Sebagai penegak hukum tindakan apa saja yang harus dilakukan agar pelaku koruptor jera

tirto.id - Juli lalu, saat masih menjabat sebagai Menkopolhukam, Luhut Binsar Pandjaitan membuat geger publik. Pemantiknya adalah lontaran wacana hukuman alternatif bagi koruptor, sehingga mereka tidak perlu dibui.

Wacana tersebut dilatarbelakangi asumsi bahwa koruptor tidak merasakan efek jera saat dipenjara. Ditambah lagi kekhawatiran kondisi beberapa lembaga pemasyarakatan (lapas) yang sudah tidak memadai untuk menerima tambahan narapidana dalam jumlah besar. Kondisi ini mendorong pemerintah mengkaji hukuman apa yang sekiranya dapat membuat para koruptor menjadi jera.

“Kalau dia [koruptor] terbukti merugikan negara, kita bisa hukum dengan mengembalikan uang negara, ditambah penalti dan pemecatan dari jabatannya. Kalau masuk penjara, maka penjara kita bisa penuh nanti,” kata Luhut seperti dikutip dari kantor berita Antara.



Sekilas, pernyataan Luhut soal hukuman alternatif berupa pengembalian uang negara masuk akal. Namun, frase “tidak perlu dipenjara” seolah-olah para terpidana korupsi akan dibiarkan saja berkeliaran bebas, sedangkan maling ayam justru dihukum berat. Kalimat multitafsir Luhut tersebut yang menyulut kemarahan publik.

Hukuman Alternatif

Akan tetapi, pernyataan kontroversi Luhut perlu ditindaklanjuti mengingat hukuman alternatif untuk membuat para koruptor jera sangat urgen. Setidaknya ada dua alasan mengapa penting membahas hukuman alternatif ini. Pertama, kerugian negara yang sangat besar. Kedua, tren vonis koruptor yang semakin ringan, bahkan tidak sedikit yang lolos di Pengadilan Tipikor.

Dalam analisis database korupsi versi V yang dirilis Laboratorium Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM pada April 2016 lalu, disebutkan kerugian negara yang diakibatkan kasus korupsi selama periode 2001-2015 mencapai Rp203,9 triliun. Padahal hukuman finansial berdasarkan putusan pengadilan hanya Rp21,3 triliun.

Untuk diketahui, hukuman finansial adalah gabungan nilai hukuman denda, hukuman pengganti, dan perampasan barang bukti atau aset. Sementara aset non moneter tidak dimasukkan karena tidak ada nilai taksiran dari nilai tersebut di putusan pengadilan.Pertanyaannya, mengapa kerugian negara yang diakibatkan praktik korupsi dengan hukuman finansial yang dibebankan pada terpidana korupsi sangat timpang? Salah satu penyebabnya karena tuntutan jaksa terkait hukuman finansial ini di bawah nilai kerugian negara, sehingga putusan hakim pun dalam menjatuhkan hukuman pembayaran uang pengganti jauh dari nilai uang yang dikorupsi.Sebagai contoh adalah korupsi yang dilakukan pegawai negeri sipil (PNS) selama 2001-2015 yang berjumlah 1.115 terdakwa. Kerugian negara akibat korupsi tersebut mencapai Rp21,27 triliun. Sementara tuntutan jaksa hanya Rp1,04 triliun, sehingga vonis hukuman finansial yang dijatuhkan hanya Rp844 miliar.Contoh lainnya adalah korupsi yang melibatkan anggota legislatif yang berjumlah 480 terpidana. Dalam konteks ini, kerugian negara mencapai Rp1,63 triliun. Namun, tuntutan jaksa hanya kisaran Rp537 miliar sehingga hukuman finansial yang dijatuhkan hakim di pengadilan hanya sebesar Rp402 miliar.Dua contoh di atas menunjukkan bahwa hukuman finansial kepada para terpidana korupsi cenderung suboptimal atau lebih rendah dari kerugian negara yang diakibatkan.

Tak hanya berhenti di hukuman finansial yang rendah. Hukuman berupa vonis penjara juga menunjukkan tren ringan seperti hasil pemantauan peradilan yang dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) selama Januari-Juni 2016 lalu. Pada periode ini, ICW telah melakukan monitoring terhadap 325 perkara korupsi dengan 384 terdakwa yang telah diperiksa dan diputus oleh pengadilan, baik di tingkat pertama, banding, kasasi, maupun Peninjauan Kembali (PK).

Dari 325 perkara korupsi yang berhasil terpantau, nilai kerugian negara yang timbul adalah Rp1,4 triliun dan 19.770.392 dolar Amerika. Data tersebut juga menunjukkan bahwa dari 325 perkara korupsi, sebanyak 319 terdakwa dinyatakan bersalah dan terbukti korupsi, 46 terdakwa divonis bebas atau lepas oleh pengadilan, sedangkan 19 terdakwa tidak dapat diidentifikasi. Persoalannya, rata-rata vonis untuk koruptor hanya 25 bulan atau 2 tahun 1 bulan penjara.Kalau dibandingkan dengan periode yang sama, maka tren vonis ringan tersebut tiap tahun selalu meningkat. Misalnya pada Januari-Juni 2016, para koruptor yang divonis ringan berjumlah 275 orang, meningkat dari tahun 2015 yang berjumlah 163 orang.Artinya, baik data yang dirilis oleh Laboratorium Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM pada April 2016, dan data yang keluarkan ICW pada Juni 2016 menunjukkan tren yang sama. Yang satu menunjukkan bahwa hukuman finansial yang rendah, sedangkan data lainnya menunjukkan terjadinya tren vonis hukuman penjara yang ringan, bahkan tidak sedikit yang divonis bebas oleh Pengadilan Tipikor. Dalam konteks ini, usulan hukuman alternatif bagi koruptor agar menjadi jera, seperti memiskinkan terpidana koruptor menjadi relevan. Bagaimana dengan wacana koruptor akan dihukum mati?Pro kontra soal hukuman mati bagi koruptor bukan hal baru. Wacana ini mengemuka kembali seiring dengan tren vonis pengadilan terhadap terdakwa korupsi yang kerap di bawah tuntutan jaksa. Sehingga, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo berpikir agar para terdakwa korupsi bisa dihukum mati.

“Saya bertanya ke teman-teman ahli hukum, kalau kita mulai terapkan tuntutan mati gimana? Hanya di situ [UU Tipikor] pada keadaan tertentu. Tetapi, untuk saya, korupsi dalam jumlah besar pun layak [divonis mati],” ujarnya seperti dikutip kompas.com, pada Februari lalu.

Hukuman mati bagi koruptor memang dimungkinkan oleh Undang-Undang (UU), tapi hanya dalam keadaan tertentu. Misalnya pada Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan, keadaan tertentu yang dimaksud adalah korupsi dana penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.

Saat tes wawancara seleksi calon pimpinan KPK 2015 lalu, soal kemungkinan hukuman mati bagi koruptor juga menjadi pertanyaan panitia seleksi (pansel). Jimly Asshiddiqie, salah satu calon pimpinan KPK saat itu menegaskan, koruptor tidak perlu dihukum mati. Wacana hukuman mati terhadap para koruptor ‎hanya merupakan bentuk kemarahan publik.“Kalau ikut emosi kita setuju saja [hukuman mati]. Bahkan pas saya marah pada kasus Akil Mochtar 'hukum mati saja orang itu'. Tapi itu konteks orang marah,” ujarnya saat diwawancara Pansel Capim KPK, Agustus 2015 lalu.Bagi Jimly, hukuman mati di Indonesia seharusnya dikurangi karena berpotensi bertentangan dengan dasar negara sila ke-2, yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini mengatakan, sanksi yang tepat terhadap koruptor adalah dengan memiskinkan mereka.Terlepas dari pro kontra hukuman mati bagi koruptor di atas, yang jelas jangan sampai korupsi menggerogoti bangsa ini. Penegakan hukum terhadap para koruptor harus tegas, vonis berat serta hukuman finansial yang besar merupakan ganjaran yang tepat dan adil.

Zero toleran untuk korupsi!!

HUKUMAN PEMBERAT DENGAN MEMISKINKAN KORUPTOR SEBAGAI EFEK JERA PARA PELAKU KORUPSI MENURUT AL-QUR’AN

Setyo Hadi Wicaksono Universitas Negeri Malang, Jalan Semarang No 5

Surel :

Abstrak

Pada Artikel ini disajikan informasi mengenai penerapan hukuman harta rampasan perang dapat diterapkan dalam proses penghukuman koruptor. Hal ini dapat dilakukan dengan pengembalian harta yang telah dikorupsi oleh pelaku secara utuh kepada negara. Selain itu perlu adanya tambahan denda berupa materi dengan presentase 50 persen dari harta kekayaannya sendiri. Hal ini dilakukan agar para koruptor mendapatkan efek jera sehingga korupsi dapat diminimalisir.

Pembagian harta rampasan atau denda dari koruptor diserahkan kepada negara untuk dimasukkan dalam kas negara. Untuk selanjutnya uang denda tersebut dapat digunakan untuk kepentingan rakyat.

Kata Kunci : Korupsi, koruptor, harta rampasan perang, Fa’i, Ghanimah

Di Indonesia korupsi diatur dalam Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, sebagaimana tercantum dalam Bab II Pasal 2 yang dimaksud dengan korupsi adalah: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.” Korupsi di Indonesia sudah menjadi hal yang sering dibicarakan dan juga sering terjadi. Menurut Dr. Uhar Suharsaputra di kutip dari website nya mengatakan bahwa korupsi telah menjadi budaya berdasarkan fenomena yang telah terjadi di masyarakat.

Korupsi telah menjadi hal yang sudah biasa bahkan dapat dikatakan wajar di kalangan masyarakat. Menurut Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jenis-jenis korupsi adalah kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan serta gratifikasi. Penyebab-penyebab utama korupsi adalah etika dan moral masyarakat, pejabat-pejabat yang serakah, penegakan hukum di Indonesia yang masih bisa disuap, hukuman yang ringan kepada koruptor, dan korupsi yang seakan-akan telah menjadi budaya.

Korupsi yang dianggap semakin membudaya membuat masyarakat menjadi tidak segan dalam melakukan hal tersebut. Hukuman bagi koruptor yang dianggap ringan kurang menimbulkan efek jera bagi para pelakunya. Sehingga masyarakat jadi tidak takut untuk melakukan korupsi.  Oleh karena itu dibutuhkan hukuman yang dapat membuat efek jera terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi di masyarakat. Dalam artikel ini akan dibahas mengenai pengembalian harta negara dari koruptor sebagai penerapan Fa’i dan Ghanimah berdasarkan Al-Quran.

Tujuan

Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan karya tulis ini adalah :

1. Mendiskripsikan penanganan korupsi yang telah dilakukan selama ini.

2. Mendiskripsikan solusi penanganan kasus korupsi yang dapat menimbulkan efek jera dalam masyarakat.

Manfaat

1. Bagi Penulis

Sebagai wadah untuk memperkaya wawasan , pengetahuan, serta pengalaman terkait penanganan kasus korupsi.

2. Bagi Masyarakat

Sebagai wadah masyarakat agar dapat ikut serta dalam memberantas tindak pidana korupsi.

3. Bagi Pemerintah

Dengan adanya solusi pemberantasan korupsi ini pemerintah diharapkan dapat mempertimbangkannya agar dapat menjadi alternatif hukuman untuk para pelaku tindak pidana korupsi agar memberikan efek jera.

BAHASAN

A. Kondisi Kekinian

Di era yang semakin modern ini praktik penyelenggaraan negara perlu mendapat pengawasan yang lebih layak untuk mencegah kemungkinan terjadinya korupsi. Ketika pemerintah lalai dalam mengawal pemberantasan korupsi, yang terjadi korupsi semakin terus terjadi sehingga tidak ada efek jera bagi para pelaku korupsi.

Indonesia Corruption Watch mencatat jumlah uang pengganti dan denda yang dibebankan pemerintah terhadap koruptor selama ini hanya mencapai kurang dari tiga puluh persen kerugian negara. Dari data yang diperoleh ICW Januari- Juni 2016 besaran vonis berupa uang pengganti yang harus dikembalikan oleh para koruptor Rp 456.138.028.928 adalah kurang dari 30 persen dari jumlah kerugian negara yang timbul yaitu Rp 1,5 Triliun.

Selain itu ICW juga kembali menulis bahwa tuntutan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum selama ini masih terlampau ringan dibandingkan dengan kerugian yang disebabkan oleh koruptor. Berdasarkan pantauan ICW selama Januari hingga Juni 2016 vonis terdakwa korupsi hanya berkisaran 2 tahun 1 bulan penjara. Vonis penjara dan denda yang ringan untuk koruptor pada faktanya hanya akan menguntungkan dan mengurangi efek jera bagi para pelaku.

B.Solusi yang pernah ditawarkan sebelumya

Ada beberapa kasus korupsi yang terjadi di zaman Rasululloh. Salah satunya adalah korupsi Abdullah bin al-Lutbiyyah (atau Ibn al-Atbiyyah), petugas pemungut zakat di Bani Sulaim. Kasus ini terjadi pada tahun 9 H. Sebagai petugas pemungut zakat, dia menjalankan tugasnya di Bani Sulaim. Sekembalinya dari bertugas, Ibn al-Lutbiyyah melaporkan hasil penarikan zakat yang diperolehnya dan beberapa yang dia anggap sebagai hadiah untuknya (sebagai petugas). Ibnu al-Lutbiyyah berkata kepada Rasulullah SAW, “Ini adalah hasil pungutan zakat untukmu (Rasulullah/Negara); dan yang ini hadiah untuk saya.” Mendengar laporan ini, Rasulullah SAW menolak hadiah yang diperoleh saat seseorang menjadi petugas. Rasulullah SAW bersabda, “Jika kamu duduk saja di rumah bapak dan ibumu, apakah hadiah itu akan datang sendiri untuk kamu?” Kemudian, Rasulullah SAW langsung naik mimbar berpidato di hadapan orang banyak untuk memberitahukan ke publik tentang peristiwa ini.

Hadits tentang kasus Ibn al-Lutbiyyah ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dan al-Bukhari dengan redaksi Imam Muslim sebagai berikut :

“Dari Abi Humaid as-Sa’idi ra (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah SAW mengangkat seorang lelaki dari suku al-Azd bernama Ibn al-Lutbiyyah untuk menjadi pejabat pemungut zakat di Bani Sulaim. Ketika ia datang (menghadap Nabi SAW untuk melaporkan hasil pemungutan zakat) beliau memeriksanya. Ia berkata: “Ini harta zakatmu (Nabi/Negara), dan yang ini adalah hadiah (yang diberikan kepadaku).” Lalu Rasulullah SAW bersabda, “jika engkau memang benar, maka apakah kalau engkau duduk di rumah ayahmu atau di rumah ibumu hadiah itu datang kepadamu?” Kemudian Nabi SAW berpidato mengucapkan tahmid dan memuji Allah, lalu berkata: “Selanjutnya saya mengangkat seseorang di antaramu untuk melakukan tugas yang menjadi bagian dari apa yang telah dibebankan Allah kepadaku. Lalu, orang tersebut datang dan berkata: “ini hartamu (Rasulullah /Negara) dan ini adalah hadiah yang diberikan kepadaku.” Jika ia memang benar, maka apakah kalau ia duduk saja di rumah ayah dan ibunya hadiah itu juga datang kepadanya? Demi Allah begitu seseorang mengambil sesuatu dari hadiah tanpa hak, maka nanti di hari kiamat ia akan menemui Allah dengan membawa hadiah (yang diambilnya itu), lalu saya akan mengenali seseorang dari kamu ketika menemui Allah itu ia memikul di atas pundaknya unta (yang dulu diambilnya) melengkik atau sapi melenguh atau kambing mengembik… (HR. al-Bukhari dan Muslim dan teks dari Muslim).”

Tindakan Nabi berpidato di hadapan publik membicarakan ketidakbenaran yang dilakukan oleh bawahannya ini dapat dikatakan bahwa Nabi SAW mempublikasikan tindakan koruptor di media massa atau tempat umum agar menjadi pembelajaran bagi publik, dan agar seorang koruptor dan keluarganya malu dan jera dari tindakan korupsinya.

Hasil pantauan sejak Januari 2012 hingga Juni 2016, ICW menemukan 7 permasalahan utama. Pertama, hukuman bagi pelaku korupsi semakin ringan dan menguntungkan koruptor dibuktikan dengan adanya vonis hakim yang semakin ringan. Kedua, Jaksa penuntut umum mengajukan tuntutan ringan. Ketiga, pengenaan denda pidana serta uang pengganti korupsi tidak maksimal. Kelima, aktor yang paling banyak terjerat korupsi adalah pegawai negeri sipil dan swasta. Keenam, tuntutan dan hukuman berupa pencabutan hak masih minim. Serta, pengelolaan informasi di Mahkamah Agung belum memadai.

C.Hukuman Pemberat dengan Memiskinkan Koruptor Sebagai Efek Jera Para Pelaku Korupsi

Dalam Islam dikenal adanya Fa’i dan Ghanimah. Tim penerjemah Depag RI dalam catatan kaki surat Al Hasyr ayat 6 berkata :

“Fai-i ialah harta rampasan yang diperoleh dari musuh tanpa terjadinya pertempuran. Pembagiannya berlainan dengan pembagian ghanimah. Ghanimah harta rampasan yang diperoleh dari musuh setelah terjadi pertempuran. Pembagian fai-i sebagai yang tersebut pada ayat 7. 

Ayat 7 surat Al Hasyr yang menjadi dasar pembagian Fa’i bunyinya adalah

“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”.

Penerapan hukuman harta rampasan perang dapat diterapkan dalam proses penghukuman koruptor. Hal ini dapat dilakukan dengan pengembalian harta yang telah dikorupsi oleh pelaku secara utuh kepada negara. Selain itu perlu adanya tambahan denda berupa materi dengan presentase 50 persen dari harta kekayaannya sendiri. Hal ini dilakukan agar para koruptor mendapatkan efek jera sehingga korupsi dapat diminimalisir. Pembagian harta rampasan atau denda dari koruptor diserahkan kepada negara untuk dimasukkan dalam kas negara. Untuk selanjutnya uang denda tersebut dapat digunakan untuk kepentingan rakyat.

D. Pihak-Pihak yang Membantu Pengimplementasian

Pihak-pihak yang dapat membantu dalam pengimplementasian:

1. Pemerintah

Pemerintah selaku pembuat peraturan terkait seharusnya membuat peraturan yang dapat mendukung terlaksananya aturan ini.

2. Masyarakat

Sebagai warga negara yang baik diharapkan masyarakat dapat mendukung peraturan ini dengan memberikan aspirasinya.

E. Langkah –Langkah Strategis yang Diperlukan

Untuk mencapai tujuan terwujudnya gagasan ini diperlukan langkah-langkah yang strategis sebagai berikut :

1. Diperlukan adanya dukungan dari masyarakat agar peraturan ini terlaksana, sehingga tindak pidana korupsi dapat diminimalisir.

2. Pemerintah diharapkan dapat menampung aspirasi masyarakat tentang hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi sehingga peraturan pemiskinan koruptor untuk memberikan efek jera terhadap koruptor dapat terlaksana.

SIMPULAN

a. Gagasan Yang Diajukan

Penerapan hukuman harta rampasan perang dapat diterapkan dalam proses penghukuman koruptor. Hal ini dapat dilakukan dengan pengembalian harta yang telah dikorupsi oleh pelaku secara utuh kepada negara. Selain itu perlu adanya tambahan denda berupa materi dengan presentase 50 persen dari harta kekayaannya sendiri.

Hal ini dilakukan agar para koruptor mendapatkan efek jera sehingga korupsi dapat diminimalisir.Pembagian harta rampasan atau denda dari koruptor diserahkan kepada negara untuk dimasukkan dalam kas negara. Untuk selanjutnya uang denda tersebut dapat digunakan untuk kepentingan rakyat.

b. Teknik Implementasi yang Akan Dilakukan

Teknik yang digunakan dalam melaksanakan pemberatan hukuman dengan memiskinkan koruptor sebagai efek jera para pelaku korupsi adalah :

1) Pengkajian ayat-ayat Al-Qur’an tentang harta rampasan perang agar dapat diterapkan dalam proses pemiskinan koruptor untuk memberikan efek jera pada para pelaku korupsi

2) Pembuatan peraturan terkait dengan sanksi dan hukuman bagi para pelaku korupsi disesuaikan dengan ayat-ayat Al-Qur’an tentang harta rampasan perang.

3) Pelaksanaan peraturan.

c. Prediksi yang Akan Dicapai

Jika pemberatan hukuman para koruptor ini dapat terwujud maka pemberantasan korupsi di Indonesia akan sangat terbantu dan dapat dilaksanakan dengan tepat.

Manfaat yang timbul karena adanya hal tersebut adalah

1. Hukuman untuk koruptor dirasa mencapai keadilan dengan adanya hal tersebut.

2. Sanksi untuk koruptor yang berat akan membuat para oknum-oknum yang ingin berkorupsi berpikir-pikir terlebih dahulu.

3. Efek dari hukuman pemiskinan koruptor ini akan secara panjang yakni membuat para koruptor menjadi jera sehingga tidak melakukan korupsi lagi.

4. Hal itu juga menjadi contoh baik untuk masyarakat untuk tidak mencoba-coba korupsi karena hukumannya yang berat.

5. Korupsi yang sudah dianggap membudaya dapat dicegah dan diatasi dengan hukuman yang seadil-adilnya.

DAFTAR RUJUKAN

Ghanimah Dan Tawanan Perang Badar . (Online), (//almanhaj.or.id/3756-ghanimah-dan-tawanan-perang-badar.html) , Diakses pada 05 April 2017 Bab 11 Tentang Rampasan Perang. (Online),  (//ikhwahmedia.wordpress.com/2015/02/20/bab-11-tentang-rampasan-perang/), diakses pada 05 April 2017 Sidharta, Jennifer. 2016. Tren Hukuman Koruptor Semakin Ringan Dari Tahun Ke Tahun. (Online), (//www.rappler.com/indonesia/144985-icw-tren-hukuman-koruptor-ringan), diakses pada 05 April 2017 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (Online), (//www.tatanusa.co.id/nonkuhp/1999UU31.pdf), diakses pada 04 April 2017 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. (Online), (//kpu.go.id/dmdocuments/UU202001.pdf), diakses pada 04 April 2017

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA