Perbedaan manajemen risiko bank syariah dan konvensional

MANAJEMEN RISIKO PERBANKAN UMUM DAN PERBANKAN SYARIAH (Bagian 4-End)

MANAJEMEN RISIKOPERBANKAN SYARIAH

Profil Risiko Perbankan Syariah
Lembaga keuangan termasuk bank syariah, setidaknya telah mengakui bahwamereka harus memperhatikan cara-cara untuk memitigasi risiko agar bisa tetapmempertahankan daya saing, profitabilitas, dan loyalitas nasabah. Oleh karena itu bank-banktengahmencobapenerapanmanajemenrisikoyangmerupakanprosesberkesinambungan.
Dalam konteks penerapan manajemen risiko, pedoman yang dijalankan selama ini,dibuat hanya untuk bank-bank konvensional. Padahal pemain dalam bisnis perbankandunia dan nasional tidak hanya bank konvensional, tetapi juga telah diramaikan oleh bankdengan prinsip syariah yang jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun.
Makabagaimana penerapanmanajemen risiko padabank-bank syariah?Secara historis penerapan manajemen risiko pada bank, dalam hal ini BI sendiri barumulai menerapkan aturan perhitungancapital adequacy ratio(CAR) pada bank sejak1992.
.
Sementara itu, bank dengan prinsip syariah lahir pertama kali di Indonesia padatahun yang sama. Jadi jika dilihat dari usia sistem perbankan syariah, hal ini merupakantantangan yang berat. Bank syariah pun akan sangat sulit mengikuti konsep yang telahdijalankan perbankan konvensional dalam hal manajemen risiko, mengingat perbankankonvensional membutuhkan waktu yang panjang untuk membangun sistem danmengembangkan teknik manajemen risiko.
Di lain pihak, operasi bank syariah memiliki karakteristik dengan perbedaan yangsangat mendasar jika dibandingkan dengan bank konvensional, sementara manajemenrisiko juga harus diimplementasikan oleh bankgar tidak hancur dihantam risiko.Oleh karena itu, apa yang dapat dilakukan? Salah satu cara yang dapat ditempuh adalahmengadopsi sistem manajemen risiko bank konvesional yang disesuaikan dengankarakteristik perbankan syariah. Inilah yang dilakukan BI sebagai regulator perbankannasional yang akan menerapkan juga bagi perbankan syariah.
Dalam hal iniIslamicFinancial ServicesBoard (IFSB), telah merumuskan pinsip-prinsip manajemen risiko bagi bank dan lembaga keuangandenganprinsipsyariah. Pada15 Maret 2005 yang lalu,exposuredraftyangpertamatelahdipublikasikan.Dalamexecutive summarydrafttersebutdenganjelasdisebutkanbahwakerangkamanajemen risiko lembaga keuangan syariah mengacu padaBaselAccordII(yang jugaditerapkan perbankan konvensional) dan disesuaikan dengan karakteristik lembagakeuangan dengan prinsip syariah.
Secara umum, risiko yang dihadapi perbankan syariah bisa diklasifikasikan menjadidua bagian besar. Yakni risiko yang sama dengan yang dihadapi bank konvensional danrisiko yang memiliki keunikan tersendiri karena harus mengikuti prinsip-prinsip syariah.Risiko kredit, risiko pasar, risikobenchmark, risiko operasional, risiko likuiditas, danrisiko hukum, harus dihadapi bank syariah. Tetapi, karena harus mematuhi aturan syariah,risiko-risiko yang dihadapi bank syariah pun menjadi berbeda.
Bank syariah juga harus menghadapi risiko-risiko lain yang unik (khas). Risiko unikini muncul karena isineraca bank syariah yang berbeda dengan bank konvensional. Dalamhal ini pola bagi hasil (profitandlosssharing) yang dilakukan bank syari’ah menambah kemungkinanmunculnyarisiko-risikolain.Sepertiwithdrawal risk, fiduciaryrisk,dandisplaced commercial riskmerupakan contoh risiko unik yang harus dihadapibanksyariah.
Karakteristikinibersama-samadenganvariasimodelpembiayaandankepatuhan pada prinsip-prinsip syariah.Konsekuensinya, teknik-teknik yang digunakan untuk melakukan identifikasi,pengukuran,danpengelolaanrisikopadabanksyariahdibedakanmenjadiduajenis.
Teknik-teknik standar yang digunakan bank konvesional, asalkan tidak bertentangandengan prinsip syariah, bisa diterapkan pada bank syariah. Beberapa di antaranya,GAPanalysis, maturity matching, internal rating system, dan risk adjusted return on capital(RAROC).
Di sisi lain bank syariah bisa mengembangkan teknik baru yang harus konsistendengan prinsip-prinsip syariah. Ini semua dilakukan dengan harapan bisa mengantisipasirisiko-risiko lain yang sifatnya unik tersebut. Survei yang dilakukanIslamicDevelopmentBank(2001) terhadap 17 lembaga keuangan syariah dari 10 negara mengimplikasikan,risiko-risiko unik yang harus dihadapi bank syariah lebih serius mengancam kelangsunganusaha bank syariah dibandingkan dengan risiko yang dihadapi bank konvesional.
Surveitersebut juga mengimplikasikan bahwa para nasabah bank syariah berpotensi menariksimpanan mereka jika bank syariah memberikan hasil yang lebih rendah daripada bungabank konvesional.Lebih jauhsurvei tersebutmenyatakan, modelpembiayaaan bagihasil,sepertidiminishing musyarakah, musyarakah, mudharabah, dan model jual-beli,sepertisalamdanistishna’, lebih berisiko ketimbang murabahahdanijarah.
Dalam pengembangannya ke depan, perbankan syariah menghadapi tantangan yangtidak ringan sehubungan dengan penerapan manajemen risiko ini seperti, pemilihaninstrumen finansial yang sesuai dengan prinsip syariah termasuk juga instrumen pasaruang yang bisa digunakan untuk melakukanhedging(lindung nilai ) terhadap risiko. Olehkarena BI dan IFSB mengacu pada aturanBasel Accord II, maka pemahaman yang matangmengenai manajemen risiko bank konvensional akan sangat membantu penerapanmanajemen risiko di bank syariah.
Optimalisasi Peran DewanPengawas Syari’ah
DewanPengawas Syari’ah (DPS) memiliki peran penting dan strategis dalampenerapanprinsipsyariahdiperbankansyari’ah.DPS
bertanggung jawabuntukmemastikan semua produk dan prosedur bank syariah sesuai dengan prinsip syariah.Karena pentingnya peran DPS tersebut, maka dua Undang-Undang di Indonesiamencantumkan keharusan adanya DPS tersebut di perusahaan syariah dan lembagaperbankansyariah,yaituUndang-UndangUUNo.40Tahun2007tentangPerseroanTerbatas dan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Dengan demikian secarayuridis, DPS di lembaga perbankan menduduki posisi yang kuat, karena keberadaannyasangat penting dan strategis.Berdasarkan Undang-Undang tersebut, setiap perusahaan yang berbadan hukumPerseroan Terbatas wajib mempunyai Dewan Pengawas Syariah. Sejalan dengan itu,Undang-Undang No 21 Tahun 2008 tentang perbankan syari’ah, pasal 32 menegaskan halyang sama.Berdasarkan kedua Undang-Undang tersebut kedudukan DPS sudah jelas danmantap serta sangat menentukan pengembangan bank syariah dan perusahaan syariah dimasa kini dan masa mendatang.
Tetapi peran DPS tersebut belum optimal dalam menjalankan pengawasan syari’ahterhadap operasional perbankan syariah. sehingga berakibat pada pelanggaransyariahcompliance, maka citra dan kredibilitas bank syariah di mata masyarakat bisa menjadinegatif, sehingga dapat menurunkan kepercayaan masyarakat kepada bank syariahbersangkutan.
Menurut hasil penelitian Bank Indonesia (2008) kerjasamadenganErnstdanYoungyang dibahas dalam seminar akhir tahun 2008 di Bank Indonesia,salah satu masalah utama dalam implementasi manajemen risiko di perbankan syariahadalah peran DPS yang belum optimal. Pernyataan itu disimpulkan para peneliti sebagaikesenjangan utama manajemen risiko yang harus diperbaiki di masa depan.
Jenis manajemen risiko yang terkait erat dengan peran DPS adalah risiko reputasiyang selanjutnya berdampak padadisplaced commercial risk, seperti risiko likuiditas danrisiko lainnya.Shanin A. ShayanCEO and Board Memberof Barakat Foundationmenyatakan bahwa, risiko terbesar menghadapi sistem keuangan global bukanlahkesalahan tentang kemampuan menciptakan laba, tetapi yang lebih penting adalahkehilangan kepercayaan dan kredibiliatas tentang bagaimana operasional kerjanya.
Oleh karena itu peran DPS perlu dioptimalkan, agar mereka bisa memastikan segalaproduk dan sistem operasinalbank syariahbenar-benarsesuai syariah. Untuk memastikansetiap transaksi sesuai dengan syari’ah,anggota DPS harus memahami ilmu ekonomi danperbankan danberpengalamanluasdibidang hukumIslam.Dengan demikiankualifikasimenjadi anggota DPS harus memahami ilmu ekonomi dan keuangan serta perbankan sertaexpert di bidang syariah.
Namunsangatdisayangkan,masihterdapatDPSyangbelummemahamiilmuekonomi keuangan dan perbankan. Selain itu mereka juga masih banyak yang tidakmelakukan supervisi dan pemeriksaan akad-akad yang ada di perbankan syariah. Padahalmenurut ketentuannya, DPS bekerja secara independen dan bebas untuk meninjau danmenganalisis pada semua kontrak dan transaksi.
Mengacu pada kualifikasi DPS tersebut di atas, maka bank-bank syariah diIndonesia perlu melakukan restrukturisasi, perbaikan dan perubahan ke arah yang lebihbaikdanmengangkatDPSdarikalanganilmuwanekonomiIslamyangberkompetendibidangnya. Halinimutlakperludilakukanagarperannyabisaoptimaldanmenimbulkancitra positif bagi pengembangan bank syariah di IndonesiaPengalaman selama ini, bank-bank syariah di Indonesia mengangkat DPS, yakniorang yang sangat terkenal di ormas Islam atau terkenal dalam ilmu keislaman (bukansyariah), tetapi tidak berkompeten dalam bidang perbankan dan keuangan syariah.
Realitasini di satu sisimenguntungkanbagi manajemen perbankan syariah, karena mereka lebihbebas berbuat apa saja, karena pengawasannya sangat longgar.Tetapi dalam jangka panjang hal ini justru merugikan gerakan ekonomi syariah,tidak saja bagi bank syariah bersangkutan tetapi juga bagi gerakan ekonomi dan banksyariah secara keseluruhan dan kemajuan bank syariah di masa depan.
Karena itu, tidakaneh jika banyak masyarakat yang memandang bahwa bank syariah sama dengan bankkonvensional.Tetapi harus diakui, bahwa sebagian DPSbank syariahsudah berperan secaraoptimal, meskipun masih lebih banyak yang belum optimal. Inilah yang harus ditanganiBank Indonesia, DSN MUI dan bank-bank syariah sendiri.
Oleh karena itu, UU yangmemposisikan DPS yang demikian strategis, harus diimplementasikan dengan tepat dancepat. Untuk itu setiapmanajemen bank syariahharus melakukanformalisasi peran danketerlibatan DPS dalam memastikan pengelolaan risiko ketidakpatuhan atas peraturan danprinsip syariah
Source : https://www.academia.edu

Related

Tags: Banking, BSMR, business continuity management, indonesia, jakarta, LSPP, management, manajemen risiko perbankan, pasar bebas, pelatihan, pelatihan manajemen risiko, pelatihan perbankan, Risk Management, sertifikasi, sertifikasi manajemen risiko, sertifikasi perbankan, training bsmr, training lspp


About the Author

riandi


Related Posts

Perbedaan manajemen risiko bank syariah dan konvensional
Training Sertifikasi Perbankan
Perbedaan manajemen risiko bank syariah dan konvensional
Risk Management Refreshment Workshop
Perbedaan manajemen risiko bank syariah dan konvensional
Risk Management Refreshment Workshop
Perbedaan manajemen risiko bank syariah dan konvensional
SISTEM INFORMASI MANAJEMEN RISIKO


Comments are closed.

Perbandingan Tingkat Risiko Kegagalan Bank Syariah dengan Bank Konvensional di Indonesia

  • UNAIR NEWS
  • September 22, 2021
  • 10:15 am
Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Perbedaan manajemen risiko bank syariah dan konvensional
Perbedaan manajemen risiko bank syariah dan konvensional
Foto dari KabarUang.com

Sektor perbankan memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia. Bank yang memiliki peran dan fungsi sebagai lembaga intermediasi atas pihak yang kelebihan dana dengan pihak kekurangan dana, melalui produk simpanan dan pembiayaan. Peran pembiayaan pada bank Syariah dan kredit bank konvensional memiliki tujuan dalam rangka mendukung peningkatan kegiatan ekonomi. Bank Syariah memiliki karakteristik yang sangat berbeda dibandingkan bank konvensional, dimana bank Syariah beroperasional berdasarkan prinsip – prinsip Syariah berdasarkan Al – Quran dan Hadist serta melarang transaksi keuangan yang memiliki unsur Maysir, Gharar, Riba dan Dzalim dan berlandaskan prinsip Bagi Hasil (Profit Loss Sharing – PLS). Prinsip Syariah pada bank Syariah menghasilkan produk perbankan yang berbeda dengan prinsip dengan operasional bank konvensional.

Indonesia menggunakan sistem keuangan berbasis dual banking system semenjak berdirinya bank Syariah pertama di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1992 dan didukung Undang – Undang Republik Indonesia No. 7 tahun 1992. Hal ini memberikan ruang bagi bank Syariah dapat beroperasional dan juga bersaing dengan bank konvensional dalam operasionalnya. Pemerintah dan regulator keuangan di Indonesia memiliki perhatian penuh terhadap perkembangan bank Syariah, dimana terdapat regulasi yang berbeda dengan dengan bank konvensional dan berbeda dengan bank konvensional.

Bank Syariah dan bank konvensional menghadapi risiko operasional bank yang sama sehingga kedua jenis bank harus melakukan manajemen risiko dengan sangat baik agar memiliki ketahanan dalam kinerja perbankan dan profitabilitasnya. Sektor perbankan sangat terbuka pada peluang berbagai risiko antara baik dari pembiayaan atau kredit, strategik, pasar, likuiditas, hukum, operasional, reputasi dan kepatuhan, dan di bank Syariah terdapat risiko imbal hasil dan investasi. Apabila risiko tidak dikelola dengan baik maka akan menyebabkan perbankan berisiko mengalami kegagalan bank yang dapat menyebabkan tidak dapat beroperasional kembali akibat dari kerugian yang dialami. Hal ini juga berdampak bank gagal akan mengalami kesulitan likuiditas sehingga kesulitan mengembalikan simpanan nasabah. Di Indonesia, kegagalan bank akan ditangani oleh Lembaga Penjamin Simpanan, berdasarkan Undang – Undang Republik Indonesia No. 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.

Risiko kegagalan bank dapat menyebabkan risiko sistemik yang disebabkan kegagalan beberapa bank terjadi apabila risiko tidak dikelola dengan dari masing – masing bank. Maka pengukuran risiko menjadi penting dalam rangka bank menjaga stabilitasnya, yang disebut dengan early warning system. Salah satu metode yang digunakan adalah Probability of Default (PD). Menurut Hadad, Santoso, Besar dan Rulina (2004), mendefinisikan Probability of Default adalah bentuk penilaian yang menggunakan Merton model untuk melihat perusahaan berdasarkan penilaian pasar menggunakan asumsi terkait dengan kondisi aset dan kewajiban perusahaan.

Untuh menghitung Probability of Default diawali dengan penghitungan Distance Default (DD). Menurut Kabir, Md Nurul, Andrew Worthington, dan Rakesh Gupta (2015), Distance Default adalah jumlah standar deviasi yang dimiliki bank nilai aset harus turun untuk mencapai titik default. Skor DD yang lebih tinggi kemudian menunjukkan nilai perusahaan jauh dari titik default, sehingga menurunkan kemungkinan default. Misalnya, jika nilai pasar yang diharapkan bank dari aset dalam satu tahun adalah 100 dan titik default adalah 20, maka penurunan 80 persen nilai pasar aset akan membuat bank default. Probabilitas dari nilai pasar aset turun dari 100 menjadi 20 tergantung pada volatilitas nilai aset bank. Misalnya, jika volatilitas nilai aset bank adalah 10 persen, maka 8 poin standar deviasi akan dibutuhkan untuk mencapai sebuah titik default 20.

Penelitian Rani dan Silvira (2021), memberikan bukti empiris dari standar perbandingan risiko pada bank syariah dan bank konvensional di Indonesia periode 2011 hingga 2017. Perhitungan risiko bank gagal (bank default risk) menggunakan Model Merton telah memungkinkan ukuran Distance to Default (DD) dan Default probability (DP). Studi ini adalah diperluas untuk menyelidiki perbedaan risiko default bank antara bank syariah dan bank konvensional dengan karyawan dari uji-T. Bukti menunjukkan bank syariah sebagai bank yang jauh dari Distance to Default (DD) daripada konvensional bank. Uji-T menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dalam Probabilitas nilai Default antara bank syariah dan bank konvensional. Temuan ini mungkin relevan dengan regulator di Indonesia untuk mendukung pertumbuhan Islam, yang membantu dalam menjaga stabilitas sistem keuangan dan menghindari risiko sistemik.

Mengukur Distance to Default (DD) akan berfungsi sebagai sistem peringatan dini (Early Warning System) dan saran bagi perbankan untuk terus mencapai kondisi yang rendah Distance to Default, yaitu dengan beroperasi dengan menghindari eksposur risiko perusahaan kegiatan. Konsep operasional bank syariah yang menggunakan konsep pembagian untung-rugi (Profit – Loss Sharing) untuk menghindari penggunaan suku bunga seperti yang ditemukan dalam konvensional bank menunjukkan bahwa, hasil pengukuran kemungkinan default risk (kegagalan bank) menunjukkan risiko gagal bayar yang lebih rendah dibandingkan dengan bank konvensional.

Penulis: Okta Silvira dan Lina Nugraha Rani

Link Jurnal: https://ejournal.um.edu.my/index.php/JS/article/view/29798