Salat jamak dan qashar diperbolehkan apabila dalam perjalanan yang jauhnya kurang lebih

Berapa jarak yang disebut safar sehingga boleh mengqashar shalat?

Para ulama berselisih pendapat mengenai batasan jarak sehingga disebut safar sehingga boleh mengqashar shalat. Ada tiga pendapat dalam hal ini:

a- Jarak disebut safar jika telah mencapai 48 mil atau 85 km.

Inilah pendapat dari mayoritas ulama dari kalangan Syafi’i, Hambali dan Maliki. Dalil mereka adalah hadits,

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهم – يَقْصُرَانِ وَيُفْطِرَانِ فِى أَرْبَعَةِ بُرُدٍ وَهْىَ سِتَّةَ عَشَرَ فَرْسَخًا

“Dahulu Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum mengqashar shalat dan tidak berpuasa ketika bersafar menempuh jarak 4 burud (yaitu: 16 farsakh).” (HR. Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad-. Diwasholkan oleh Al Baihaqi 3: 137. Lihat Al Irwa’ 565)

Sanggahan: Hadits di atas bukan menunjukkan batasan jarak disebut bersafar sehingga boleh mengqashar shalat.

b- Disebut safar jika telah melakukan perjalanan dengan berjalan selama tiga hari tiga malam.

Inilah pendapat ulama Hanafiyah. Dalil mereka adalah hadits dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَمٍ

“Janganlah seseorang itu bersafar selama tiga hari kecuali bersama mahramnya.” (HR. Bukhari no. 1086 dan Muslim no. 1338).

Begitu pula berdalil dengan hadits ‘Ali, ia berkata,

جَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ لِلْمُسَافِرِ وَيَوْمًا وَلَيْلَةً لِلْمُقِيمِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan tiga hari tiga malam sebagai jangka waktu mengusap khuf bagi musafir, sedangkan sehari semalam untuk mukim.” (HR. Muslim no. 276)

Sanggahan: Dua hadits di atas juga tidak menunjukkan batasan jarak safar.

c- Tidak ada batasan untuk jarak safar, selama sudah disebut safar, maka sudah boleh mengqashar shalat.

Inilah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan madzhab Zhahiri.

Ada hadits yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menempuh jarak kurang dari yang tadi disebutkan. Namun ketika itu beliau sudah mengqashar shalat.

عَنْ يَحْيَى بْنِ يَزِيدَ الْهُنَائِىِّ قَالَ سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ عَنْ قَصْرِ الصَّلاَةِ فَقَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا خَرَجَ مَسِيرَةَ ثَلاَثَةِ أَمْيَالٍ أَوْ ثَلاَثَةِ فَرَاسِخَ – شُعْبَةُ الشَّاكُّ – صَلَّى رَكْعَتَيْنِ

“Dari Yahya bin Yazid Al Huna-i, ia berkata, “Aku pernah bertanya pada Anas bin Malik mengenai qashar shalat. Anas menyebutkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menempuh jarak 3 mil atau 3 farsakh –Syu’bah ragu akan penyebutan hal ini-, lalu beliau melaksanakan shalat dua raka’at (qashar shalat).” (HR. Muslim no. 691).

Ibnu Hajar Al Asqolani menyatakan,

وَهُوَ أَصَحّ حَدِيث وَرَدَ فِي بَيَان ذَلِكَ وَأَصْرَحه

“Itulah hadits yang paling shahih yang menerangkan masalah jarak safar untuk bisa mengqashar shalat. Itulah hadits yang paling tegas.” (Fathul Bari, 2: 567)

Jumhur ulama (mayoritas ulama) yang menyelisihi pendapat di atas, mereka menyanggah bahwa jarak yang dimaksud dalam hadits adalah jarak saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai qashar, bukan jarak tujuan yang ingin dicapai.

Dalil lain yang mendukung pendapat ketiga ini adalah hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ – رضى الله عنه – قَالَ صَلَّى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِالْمَدِينَةِ أَرْبَعًا ، وَبِذِى الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ

“Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di Madinah empat raka’at, dan di Dzul Hulaifah (saat ini disebut dengan: Bir Ali) shalat sebanyak dua raka’at.” (HR. Bukhari no. 1089 dan Muslim no. 690). Padahal jarak antara Madinah dan Bir Ali hanya sekitar tiga mil.

Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak memberikan batasan untuk jarak safar, tidak juga memberikan batasan waktu atau pun tempat. Berbagai pendapat yang diutarakan dalam masalah ini saling kontradiksi. Dalil yang menyebutkan adanya batasan tidak bisa dijadikan alasan karena saling kontradiksi.

Untuk menentukan batasan disebut safar amatlah sulit karena bumi sendiri sulit untuk diukur dengan ukuran jarak tertentu dalam mayoritas safar. Pergerakan musafir pun berbeda-beda. Hendaklah kita tetap membawa makna mutlak sebagaimana disebutkan oleh syari’at. Begitu pula jika syari’at mengaitkan dengan sesuatu, kita juga harus menetapkan demikian pula.

Initnya, setiap musafir boleh mengqashar shalat di setiap keadaan yang disebut safar. Begitu pula tetap berlaku berbagai hukum safar seperti mengqashar shalat, shalat di atas kendaraan dan mengusap khuf.” (Majmu’ Al Fatawa, 24: 12-13).

Kesimpulan:

Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat ketiga. Selama suatu perjalanan disebut safar baik menempuh jarak dekat maupun jauh, maka boleh mengqashar shalat. Kalau mau disebut safar, maka ia akan berkata, “saya akan safar”, bukan sekedar berkata, “saya akan pergi”. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1: 481).

Kalau sulit untuk menentukan itu safar ataukah tidak, maka pendapat jumhur (mayoritas ulama) bisa digunakan yaitu memakai jarak 85 km. Berarti jika telah menempuh jarak 85 km dari akhir bangunan di kotanya, maka sudah disebut safar. Wallahu a’lam.

Selesai disusun di Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, 03:46 PM, 2 Rajab 1436 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Ikuti update artikel Rumaysho.Com di Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat (sudah 3,6 juta fans), Facebook Muhammad Abduh Tuasikal, Twitter @RumayshoCom, Instagram RumayshoCom

Untuk bertanya pada Ustadz, cukup tulis pertanyaan di kolom komentar. Jika ada kesempatan, beliau akan jawab.

Islam hadir dengan membawa kemudahan. Bagi muslim yang sedang melakukan perjalanan atau safar, mendapatkan keringanan untuk qashar shalat; meringkas shalat wajib yang berjumlah empat rekaat menjadi dua rekaat. Masalahnya, apakah setiap perjalanan yang ditempuh itu bisa dijadikan alasan untuk qashar shalat? Sebenarnya berapa jarak tempuh minimal sehingga bisa diberlakukan hukum qashar shalat bagi musafir?

Penting untuk diketahui bahwa qashar shalat bagi musafir adalah bentuk keringanan syariat Islam yang memiliki dalil dan dasar hukum kuat dalam Islam.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُواْ مِنَ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُواْ إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُواْ لَكُمْ عَدُوًّا مُّبِينًا

“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. An-Nisa: 101)

Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata:

صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ لَا يَزِيدُ فِي السَّفَرِ عَلَى رَكْعَتَيْنِ وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ كَذَلِكَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ

“Aku pernah menemani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perjalanannya dan beliau tidak pernah mengerjakan shalat lebih dari dua rekaat. Demikian juga yang dilakukan oleh Abu Bakar, Umar, dan Utsman radhiyallahu ‘anhum.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Di dalam hadist Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya ia berkata:

الصَّلاَةُ  أَوَّلُ مَا فُرِضَتْ رَكْعَتَانِ فَأُقِرَّتْ صَلاَةُ السَّفَرِ وَأُتِمَّتْ صَلاَةُ الْحَضَرِ

“Ketika shalat pertama kali diwajibkan adalah dua rekaat, lalu dua rekaaat tersebut ditetapkan sebagai sholat safar, dan disempurnakan ( menjadi empat rekaat) untuk sholat orang yang sedang muqim.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Begitu juga dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya ia berkata:

إِنَّ اللهَ فَرَضَ الصَّلَاةَ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّكُمْ عَلَى الْمُسَافِرِ رَكْعَتَيْنِ وَعَلَى الْمُقِيمِ أَرْبَعًا وَفِي الْخَوْفِ رَكْعَةً

“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah mewajibkan melalui lisan Nabi kalian bagi musafir shalat dua rekat (qashar), dan bagi orang yang mukim empat rekaat, dan shalat khauf satu rekaat.” (HR. Muslim)

Baca juga: Jamak Shalat Ketika Bepergian atau Safar 

Perbedaan Pendapat Jarak Minimal Perjalanan Boleh Qashar Shalat bagi Musafir

Ada beberapa perbedaan persepsi tentang jarak minimal sebuah perjalanan sehingga bisa disebut dengan safar dan disunnahkan qashar shalat bagi musafir. Perbedaan tersebut muncul karena adanya perbedaan standar alat ukur jarak yang ada pada tiap zaman.

Pertama, penentuan jarak minimal safar dengan ukuran hari

Sebuah perjalanan disebut sebagai safar dan berlaku syariat qashar shalat ketika perjalanan tersebut telah mencapai durasi tiga hari perjalanan. Berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

جَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ-صلى الله عليه وسلم-ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ لِلْمُسَافِرِ وَيَوْمًا وَلَيْلَةً لِلْمُقِيمِ (مسلم 276)

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan tiga hari tiga malam sebagai jangka waktu mengusap khuf bagi musafir, sedangkan sehari semalam untuk mukim.” (HR. Muslim no. 276)

Ada juga ulama yang mengatakan minimal satu hari penuh perjalanan. Ini adalah pendapat al-Auza’I dan Ibnu Mundzir (Al-Ausath, Ibnu Mundzir, 4/350). Pendapat ini didasarkan pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ يَحِلُّ لامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَيْسَ مَعَهَا حُرْمَةٌ

“Seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidak boleh melakukan safar sejauh sehari semalam perjalanan tanpa mahram.” (HR. Al-Bukhari & Muslim)

Maksud dari ‘tiga hari perjalanan’ dalam hadits di atas adalah perjalanan dengan mengendarai unta atau dengan berjalan kaki, bukan dengan mobil, sepeda motor, pesawat, atau alat transportasi modern lainnya.

Bahkan, menurut pendapat mazhab hanafi, jika saja perjalanan menggunakan unta atau berjalan kaki tersebut bisa lebih cepat mencapai tujuan yang biasanya ditempuh dalam tiga hari, baru dua hari sudah sampai tujuan misalnya, boleh untuk qasha shalat bagi musafir. (Bada-I’ ash-Shana-I’, 1/93, Ad-Durrul Mukhtar, 2/1233)

Penetuan jarak minimal dengan standar hari sebagai durasi perjalanan ini barangkali memang pada saat itu belum ada alat ukur jarak secanggih alat ukur jarak jaman sekarang.

Baca juga: Cara Qadha’ Shalat Fardhu yang Tertinggal

Kedua, penentuan jarak minimal safar dengan definisi etimologi

Penentuan jarak safar dengan metode ini menyatakan bahwa baik perjalanan itu jauh atau dekat, itu sudah cukup disebut dengan safar. Ulama yang menggunakan metode ini adalah mazhab Zahiri dan sebuah pendapat Ibnu Qudamah al-Maqdisi dari mazhab Hanbali.

Metode ini didasarkan dari pemahaman ayat,

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُواْ مِنَ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُواْ إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُواْ لَكُمْ عَدُوًّا مُّبِينًا

“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat (mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. An-Nisa: 101)

Mazhab yang meyakini metode ini memahami bahwa istilah Dharabtum fil Ardhi dalam ayat di atas tidak memiliki Taqyid, pengikat. Artinya, tidak ada nash khusus yang menjelaskan dengan pasti makna istilah itu; seberapa batas minimal jarak perjalanan sehingga disebut dengan safar.

Sehingga, dalam metode tafsir ayat, jika tak ditemui alat penafsiran lain maka pemahaman terhadap sebuah istilah dalam ayat dikembalikan kepada makna bahasa. Dalam hal ini, menurut pendapat Zahiri, definisi bahasa (etimologi) dari istilah safar adalah ‘Perjalanan yang melebihi satu mil’.

Dengan demikian, menurut pemahaman mazhab ini, syariat qashar shalat bagi musafir tidak berlaku jika jarak perjalanannya kurang dari 1 mil. (Al-Muhalla, 3/212-215)

Baca juga: Mengulang Shalat Karena Belum Masuk Waktunya

Ketiga, penentuan jarak minimal safar dengan standar urf/adat

Tentang masalah penentuan jarak minimal sebuah perjalanan bisa disebut dengan safar dan mulai dibolehkan qashar shalat bagi musafir, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah lebih cenderung kepada penggunaan standar Urf/adat masing-masing daerah.

Mengapa beliau menjadikan Urf sebagai dalil penentuan batas minimal jarak safar? Sebab, menurut beliau istilah safar ini memang tidak ada nash yang secara jelas digunakan sebagai dalil untuk memaknai seberapa ketentuan jarak minimalnya. Syaikh Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,

كُلُّ اِسْمٍ لَيْسَ لَهُ حَدٌّ فِي اللُّغَةِ وَلَا فِي الشَّرْعِ فَالْمَرْجَعُ فِيْهِ إِلَى الْعُرْفِ، فَمَا كَانَ سَفَرًا فِي عُرْفِ النَّاسِ فَهُوَ السَّفَرُ الَّذِي عَلَقَ بِهِ الشَّارِعُ اَلْحُكْمَ. (مجموع الفتاوى 24/40-43)

“Setiap nama yang tidak memiliki batasan makna yang jelas dari segi etimologis dan dari segi definisi syar’I (termiologis) maka dikembalikan pemaknaannya kepada ‘Urf/adat. Sehingga, jika sebuah perjalanan sudah dianggap sebagai ‘Safar’ dalam ‘Urf/adat kaum wilayah tertentu, maka itulah definisi ‘Safar’ yang memiliki niai hukum secara syar’i.” (Majmu’ al-Fatawa, Syaikh Ibnu Taimiyah, 24/40-43)

Beliau juga menunjukkan adanya beberapa pengikut mazhab Imam Ahmad yang membolehkan qashar shalat bagi musafir baik itu jarak dekat ataupun jauh. Sebab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pun juga tidak pernah menentukan batasan bolehnya qashar shalat bagi musafir baik dengan batasan jarak perjalanan atau durasi waktu perjalanan. Dan menurut beliau, inilah pendapat mayoritas para ulama Salaf dan Khalaf yang paling mendekati kebenaran pada sisi pendalilannya. (Majmu’ al-Fatawa, Syaikh Ibnu Taimiyah, 24/155)

Keempat, penentuan jarak minimal safar dengan standar ukuran satuan jarak

Yaitu dengan menggunakan ukuran jarak dengan satuan ukuran tertentu. Dalam hal ini, jarak minimal sebuah perjalanan bisa disebut dengan ‘safar’ adalah 4 burud. Ini adalah pendapat jumhur dari mayoritas ulama mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. (Mawahibul Jalil. 2/140. Nihayatul Muhtaj, 2/257.  Kasyaful Qina’, 1/5044)

Satu burud/barid sama jaraknya dengan perjalanan setengah hari. Jika dikonversikan dengan satuan jarak modern, 1 Burud sama dengan 81-88 km. (Syarh al Mumti’, 6/342. Fiqhul Islam wa Adillatuhu, 2/477. Minhatul ‘Allam, 3/4655)

Baca juga: Di Masjid Sedang Shalat Isya’, Saya Belum Shalat Maghrib

Bukan Ketentuan Baku Diberlakukannya Qashar Shalat Bagi Musafir

Standar penentuan jarak di atas bukanlah ketentuan yang sifatnya baku dan mutlak, mengingat tidak ditemukannya nash yang secara jelas menjadi dalil penentuannya. Ini adalah pembahasan fikih yang menjadi ranah ijtihad para ulama sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pendapat manapun yang dipilih dan diyakini memiliki argumentasi paling kuat, boleh untuk diamalkan.

Sehingga, jarak berapapun yang mendekati ukuran itu atau lebih jauh dari itu boleh dijadikan alasan qashar shalat bagi musafir.  Namun tetap, jika kurang dari jarak minimal yang dibahas oleh para ulama, tidak boleh qashar shalat bagi musafir. Inilah pendapat mayoritas ulama fikih. [M. Shodiq/dakwah.id]

Topik Terkait