguhnya yang menjadi partisipan di dalam suatu wacana. Dalam hal ini, siapa penutur dan siapa mitra tutur sangat menentukan makna sebuah tuturan. Prinsip penafsiran lokasional berkenaan dengan penafsiran tempat atau lokasi terjadinya suatu situasi (keadaan, peristiwa, dan proses) dalam rangka memahami wacana. Penafsiran temporal berkaitan dengan pemahaman mengenai waktu. Berdasarkan konteksnya kita dapat menafsirkan kapan atau berapa lama waktu terjadinya suatu situasi (peristiwa, keadaan, proses).

Prinsip analogi digunakan sebagai dasar, baik oleh penutur maupun mitra tutur, untuk memahami makna dan mengidentifikasi maksud dari (bagian atau keseluruhan) sebuah wacana. Interensi adalah proses yang harus dilakukan oleh komunikan (pembaca/pendengar/mitra tutur) untuk memahami makna yang secara harfiah tidak terdapat dalam wacana yang diungkapkan oleh komunikator (pembicara/penulis/penutur).

Konteks wacana yang mendukung pemaknaan ujaran, tuturan, atau wacana adalah situasi kewacanaan. Situasi kewacanaan berkaitan erat dengan tindak tutur. Sejalan dengan pandangan Dell Hymes (1972) yang menyebut komponen tutur dengan singkatan SPEAKING.

S   = setting and scene (latar dan suasana tutur)

P   = participants (peserta)

E   = ends (hasil)

A   = act sequence (pokok tuturan)

K = key (nada tutur)

I   = instrumentalities (sarana)

N   = norms (norma)

G   = genres (jenis)

Settings dipakai untuk menunjuk kepada aspek tempat dan waktu terjadinya tuturan, sedangkan scene mengacu pada situasi tempat dan waktu, atau situasi psikologis pembicaraan. Participants adalah orang yang terlibat dalam tuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima. Ends merujuk pada maksud dan tujuan tuturan. Act sequence mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Key mengacu pada nada, cara, dan semangat di mana suatu pesan disampaikan. Instrumentalities mengacu pada jalur bahasa yang digunakan seperti jalur lisan dan tulis. Instrumentalities ini juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan seperti bahasa, dialek ragam, atau register. Norm mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi. Genre mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, doa dan sebagainya.

Keseluruhan komponen serta peranan komponen-komponen tutur yang dikemukakan oleh Hymes dalam sebuah peristiwa berbahasa itulah yang disebut dengan peristiwa tutur (speech event).

Dalam bahasa Indonesia pun komponen tutur yang merupakan konteks kewacanaan dapat disingkat dengan WICARA yang fonem awalnya mengacu kepada.

W   = waktu, tempat, dan suasana

I     = instrumen yang digunakan

C     = cara dan etika tutur

A     = alur ujaran dan pelibat tutur

R     = rasa, nada, dan ragam bahasa

A     = amanat dan tujuan tutur

Keenam komponen dalam konteks kewacaan tersebut masing-masing akan dipaparkan berikut ini.

  1. Waktu, Tempat, dan Suasana

Waktu berlangsungnya komunikasi bisa siang, malam, pagi-pagi, sore hari, dsb. Pilihan kata yang digunakan untuk masing-masing waktu tersebut tentu tidak sama. Suasana penggunaan ujaran akan menentukan jenis bahasanya. Bahasa dalam suasana resmi (formal) akan berbeda dengan bahasa dalam suasana tidak resmi (informal). Tempat berlangsungnya ujaran bisa di rumah, di jalan, di sawah, di kantor, di pasar, dsb. Karena tempatnya berbeda-beda, tentu saja bahasa yang digunakannnya pun mempunyai variasi yang berbeda. Ekspresi bahasa sangat dipengaruhi oleh latar belakang tempat, waktu, dan suasana pemakainya. Di mana, kapan, dan bagaimana cara digunakannya.

2. Instrumen yang digunakan

Bahasa yang digunakan dalam komunikasi dapat berupa medium lisan maupun medium tulisan. Meskipun begitu, untuk mengekspresikan isi hati digunakan pula sarana komunikasi nonverbal (isyarat, kenesik). Alat yang digunakan dalam komunikasi bahasa akan menetukan jenis dan wujud bahasanya. Pemakaian alat bantu dalam berbahasa bergantung pula pada tempat, waktu, dan suasananya. Alat bantu komunikasi bahasa itu, antara lain, radio, TV, pengeras suara, OHV, koran, majalah, telepon,dan surat.

3. Etika dan Cara Tutur

Cara dan etika tutur (norm) mengacu pada perilaku peserta tutur. Misalnya, diskusi yang cenderung dua arah, setiap peserta memberikan tanggapan. Berbeda dengan kuliah atau ceramah yang cenderung satu arah, ada norma diskusi dan norma ceramah. Berbeda pula dengan khotbah.

 4. Alur Ujaran dan Pelibat Tutur

Alur ujaran merupakan wujud bahasa yang digunakan sewaktu berkomunikasi berkaitan dengan strktur bahasa, seperti bunyi, urutan, dan konstruksi. Pelibat tutur menyangkut penyapa (pembicara/penulis) dan pesapa (penyimak/pembaca). Berlangsungnya komunikasi bahasa antara penyapa dan pesapa berpusat kepada objek yang dibicarakan.

 5. Rasa, Nada

Rasa (feeling) merupakan sikap penyapa terhadap topik atau tema yang sedang dibicarakan. Rasa sangat bergantung kepada pribadi penyapanya. Karena itu, rasa bersifat subjektif. Misalnya, dalam komunikasi pemakai bahasa bisa memiliki perasaan gembira, sedih, mangkel, dan ragu-ragu. Nada (tone) merupakan sikap penyapa terhadap pesapa-nya. Misalnya, penyapa mempunyai sikap sinis seperti seorang guru yang mempersilakan siswanya kesiangan akan berkata:

Datangnya pagi-pagi benar, Nak?

Ujaran guru tersebut tidak mengacu ke datangnya siswa terlalu pagi‘, tetapi sebaliknya mengapa datang ke sekolah terlambat atau kesiangan.

6. Amanat Tutur

Amanat tutur merupakan maksud dan tujuan yang ingin dicapai oleh penyapa. Amanat juga adalah pesan penyapa yang sudah pesapa terima. Tujuan pembicaraan bisa bersifat informatif, interogatif, imperatif, dan vokatif. Tujuan informatif mengharapkan agar pesapa merespon dengan perhatian saja, tujuan interogatif mengharapkan agar pesapa merespons dengan jawaban, tujuan imperatif mengharapkan agar pesapa merespon dengan tindakan, dan tujuan vokatif mengharapkan agar pesapa merespon dengan perhatian.

Amanat ujaran berkaitan erat dengan isi yang dikandung oleh ujaran itu. Amanat ujaran dapat diterima langsung oleh pesapa, dapat pula sebaliknya. Amanat ujaran mungkin langsung dipahami oleh pesapa mungkin tidak langsung. Dalam hal ini Sering terjadi kesalahpahaman antara penyapa dengan pesapa yang disebut miscomunication atau minsunderstanding.

 B. IMPLIKATUR

Konsep implikatur pertama kali dikenalkan oleh Grice (1975) untuk memecahkan persoalan makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan oleh teori semantik biasa. Implikatur dipakai untuk memperhitungkan apa yang dimaksud oleh penutur berbeda dari apa yang dinyatakan secara harfiah (Brown dan Yule, 1983:31).

Contoh: Di sini panas sekali bukan?.

Pada ujaran tersebut secara implisit penutur menghendaki agar mesin pendingin dihidupkan atau jendela di buka.

 c. PRESUPOSISI

George Yule (2006: 43) menyatakan bahwa praanggapan atau presupposisi adalah sesuatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan. Yang memiliki presuposisi adalah penutur bukan kalimat. Louise Cummings (1999: 42) menyatakan bahwa praanggapan adalah asumsi-asumsi atau inferensi-inferensi yang tersirat dalam ungkapan-ungkapan linguistik tertentu.

Dari definisi praanggapan di atas dapat disimpulkan bahwa praanggapan adalah kesimpulan atau asumsi awal penutur sebelum melakukan tuturan bahwa apa yang akan disampaikan juga dipahami oleh mitra tutur.

Contoh:

  1. Istri pejabat itu cantik sekali
  2. Mobil baru Budi sedang dicuci

Contoh (a) merupakan praduga untuk kebenaran bahwa pejabat itu mempunyai istri, sedangkan contoh (b) merupakan praduga untuk kebenaran bahwa Budi memiliki mobil baru.

D. INFERENSI

Inferensi yaitu proses yang dilakukan oleh pesapa untuk memahami makna wacana yang tidak diekspresikan langsung dalam wacana. Inferensi merupakan proses yang harus dilakukan oleh pendengar atau pembicara untuk memahami maksud pembicara atau penulis. Proses pemahaman seperti itu tidak dapat dilakukan melalui pemhaman makna secara harfiah saja, melainkan harus didasari pula oleh pemahaman makna berdasarkan konteks sosial dan budaya.

Inferensi kewacaan diperlukan dalam memaknai wacana yang implisit atau tidak langsung mengacu ke tujuan. Misalnya: kasus orang yang mau meminjam uang kepada tetangganya, tetapi dia tidak malu untuk berkata langsung kepada orangnya. Meskipun ujaran itu tidak langsung menuju sasaran, tetapi pesapa akan mengerti isi wacana berikut.

Sebenarnya malu. Tapi saya memaksakan diri datang ke sini. Itu tuh, anak saya sudah dua hari panasnya tidak turun-turun. Sudah dikompres, tapi tetap saja. Saya tidak tahu harus bagaimana? Entahlah..mau dibawa ke dokter, ya begitulah. Karena itu, ya, datang ke sini ini.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA