Kalian pasti sudah tidak asing dengan candi Borobudur maupun candi Prambanan. Bangunan-bangunan bersejarah tersebut merupakan pengaruh kebudayaan hindu-budha yang berkembang di Indonesia pada abad ke 5 hingga 15. Kedatangan agama Hindu-Budha di Indonesia ini menimbulkan kontak budaya atau akulturasi dengan budaya Indonesia. Lalu, apakah kalian tahu apa yang disebut dengan akulturasi? Dan apa saja pengaruh kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia? Kita simak yuk penjelasannya! Show Kontak budaya atau akulturasi adalah suatu proses pencampuran antara unsur-unsur kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain, sehingga membentuk kebudayaan baru. Namun, kebudayaan baru yang dihasilkan tersebut tidak melenyapkan kepribadian kebudayaannya sendiri atau ciri khasnya, maka untuk bisa berakulturasi masing-masing kebudayaan harus seimbang. Pengaruh kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia membawa perubahan signifikan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat. Adapun perwujudan akulturasi antara kebudayaan Hindu-Budha dengan kebudayaan Indonesia terlihat dari seni bangunan, kesusastraan, bahasa dan tulisan, kepercayaan dan filsafat, juga sistem pemerintahan. Seni Bangunan Pengaruh Hindu-Budha secara fisik paling jelas tampak pada bangunan candi. Dimana, candi merupakan bangunan yang paling banyak didirikan pada masa pengaruh kebudayaan Hindu-Budha. Candi memiliki arti atau bentuk bangunan beragam misalnya candi yang berfungsi sebagai tempat peribadatan dan makam, candi pemandian suci (parthirtan). (Baca juga: Zaman Perundagian, Kebudayaan Perunggu dan Besi di Indonesia) Candi terdiri atas tiga bagian, yaitu kaki bandi (bhurloka, alam dunia fana), tubuh candi (bhurwaloka, alam pembersihan jiwa), dan puncak candi (swarloka, alam jiwa suci). Namun, karena ciri akulturasi adalah dengan mempertahankan kekhasan budaya asalnya, maka terdapat perbedaan arsitektur yang cukup mencolok, salah satunya candi yang berada di kawasan Jawa Tengah dengan yang ada ada di Jawa Timur. Adapun perbedaan dari candi-candi tersebut antara lain :
Kesusasteraan Dalam perkembangannya, budaya tulisan melahirkan karya-karya sastra berupa kitab buah karya para pujangga Nusantara. Kitab ini berupa kumpulan kisah, catatan, atau laporan tentang suatu peristiwa, kadang di dalamnya juga terdapat mitos. Pengaruh akulturasi budaya ini paling jelas tampak pada upaya adaptasi yang dilakukan oleh sejumlah pujangga seperti Mpu Kanwa, Mpu Sedah, Mpu Dharmaja, dan Mpu Panuluh. Mereka melakukan adaptasi terhadap epic Mahabharata dan Ramayana disesuaikan dengan kondisi pada masa itu. Bahasa dan Tulisan Pengaruh Hindu-Budha mengantarkan masyarakat Indonesia kepada budaya tulis atau zaman sejarah. Budaya tulis itu menggunakan Bahasa sansekerta dengan huruf Pallawa atau jenis tulisan yang digunakan di bagian selatan India. Dalam perkembangannya, huruf Pallawa menjadi dasar dari huruf-huruf lain di Indonesia seperti huruf Kawi, Jawa Kuno, Bali Kuno, Lampung, Batak, dan Bugis-Makasar. Sementara, bahasan sansakerta mengalami stagnasi karena digunakan hanya dilingkungan terbatas yaitu di istana dan khusus digunakan oleh kalangan Brahmana. Budaya tulisan atau aksara dari masa-Hindu-Budha di Nusantara dikuatkan oleh bukti-bukti berupa prasasti dan kitab. Kepercayaan dan Filsafat Kepercayaan yang berkembang di Indonesia sebelum dikenalnya agama Hindu-Budha adalah kepercayaan yang bercorak animism dan dinamisme. Seiring masuknya pengaruh Hindu-Budha maka masyarakat Indonesia pun mulai menganut kedua agama tersebut. Sistem Pemerintahan Pengaruh kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia mengubah sistem pemerintahan yang ada di nusantara. Awalnya, sistem pemerintahan bercorak kesukuan dan kerakyatan menjadi monarki dengan hirarki (tingkatan) yang jelas. Struktur pemerintahan monarki berlaku umum disemua kerajaan Hindu-Budha yang pernah muncul di Indonesia mulai dari Kutai sampai Majapahit, artinya pemimpin tertinggi pemerintahan adalah raja. Dimana, raja dipilih berdasarkan faktor keturunan dari dinasti yang berkuasa dan dikukuhkan oleh kasta Brahmana atau kasta yang paling disegani dalam masyarakat Hindu.
Seperti yang sudah dibahas pada artikel sebelumnya (Baca : Proses Masuknya Agama Hindu Budha ke Indonesia), hubungan dagang antara bangsa-bangsa di Indonesia dengan India adalah penyebab utama mengapa pengaruh agama dan kebudayaan berlatar Hindu Budha bisa masuk ke Indonesia dan mempengaruhi kehidupan masyarakat di berbagai daerah. Pengaruh budaya berlatar hindu budha tersebut bisa dilihat di berbagai bidang dan aspek masyarakat seperti seni sastra, seni rupa, seni patung, seni bangunan, upacara keraton, ketata negaraan, dan kemasyarakatan. Berbagai budaya yang ada saat ini, sebagiannya adalah hasil dari akulturasi budaya antara budaya asli Indonesia dengan pengaruh dari India. Istilah yang tepat untuk menyebut pengaruh budaya hindu budha pada budaya asli Indonesia, menurut F.D.K Bosch disebut dengan fecundation yang artinya penyuburan. Dengan kata lain, penyuburan budaya asli Indonesia oleh unsur-unsur budaya Hindu Budha. Pengaruh Hindu Budha dalam bidang AgamaMempercayai bambu petuk memiliki khasiat ghaib adalah salah satu bentuk masih adanya kepercayaan kuno hingga saat ini via busy.org/@bim.scoutingSebelum mendapatkan pengaruh dari agam hindu budha dari India, bangsa-bangsa di kepulauan Indonesia sudah memiliki beberapa kepercayaan asli, antara lain :
Kepercayaan-kepercayaan tersebut lambat laun tergeser dengan hadirnya agam Hindu dan Budha, diawali dari pemimpin-pemin lokal sampai kemudian merambah keseluruh masyarakat bawah. Meskipun begitu, kebudayaan dan agama Hindu Budha yang masuk tidak serta merta menghapus kepercayaan asli masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Lebih tepatnya, kepercayaan baru yang datang yaitu pengaruh Hindu Budha berbaur dengan kepercayaan yang sudah ada sebelumnya. Hal ini membuktikan bahwa dengan masuknya pengaruh dari luar, masyarakat tidak serta merta menerimanya saja tapi menyaring dan menyesuikan dengan kepercayaan yang sudah ada pada saat itu. Salah satu pengaruh agama Hindu dan Budha yang paling kentara, dalam hal kepercayaan misalnya saja mengenai pemimpin. Raja dipercaya sebagai keturunan dewa, atau dewa yang turun ke dunia dalam wujud manusia. Hal ini bisa dilihat pada arca peninggalan dari masa itu, sebagai contoh adalah arca raja Airlangga yang diabadikan dalam arca berwujud dewa Wisnu. Kepercayaan ini mengakibatkan timbulnya pengkultusan terhadap pribadi raja. raja diagung-agungkan, dan kata-kata serta perintahnya pantang untuk dibantah. Pengaruh Hindu Budha dalam bidang BahasaPrasasti Mulawarman Dalam Bentuk Yupa yang Menggunakan Bahasa Sansekerta dan Huruf PallawaKebudayaan dan agama Hindu Budha dalam sejarah tidak bisa dilepaskan dari penggunaan bahasa Sansekerta atau sanskrit. Bahasa sansekerta bukanlah bahasa yang digunakan oleh masyarakat pada umumnya, dan hanya bisa digunakan oleh para Brahmana. Yang mana golongan tersebut sangat identik dengan agama dan kebudayaan bernafaskan Hindu Budha. Karena itulah, dengan masuknya agama dan kebudayaan Hindu Budha ke Indonesia. Maka bahasa Sansekerta pun turut digunakan pada masa itu. Lebih detailnya, penggunaan bahasa Sansekerta banyak ditemukan pada prasasti-prasasti kuno peninggalan zaman itu seperti prasasti Mulawarman, prasasti Tugu, prasasti Kebon Kopi, dan prasasti Ciaruteun. Pengaruh Hindu Budha dalam bidang PemerintahanRaja Airlangga Mengendarai Garuda Sebagai Avatar Dewa WisnuBerubahnya sistem kemasyarakatan tak luput juga dari pengaruh kebudayaan dan agama Hindu Budha. Dalam hal ini, sistem kasta atau caturwarna mulai digunakan. Pengertian sistem kasta sendiri adalah penggolongan masyarakat berdasarkan tingkat atau derajatnya. Masyarakat secara umum mulai digolongkan berdasarkan kasta sebagai berikut :
Meskipun pada saat itu sistem kasta mulai digunakan, dalam pelaksanaannya penggunaan sistem ini tidaklah seketat penggunaan di negeri asalnya, India. Dalam pemerintahan, pengaruh kebudayaan Hindu Budha bisa dilihat dari sistem kerajaan dengan gambaran sebagai berikut :
Pengaruh Hindu Budha dalam bidang Seni BangunanCandi Prambanan, peninggalan kerajaan Mataram Kuno di Yogyakarta via unsplash.com/@eugeniaclaraSebelum datangnya kebudayaan dari India, monumen yang dibangun oleh masyarakat untuk melakukan pemujaan roh nenek moyang adalah punden berundak. Setelah terkena pengaruh kebudayaan Hindu Budha dari India, masyarakat mulai mengenal teknik pembangunan bangunan pemujaan seperti stupa, candi, dan petirtaan. Di India, candi khusus dibangun untuk melakukan pemujaan terhadap dewa. Namun di Indonesia, selain digunakan sebagai sarana pemujaan terhadap dewa, candi juga digunakan untuk memuja roh nenek moyang. Bangunan candi di Indonesia dibangun dengan teknik yang memadukan seni bangunan candi India dengan pundek berundak Indonesia. Bangunan candi sudah jelas mangandung unsur-unsur kebudayaan India. Namun hingga saat ini para ahli belum berhasil menghubungkan gaya bangunan candi Indonesia dengan candi manapun di India. Dalam membangun candi, para arsitek zaman dahilu menggunakan Silpasastra sebagai dasar konsep pelaksanaannya. Silpasastra adalah sebuah kitab dan pegangan yang berisi tentang berbagai arahan dan panduan membangun candi, arca, dll. Bangsa Indonesia hanya mengambil unsur dan panduan dari budaya India sebagai dasar dalam pembangunan candi dan arca. Hasilnya adalah candi-candi yang bercorak khas Indonesia seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Mendut, dll. Pengaruh Hindu Budha dalam bidang PendidikanKebudayaan dan agama Hindu Budha juga mempengaruhi masyarakat Indonesia dalam bidang penggunaan aksara. Sebelum masuknya budaya bercorak Hindu Budha, masyarakat Indonesia masih berada pada masa akhir prasejarah atau belum mengenal aksara. Namun setelah masuknya kebudayaan dari India, masyarakat Indonesia mulai mengenal aksara dan memasuki zaman sejarah. Penggunaan bahasa sansekerta dan huruf pallawa dalam prasasti peninggalan dari zaman itu merupakan bukti adanya pengaruh budaya Hindu Budha dalam bidang pendidikan. Bahasa sansekerta merupakan bahasa yang digunakan pada kalangan bangsawan kerajaan dan brahmana. Setelah itu muncul dan berkembanglah bahasa-bahasa lain seperti bahasa jawa kuno, bahasa bali kuno, bahasa kawi yang merupakan turunan dari bahasa Sansekerta. Dari situ bisa ditarik kesimpulan bahwa pada saat itu, sebagian masyarakat Indonesia sudah mengenal baca tulis. Pada saat itu, sistem pendidikan berasrama juga sudah mulai digunakan untuk mengajarkan dan memperdalam ajaran agama Hindu Budha. Sistem pendidikan ini kemudian diadaptasi dan banyak digunakan oleh kerajaan-kerajaan di Indonesia di masa mendatang. Pengaruh ajaran Hindu Budha juga ditunjukan dengan berkembangnya ajaran budi pekerti yang berlandaskan Hindu Budha. Pendidikan budi pekerti yang menanamkan nilai kasih sayang, welas asih, kedamaian, dan sikap saling menghargai sesama manusia mulai dikenal dan diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat pada saat itu. Pengaruh Hindu Budha dalam bidang SastraPenjelasan Kakawin Arjuna Wiwaha via wayangku.idPerkembangan SastraSebelum masuknya pengaruh sastra India, sastra di Indonesia masih berupa sastra tutur atau sastra lisan karena pada saat itu masyarakat Indonesia masih belum mengenal aksara. Pada perkembangannya, sastra tulis mulai bermunculan. Dimulai dari zaman Mataram Kuno sampai dengan zaman Majapahit Awal (Majapahit Bagian I) berupa sastra tembang yang disebut kakawin/kakahwin/kakawian. Memasuki zaman Majapahit Akhir (Majapahit Bagian II), irama kakawin mulai digeser dengan irama Kidung. Hasil Karya SastraHasil karya sastra Indonesia yang muncul karena pengaruh sastra India, dapat dikelompokkan berdasarkan zamannya sebagai berikut : Zaman Mataram Kuno
Zaman Kediri
Zaman Majapahit Awal (Majapahit Bagian I)
Zaman Majapahit Akhir (Majapahit Bagian II)
Pengaruh kebudayaan Hindu Budha dari India sangat tampak dari inspirasi asli cerita-cerita yang berasal dari India. Sebagai contoh adalah kisah Ramayana dan Mahabarata yang merupakan karya asli dari sastrawan India. Kisah-kisah tersebut pada perkembangannya mengalami perubahan dan menjadi sedikit berbeda dengan aslinya, menyesuaikan dengan nilai-nilai asli Indonesia. Salah satu contohnya adalah dalam kisah yang ada di Indonesia, terdapat tokoh-tokoh baru yang sama sekali tidak muncul di cerita aslinya. Kelak cerita ini dimodifikasi setelah masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia, dengan memunculkan tokoh punakawan seperti Semar, Gareng, Bagong, dan Petruk yang jenaka. |