Mengapa terorisme bertentangan dengan pancasila

Terorisme Bertentangan dengan Pancasila

glg/antara • Selasa, 15 Nopember 2016 10:36 Wib

UNPI-CIANJUR.AC.ID - Anggota Komisi VIII DPR, Khatibul Umam Wiranu menyesalkan dan mengecam peristiwa pengeboman Gereja Oikumene di Samarinda, Kalimantan Timur, pada Minggu 13 November 2016 lalu. Ia menilai tindakan pelaku sangat tidak beradab dan bertentangan dengan Pancasila.Dalam rilisnya, Ia mengatakan, "Mengecam dan mengutuk keras aksi pengeboman Gereja Oikumere Samarinda yang dilakukan orang-orang atau kelompok yang tidak berperikemanusiaan, tidak beradab, dan tidak beragama. Tindakan mereka bertentangan dengan Pancasila, agama, konstitusi negara, serta undang-undang."Khatibul Umam Wiranu menilai bangsa Indonesia menghadapi ujian berat setelah aksi terorisme dalam bentuk pengeboman Gereja Oikumene Samarinda. Khatibul menduga pelaku dan perencana pengeboman memiliki motif adu domba antarpemeluk agama yang berbeda, membuat situasi sosial masyarakat saling curiga dan bisa menciptakan konflik sosial yang lebih luas.Khatibul pun meminta aparat penegak hukum harus menemukan jejaring kelompok ini secara tuntas agar tidak terjadi aksi pengeboman di tempat lain. "Menghukum mereka seberat-beratnya sesuai UU Antiterorisme serta UU lain yang berlaku." Ia kemudian meminta pemerintah menuntaskan pekerjaan rumah (PR) memberantas kekerasan dan aksi terorisme yang bersumber dari pemahaman keagamaan yang ekstrem.Ia menambahkan, "Harus dapat diantisipasi oleh pemerintah, dicarikan jalan keluarnya (khususnya oleh Kementerian Agama), dan pendekatan persuasif, serta pendidikan keagamaan yang benar, menjadi pilihan yang harus diutamakan oleh pemerintah."

Sebagaimana diketahui, ledakan terjadi di Jalan Ciptomangunkusumo, Kelurahan Sengkotek, Kecamatan Loa Janan Ilir, Kota Samarinda. Pelaku menaruh bom persis di depan rumah ibadah. Tercatat ada lima korban dalam peristiwa ini dan seorang meninggal dunia.

PERNYATAAN Ketua DPR RI Puan Maharani yang mengajak seluruh komponen bangsa menjadikan Pancasila untuk menjaga keamanan, persatuan dan kesatuan dinilai tepat. Pasalnya membumikan ideologi bangsa dapat memberangus radikalisme dan terorisme.

"Sudah benar pernyataan (Puan) tersebut. Radikalisme agama dan terorisme muncul karena adanya ideologi yang dianggap sebagai ideologi musuh sehingga Pancasila dimusuhi oleh kelompok takfiri," ungkap Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya, Jumat (4/6).

Menurut dia, Indonesia harus terus berjuang memastikan seluruh rakyatnya mengikuti ideologi yang digali para pendiri bangsa. Upaya itu tidak mudah pasalnya tantangan sangat berat dengan munculnya paham yang merintanginya.

"Tidak mungkin menyeragamkan ideologi atau falsafah. Tidak ada negara yang berhasil menyeragamkan ideologi atau falsafah," katanya.

Ia pun mengapresiasi Puan Maharani yang terus mengajak bangsa Indonesia menggali dan mengamalkan Pancasila.

"Namun, pasti ada saja kelompok-kelompok masyarakat yang memilih ideologi atau falsafah lain yang bertentangan dengan Pancasila," ungkapnya.

Baca juga: Presiden: Konektivitas 5G untuk Perluasan Ideologi Pancasila

Untuk itu, imbuh Harist, pemerintah mesti memberi contoh kepada rakyat dalam pengamalan Pancasila. Misalnya, setiap kebijakan yang diambil dilandaskan pada lima sila yang terkandung dalam ideologi bangsa.

"Yang penting adalah bagaimana pelaksanaan falsafah Pancasila dalam kebijakan konkrit oleh negara yang bisa mengakomodasi kepentingan semua kelompok," tuturnya.

Sebelumnya, Puan meminta semua rakyat menjadikan Pancasila sebagai inspirasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Semua bangsa yang ingin besar harus berpijak pada falsafah bangsanya sendiri.

Ia pun yakin Indonesia akan menjadi bangsa besar dengan memegang teguh Pancasila.

"Kita hanya dapat menjadi bangsa yang besar jika kita berpegang teguh pada falsafah bangsa kita sendiri, yakni Pancasila, dan bukan menjiplak falsafah bangsa orang lain karena setiap bangsa memiliki akar sejarah dan budaya yang berbeda-beda," ungkap cucu Bung Karno ini.

Puan menegaskan, hanya dengan Pancasila persatuan bangsa Indonesia dapat diperkukuh. Serta dengan mengimplementasikan Pancasila tujuan bernegara dapat dicapai.

"Selamat memperingati Hari Lahirnya Pancasila yang ke 76 Tahun. Kami berharap nilai-nilai Pancasila menjadi inspirasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila dalam tindakan dan bersatu untuk Indonesia tangguh," pungkasnya.(OL-5)

DIREKTUR Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol Ahmad Nurwakhid mengatakan kelompok Negara Islam Indonesia (NII) merupakan salah satu gerakan politik yang patut diwaspadai karena memiliki ideologi bertentangan dengan Pancasila.

"NII merupakan organisasi dan gerakan politik pertama di Indonesia yang melakukan radikalisasi gerakan politik, yang mengatasnamakan agama, yang sangat membahayakan kedaulatan negara. Ideologi NII merupakan induk ideologi yang menjiwai gerakan-gerakan radikalisme dan terorisme di Indonesia," kata Nurwakhid seperti dikutip di Jakarta, Rabu (30/3).

Selain berpotensi melakukan tindakan kekerasan dan teror untuk mencapai cita-citanya mendirikan negara berdasarkan syariat agama, lanjut dia, NII juga menjadi ancaman bagi kehidupan harmonis di Indonesia karena bertentangan dengan konsensus nasional, bahkan memiliki struktur pemerintahan yang bergerak di bawah tanah.

Nurwakhid menjelaskan penyebaran terorisme di Indonesia memiliki akar sejarah dan ideologi yang bisa dilacak dari gerakan Kartosoewiryo melalui Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada era 1950-an.

Gerakan itu merupakan salah satu gerakan pemberontakan yang cukup menyita perhatian pemerintah saat itu, karena selain anggotanya yang cukup banyak, juga melakukan i’dad atau pelatihan, serta memiliki pesantren sebagai sarana untuk menanamkan doktrin yang anti Pancasila.

Bahkan, menurut salah satu putra pendiri DI/TII, Sarjono Kartosoewiryo, saat menyatakan ikrar setia bagi Pancasila pada 2019 di Kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan HAM, anggota NII saat ini berdasarkan data resmi masih ada sekitar 2 juta dan tidak termasuk yang belum terdata.

Masih menurut Nurwakhid, selain NII tetap eksis sampai kini, gerakan itu pada masa berikutnya juga bermetamorfosa dalam berbagai jaringan, salah satunya adalah Jamaah Islamiyah (JI) yang didirikan oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir pada 1990-an.


Baca juga: Densus 88: 16 Tersangka Teroris di Sumbar Terafiliasi NII


"JI sudah ditetapkan sebagai organisasi teroris yang paling bertanggungjawab atas serangkaian aksi terorisme di Indonesia pada awal 2000, dan terbukti ingin mengubah Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi satu kekhalifahan yang meliputi negara-negara Asia. Dan mayoritas jemaahnya adalah eks DI/TII yang berafiliasi dengan jaringan terorisme global, Alqaeda," terangnya.

Oleh karena itu, lanjut dia, gerakan dan ideologi NII sudah sepatutnya diwaspadai karena memiliki ideologi yang dapat mendorong pada tindakan pidana terorisme, dengan menghalalkan berbagai cara untuk mencapai tujuannya. Selain itu, bahaya ideologi itu terbukti telah memakan korban indoktrinasi yang tak pandang usia.

"Ideologi NII ini sangat berbahaya karena memiliki keyakinan dan keinginan mengubah ideologi negara, menggulingkan pemerintahan yang sah yang dianggap tagut, mempunyai paham takfiri, melakukan gerakan bawah tanah dengan rekrutmen dan pelatihan atau i'dad," katanya.

Organisasi NII memang sudah dilarang oleh pemerintah. Namun, katanya, belum ada regulasi yang melarang ideologi dengan banyak mengilhami tindakan kekerasan dan terorisme di Indonesia itu.

Dia berharap para tokoh agama, akademisi, dan semua pihak memberikan pencerahan kepada masyarakat agar tidak mudah terpengaruh ideologi NII, serta mendorong adanya regulasi yang melarang penyebaran ideologi bertentangan dengan Pancasila.

"Saya sangat senang dengan ketegasan MUI Garut yang secara jelas mengeluarkan fatwa haram organisasi dan gerakan NII. Semoga hal ini juga diikuti oleh MUI pusat dan organisasi keagamaan lainnya agar menutup ruang gerak NII," pungkasnya. (Ant/S-2)