Sebutkan bukti arsitektur keraton merupakan perpaduan budaya tradisional Hindu Budha dan Islam

Selain akulturasi bidang seni rupa, sejarah juga mencatat akulturasi Hindu, Buddha dan Islam juga terjadi dalam hal seni bangunan. Hal ini nyata terlihat misalnya pada bangunan pemujaan. Jika pada masa praaksara pemujaan terhadap arwah nenek moyang diwujudkan dengan bangunan punden berundak, pada masa Hindu-Buddha diwujudkan dalam bentuk candi.

Dalam bentuk candi, unsur kebudayaan praaksara tidak ditinggalkan, sebagaimana terlihat pada struktur bertingkat-tingkat pada bangunan candi, mirip dengan punden berundak pada masa praaksara. Proses akulturasi yang sama juga terlihat pada letak dan bentuk makam.

Pada masa Islam, meski makamnya sudah lebih sederhana dan tidak besar, makam dibangun di tempat yang berbukit, mirip dengan konsep punden berundak.

Sebagai contoh tampak pada bangunan makam raja-raja Jawa seperti yang ada di Imogiri, Jogyakarta yang dibangun di atas bukit, di mana bangunan makam yang teratas adalah makam Sultan Agung, raja Mataram.

Contoh lainnya juga bisa dilihat pada makam Sunan Gunung Jati, yang juga terletak di perbukitan Gunung Jati, Cirebon, serta makam Sunan Muria yang terletak di lereng gunung Muria, Tempur, Keling, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Bangunan di atas bukit ini jelas masih menunjukkan konsep dari bangunan punden berundak-undak.

Sementara itu, pada makam Islam yang sering kita jumpai bangunan kijing atau jirat, yaitu bangunan makam yang terbuat dari tembok batu bata, yang terkadang disertai bangunan rumah atau cungkup di atasnya. Padahal, dalam ajaran Islam tidak dikenal aturan tentang adanya kijing dan cungkup. Adanya bangunan tersebut jelas dipengaruhi oleh ciri bangunan candi dalam periode Hindu-Buddha.

Wujud akulturasi lain adalah dalam hal ukiran bangunan makam. Hiasan pada jirat batu kubur berupa susunan bingkai meniru bingkai pada panel relief bangunan candi. Pada dinding rumah, makam, dan gapura terdapat corak dan hiasan yang mirip dengan corak pada hiasan pada Pura Ulu watu di Bali dan Pura Sakenan Duwur di Tuban, Jawa Timur.

Bentuk akulturasi lain dalam hal seni bangunan lain terlihat pada bangunan masjid di Indonesia, terutama di pulau Jawa, bangunan masjid di Jawa berbentuk seperti pendapa, yaitu balai atau ruang besar tempat rapat, dengan komposisi ruang yang berbentuk persegi dan beratap tumpang.

Bagian atap bangunan masjid di Timur Tengah biasanya berbentuk kubah, tetapi di Jawa diganti dengan atap tumpang dengan jumlah susunan bertingkat dua, tiga dan lima. Hal ini mirip dengan bentuk bangunan pura, rumah ibadah agama Hindu.

Karena itu, pada masjid-masjid kuno kurang dikenal penggunaan menara di masjid sebagai sarana untuk menyerukan adzan sebagai tanda datangnya waktu shalat, sebagaimana lazim di Timur Tengah. Tercatat hanya ada beberapa bangunan masjid yang menggunakan menara, seperti Masjid Agung Cirebon, Masjid Menara Kudus, Masjid Agung Banten, dan Masjid Tambora di Jakarta.

Namun, meski demikian, di awal-awal perkembangannya hanya ada dua masjid yang memiliki menara, yaitu Masjid Menara Kudus dan Masjid Banten. Menara Masjid Kudus berbentuk seperti Candi Langgam (Jawa Timur) namun beratp tumpang, sedangkan menara Masjid Agung Banten yang dibangun pada zaman Belanda, mirip bangunan mercusuar.

Adanya kentongan atau bedug yang dibunyikan di masjid sebagai pertanda masuknya waktu shalat menunjukkan adanya unsur Indonesia asli. Bedug atau kentongan tidak ditemukan pada masjid-masjid di Timur Tengah.

Sementara itu, masjid yang dibangun di dalam kompleks makam atau di tempat yang dianggap keramat disebut masjid-makam, masih menggunakan ornamen yang bercorak Hindu-Buddha.

Gapura beratap dan berpintu yang merupakan jalan masuk kompleks makam keramat disebut kori agung. (warisan Hindu), sedangkan gapura yang merupakan jalan masuk kompleks makam disebut candi bentar (juga warisan Hindu). Selain itu, ada juga gapura yang berbentuk candi.

Terakhir, dalam hal letak bangunan masjid. Dalam ajaran Islam letak bangunan masjid tidak diatur secara khusus. Namun, di Indonesia penempatan masjid, khususnya masjid agung, diatur sedemikian rupa sesuai dengan komposisi macapat, di mana masjid ditempatkan di sebelah barat alun-alun dan dekat dengan istana (keraton) yang merupakan simbol bersatunya rakyat dan raja.

Baca juga: Akulturasi Hindu Buddha Islam bidang sastra

Sebutkan bukti arsitektur keraton merupakan perpaduan budaya tradisional Hindu Budha dan Islam

Sebutkan bukti arsitektur keraton merupakan perpaduan budaya tradisional Hindu Budha dan Islam
Lihat Foto

KOMPAS IMAGES/FIKRIA HIDAYAT

Halaman Keraton Kasepuhan Cirebon, Rabu (6/7/2011). Keraton didirikan tahun 1529 oleh Pangeran Mas Mochammad Arifin II yang merupakan cicit Sunan Gunung Jati. Di dalam keraton juga terdapat museum berisi benda pusaka, lukisan koleksi kerajaan serta kereta singa barong.

KERATON Kasepuhan, obyek wisata utama di kota Cirebon, Jawa Barat, mungkin sudah dikenal dan sudah dikunjungi. Namun, apakah Anda sudah benar-benar mengenalnya?

Sementara bentuk bangunan dan berbagai koleksi benda kuno di keraton ini sudah banyak diketahui, perpaduan berbagai unsur agama dan budaya dalam rancang bangun serta benda kuno di Keraton Kasepuhan mungkin terlewatkan.

Keraton Kasepuhan dan pernak-pernik yang tersimpan di dalamnya adalah perpaduan dari tiga agama, yaitu Hindu, Islam, dan Buddha, serta tiga budaya, yaitu Jawa, Tiongkok, dan Eropa. Perpaduan ini menjadikan Keraton Kasepuhan lebih istimewa dari keraton lainnya.

Secara keseluruhan, kompleks keraton terdiri dari keraton itu sendiri, alun-alun, serta masjid. Rancangan ini serupa dengan Keraton Yogyakarta dan Solo, merupakan representasi dari arsitektur Islam nusantara.

Sebutkan bukti arsitektur keraton merupakan perpaduan budaya tradisional Hindu Budha dan Islam

Sebutkan bukti arsitektur keraton merupakan perpaduan budaya tradisional Hindu Budha dan Islam
Lihat Foto

KOMPAS.com / FITRI PRAWITASARI

Kereta Singabarong di Keraton Kasepuhan, Cirebon

Namun demikian, Keraton Kasepuhan masih memiliki unsur Hindu yang kental. Tembok keraton yang terdiri dari bata merah dan bentuk gapura keraton serupa dengan arsitektur bangunan Hindu seperti keraton Majapahit.

Dari sisi budaya, keberadaan Siti Hinggil dan pendopo-pendopo kecil adalah representasi dari bangunan Jawa. Sementara, terdapat juga keramik-keramik dinding yang punya 2 corak, Eropa dan Tiongkok.

Di Taman Bundaran Dewandaru yang terletak di kompleks tengah keraton, unsur Hindu bisa dijumpai dalam wujud Lembu Nandu. Sementara, unsur Eropa berwujud meriam hadiah dari Thomas Stanford Raffles.

Benda kuno keraton yang menunjukkan dengan jelas perpaduan unsur berbagai agama dan budaya adalah kereta kencana Singa Barong, kereta kencana tua canggih pertama buatan Indonesia.

Sebutkan bukti arsitektur keraton merupakan perpaduan budaya tradisional Hindu Budha dan Islam

Sebutkan bukti arsitektur keraton merupakan perpaduan budaya tradisional Hindu Budha dan Islam
Lihat Foto

KOMPAS.COM/FITRI PRAWITASARI

Pengunjung Mengambil Gambar Lukisan Prabu Siliwangi yang Tersimpan di Museum Kereta Singabarong, Keraton Kasepuhan, Cirebon

Sandy Atmawijaya, salah satu pemandu Keraton Kasepuhan, saat ditemui Kompas.comdalam kunjungan beberapa waktu lalu mengatakan, "Desain kereta ini melambangkan persahabatan antar-agama."

Pada bagian depan kereta, terdapat wujud hewan yang merupakan gabungan dari tiga hewan sekaligus, yakni gajah, garuda, dan naga. Belalai gajah adalah lambang agama Hindu, garuda bersayap burak adalah lambang Islam, sedangkan naga adalah lambang Buddha.

Kereta kencana itu, kata Sandy, istimewa karena sudah mengenal sistem suspensi seperti mobil canggih masa kini. Perbedaannya, teknik suspensi ini tidak menggunakan sistem pegas, tetapi kulit. Ada empat sabuk kulit yang membuat kereta ini lebih nyaman dipakai.

Baca tentang

Sebutkan bukti arsitektur keraton merupakan perpaduan budaya tradisional Hindu Budha dan Islam

Sebutkan bukti arsitektur keraton merupakan perpaduan budaya tradisional Hindu Budha dan Islam
Lihat Foto

KOMPAS.com

Masjid Menara Kudus, bukti akulturasi budaya pra-Islam dan budaya Islam di bidang seni bangunan.

KOMPAS.com - Pada perkembangan budaya Islam di Indonesia, terjadi akulturasi budaya pra-Islam dan budaya Islam dalam berbagai bentuk, antara lain seni bangunan, seni ukir atau seni pahat, kesenian, seni sastra dan kalender.

Mengutip Sumber Belajar Kemdikbud RI, seni bangunan dan arsitektur Islam di Indonesia bersifat unik dan akulturatif. Seni bangunan zaman perkembangan Islam yang menonjol terutama adalah:

Berikut ini penjelasannya:

Baca juga: Akulturasi dan Perkembangan Budaya Islam

Masjid dan menara

Dalam seni bangunan Islam, adaa perpaduan antara unsur Islam dengan budaya pra-Islam yang sudah lebih duku ada. Seni bangunan Islam yang menonjol adalah masjid. Sebab fungsi utama masjid adalah sebagai tempat ibadah umat Muslim.

Masjid dalam bahasa Arab mungkin berasal dari bahasa Aramik sajada yang artinya merebahkan diri untuk bersujud ketika salat atau sembahyang.

Berdasarkan hadis shahih al Bukhari, Nabi Muhammad SAW menyatakan "Bumi ini dijadikan bagiku untuk masjid (tempat salat) dan alat pensucian (buat tayamum) dan di tempat mana saja seseorang dari umatku mendapat waktu salat, maka salatlah di situ.

Menurut pengertian hadis itu, agama Islam memberi pengertian secara universal terhadap masjid. Artinya, kaum Muslim leluasa beribadah salat di berbagai tempat yang bersih.

Meski begitu, tetap dirasa perlu mendirikan bangunan khusus yang disebut masjid sebagai tempat peribadatan umat Islam.

Masjid juga berfungsi untuk pusat penyelenggaraan keagamaan Islam, pusat mempraktikkan persamaan hak dan persahabatan di kalangan umat Islam. Sehingga masjid dapat dianggap sebagai pusat kebudayaan orang-orang Muslim.

Di Indonesia sebutan masjid serta bangunan tempat peribadatan lain, sesuai masyarakat dan bahasa setempat. Masjid disebut mesjid di Jawa, masigit dalam bahasa Sunda, meuseugit dalam bahasa Aceh, dan masigi dalam bahasa Makassar dan Bugis.

Baca juga: Pengaruh Islam di Indonesia