Gunung Muria (di masa kolonial dikenal sebagai Moerija atau Moerjo) adalah sebuah gunung bertipe stratovolcano[4] yang terletak di pantai utara Jawa Tengah, sekitar 66 kilometer di timur laut Kota Semarang.[5] Gunung ini termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Jepara di sisi barat, wilayah Kabupaten Kudus di sisi selatan, dan wilayah Kabupaten Pati di sisi timur dan tenggara.[6] Gunung ini memiliki ketinggian setinggi 1602 mdpl, tetapi sumber lain menyebutkan bahwa tingginya 1625 mdpl.[7][8] Gunung MuriaMoerjo, MoerijaGunung Muria merupakan salah satu gunung di Jawa yang berhubungan dengan zona subduksi berumur Miosen, bukan zona subduksi yang aktif (seperti Gunung Merapi atau Gunung Kelud), dengan Zona WadatiBenioff sedalam sekitar 400 kilometer.[13] Meskipun demikian, aktivitas magmatik setidaknya diketahui masih ada di bawah gunung pada tahun 2000.[14] Gunung Muria memiliki sejarah yang sama dengan Gunung Genuk (gunung kecil yang berada di Donorojo, di utara Muria), terutama dalam pembentukan bentang alam Semenanjung Muria. Keduanya menghasilkan lava koheren baik kubah lava dan sumbat lava maupun maar yang terdapat di kaki gunung dan daratan.[3] Selain itu, dijumpai pula breksi gunung api, lapili, dan tuf yang banyak mengeliling sekitar gunung. Namun, densitasnya hanya mencapai 2.4 gr/cm3 sehingga tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan persebaran batuan yang lain.[15] Proyek nuklir yang dibatalkanSuntingPerencanaanSuntingPada bulan April 1975, BATAN dan Departemen Pekerjaan Umum membentuk sebuah komisi untuk memulai proses pemilihan lokasi tapak PLTN yang bernama Komisi Persiapan Pembangunan PLTN (KP2PLTN). Komisi tersebut terdiri dari BATAN, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pertahanan dan Keamanan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan PLN.[16] Pemilihan tersebut menghasilkan 5 dari 14 lokasi yang diusulkan. Lima lokasi tersebut adalah Tanjung Pujut (Banten), Parigi (Jawa Barat), Lasem (Jawa Tengah), Muria (Jawa Tengah), dan Situbondo (Jawa Timur).[17] Antara bulan Juli hingga September 1975, diadakan sebuah survei untuk menentukan lokasi tapak terbaik dari kelima lokasi tersebut. Hasilnya berupa dua lokasi, yaitu Keling di Muria dan Sluke di Lasem.[17] Kemudian, BATAN mengadakan studi kelayakan terhadap kedua lokasi tersebut yang dibantu oleh firma teknik nuklir asal Italia, NIRA.[18] Hasil studi tersebut kemudian keluar pada tahun 1982, yang menyimpulkan bahwa Ujungwatu di Keling (kini bagian dari Donorojo) adalah calon lokasi tapak terbaik.[17] Pada tahun 1991, diadakan perjanjian antara Kementerian Keuangan dan BATAN dengan perusahaan konsultasi energi asal Jepang, NEWJEC Inc.[19] Perjanjian ini pada dasarnya mengontrak NEWJEC selama empat tahun setengah untuk melakukan analisis dan evaluasi terhadap lokasi tapak. Lokasi yang sebelumnya hanya Ujungwatu diperbarui menjadi enam lokasi, yaitu Ujungwatu, Ujung Bantungan, Ujung Grenggengan, Ujung Lemahabang, Ujung Bayuran, dan Ujung Piring. Pilihan akhirnya jatuh di Ujung Lemahabang (ULA), sebuah dukuh di Balong, Kecamatan Kembang, Kabupaten Jepara.[20][21][22] Pada 1993, NEWJEC mengeluarkan sebuah laporan yang berjudul Feasibility Study of the First Nuclear Power Plants at Muria Peninsula Region. Laporan ini memproyeksikan penawaran dan permintaan kebutuhan energi nuklir serta menyarankan Pemerintah Indonesia untuk membangun 12 reaktor berkekuatan 600 Megawatt.[18] Pemilihan tapak akhirnya selesai pada bulan Mei 1996,[23] dan rencananya akan mulai dibangun pada tahun 1997, tetapi tertunda karena krisis finansial Asia 1997.[24] PLTN ini diproyeksikan dapat memasok energi listrik sebesar 4.000-6.000 Megawatt.[25][26] Reaksi dari masyarakatSuntingKetika warga lokal Balong awalnya mengetahui rencana ini, kebanyakan dari mereka menyetujui ini, dengan harapan bahwa mereka bisa meningkatkan pendapatan (dengan adanya kesempatan kerja) dan dapat menikmati pengguna dan pelayanan listrik yang lebih baik. Namun, tumbuh pula kekhawatiran akan rencana tersebut, mulai dari pemindahan penduduk hingga ketakutan pada radiasi, terlebih karena tidak ingin seperti Bencana Chernobyl dan limbah radioaktif yang akan mengkontaminasi makanan dan barang.[27] Pada 2007, muncul penolakan luas terhadap rencana ini dari warga Jepara (termasuk yang di Balong) dan Kudus dengan menggelar aksi unjuk rasa di berbagai tempat.[28][24] Penolakan ini juga diikuti oleh para pengusaha yang tinggal di sekitar gunung dengan mengancam akan meninggalkan tempatnya jika PLTN jadi dibangun.[29] Beberapa akademisi menyebutkan bahwa unjuk rasa ini disebabkan oleh dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 yang dianggap sarat kepentingan politik dan ekonomi.[30][31] Pada 2 September 2007, Nahdlatul Ulama Jepara secara khusus mengharamkan pembangunan PLTN di Semenanjung Muria, dengan alasan PLTN hanya bisa memasok kebutuhan energi nasional sebesar 2-4 persen sementara limbah radioaktif yang dibuang dapat berbahaya bagi lingkungan. Namun, mereka menegaskan bahwa keputusan ini hanya berlaku di sana.[32][33] Keputusan ini didukung oleh organisasi lingkungan seperti Greenpeace dan Walhi, dan partai politik PKB.[34][35][36] Menyusul bencana nuklir Fukushima Daiichi, warga Jepara kembali menggelar aksi unjuk rasa dan menggelar aksi solidaritas terhadap warga Jepang yang terdampak dari bencana tersebut.[37] Peristiwa ini juga membuat warga Bangka Belitung berunjuk rasa menolak PLTN yang akan direncanakan dibangun di sana.[38] Meskipun demikian, BATAN menyatakan untuk tetap melanjutkan pembangunan PLTN di kedua wilayah tersebut.[39] PembatalanSuntingPada 2012, Gusti Muhammad Hatta, Menteri Riset dan Teknologi saat itu, mengatakan bahwa rencana pembangunan PLTN Muria dibatalkan karena "masalah yang agak rumit", seperti penduduk di sekitarnya yang padat. Namun, ia tidak tahu apakah pembatalannya bersifat permanen dan menyambung bahwa jika dibatalkan maka pemerintah akan melanjutkan pembangunan PLTN di tempat lain, seperti di Bangka Belitung.[40] Pada 2015, rencana ini dibatalkan secara permanen karena diketahui beberapa kali gempa bumi di sekitar gunung.[41][42] Selat MuriaSuntingDi sebelah selatan Gunung Muria dahulu terdapat sebuah selat yang dinamai Selat Muria yang memisahkan antara Pulau Jawa dan Pulau Muria. Saat ini selat tersebut telah menjadi daratan dan menjadi bagian dari Kabupaten Demak, Kabupaten Kudus, Kabupaten Pati, dan Kabupaten Rembang. Nama dari Gunung Muria menjadi inspirasi dari nama Kereta api Argo Muria, kereta api eksekutif argo yang melayani Semarang Tawang-Gambir. GaleriSunting
ReferensiSuntingCatatan kakiSunting
Daftar pustakaSunting
Lihat pulaSunting
|