Perwujudan iman yang tinggi diwujudkan dalam bentuk kebaikan disebut

Jakarta -

Iman kepada malaikat artinya mengakui keberadaan malaikat yang selalu taat kepada Allah SWT. Percaya adanya malaikat termasuk dalam rukun iman kedua.

Buku Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti dari Kemenag menjelaskan, iman kepada malaikat tercantum dalam surat Al Baqarah ayat 285,

آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ ۚ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ ۚ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۖ غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ

Artinya: "Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat." (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali."

Malaikat tersebut diciptakan untuk mengurusi berbagai urusan yang diperintah Allah SWT. Sehingga Allah SWT menciptakan mereka sebagai makhluk yang tidak pernah membangkang dan merasa letih dalam menjalankan tugas.

Bentuk iman kepada malaikat juga dapat dilakukan dengan memahami nama-nama dan tugas dari para malaikat Allah SWT. Berikut nama-nama malaikat yang wajib diimani oleh umat muslim.

Nama malaikat dan tugasnya

  • Malaikat Jibril: Menyampaikan wahyu
  • Malaikat Mikail: Membagikan rezeki
  • Malaikat Israfil: Meniup sangkakala
  • Malaikat Izrail: Mencabut nyawa
  • Malaikat Munkar: Menanyakan orang yang mati dalam kubur
  • Malaikat Nakir: Menanyai orang yang mati di dalam kubur
  • Malaikat Raqib: Mencatat amal baik manusia
  • Malaikat Atid: Mencatat amal buruk manusia
  • Malaikat Malik: Menjaga pintu neraka
  • Malaikat Ridwan: Menjaga pintu surga.

Setelah memahami makna iman kepada malaikat dan nama-namanya, selanjutnya adalah menerapkannya dalam perilaku sehari-hari. Berikut contoh perilaku iman kepada malaikat dalam keseharian,

Contoh perilaku iman kepada malaikat

  1. Selalu mencari dan memohon hidayah serta bersyukur
  2. Selalu memohon kepada Allah atas segala perlindungan dari segala musibah
  3. Berusaha mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian
  4. Selalu memohon kepada Allah agar dilapangkan di alam kubur dan diringankan dari siksa kubur
  5. Selalu memiliki niat baik dalam segala perbuatan, baik ucapan maupun perbuatan
  6. Menjauhi niat buruk, perkataan yang kotor, perbuatan yang jelek, dan menjauhi prilaku tercela
  7. Selalu memohon kepada Allah agar terhindar dari siksa api neraka
  8. Selalu memohon kepada Allah agar masuk surga dengan ridhoNya
  9. Berempati pada teman yang membutuhkan bantuan
  10. Menjadi teladan bagi lingkungan sekitar dan menjadi pribadi yang rendah hati
  11. Selalu berusaha memperbaiki diri untuk menjadi lebih baik
  12. Bekerja keras dan ikhlas dalam melaksanakan tugas

Nah, itu dia penjelasan tentang iman kepada malaikat dan contoh perilakunya. Jangan lupa diterapkan ya!

Simak Video "KuTips: Tips Betah Baca Al-Qur'an Biar Khatam Pas Ramadan!"



(rah/row)

Oleh: Nurul Huda, S.E., M.M*

(Dosen Prodi Ekonomi Syariah STAIM Tarate Sumenep)

Apa itu taqwa?

Menurut Tafsir Ibnu Katsir, arti dasar dari "taqwa" adalah menaati Allah SWT dan tidak bermaksiat kepada-Nya. Senantiasa mengingat Allah SWT serta bersyukur kepada-Nya tanpa ada pengingkaran di dalamnya. Mengutip Imam Nawawi, taqwa adalah ‘’menaati perintah dan larangan-Nya’’. Atau dalam bahasa Imam Al Jurjani: ‘’Taqwa yaitu menjaga diri dari pekerjaan yang mengakibatkan siksa, baik dengan melakukan perbuatan atau meninggalkannya.’’

Bagi seorang muslim, ketaqwaan menjadi sesuatu yang sangat penting, karena taqwa menjadi ukuran kehormatan seseorang di hadapan Allah SWT Sebagaimana firmanNya:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah SWT ialah orang yang paling taqwa diantarakamu. Sesungguhnya Allah SWT Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS al-Hujurat: 13).

Ayat ke-177 Surat Al Baqarah merinci setidaknya 17 ciri orang yang bertaqwa. Lima yang pertama adalah aspek keyakinan atau aqidah (Beriman kepada Allah, Hari Kiamat, Malaikat-malaikat, Kitab-kitab, Nabi-nabi). Empat lainnya amalan fardhiyah (shalat, sabar dalam penderitaan, sabar dalam peperangan), sedangkan 8 berikutnya berupa amalan sosial (berinfak kepada kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir, peminta-minta, hamba sahaya, menunaikan zakat, dan menepati janji)

Ketaqwaan yang dinyatakan dalam bentuk amal perbuatan jasmaniah yang dapat disaksikan secara lahiriah merupakan perwujudan keimanan seseorang kepada Allah SWT. Iman yang terdapat di dalam dada diwujudkan dalam bentuk amal perbuatan jasmaniah. Oleh sebab itu, kata taqwa di dalam Al-Qur’an sering dihubungkan dengan kata iman. Orang-orang yang bertaqwa diberi berbagai kelebihan oleh Allah SWT, tidak hanya ketika mereka di akhirat nanti, tetapi juga ketika mereka berada di dunia ini. Setiap kesulitan yang dihadapinya akan dimudahkan segala urusannya, dilimpahkan kepadanya berkah dari langit dan bumi, dianugerahi petunjuk untuk dapat membedakan mana yang hak dan mana yang batil dan diampuni segala kesalahannya dan dihapus segala dosanya.

Salah satu hikmah dibulan suci ramadhan adalah dapat meningkatkan ketaqwaan seorang hamba kepada Allah SWT. Menjalankan ibadah puasa adalah hal yang wajib, seperti yang tertera dalam ayat Al-Quran berikut ini;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqkwa. (QS. Al Baqarah: 183).

Ayat diatas menunjukkan salah satu hikmah puasa di bulan suci ramadhan agar umat Islam dapat menggapai derajat taqwa yang mulia. Ketika melaksanakan ibadah puasa, berarti umat Islam telah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi setiap larangan-Nya. Hal ini adalah pengertian taqwa. Bentuk taqwa dalam ibadah puasa dapat dilihat dari hal-hal berikut;

  • Orang yang melaksanakan ibadah puasa akan meninggalkan setiap larangan seperti makan, minum, berjima dengan istri dan sebagainya. Berpuasa di bulan suci ramadhan berarti mengontrol hawa nafsunya, sesuai dengan perintah Allah SWT. Hal ini dilakukan demi mendekatkan diri pada Allah SWT dan mendapatkan pahala dari-Nya.
  • Orang yang melaksanakan ibadah puasa sebenarnya mampu untuk melakukan segala kesenangan duniawi yang dilarang selama sedang puasa. Namun, karena menyadari bahwa Allah Maha Mengetahui, maka ia menekan segala keinginan itu secara sadar dan ikhlas.
  • Orang yang melaksanakan ibadah puasa juga akan merasa senang melakukan berbagai amalan yang menunjukkan ketaatan. Dan ketaatan adalah jalan menggapai taqwa.

Demikian artikel singkat ini, semoga kita semua menjadi orang yang bertaqwa seperti diinginkan Allah, Sang Pencipta kita, aamiin. Selamat menunaikan ibadah puasa 1441 H.

*Kepala Pusat Data & Informasi

    STAI Miftahul Ulum Tarate Sumenep

INFORMASI KAMPUS :

STAI Miftahul Ulum Tarate Pandian Sumenep
Menuju Institut Terkemuka di Madura

Jalan Pesantren No 11 Tarate Pandian Kabupaten Sumenep Madura Jawa Timur - Indonesia

Telp : +62 878 - 7030 - 0328 / WA : +62 81 776 - 883 -730 / +62 823 - 3483 - 4806

Website : //www.staimtarate.ac.id

E-mail 1 :  

E-mail 2 :  

 

SOSIAL MEDIA

  • Fecebook
  • Instagram
  • Twitter
  • STC (STAIM TARATE CHANEL)

“Iman adalah perbuatan. Keyakinan dan ucapan hanyalah versi tidak utuh dari perbuatan. Jika iman adalah keyakinan, maka iblis bisa terkategori sebagai makhluk beriman, karena ia meyakini wujud Tuhan, bahkan pernah bertemu dengan-Nya. Jika iman adalah ucapan, maka “makelar-makelar” agama juga bisa terkategori sebagai kelompok paling beriman. Perbuatanlah yang menentukan seseorang bisa dikatakan beriman atau tidak. Tidak peduli seseorang menghafal al-Qur’an, tapi bila perbuatannya tidak mencerminkan isi al-Qur’an, maka sesungguhnya dia bukan orang beriman” (Prof. Dr. Maftukhin, M. Ag, Rektor IAIN Tulungagung).

Hubungan antara keyakinan hati, ucapan lisan, dan amal-perbuatan; manakah di antara ketiganya yang merupakan faktor paling determinan dalam menentukan keimanan seseorang, merupakan tema klasik yang diperdebatkan para ulama ahli kalam (teologi). Di sini bukan tempatnya untuk mengupas seperti apa sengitnya perdebatan di antara mereka. Masing-masing berangkat dari bangunan argumen yang diyakininya kuat, masing-masing memiliki tujuan memuliakan makna dan nilai-nilai iman, dan semoga masing-masing mendapat pahala atas penalaran dan ijtihadnya.

Saya sendiri secara umum mengatakan bahwa iman itu seumpama cinta. Memang demikian adanya sejauh menyangkut Allah dan Nabi-Nya; mengimani Allah adalah mencintai-Nya, mengimani Rasulullah adalah mencintai beliau. Cinta kita pada-Nya, cinta kita pada Rasul-Nya, menuntut tiga penunjang yang semestinya berjalan seiring-sepadan satu sama lainnya. Di pangkal ada hati yang meyakini, di tengah ada lisan yang mengungkapkan keyakinan hati, lalu di tingkat aksi ada amal-perbuatan yang mewujudkan keyakinan jadi lelaku dan mengejawantahkan ucapan jadi tindakan.

Tanpa terperangkap polemik sengit khas Mutakallimin klasik seputar iman, saya mengamini kata-kata Pak Rektor bahwa “iman adalah perbuatan”. Setidaknya, yang paling menentukan dalam menakar kadar, kapasitas, dan kualitas iman seorang Mukmin adalah perbuatannya.

Keyakinan ada di kedalaman hati. Tapi dalamnya laut dapat diukur, sedang isi hati siapa tahu. Ini sama-sekali tidak boleh diartikan bahwa keyakinan hati tidak penting. Ia penting, tentu saja. Hanya saja ia masih perlu implementasi dan penguatan.

Di lapis kedua, pengakuan lisan datang mengungkap apa yang terpatri dalam hati. Sekokoh apa keyakinan hati, biasanya tercermin pada seberapa fasih lisan menyatakan. Sehebat apa keyakinan hati, biasanya terlihat pada seberapa lancar lidah mengutarakan.

Secara umum “rumusan”-nya seperti ini: Hati menentukan lisan, lisan menggambarkan hati. Seberapa penting pernyataan lisan dibanding perbuatan? Ya tetap penting. Setidaknya dalam interaksi keseharian antar sesama; bagaimana saya tahu Anda menyukai saya kalau rasa suka itu Anda ikat hanya dalam hati sedang tak sepatah pun kata terucap dari lisan Anda menyatakan suka pada saya?!

Keyakinan di hati sudah terpatri. Pengakuan di lisan sudah terungkapkan. Tapi iman, dengan begitu, belum dapat dikatakan utuh. Penentu keutuhan iman ada pada amal-perbuatan. Seperti kata WS Rendara dalam salah-satu puisinya yang menghentak: “Kesadaran adalah matahari. Kesabaran adalah bumi. Keberanian menjadi cakrawala. Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.” Dalam hal ini, “perjuangan” sepadan maknanya dengan “amal-perbuatan”.

Dalam al-Qur`an, amal saleh selalu mengiringi iman. Ini menujukkan dengan cukup jelas bahwa iman itu bersifat aktif-progresif; tidak boleh berhenti di ranah wacana melainkan harus merambah dan menyeluruhi segenap anggota badan memeragakan amal perbuatan nyata.

Sejumlah hadis lebih nyata lagi mengaitkan iman kepada Allah dan Hari Akhir dengan berbagai amal kebajikan, mulai dari berkata yang baik atau diam jika tak mampu berkata baik, memuliakan tetangga, tidak menyakiti atau mengganggu tetangga, memuliakan tamu, dan banyak lainnya. Pun dengan Islam. Beberapa hadis mengaitkannya dengan memberi makan pada yang lapar, menebarkan salam (kedamaian), menjaga lisan dan tangan dari menyakiti sesama, menyambung silaturrahmi, dan banyak lagi lainnya.

Akhirnya, seperti apa pun kualitas iman kita, seberapa pun kuantitas amal-perbuatan kita, rasanya tak seorang pun dari kita ingin seperti iblis yang hanya percaya akan wujud Tuhan tapi kelakuannya sepenuhnya menyalahi perintah Tuhan. Pun kita semua berlindung kepada-Nya dari menyerupai “makelar-makelar” agama yang hanya pintar mengajak tapi tak pandai melakoni, hanya sibuk menata kata tapi abai dari berbuat nyata.

Semoga pula al-Qur`an yang kita muliakan kelak menjadi saksi yang meringankan kita bahwa kita telah berupaya sedemikian rupa untuk mengamalkan isi-kandungannya, bukan menjadi saksi yang memberatkan kita karena al-Qur`an hanya sampai di kerongkongan kita dan tidak pernah menghiasi perilaku kita.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA