Diunggah pada : 6 Desember 2020 12:22:39 1 Show
Jatim Newsroom - Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, menharapkan desa wisata membawa manfaat bagi sektor-sektor lainnya. Salah satunya terhadap kemajuan UMKM (usaha mikro kecil menengah) yang berdampak pada serapan tenaga kerja di lingkungan sekitarnya. Hal tersebut disampaikan saat menutup gelaran Jambore Desa Wisata secara virtual di halaman Jatim Park 3, Kota Batu, yang berlangsung sejak 3-5 Desember 2020. "Pelaku UMKM harus mendapat perhatian besar untuk membuka peluang pemasaran. Hal ini tercermin dari gagasannya untuk setiap pembelanjaan dengan anggaran di atas Rp 2,5 miliar wajib menyerap produk UMKM," katanya, Sabtu(5/12/2020). Dalam gelaran Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jatim ini, setiap kontingen mengirimkan delegasi yang terdiri dari pengurus kelompok sadar wisata (pokdarwis) serta menampilkan potensi-potensi wisata dari perwakilan desa terpilih tiap kabupaten/kota. "Dengan adanya kegiatan ini, kita bisa saling mengkaji dan menguatkan sehingga desa wisata dapat berkembang dan memberikan efek berantai untuk sektor lainnya," sambung Khofifah. Dengan begitu maka produk UMKM akan menjadi nilai tambah dan daya tarik dari paket wisata yang ditawarkan di masing-masing desa wisata saat yang sama BUMDES juga dapat berkembang. Saat ini Jatim memiliki 479 desa wisata yang tersebar di 38 kab/kota dengan rincian, 23 desa wisata kategori mandiri, 14 desa wisata kategori berkembang dan 442 desa wisata dalam kategori rintisan/potensi. Pembagian kategori tersebut berdasarkan Indeks Desa Wisata yang telah disusun Disbudpar Prov Jatim berkolaborasi dengan asosiasi dan akademisi perguruan tinggi dengan memperhitungkan 85 variabel/sub indeks yang telah disusun. Dari jumlah 479 desa wisata tersebut, sambung Khofifah, masing-masing memiliki memiliki keunikan tersendiri. Seperti desa wisata alam yakni gunung, pantai, danau/ranu, sungai, goa, dll. Kemudian desa wisata budaya yang menyajikan tradisi, sejarah, keyakinan, kerajinan, makanan tradisional, upacara adat/ agama, dll. Serta desa wisata buatan seperti amusement park, taman bunga, spot selfie, sentra, kebun buah, dan lainnya. “ Tren wisata yang dahulunya cenderung ke quantity tourism kini menjadi quality tourism. Konsep ini sendiri erat kaitanya dengan Desa Wisata. Hal ini dikarenakan masyarakat cenderung memilih wisata alam yang memungkinkan untuk melakukan physical distancing,” terang Gubernur. Di era pandemi ini, destinasi wisata didorong untuk bisa menerapkan standar protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) yang telah menetapkan protokol CHSE (Clean, Health, Safety and Environment) sebagai petunjuk bagi pelaku industri pariwisata untuk mereaktifasi kembali usahanya. Khofifah menambahkan, pengembangan potensi produk unggulan di desa wisata terus dilakukan tidak hanya untuk menggaet wisatawan, tapi juga mendorong pemasarannya tidak hanya di pasar dalam negeri tapi juga ekspor ke mancanegara. Dimana Pemprov Jatim akan memperkuat sinergi dan kolaborasi program-program antar berbagai Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di lingkungan Pemprov untuk ikut mengembangkan potensi desa wisata dan UMKM di dalamnya. “Sinergi dan kolaborasi program ini misalnya di pengembangan sektor pariwisata, ada Disbudpar Jatim. Di bidang pemberdayaan masyarakat desa ada Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Jatim. Kemudian di bidang pengembangan produk-produk unggulan desa wisata, seperti kualitas produk dan packaging oleh Dinas Koperasi dan UKM serta Disperindag Prov. Jatim,” terangnya. Nantinya, lanjut Khofifah, produk-produk unggulan tersebut diharapkan dapat diekspor ke luar negeri, tentunya dengan tetap memperhatikan aspek kualitas melalui proses quality qontrol (QC) yang baik, kemudian kuantitas dan kontinuitas produk juga harus diperhatikan. “Bank Indonesia Jatim dan Kadin telah menyiapkan Rumah Kurasi sebagai wadah yang dikhususkan untuk melakukan pengecekan kualitas produk UMKM. Sementara Kemendag awal tahun depan Insya Allah akan membentuk export center di Jawa Timur. Sehingga ketika produk UMKM diekspor ke mancanegara, produk UMKM tersebut telah memenuhi spek yang dibutuhkan,” tandasnya. Dalam kesempatan yang sama, Khofifah juga mengapresiasi pelaksanaan Jambore Desa Wisata dan Pokdarwis Tahun 2020 sebagai wadah untuk saling bertukar informasi dan diskusi bisnis antara Pokdarwis dan pelaku desa wisata yang ada di Jatim. “Sinergi dan kolaborasi yang baik antara pemerintah, industri, asosiasi dan masyarakat di desa wisata ini menjadi salah satu kunci keberhasilan pengembangan desa wisata. Apalagi desa wisata ini tidak hanya mampu menghasilkan pendapatan desa, tapi juga membuka lapangan pekerjaan baru dan meningkatkan ekonomi masyarakat desa,” pungkasnya. Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jatim, Sinarto, menambahkan, pelaksanaan jambore kali ini diisi dengan berbagai kegiatan. Mulai dari lomba video kreatif, pameran, saraserahan, presentasi dan diskusi bisnis. Selain itu, ada launching Program Desa Wisata Cerdas Mandiri dan Sejahtera (Dewi Cemara). "Ada 479 desa wisata di Jatim. Maka dari itu, melalui jambore ini diharapkan bisa memaksimalkan potensi dan kearifan lokal setiap daerah untuk menjadi destinasi wisata dengan mengangakat potensi desa," kata Sinarto. (mad/s)
Desa Wisata – Pembangunan berkelanjutan (Sustaniable Development) telah menjadi agenda global dalam setiap proses pembangunan. Oleh karenanya, seluruh pemangku kepentingan termasuk pemerintah dalam berbagai sektor pembangunan harus menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dalam setiap kebijakan maupun rencana pembangunan yang akan dilaksanakan. Penerapan konsep pembangunan berkelanjutan di sektor pariwisata dikenal dengan konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan (Sustaniable tourism Development), yang pada intinya mengandung pengertian pembangunan pariwisata yang tanggap terhadap minat wisatawan dan keterlibatan langsung dari masyarakat setempat dengan tetap menekankan upaya perlindungan dan pengelolaannya yang berorientasi jangka panjang. Upaya pengembangan dan pengelolaan sumber daya yang dilakukan harus diarahkan agar dapat memenuhi aspek ekonomi, sosial dan estetika. sekaligus dapat menjaga keutuhan dan atau kelestarian ekologi, keanekaragaman hayati, budaya serta sistem kehidupan. (WTO,1990) Konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan tersebut pada intinya menekankan empat (4) prinsip , sebagai berikut
Prinsip Economically Feasible, menekankan bahwa proses pembangunan harus layak secara ekonomi, dilaksanakan secara efesien untuk dapat memberikan nilai manfaat ekonomi yang berarti baik bagi pembangunan wilayah maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal. Prinsip Environmentally Feasible, menekankan bahwa proses pembangunan harus tanggap dan memperhatikan upaya-upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan (alam maupun budaya), dan seminimal mungkin menghindarkan dampak negatif yang dapat menurunkan kualitas lingkungan dan mengganggu keseimbangan ekologi. Prinsip Socially Accepable, menekankan bahwa proses pembangunan harus dapat diterima secara sosial, dimana upaya-upaya pembangunan yang dilaksanakan agar memperhatikan nilai-nilai, norma-norma yang ada dilingkungan masyarakat, dan bahwa dampak pembangunan tidak boleh merusak tatanan tersebut. Prinsip Technologically Appropriate, menekankan bahwa proses pembangunan yang dilaksanakan secara teknis dapat diterapkan, efesien dan memanfaatkan sumberdaya lokal dan dapat diadopsi oleh masyarakat setempat secara mudah untuk proses pengelolaan yang berorientasi jangka panjang. Secara sederhana pembangunan pariwisata berkelanjutan dapat diintegrasikan dalam tiga (3) sasaran utama pencapaian, yaitu :
Baca Juga : Desa-Desa Wisata dalam Gugusan Taman Nasional Gunung Halimun SalakPembangunan Pariwisata Berbasis Pemberdayaan Komunitas Lokal (Community Based Tourism – CBT)Pemberdayaan masyarakat atau komunitas lokal merupakan paradigma yang sangat penting dalam kerangka pengembangan dan atau pengelolaan sumberdaya budaya dan pariwisata. Pentingnya pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan tersebut digaris bawahi oleh Murphy (1988) yang memandang bahwa pengembangan kegiatan budaya dan pariwisata merupakan “kegiatan yang berbasis komunitas”, yaitu sumberdaya dan keunikan komunitas lokal baik berupa elemen fisik maupun non fisik (nilai-nilai, norma-norma, adat dan tradisi) yang melekat pada komunitas tersebut merupakan unsur penggerak utama kegiatan utama budaya dan tradisi masyarakat itu sendiri; disisi lain komunitas lokal yang hidup dan tumbuh berdampingan dengan suatu obyek wisata tidak dapat dipungkiri sebenarnya telah menjadi bagian dari sistem ekologi yang saling kait mengkait dengan sumberdaya budaya dan pariwisata. Pendekatan tersebut menegaskan bahwa pengembangan sumberdaya budaya dan pariwisata harus sensitif dan responsif terhadap keberadaan dan kebutuhan komunitas lokal dan bahwa dukungan dari seluruh komunitas (tidak saja hanya dari mereka yang mendapatkan manfaat ekonomi secara langsung dari kegiatan budaya dan pariwisata) amat sangat diperlukan bagi keberhasilan pengembangan dan pengelolaan sumberdaya budaya dan pariwisata di tingkat lokal. Pentingnya peran komunitas lokal di garis bawahi oleh Wearing (2001) yang menegaskan bahwa sukses atau keberasilan jangka panjang kegiatan (industri) budaya dan pariwisata akan sangat tergantung pada tingkat penerimaan dan dukungan dari komunitas lokal. Karena itu, untuk memastikan bahwa pengembangan kegiatan (industri) budaya dan pariwisata disuatu tempat dikelola dengan baik dan berkelanjutan, maka hal mendasar yang harus diwujudkan untuk mendukung tujuan tersebut adalah bagaimana menfasilitasi keterlibatan yang luas dari komunitas lokal dalam proses pengembangan dan memaksimalkan nilai manfaat sosial dan ekonomi dari kegiatan budaya dan pariwisata. Dalam pengembangan pariwisata berbasis pemberdayaan komunitas lokal, masyarakat menduduki sebagai pihak yang ikut berperan baik sebagai subyek mau obyek. Masyarakat menjadi pelaku kegiatan wisata yang memiliki pengalaman turun menurun dalam hal pengelolaan sumberdaya alam, budaya serta aktifitas ekonomi sehingga memiliki komitmen yang kuat untuk mengelola secara berkelanjutan karena menyangkut kepentingan hidup masyarakat lokal. Pemberdayaan masyarakat lokal selanjutnya perlu didasarkan pada hal-hal sebagai berikut :
Baca Juga : Desa Wisata Kiarasari, Desa wisata bergendre Agro terbaik di BogorPrinsip PengembanganSehubungan dengan prinsip pengembangan Desa Wisata, beberapa hal yang penting untuk diperhatikan adalah aspek produk, Sumberdaya Manusia (SDM) Manajemen dan Kelembagaan, Promosi dan Pemasaran serta investasi. Produk WisataAspek produk wisata, pengembangan Desa Wisata harus menekankan prinsip-prinsip pengembangan produk sebagai berikut :
Baca Juga : Desa Wisata Malasari di Bogor, Desa Wisata yang di lingkar Hutan HalimunSumberdaya Manusia yang Kompeten dan ProfesionalPengembangan Desa Wisata harus didukung dengan Sumberdaya Manusia yang berkualitas, berkompeten, memahami dan mengerti prinsip-prinsip dan konsep Desa Wisata, bekerja dengan jujur, totalitas serta memiliki loyalitas yang tinggi terhadap kewajibannya. Sumberdaya Manusia pengelola kegiatan Desa Wisata harus memiliki kemampuan penguasaan berbagai unsur lokalitas Desa sebagai kekuatan daya tarik utama. Pengelolaan Desa WisataPengembangan Desa Wisata perlu didukung dengan manajemen atau pengelolaan dengan kelembagaan yang solid, fleksibel dan sederhana serta dinamis. Kelembagaan pengelolaan Desa Wisata seharusnya bersifat mandiri, melibatkan tokoh Desa dan masyarakat setempat serta berbasis pada asas manfaat bukan asas keuntungan (profit oriented), keterlibatan masyarakat lokal merupakan unsur utama dalam pengelolaan Desa Wisata ini untuk mengambil bagian aktif dalam semua proses, meliputi perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan, termasuk didalamnya pengusahaan kegiatan ekonomi yang bisa dikembangkan dari Desa Wisata (Micro Small and Meddium Enterpreneurship) dengan demikian masyarakat akan tumbuh rasa memiliki (sense of belonging) terhadap perkembangan pariwisata di desanya, sebagai pengelola sekaligus penerima manfaat. Promosi dan Pemasaran Yang Fokus dan SelektifKarakter kegiatan wisata pedesaan sebagai bentuk wisata alternative, menuntut pengembangan strategi promosi dan pemasaran yang lebih terfokus dan selektif dengan kombinasi promosi OnLine ( media Digital, Elektronik) maupun offline (Roadshow, FamTrip) Investasi yang berorientasi pada aset lokalInvestasi merupakan bagian dalam perencanaan dan pengembangan pariwisata di suatu Desa Wisata, baik berwujud pendanaan maupun aset fisik (bangunan, lahan, kendaraan, dll) yang selanjutnya akan di daya gunakan untuk pengembangan potensi yang merupakan daya tarik bagi pengunjung. Selain Investasi yang berasal dari masyarakat setempat, juga dapat diperoleh dari pihak luar (investor) dengan persyaratan yang saling menguntungkan (win win solution) untuk memajukan Desa Wisata dengan tetap mengutamakan masyarakat lokal sebagai aktor dan penerima manfaat utama. Baca Juga : Pesona tersembunyi Desa Wisata Tapos-1 TenjolayaTingkat Perkembangan Desa WisataTingkat perkembangan suatu Desa Wisata sebagai sebuah produk wisata dapat dikatogorikan ke dalam 3 (tiga) tahapan yaitu : Berpotensi, Berkembang dan Maju. A. Berpotensi, Pada tingkatan ini sebuah Desa Wisata dicirikan :
B. Berkembang, pada tingkatan ini sebuah Desa Wisata dicirikan sebagai berikut
C. Maju, pada tingkatan ini sebuah Desa Wisata dicirikan sebagai berikut
Tulisan ini di sadur dari buku PEDOMAN PENGEMBANGAN DESA WISATA, hal 17-26; Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Destinasi Pariwisata, Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata, Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Artikel Pariwisata Berkelanjutan |