Peninggalan sejarah yang bukan merupakan perwujudan dari konsep dewa raja ditunjukkan nomor

Lihat Foto

Yupa, prasasti Kerajaan Kutai yang menceritakan Raja Mulawarman

KOMPAS.com - Kerajaan Kutai diyakini sebagai kerajaan Hindu tertua di Indonesia.

Keberadaannya dibuktikan lewat berbagai peninggalan seperti arca dan prasasti.

Dilansir dari Peninggalan Bersejarah di Indonesia (2019), peninggalan sejarah Kerajaan Kutai yang paling penting yakni tujuh yupa yang ditemukan di sekitar Muara Kaman, Kalimantan Timur.

Kerajaan Kutai disepakati para ahli sejarah sebagai awal masa sejarah Indonesia karena pada kerajaan tersebut digunakan tulisan/huruf Pallawa pada prasasti Yupa.

Yupa adalah tiang batu yang bertuliskan berita tentang Kerajaan Kutai. Yupa ditulis dengan huruf Pallawa yang merupakan bahasa Sansekerta. Huruf Pallawa banyak digunakan di India Selatan.

Dalam salah satu Yupa, ada kata "Waprakeswara". Menurut ahli, Waprakeswara adalah lapangan luas tempat pemujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Hindu.

Keterangan yang dapat dikemukakan untuk mendukung kesimpulan bahwa corak kebudayaan yang berkembang di Kerajaan Kutai adalah Hindu di antaranya ppacara selamatan diadakan di atas sebidang tanah Wavrakesywara.

Baca juga: Kerajaan Kutai: Kerajaan Hindu Tertua di Nusantara

Dengan demikian diketahui bahwa Kerajaan Kutai menganut Agama Hindu.

Dilansir dari Pengantar Sejarah Kebudayaan 2 (1995), Yupa memuat cerita tentang raja-raja Kutai.

Sang Maharaja Kudungga mempunyai putra yang diberi nama Aswawarman, seperti nama Dewa Matahari, Asuman.

Lihat Foto

DOK. PUSKOMPUBLIK KEMENPAREKRAF

Kompleks Candi Prambanan.

KOMPAS.com - Ajaran Hindu-Buddha ada di Nusantara sebelum adanya agama-agama lain.

Hindu dan Buddha menjadi agama resmi beberapa kerajaan terbesar Nusantara.

Peninggalan-peninggalan dari kerajaan tersebut telah dilestarikan dan dijadikan tempat wisata bagi masyarakat.

Peninggalan yang bercorak Hindu-Buddha umumnya berupa prasastri, candi, kiktab, dan arca.

Berikut merupakan peninggalan-peninggalan sejarah Hindu-Buddha yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia:

Prasasti (batu tertulis)

Dikutip situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), setiap kerajaan bercorak Hindu-Buddha yang berdiri dan berkembang di Indonesia diketahui keberadaanya lewat prasasti atau batu tertulis.

Prasasti-prasasti tersebut tertulis dengan huruf Pallawa dalam bahasa sansekerta, bahasa Jawa kuno dan bahasa Melayu kuno.

Prasasti merupakan sebuah dokumen atau piagam yang tertulis pada batu, tembaga, dan sebagainya.

Baca juga: Perkembangan Agama Hindu-Buddha di Nusantara 

Contoh prasasti tersebut adalah:

Prasasti huruf pallawa bahasa Sansakerta
  1. Yupa, prasasti Muarakaman (Kerajaan Kutai)
  2. Prasasti Ciaruteun, Kebon Kopi, Jambu, Pasir Awi, Tugu, Cidanghiang (Kerajaan Tarumanegara)
  3. Prasasti Tuk Mas (Kerajaan Holing)
  4. Prasasti Canggal, Mantyasih, Wanua Tengah III, Sojomerto, Sangkhara, Kalasan,Klurak (Kerajaan Mataram Kuno).
Prasasti huruf pallawa bahasa Melayu Kuno

Contoh dari prasasti huruf pallawa bahasa Melayu Kuno ialah Prasasti Kedukan Bukit, Talang Tuo, Kota Kapur, Karang Berahi, Telaga Batu (Kerajaan Sriwijaya)

"Dewaraja" adalah konsep Hindu-Buddha yang memuja dan menganggap raja memiliki sifat kedewaan, bentuk pemujaan ini berkembang di Asia Tenggara.[1] Konsep ini terkait dengan sistem monarki yang menganggap raja memiliki sifat illahiah, sebagai dewa yang hidup di atas bumi, sebagai titisan dewa tertinggi, biasanya dikaitkan dengan Siwa atau Wishnu. Konsep ini terkait dengan gagasan India mengenai raja jagat cakrawartin. Secara politik, gagasan ini dilihat sebagai suatu upaya pengesahan atau justifikasi kekuasaan raja dengan memanfaatkan sistem keagamaan. Konsep ini mencapai bentuk dan wujudnya yang paling canggih di Jawa dan Kamboja, dimana monumen-monumen agung seperti Prambanan dan Angkor Wat dibangun untuk memuliakan raja di atas bumi.

Arca Harihara, dewa gabungan Siwa dan Wisnu sebagai penggambaran anumerta Kertarajasa, raja pertama Majapahit. Tradisi memuliakan raja bagaikan dewa merupakan tradisi dewaraja.

Dalam bahasa Sanskerta istilah dewa-raja dapat bermakna "raja para dewa" atau "raja yang juga (titisan) dewa". Dalam masyarakat dewa Hindu, jabatan dewa tertinggi biasanya disandang oleh Siwa, terkadang Wisnu, atau sebelumnya Indra. Kerajaan langit tempat para dewa bersemayam di swargaloka merupakan bayangan kerajaan fana di atas bumi, konsep ini memandang raja sebagai dewa yang hidup di muka bumi.

Konsep dewaraja dibentuk melalui ritual keagamaan yang dilembagakan dalam pranata kerajaan bercorak Hindu-Buddha di Asia Tenggara. Hal ini memungkinkan raja untuk mengklaim memiliki wewenang ilahiah yang bisa digunakan untuk memastikan legitimasi politik, mengelola tatanan sosial, menata aspek ekonomi dan agama. Dalam aspek politik, memperkuat hak raja dan wangsa yang berkuasa sebagai penguasa negeri yang sah. Hal ini juga digunakan untuk menjaga ketertiban sosial, memuliakan raja sebagai dewa hidup yang pastinya menuntut pelayanan maksimal rakyatnya dan pengabdian umatnya. Memperkenalkan sistem kasta India juga mendefinisikan kelas sosial, pekerjaan, serta cara hidup rakyat mereka.

Kepercayaan dewaraja juga memungkinkan raja untuk mengerahkan rakyatnya untuk melakukan pekerjaan umum berskala besar dan proyek-proyek raksasa, misalnya menciptakan dan memelihara sistem pengairan hidrolik yang rumit untuk mendukung pertanian padi dalam skala besar, atau untuk membangun monumen agung, membangun candi-candi untuk menghormati raja yang telah wafat. Contoh dari proyek-proyek pembangunan besar misalnya pembangunan candi Borobudur, Prambanan, juga kompleks percandian dan baray di Angkor.

Pemujaan dewaraja adalah pranata resmi kerajaan Kamboja yang didukung sistem agama mereka, sesungguhnya konsep ini mungkin berasal dari Jawa.[1] Di Jawa kuno, sejak masa wangsa Sailendra, atau mungkin lebih tua sejak kerajaan Tarumanagara, pranata negara memandang raja sebagai titisan dewa di bumi. Prasasti Ciaruteun dari abad ke-5, mengukirkan telapak kaki Raja Purnawarman laksana telapak kaki Wishnu. Prasasti Kebon Kopi I atau batu "Telapak Gajah", mengukirkan telapak kaki gajah tunggangan raja sebagai telapak kaki Airawata (gajah tunggangan dewa Indra), maka raja juga dikaitkan dengan dewa Indra.

Di kerajaan Medang, adalah kebiasaan untuk membangun candi untuk memuliakan arwah raja yang meninggal dunia. Arca dewa di ruangan utama candi sering kali merupakan arca perwujudan anumerta sang raja yang digambarkan sebagai dewa tertentu yang arwahnya akhirnya bersatu dengan dewa yang dipuja dan naik ke swargaloka. Disebutkan bahwa gagasan ini merupakan paduan antara Hinduisme dengan pemujaan nenek moyang bangsa Austronesia.[2] Di Jawa, tradisi memuliakan raja sebagai titisan dewa terus berlanjut pada masa kerajaan Kediri, Singhasari, hingga Majapahit pada abad ke-15 M.

 

Pemujaan Dewaraja memungkinkan raja-raja Khmer mengerahkan rakyatnya untuk bekerja dalam proyek-proyek besar, seperti pembangunan candi Angkor Wat.

Dalam konteks Kamboja, istilah ini merujuk kepada raja yang juga dianggap dewa, muncul di prasasti K. 235 dari Sdok Kak Thom / Sdok Kăk Thoṃ (kini Thailand) bertarikh 8 Februari 1053 M, menyebutkan gelar Khmer kamrateṅ jagat ta rāja ("ratu/penguasa jagat yang adalah raja") menggambarkan dewa agung pelindung kerajaan Khmer yang merujuk kepada tokoh raja Jayawarman II. Dewa Khmer lainnya, juga disebutkan dalam prasasti sebelum K. 682, dari Chok Gargyar (Kòḥ Ker) bertarikh 921/22M.[3]

  • Cakrawartin
  • Firaun
  • Kaisar Jepang
  1. ^ a b Sengupta, Arputha Rani (Ed.) (2005). "God and King : The Devaraja Cult in South Asian Art & Architecture". ISBN 8189233262. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-12-09. Diakses tanggal 14 September 2012. Pemeliharaan CS1: Teks tambahan: authors list (link)
  2. ^ Drs. R. Soekmono, (1973). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, 2nd ed. 5th reprint edition in 1988. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 83. 
  3. ^ Claude Jacques, “The Kamrateṅ Jagat in ancient Cambodia”, Indus Valley to Mekong Delta. Explorations in Epigraphy; ed. by Noboru Karashima, Madras: New Era Publications, 1985, pp. 269-286

Diperoleh dari "//id.wikipedia.org/w/index.php?title=Dewaraja&oldid=17851776"

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA