Mengapa seorang muslim harus Bermazhab jika tidak dapat berijtihad sendiri jelaskan

Para ulama meletakkan pentingnya bermazhab dalam beragama.

Kamis , 02 Jul 2020, 21:55 WIB

Para ulama meletakkan pentingnya bermazhab dalam beragama. Ilustrasi beragama dengan mazhab.

Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh KH Taufik Damas Lc  

Baca Juga

Jawabannya sudah tentu tidak boleh. Memang ada orang yang beragama terkesan tidak bermazhab, tapi sejatinya mereka bermazhab. Hanya saja mereka tidak mampu menjelaskan ke-bermazhaban-nya karena tidak pernah ngaji (belajar) secara serius soal rincian ilmiah cara beragama.  

Mereka sholat pakai mazhab, puasa pakai mazhab, haji pakai mazhab, dan seterusnya. Ketika ditanya ikut mazhab siapa, mereka tidak bisa menjawab. Inilah yang disebut sebagai orang awam dalam ilmu-ilmu agama.  

Salahkah mereka? Tidak. Selama menjalankan semua itu untuk diri sendiri, maka mereka tidak bersalah. Meski demikian, seharusnya setiap Muslim tahu dari siapa (imam mazhab) dia mengambil ilmu urusan agamanya, mengikuti mazhab siapa. Muslim model ini adalah sebagian besar.  

Muslim model begini tidak boleh jadi seperti ustaz, kiai, ulama, atau tokoh agama. Karena, untuk menjadi tokoh agama yang dijadikan rujukan oleh masyakarat, orang harus mengerti soal bermazhab dalam beragama. Bisa menjelaskan dengan rinci soal metodologi dan dasar-dasar bermazhab. Jika tidak, sebaiknya jadi pendengar saja, jangan ceramah.  

Mazhab dalam Islam dibangun berdasarkan akumulasi pemikiran dari generasi ke generasi. Dimulai dari guru utamanya, yaitu Nabi Muhammad SAW, para sahabat, tabiin, tabiit-tabiin, ulama mazhab dan seterusnya, sampai generasi sekarang ini. 

Jadi tidak bisa Anda beragama kemudian mengaku guru Anda adalah Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya secara langsung. Apalagi kemudian ceramah ke sana ke mari.  

Para ulama sepakat akan pentingnya bermazhab dalam beragama. Sebagian mereka bahkan menganggap beragama tanpa bermazhab adalah kemungkaran.  

Dalam kitab Aqdul Jayyid fi Ahkam al-Ijtihad wa at-Taqlid, hal 14, Syah Waliyullah ad-Dahlawi al-Hanafi (w 1176 H.) menyatakan: “Ketahuilah bahwa bermazhab (pada salah satu dari empat mazhab) adalah kebaikan yang besar. Meninggalkan mazhab adalah kerusakan (mafsadah) yang fatal.” Pernyataannya ini didasari beberapa alasan:

1. Semua ulama sepakat bahwa  untuk mengetahui syariat harus berpegang teguh pada pendapat generasi salaf (Nabi dan sahabat). Tabiin berpegang teguh pada para sahabat. Tabiit-tabiin berpegang teguh pada para tabiin. Demikian seterusnya: setiap generasi (ulama) berpegang teguh pada generasi sebelumnya. Ini masuk akal, karena Syariat tidak bisa diketahui kecuali dengan jalan menukil (naql) dan berpikir menggali hukum (istinbath).   

Tradisi menukil (naql) tidak bisa dilakukan kecuali satu generasi (ulama) menukil dari generasi sebelumnya (ittishol). Dalam berpikir mencari keputusan hukum (istinbath) tidak bisa mengabaikan mazhab-mazhab yang sudah ada sebelumya. Ilmu-ilmu seperti nahwu, sharf, dan lain-lain tidak akan bisa dipahami jika tidak memahaminya melalui ahlinya.  

2. Rasulullah SAW bersabda: عليك بالسواد الأعظم “Ikutilah golongan yang paling besar (as-sawad al-a’zham).” Setelah saya mempelajari berbagai mazhab yang benar, saya menemukan bahwa empat mazhab adalah golongan yang paling besar. Mengikuti empat madhzab berarti mengikut golongan paling besar.  

3. Karena zaman telah jauh dari masa awal Islam, maka banyak ulama palsu yang terlalu berani berfatwa tanpa didasari kemampuan menggali hukum dengan baik dan benar. Banyak amanat keilmuan yang ditinggalkan oleh mereka, dan mereka berani mengutip pendapat generasi salaf tanpa dipikirkan. Mereka mengutipnya lebih didasari oleh hawa nafsu belaka.  

Ayat-ayat Alquran dan sunnah langsung dirujuk, sementara mereka tidak memiliki otoritas keilmuan untuk istinbath. Mereka terlalu jauh  dibanding para ulama yang benar-benar memiliki otoritas keilmuan dan selalu berpegang teguh pada amanat ilmiah. 

Kenyataan ini persis dengan apa yang dikatakan Umar ibn Khattab, “Islam akan hancur oleh perdebatan orang-orang yang bodoh terhadap Alquran.” 

Ibnu Mas’ud juga berkata, “Jika kamu ingin mengikuti, ikutilah orang (ulama) terdahulu (yang memegang teguh amanah ilmu pengetahuan).” Wallahu a'lam…

*Wakil Katib Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DKI Jakarta

Jumat , 15 Jan 2016, 11:00 WIB

Red:

Banyaknya perbedaan cara pandang fikih dari berbagai mazhab terkadang sampai membingungkan masyarakat awam. Ada yang fanatik (taqlid) dengan mazhab atau ulamanya. Ada pula yang apatis dengan mazhab sehingga memilih tidak bermazhab. Dari kaum intelektual ada pula yang berpendapat kebanyakan mazhab klasik sudah tidak relevan dengan dinamika kekinian. Bagaimanakah seharusnya seorang Muslim menentukan sikap dalam bermazhab? Umat Islam perlu memahami, dalam menjalankan syariat apalagi menetapkan suatu hukum tidak cukup dengan mengambil Alquran dan hadis secara mentah-mentah. Ayat Alquran atau hadis yang dijadikan dalil mungkin tidak salah. Tapi pemahaman tafsir atau hadis yang dijadikan dalil itu yang mungkin keliru. Jadi dalam mengkaji tafsir Alquran maupun hadis, perlu dijembatani dengan tafsir-tafsir serta pendapat ulama. Menafsirkan Alquran dan hadis secara autodidak sangat rentan pada kesesatan. Itulah alasannya, mengapa ulama-ulama besar sekalipun sering merujuk pada pendapat-pendapat ulama yang lebih alim dari dirinya. Ini pulalah alasannya mengapa orang awam dalam agama harus bermazhab agar mendapatkan tuntunan yang sahih dari mazhabnya. Segolongan umat Islam lainnya ada pula yang meyakini tak perlu bermazhab. Alasan mereka, para imam mazhab dalam melahirkan pandangan fikihnya selalu berpatokan pada Alquran dan hadis. Jadi lebih baik mengikut pada perawi hadis langsung seperti Bukhari dan Muslim. Atau penafsir Alquran dari sahabat Nabi SAW yakni Ibnu Abbas RA. Para imam mazhab bukanlah orang-orang pandir dalam seluk-beluk agama. Sedari kecil mereka telah menunjukkan loyalitas sangat tinggi dalam menuntut ilmu. Ajaran Islam menganjurkan umatnya mengikuti hasil ijtihad seorang ulama yang sudah dikenal alim dan salehnya. Dalam hal ini, para imam mazhablah yang paling populer untuk diikuti. Ada yang sinis memandang para imam mazhab sangat bergantung pada ijtihad para ahli hadis seperti Iman Bukhari dan Imam Muslim. Misalkan ucapan Imam Syafi'i yang mengatakan, "Bila ada suatu hadis sahih, maka itulah mazhabku." Atau perkataan, "bila mazhabku bertentangan dengan hadis Nabi, maka ambillah hadis itu dan buang mazhabku ini." Ada yang menyimpulkan bahwa perkataan sang imam seakan tak punya kekuatan apa-apa ketika berhadapan dengan ahli hadis. Jika ada pendapat mazhabnya yang bertentangan dengan ahli hadis, maka seakan itu akan batal demi hukum. Jadi, mereka merasa lebih baik mengikuti para ahli hadis saja. Pemisahan antara ahli hadis (seperti Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmizi, dan seterusnya) dengan ahli fikih (seperti Imam Syafi'i, Maliki, Hanbali, Hanafi, dan lainnya) adalah pandangan yang keliru. Para imam mazhab tersebut sebenarnya juga pakar dan ahli hadis. Mustahil ada ahli fikih yang bukan ahli hadis. Jadi tidak benar ada tuduhan kalau imam mazhab suka hadis lemah, berijtihad diluar hadis, dan sebagainya. Para imam mazhab tidak berhenti sebatas mengkaji hadis semata. Dalam melahirkan suatu hukum perlu pertimbangan-pertimbangan lain. Ada enam sumber hukum lainnya selain Alquran, hadis, ijma', dan qiyash (sumber hukum muttafaqun 'alaihi). Sumber hukum ini diistilahkan dengan mukhtalafun fihi (masih dipersilisihkan). Yakni; mashalihul mursalah (aspek kemaslahatannya), istihsan (aspek kebaikan), urf (adat istiadat suatu tempat), istishab, serta amal ahlu madinah (amalan populer masyarakat Madinah). Jadi, dengan adanya peran ulama mazhab, komplit dan sintesislah seluruh pola dan metologi pengambilan hukum dari berbagai sumber dalil. Memang ulama mazhab tidak hanya empat saja, tetapi banyak mazhab-mazhab lainnya walau tidak sepopuler mazhab yang empat. Pengasuh rumah fikih Indonesia Ahmad Sarwat MA mengistilahkan mazhab dengan ringkasan dari variasi berbagai metode istimbath (penetapan) hukum. Atau perwakilan dari sekian banyak variasi itu. Seorang muqalid (pengikut) mazhab tidak mesti selalu mengikuti pandangan dari mazhabnya. Mazhab dalam fikih tidak seperti sekte dalam agama Nasrani. Sebab mazhab adalah sebuah metodolgi dalam menarik kesimpulan hukum yang bersumber dari Alquran dan sunah. Sedangkan sekte dalam agama Nasrani merupakan perpecahan pada wilayah yang paling mendasar dalam suatu agama. Tidak ditemukan satu dalilpun yang mewajibkan untuk berpegang kepada satu pendapat saja dari pendapat yang telah diberikan ulama. Bahkan para sahabat Rasulullah SAW dahulu pun tidak pernah diperintahkan untuk merujuk kepada pendapat salah satu dari sahabat bila mereka mendapatkan masalah agama. Jadi tidak ada istilah berpindah mazhab, atau berganti-ganti mazhab. Namun sebagai muqalid, ada adab yang harus diperhatikan dalam bermazhab. Seseorang tidak boleh mengambil atau mengumpulkan yang mudah-mudah saja dari setiap mazhab (talfiq). Sifat talfiq ini dicela karena menggampang-gampangkan agama. Sebagai contoh, pandangan mazhab Maliki membolehkan nikah tanpa wali. Pandangan mazhab Hanafi membolehkan nikah tanpa saksi. Jika digabung, maka tindakan talfiq membolehkan nikah tanpa wali dan saksi. Tentu ini menjadi perkara mungkar. Pada kesimpulannya, bagi mereka yang masih pemula dan awam dalam hukum Islam, disarankan memang mengkaji satu mazhab fikih saja. Bagi yang level lanjutan, disarankan untuk mengkaji fikih perbandingan mazhab. Metode ini jarang sekali dikaji karena kurangnya referensi atau ulama yang pakar dalam hal ini.

Jika seseorang sudah sangat alim dalam seluk-beluk agama Islam, memilih untuk tidak bermazhab pun tidak salah. Misalkan Dr Yusuf Qardhawi yang punya mazhab sendiri. Namun ia tetap punya referensi-referensi pada ulama mazhab dalam menyampaikan pandangan fikihnya. Wallahu'alam. Oleh Hannan Putra ed: Hafidz Muftisany

  • republika
  • koran
  • haruskah bermazhab?

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA