Nafkah anak jika istri menggugat cerai

Berdasarkan Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, dan untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.[1]
Pasal 114 KHI menjelaskan bahwa putusnya perkawinan karena perceraian dapat terjadi karena talak, yang dimohonkan oleh suami,[2] atau gugatan perceraian, yang diajukan oleh istri,[3] sebagaimana yang terjadi dalam kasus Anda.
Adapun yang dapat menjadi alasan perceraian adalah:[4]
  1. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

  2. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;

  3. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

  4. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;

  5. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri;

  6. antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;

  7. suami melanggar taklik talak;

  8. peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Adakah Peran Orang Tua dalam Perceraian?

Kewenangan dan hak terhadap keberlanjutan rumah tangga ada di tangan suami istri yang bersangkutan.

Meskipun dalam kenyataannya, orang tua dari salah satu pihak, baik suami atau istri bisa mempengaruhi anaknya untuk bercerai, namun keputusan untuk bercerai tetap berada di tangan suami atau istri.

Kewajiban Suami Memberikan Nafkah yang Layak

Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.[5]

Menurut Pasal 34 ayat (1) UU Perkawinan, salah satu kewajiban suami adalah untuk melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

Selain itu, kewajiban ini juga ditegaskan dalam Pasal 80 ayat (4) KHI yang berbunyi:

sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:

  1. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;

  2. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak;

  3. biaya pendidikan bagi anak.

Dalam artikel yang sama, ditegaskan bahwa perkawinan menimbulkan hubungan keperdataan antara suami dengan istri yang kemudian melahirkan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua pihak, sehingga jika suami tidak memberikan nafkah yang layak untuk istri, maka ia dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi.

Jika Suami Tak Mampu Menafkahi

Kami asumsikan nafkah lahir yang Anda maksud adalah nafkah secara finansial.

Jika suami melalaikan kewajiban memberi nafkah sebagaimana yang kami jelaskan sebelumnya, istri dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan untuk menuntut nafkah yang layak.[6]

Maka, mengenai pemberian nafkah yang layak, sebenarnya sudah tersedia upaya hukumnya, yaitu gugatan untuk menuntut nafkah, dan tidak serta merta harus menempuh langkah perceraian.

Meskipun dalam alasan perceraian yang kami jelaskan di awal artikel ini ketidakmampuan memberi nafkah bukan merupakan salah satu alasan perceraian, namun dalam praktik, tidak adanya nafkah lahir/finansial kepada istri dapat membuat hubungan suami istri tidak harmonis dan terjadi pertengkaran antara keduanya, yang mana hal ini kemudian dapat dijadikan alasan perceraian.

Berdasarkan gugatan penggugat dan alat bukti lainnya, maka telah ditemukan fakta-fakta berikut ini (hal. 7):

  1. bahwa keadaan rumah tangga penggugat dan tergugat sudah tidak harmonis lagi;

  2. bahwa penyebab ketidakharmonisan ini adalah karena tergugat kurang bertanggung jawab dalam masalah nafkah lahir pada penggugat dan anak penggugat dengan tergugat;

  3. bahwa penggugat dan tergugat sudah tidak tinggal bersama dan tidak pernah berkumpul kembali;

  4. para saksi sudah menasihati penggugat dan tergugat, namun tidak berhasil.

Bahwa Majelis Hakim juga telah menasihati penggugat agar dapat rukun kembali untuk membina rumah tangga dengan tergugat, namun tidak berhasil. Selain itu, karena tergugat tidak pernah hadir dalam persidangan, maka mediasi pun tidak dapat dilaksanakan (hal. 5 6).

Dalam putusannya, Majelis Hakim mengabulkan gugatan penggugat secara verstek dan menyatakan jatuhnya talak satu sughra tergugat terhadap penggugat (hal. 9).

Berdasarkan putusan di atas, istri dapat menggugat cerai jika rumah tangga sudah tidak harmonis karena suaminya tidak memberikan nafkah yang layak, dan perkawinan dapat putus akibat perceraian sepanjang para pihak memang tidak dapat didamaikan.

Kami sarankan Anda untuk mengupayakan perdamaian dengan istri Anda, seperti melalui mediasi di pengadilan. Sebagaimana kami terangkan di atas, upaya perdamaian ini juga menjadi wewenang pengadilan sebelum upaya perceraian dilakukan.

Selama berjalannya persidangan pun, Anda dapat menyatakan bahwa perkawinan tidak perlu putus melalui berbagai alat bukti, seperti keterangan saksi, apabila Anda memang telah berusaha melaksanakan tanggung jawab Anda sebagai suami.

Bagaimana jika perkara telah diputus dan perkawinan telah dinyatakan putus akibat perceraian? Jika merujuk pada putusan di atas, Majelis Hakim menjatuhkan talak satu bain sughra tergugat terhadap penggugat.

Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh mantan suami untuk dapat menyatukan kembali ikatan suami-istri adalah dengan kawin kembali dengan akad nikah baru meskipun dalam masa iddah.[7]

Jadi, jika putusan telah dijatuhkan oleh pengadilan pun, Anda tetap dapat mengupayakan untuk melangsungkan akad nikah baru dengan mantan istri Anda.

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan advokat berpengalaman di sini.

Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.


[1] Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan
[5] Pasal 30 UU Perkawinan
[6] Pasal 34 ayat (3) UU Perkawinan jo. Pasal 77 ayat (5) KHI
[7] Pasal 119 ayat (1) KHI