Pemberontakan Majapahit pada masa Jayanegara

Pemberontakan Majapahit pada masa Jayanegara

ist

(Ilustrasi) Mengapa banyak terjadi pemberontakan di Kerajaan Majapahit

Intisari-Online.com - Tahukah Anda mengapa banyak terjadi pemberontakan di Kerajaan Majapahit?

Sebelum mengetahui mengapa banyak terjadi pemberontakan di Kerajaan Majapahit, Anda harus tahu bahwa Kerajaan Majapahit berdiri pada akhir abad ke-13.

Kerajaan Hindu-Buddha ini mengalami masa kejayaan pada abad ke-14.

Raja pertama adalah Raden Wijaya, lalu raja kedua Kerajaan Majapahit yang berkuasa antara 1309 hingga 1328 M ialah Jayanegara.

Setelah naik takhta, ia bergelar Sri Sundarapandyadewadhiswara Wikramottungadewa.

Kisah hidupnya ditulis dalam beberapa catatan, seperti Kitab Pararaton dan Kitab Negarakertagama.

Dari Pararaton, diketahui bahwa Raja Jayanegara mempunyai julukan Kala Gemet.
Julukan ini disematkan karena sang raja memiliki kepribadian yang kurang baik dan dianggap lemah sebagai penguasa.

Baca Juga: Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Demak Tak Terlepas dari Sosok Raden Patah

 Baca Juga: Salah Satunya Malah Pernah Dibikin Kocar-kacir oleh Pendiri Majapahit, Inilah Daftar Negara yang Pernah Permalukan Rusia dalam Perang

Pasalnya, pada masa Raja Jayanegara Kerajaan Majapahit sering mengalami pemberontakan.

Mengapa banyak terjadi pemberontakan di Kerajaan Majapahit?

1. Jayanegara merupakan raja yang masih muda sehingga tidak cukup cakap dalam memimpin kerajaan

2. Hasutan dari Ranggalawe, Lembu Sora, Nambi, untuk menjadi patih dari majapahit.

3. Kebencian karenana tidak mendapatkan imbalan yang sepadang dengan jasa-jasa mengabdinya pada Raden Wijaya (ayah dari Jayanegara)

4. Kebencian rakyat karena Jayanegara bukan keturunan asli Nusantara, melainkan ibunya seorang Melayu.

Di sisi lain, pemerintahannya juga menjadi awal kebangkitan Gajah Mada sebagai tokoh penting Majapahit karena berhasil menumpas serangkaian pemberontakan yang mengancam kerajaan.

Raja yang dibenci

Baca Juga: Bukan Majapahit, Inilah Kerajaan di Bumi Gajah Putih yang Menjadi Cikal Bakal Berdirinya Kerajaan Thailand Saat Ini, Sempat Kuasai Malaysia dan Negara Tetangga Ini

 Baca Juga: Tak Tahan dengan Kecantikan Ken Dedes, Tunggul Ametung Terpaksa Culik Wanita yang Bakal Lahirkan Raja-raja di Tanah Jawa, Nyawanya pun Berakhir Jadi Tumbal di Ujung Keris Seperti Kutukan Pendeta Ini

Dari Pararaton, diketahui bahwa Raja Jayanegara mempunyai julukan Kala Gemet, yang berarti jahat dan lemah.

Julukan ini disematkan karena sang raja memiliki kepribadian yang kurang baik dan dianggap lemah sebagai penguasa, sehingga banyak yang memberontak.

Salah satu tindakan buruk yang dilakukannya adalah mengurung adik tirinya, Tribhuwana Tunggadewi dan Rajadewi, agar tidak dinikahi orang lain.

Hal ini dilakukan karena Raja Jayanegara ingin menikahi keduanya supaya tidak perlu khawatir akan kehilangan takhtanya.

Namun, niatnya itu ditentang oleh Gayatri, ibu Tribhuwana Tunggadewi dan Rajadewi.

Selama memerintah, sang raja juga kerap merayu istri dari para pejabat istana.

Selain itu, banyak yang tidak menyukai Raja Jayanegara karena ia bukan putra yang lahir dari permaisuri ataupun keturunan Raja Kertanegara.

Seperti diketahui, ibunya hanyalah seorang selir dan berdarah Melayu. Melihat sikap dan sifat Jayanegara, para pejabat istana pun semakin yakin bahwa takhta Majapahit telah jatuh ke tangan orang yang salah.

Baca Juga: Ekskavasi di Mojokerto Temukan Prasasti Bertuliskan Aksara Jawa, Empat Tahun yang Lalu Ditemukan Pula Prasasti Majapahit di Lokasi Ini, Seperti Apa Isinya?

Baca Juga: Simak Faktor Penyebab Majapahit Menjadi Kerajaan Besar Agraris dan Perdagangan Berikut Ini

(*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

tirto.id - Sejarah pemberontakan Ra Kuti terjadi pada masa pemerintahan Jayanagara (1309-1328), raja ke-2 Majapahit, tepatnya tahun 1241 Saka atau 1319 Masehi. Aksi Ra Kuti yang dianggap berbahaya bagi Kerajaan Majapahit ini akhirnya bisa ditumpas oleh Gajah Mada.

Ra Kuti merupakan anggota Dharmaputra yang dibentuk Raden Wijaya bergelar Kertarajasa Jayawardhana (1293-1309), ayahanda Jayanagara sekaligus raja pertama dan pendiri Kerajaan Majapahit. Dharmaputra berjumlah 7 orang, yaitu Ra Kuti, Ra Semi, Ra Tanca, Ra Wedeng, Ra Yuyu, Ra Banyak, dan Ra Pangsa.

Dikutip dari Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakertagama (2006), dijelaskan bahwa Dharmaputra merupakan pejabat tinggi yang memiliki kedudukan khusus di Majapahit. Kitab Pararaton menyebut Dharmaputra sebagai "pengalasan wineh suka" atau "pegawai istimewa yang disayangi raja".



Sebelum pemberontakan Ra Kuti, internal istana Majapahit pernah diguncang intrik nyaris serupa yang melibatkan nama Ra Semi, seorang anggota Dharmaputra lainnya. Aksi Ra Semi diperkirakan terjadi antara tahun 1316 hingga 1318 Masehi.

Latar Belakang Pemberontakan Ra Kuti

Pemberontakan Ra Kuti didasari rasa tidak puas atas keputusan raja. Ra Kuti dan beberapa Dharmaputra lainnya menilai Raja Jayanagara berkarakter lemah dan mudah dipengaruhi.

Kitab Pararaton menyebut Raja Jayanegara dengan nama Kalagemet yang ditafsirkan sebagai olok-olok karena nama tersebut memiliki arti “lemah” atau “jahat”.


Asal-usul Jayanagara diduga juga menjadi alasan ketidaksukaan para Dharmaputra, terhadap sang raja. Meskipun ditunjuk sebagai putra mahkota, Jayanagara bukanlah anak Raden Wijaya dari istri permaisuri, melainkan dari istri selir.Ibunda Jayanagara adalah Dara Petak, putri Kerajaan Dharmasraya dari Sumatera. Putri ini dibawa dari Ekspedisi Pamalayu, suatu upaya operasi penaklukan oleh Kerajaan Singasari pada 1275 hingga 1286 M. Terlebih, Jayanegara berdarah campuran, bukan turunan murni dari Kertanagara.
Kerajaan Singasari merupakan pendahulu Kerajaan Majapahit. Sebelum mendirikan Majapahit pada 1293, dinukil dari Menguak Tabir Perkembangan Hindu (1998) karya Wayan Nurkancana, Raden Wijaya adalah senapati alias panglima perang sekaligus menantu Raja Singasari, yakni Kertanegara (1268-1292).

Menurut Negarakretagama, Raden Wijaya menikah dengan 4 orang putri Kertanagara, yaitu Tribhuwaneswari, Narendraduhita, Jayendradewi, dan Gayatri. Tribhuwaneswari dipilih sebagai permasiuri. Sedangkan Paraton menyebut Raden Wijaya hanya mengawini 2 orang putri Kertanegara.

Riwayat Singasari tamat pada 1292 setelah Kertanegara tewas dalam pemberontakan Jayakatwang, Bupati Gelang-gelang (sekitar Madiun sekarang). Raden Wijaya yang lolos dari insiden tersebut kemudian mendirikan Kerajaan Majapahit di tepi Sungai Brantas, tepatnya di sekitar Mojokerto.Sepeninggal Raden Wijaya yang wafat pada 1309 M dan seiring penobatan Jayanagara sebagai penerus singgasana Majapahit, mulai muncul gerakan perlawanan dari orang-orang ring satu sendiri, termasuk yang dimotori oleh Ra Semi dan Ra Kuti.

Dalam menjalankan aksinya, Ra Kuti berhasil mengajak beberapa angggota Dharmaputra lainnya untuk berusaha mendongkel takhta Raja Jayanagara, yakni Ra Tanca, Ra Banyak, Ra Yuyu, Ra Pangsa dan Ra Wedeng.


Peran Penting Gajah Mada

Yusak Farchan dan Firdaus Syam melalui penelitian bertajuk "Tafsir Kekuasaan Menurut Gajah Mada" yang terhimpun dalam Jurnal Politik (Volume 11, 2015), menuliskan bahwa peran Gajah Mada banyak disebut saat terjadi pemberontakan Ra Kuti pada 1319 Masehi.

Demikian pula menurut Agus Aris Munandar dalam Gajah Mada: Biografi Politik (2010) berdasarkan catatan Pararaton.

"Dalam pemberontakan Ra Kuti nama Gajah Mada mulai disebut-sebut dalam kitab Pararaton sebagai orang yang berperanan dan terampil untuk mengatasi masalah,” tulisnya. Saat pemberontakan Ra Kuti terjadi, Gajah Mada belum menjabat sebagai mahapatih yang nantinya turut mengantarkan Majapahit ke masa kejayaan. Posisi Gajah Mada saat itu adalah anggota pasukan pengamanan raja alias Bhayangkara. Aksi pemberontakan Ra Kuti membuat ibu kota Kerajaan Majapahit porak-poranda dan Jayanagara berada dalam situasi berbahaya. Di sinilah peran Gajah Mada disebut-sebut sangat penting dalam upaya penyelamatan takhta Majapahit.
Kuncoro Hadi dalam buku Gajah Mada, Wilwatikta, Sumpah Palapa (2003), menyebutkan bahwa Gajah Mada bertugas pada saat yang tepat dengan menunjukkan loyalitas dan keberaniannya dalam melindungi Raja Jayanegara.

Gerakan kudeta yang dilakukan oleh para Dharmaputra jelas mengancam nyawa Raja Jayanagara. Maka, sang raja harus diselamatkan.

Pasukan Bhayangkara yang berjumlah 16 orang, termasuk Gajah Mada, menjalankan operasi intelijen penyelamatan Jayanagara, demikian diulas Pitono Hardjowardojo dalam buku bertajuk Pararaton (1965).

Gajah Mada dan pasukan Bhayangkara mengamankan Raja Jayanagara ke desa bernama Badander. Ada referensi yang menyebut bahwa Badander berada di wilayah Bojonegoro, namun ada pula yang meyakini desa itu terletak di Jombang.

Penumpasan Pemberontakan Ra Kuti

Setelah memastikan Raja Jayanagara aman di Badander, dengan pengawalan sebagian anggota Bhayangkara, Gajah Mada kembali ke pusat pemerintahan Kerajaan Majapahit. Di ibu kota istana yang terletak Mojokerto itu, Gajah Mada menjalankan taktik jitunya untuk memastikan bahwa rakyat tidak mendukung pemberontakan Ra Kuti.Gajah Mada mengumpulkan para pemimpin daerah dan mengabarkan bahwa Raja Jayanegara telah wafat dalam pelarian. Para pejabat beserta warga yang mendengar kabar itu menangis sedih.Dari sinilah Gajah Mada yakin bahwa rakyat mencintai Raja Jayanagara dan tidak senang dengan gerakan kudeta yang dilakukan oleh Ra Kuti. Setelah menjelaskan bahwa raja sebenarnya selamat, Gajah Mada segera menyusun strategi untuk menumpas pemberontakan.Hingga akhirnya, dalam tempo yang tidak terlalu lama, istana dapat direbut kembali oleh pasukan pimpinan Gajah Mada dari penguasaan kawanan pemberontak. Ra Kuti tewas dalam pergolakan itu..

Agus Aris Munandar dalam Gajah Mada: Biografi Politik (2010) menuliskan, "Sayang sekali, Pararaton tidak menjelaskan bagaimana caranya Ra Kuti akhirnya ditewaskan. Hal yang pasti adalah bahwa pemberontakan ini dapat dipadamkan berkat siasat Gajah Mada."