A. Pendahuluan Pertama; pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan; Sebagaimana telah disebutkan, bahwa politik peraturan perundang-undangan merupakan bagian atau subsistem dari politik hukum, dengan demikian dapat dikatakan bahwa mempelajari atau memahami politik hukum pada dasarnya sama dengan memahami atau mempelajari politik perundang-undangan demikian pula sebaliknya, karena pemahaman dari politik hukum termasuk pula di dalamnya mencakup proses pembentukan dan pelaksanaan/penerapan hukum (salah satunya peraturan perundang-undangan) yang dapat menunjukkan sifat ke arah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan.[4] Bagir Manan mengartikan istilah politik perundang-undangan secara sederhana yaitu sebagai kebijaksanaan mengenai penentuan isi atau obyek pembentukan peraturan perundang-undangan. Sedangkan pembentukan peraturan perundang-undangan itu sendiri diartikan sebagai tindakan melahirkan suatu peraturan perundang-undangan.[5] Abdul Wahid Masru mengartikan politik peraturan perundang-undangan sebagai kebijakan (beleids/policy) yang diterjemahkan sebagai tindakan pemerintahan/negara dalam membentuk peraturan perundang-undangan sejak tahap perencanaannya sampai dengan penegakannya (implementasinya).[6] Sehingga dapat disimpulkan bahwa politik perundang-undangan merupakan arah kebijakan pemerintah atau negara mengenai pengaturan (substansi) hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan (hukum tertulis) untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Selanjutnya, dimana dapat kita melihat gambaran mengenai politik perundang-undangan yang sedang dijalankan oleh pemerintah/negara? Untuk melihat perkembangan politik perundang-undangan yang berlaku pada masa tertentu secara substansial dan sederhana sebenarnya dapat dilihat dari:
B.Kebijakan Politik Hukum Nasional Arah kebijakan politik hukum nasional dilandaskan pada keinginan untuk melakukan pembenahan sistem dan politik hukum yang dilandasikan pada 3 (tiga) prinsip dasar yang wajib dijunjung oleh setiap warga negara yaitu: Ketiga prinsip dasar tersebut merupakan syarat mutlak dalam mewujudkan cita-cita terwujudnya negara Indonesia yang damai dan sejahtera. Apabila hukum ditegakkan dan ketertiban diwujudkan, maka diharapkan kepastian, rasa aman, tenteram, ataupun kehidupan yang rukun akan dapat terwujud. Untuk itu politik hukum nasional harus senantiasa diarahan pada upaya mengatasi berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan sistem dan politik hukum yang meliputi permasalahan yang berkaitan dengan substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.
Untuk mendukung pembenahan sistem dan politik hukum tersebut, telah ditetapkan sasaran politik hukum nasional yaitu terciptanya suatu sistem hukum nasional yang adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif (termasuk bias gender); terjaminnya konsistensi seluruh peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dan daerah, serta tidak bertentangan dengan peraturan dan perundangan yang lebih tinggi, dan kelembagaan peradilan dan penegak hukum yang berwibawa, bersih, profesional dalam upaya memulihkan kembali kepercayaan hukum masyarakat secara keseluruhan. Untuk mewujudkan sasaran tersebut, maka disusun suatu program pembangunan politik hukum, antara lain dengan melakukan:
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa politik perundang-undangan merupakan arah kebijakan pemerintah atau negara mengenai arah pengaturan (substansi) hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan (hukum tertulis) untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengapa hanya menggambarkan keinginan atau kebijakan pemerintah atau negara? Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa kewenangan atau organ pembentuk peraturan perundang-undangan adalah hanya negara atau Pemerintah.[7] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan bentuk monopoli negara yang absolut, tunggal, dan tidak dapat dialihkan pada badan yang bukan badan negara atau bukan badan pemerintah. Sehingga pada prinsipnya tidak akan ada deregulasi yang memungkinkan penswastaan pembentukan peraturan perundang-undangan. Namun demikian dalam proses pembentukannya sangat mungkin mengikutsertakan pihak bukan negara atau Pemerintah.[8] Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa peraturan perundang-undangan, baik langsung maupun tidak langsung akan selalu berkenaan dengan kepentingan umum, oleh karena itu sangat wajar apabila masyarakat diikutsertakan dalam penyusunannya. Keikutsertaan tersebut dapat dalam bentuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk melakukan berbagai prakarsa dalam mengusulkan/memberikan masukan untuk mengatur sesuatu atau memberikan kesempatan pada masyarakat untuk menilai, memberikan pendapat atas berbagai kebijaksanaan negara atau Pemerintah di bidang perundang-undangan. Dalam praktek, pengikutsertaan dilakukan melalui kegiatan seperti pengkajian ilmiah, penelitian, berpartisipasi dalam forum-forum diskusi atau duduk dalam kepanitiaan untuk mempersiapkan suatu rancangan peraturan perundang-undangan. Pada forum Dewan Perwakilan Rakyat juga dilakukan pemberian sarana partisipasi yang dilakukan melalui pranata "dengar pendapat" atau "public hearing". Berbagai sarana untuk berpartisipasi tersebut akan lebih efektif bila dilakukan dalam lingkup yang lebih luas bukan saja dari kalangan ilmiah atau kelompok profesi, tetapi dari berbagai golongan kepentingan (interest groups) atau masyarakat pada umumnya. Untuk mewujudkan hal tersebut biasanya diperlukan suatu sistem desiminasi rancangan peraturan perundang-undangan agar masyarakat dapat mengetahui arah kebijakan atau politik hukum dan perundang-undangan yang dilaksanakan. Sehingga pembangunan dan pembentukan peraturan perundang-undangan dapat mengarah pada terbentuknya suatu sistem hukum nasional Indonesia yang dapat mengakomodir harapan hukum yang hidup di dalam masyarakat Indonesia yang berorientasi pada terciptanya hukum yang responsive. Berkaitan dengan hal tersebut Mahfud MD juga menyatakan: Hukum yang responsive merupakan produk hukum yang lahir dari strategi pembangunan hukum yang memberikan peranan besar dan mengundang partisipasi secara penuh kelompok-kelompok masyarakat sehingga isinya mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat pada umumnya.[9] Dari yang telah diuraikan tersebut, maka seharusnya peraturan perundang-undangan dapat diformulasikan sedemikian rupa yaitu sedapat mungkin menampung berbagai pemikiran dan partisipasi berbagai lapisan masyarakat, sehingga produk hukum yang dihasilkan dapat diterima oleh masyarakat. Pemahaman mengenai hal ini sangat penting karena dapat menghindari benturan pemahaman antara masyarakat dan pemerintah atau negara yang akan terjebak ke dalam tindakan yang dijalankan diluar jalur atau landasan hukum. Bila hukum yang dihasilkan adalah hukum yang responsif, maka tidak akan ada lagi hukum siapa yang kuat (punya kekuasaan) akan menguasai yang lemah atau anggapan rakyat selalu menjadi korban, karena lahirnya hukum tersebut sudah melalui proses pendekatan dan formulasi materi muatannya telah menampung berbagai aspirasi masyarakat. Pada dasarnya penerimaan (resepsi) dan apresiasi masyarakat terhadap hukum sangat ditentukan pula oleh nilai, keyakinan, atau sistem sosial politik yang hidup dalam masyarakat itu sendiri.[10] Dalam sejarah perkembangan peraturan perundang-undangan di Indonesia pernah terjadi bahwa selama lebih dari 30 tahun sebelum reformasi tahun 1998, konfigurasi politik yang berkembang di negara Indonesia dibangun secara tidak demokratis sehingga hukum kita menjadi hukum yang konservatif dan terpuruk karena selalu dijadikan sub ordinat dari politik. Sedangkan ciri atau karakteristik yang melekat pada hukum konservatif antara lain:
Sejalan dengan M. Mahfud MD, mengenai ciri tersebut, Satya Arinanto memberikan pendapatnya bahwa produk hukum yang konservatif mempunyai makna: Produk hukum konservatif/ortodoks/elitis adalah produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elit politik, keinginan pemerintah, dan bersifat positivis-instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksanaan ideologi dan program negara. Ia lebih tertutup terhadap tuntutan-tuntutan kelompok-kelompok maupun individu-individu dalam masyarakat. Dalam pembuatannya, peranan dan partisipasi masyarakat relatif kecil. Sedangkan produk hukum responsif/populistik adalah produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau individu-individu dalam masyarakat. Hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan kelompok-kelompok sosial atau individu-individu dalam masyarakat.[12] Dari pengalaman sejarah hukum[13] tersebut seharusnya perlu dirancang suatu skenario politik perundang-undangan nasional yang berorientasi pada pemahaman konsep sistem hukum nasional yang diwujudkan dalam bentuk penyusunan peraturan perundang-undangan secara komprehensif dan aspiratif. Penyusunan atau pembentukan peraturan perundang-undangan yang aspiratif tersebut merupakan rangkaian dari langkah-langkah strategis yang dituangkan dalam program pembangunan hukum nasional yang dilaksanakan untuk mewujudkan negara hukum yang adil dan demokratis serta berintikan keadilan dan kebenaran yang mengabdi kepada kepentingan rakyat dan bangsa di dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. D.Landasan Politik Perundang-undangan
Di samping landasan tersebut, dalam melaksanakan politik peraturan perundang-undangan, seharusnya perlu diperhatikan pula mengenai pola pikir pembentukan peraturan perundang-undangan (hukum) yang harus disesuaikan dengan prinsip-prinsip:
[1] HM. Laica Marzuki, Kekuatan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Undang-Undang, Jurnal Legislasi Vol. 3 Nomor 1, Maret 2006, hal. 2. Lihat juga M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet. II (Jakarta: LP3ES, 2001), hal. 5. Mahfud MD menyebutkan bahwa hukum merupakan produk politik yang memandang hukum sebagai formalitas atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling bersanginan. Lebih jauh Mahfud MD mengemukakan bahwa hubungan kausalitas antara hukum dan politik yang berkaitan dengan pertanyaan apakah hukum mempengaruhi politik ataukah politik yang mempengaruhi hukum, dapat dijawab Pertama; hukum determinan atas politik yaitu kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Kedua; politik determinan atas hukum karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bahkan saling bersaingan. Ketiga; politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang sederajat determinasinya. [2] M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet. II (Jakarta: LP3ES, 2001), hal. 9. [3] Ibid. Lihat juga Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Nasional, makalah pada Kerja Latihan Bantuan Hukum, Surabaya, September 1985. [4] Bagir Manan, Politik Perundang-undangan, Makalah, Jakarta, Mei 1994, hal. 1. [5] Ibid, hal. 2. [6] Abdul Wahid Masru, Politik Hukum dan Perundang-undangan, Makalah, Jakarta, 2004. [7] Hal ini disebut sebagai asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat yang terdapat dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. [8] Ibid, Psl 53. Pasal 53 merumuskan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah. [9] M. Mahfud MD, Demokratisasi Dalam Rangka Pembangunan Hukum Yang Responsif, Makalah, FH UNDIP, Semarang, 1996, hlm 1. [10] Iskandar Kamil, Peradilan Anak, Makalah, Disampaikan pada Workshop (Round Table Discussion) mengenai Pedoman Diversi untuk Perlindungan Bagi Anak Yang Berhadapan dengan Hukum, Jakarta, 1 Juni 2005. [11] M. Mahfud MD, Langkah Politik dan Bingkai Paradikmatik Dalam Penegakan Hukum Kita, Makalah, Bahan Kumpulan Perkuliahan Pasca Sarjana FH UI, 2004, hal 3-5. [12] Satya Arinanto, Kumpulan Materi Pendukung (Transparansi) Politik Hukum dan Politik Perundang-undangan (Dihimpun dari Berbagai Sumber), Disampaikan pada Pendidikan dan Pelatihan Perancangan Perundang-undangan Bagi Legislative DrafterSekretariat Jenderal DPR RI, tanggal 14 April 2003, hal. 8. [13] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 107. Satjipto Rahardjo mengutip Paul Scholten yang mengemukakan konsep bahwa hukum merupakan suatu kesatuan norma-norma yang merupakan rangkaian perjalanan sejarah yang memandang kebelakang kepada peraturan perundang-undangan yang ada dan memandang kedepan untuk mengatur kembali. [14] Abdul Wahid Masru, Op. Cit., hal. 4. [15] Satya Arinanto, Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Pasca Reformasi, Pidato Upacara Pengukuhan sebagai Guru Besar tetap pada FH-UI, Jakarta, 18 Maret 2006, hal. 14 16. Alasan menyebut sama dengan GBHN dalam era Orde Lama dan Orde Baru, karena sebagai akibat proses perubahan UD 1945, dimana salah satu dasar pemikiran perubahannya adalah tentang kekuasaan tertinggi di tangan MPR, maka semenjak tahun 2004, MPR hasil pemilihan umum pada tahun tersebut tidak lagi menetapkan produk hukum yang berupa GBHN. [16] Satya Arinanto, Op.Cit., hal. 25. [17] Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, jilid III, No. 4, (Bandung: Padjadjaran), 1970, hal. 5-16, dalam Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, (bandung: Penerbit Alumni), 1979, hal. 161. [18] Prolegnas: instrumen perencanaan perundang-undangan, [19] Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005, Psl. 1 angka 1 lihat pula Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. [20] Ibid, Psl. 4. [21] RUU Kumulatif Terbuka: 1) RUU tentang Pengesahan Perjanjian Internasional, 2) RUU tentang Pengesahan Perjanjian Internasional, 3) RUU tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, 4) RUU tentang Pembentukan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota , 5) RUU Kumulatif Terbuka tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Menjadi Undang-Undang. |