Mengapa persatuan dan kesatuan menjadi modal utama untuk membangun bangsa

Mengapa persatuan dan kesatuan menjadi modal utama untuk membangun bangsa
#KemenkoPolhukam

Polhukam, Jakarta Salah satu modal penting dalam mewujudkan Indonesia yang damai, maju dan modern, serta anti radikalisme adalah adanya persatuan dan kesatuan bangsa. Tentunya masih ada pihak yang menyatakan bahwa pembinaan persatuan dan kesatuan Indonesia sudah tidak diperlukan lagi karena seolah-olah hanya dalih untuk membatasi ruang gerak masyarakat sejak masuk Era Reformasi dan demokrasi.

Menurut mereka, persatuan dan kesatuan bangsa akan lestari dengan sendirinya. Oleh karena itu, kita tidak boleh lengah dan merasa bahwa persatuan Indonesia itu take it for granted yang selalu utuh dan lestari tanpa upaya pembinaan, kita semua harus memiliki persepsi yang sama bahwa persatuan dan kesatuan bangsa harus tetap dibina, ujar Deputi Bidang Koordinasi Kesatuan Bangsa Kemenko Polhukam, Arief P Moekiyat, dalam Forum Koordinasi dan Sinkronisasi Dengan Semangat Bhineka Tungal Ika Kita Cegah Radikalisme Guna Memperkokoh Ideologi Pancasila Dalam Kehidupan Bermasyarakat dan Berbangsa di Jakarta, Kamis (14/11/2019).

Dikatakan, NKRI ini diperjuangkan dan dibangun oleh para pendiri bangsa dan para pejuang kemerdekaan karena sadar bahwa masyarakatnya terdiri dari berbagai suku, agama, golongan, ras, dan budaya dengan Ideologi Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa, serta memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika. Saya mengajak semua elemen bangsa untuk terus menjalin tali persaudaraan dan menegakkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa dalam mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, kata Arief.

Baca juga: Pemerintah Memutuskan Untuk Menunda Pembahasan RUU HIP

Terkait penanganan terhadap radikalisme dan terorisme, Arief menegaskan bahwa Kemenko Polhukam bersama dengan Polri, TNI, BIN, dan BNPT, serta K/L terkait lainnya, memiliki komitmen tinggi untuk melakukan berbagai langkah pencegahan dan penanganannya. Pemerintah tentu tidak bisa bekerja sendirian dan membutuhkan peran dari seluruh elemen bangsa, masyarakat, diantaranya tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh pemuda.

Untuk itu, Kemenko Polhukam melaksanakan kegiatan hari ini dengan melibatkan berbagai elemen untuk mencari solusi terbaik penanganan radikalisme, kata Arief.

Radikalisme adalah suatu gerakan yang ingin melakukan perubahan pada sistem sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan/ekstrim. Radikalisme merupakan tindakan/faham yang mempunyai akar dan jaringan yang kompleks, sehingga tidak mungkin hanya bisa didekati dengan pendekatan keras berupa penegakan hukum dan intelijen, maupun tindakan respresif lainnya, namun juga harus ditangani dengan pendekatan wawasan kebangsaan, kewaspadaan nasonal, serta persatuan dan kesatuan bangsa melalui pendekatan persuasif dengan instrument Ideologi Pancasila dan moderasi beragama.

Forum ini menjadi sangat penting dan bermanfaat untuk terus meneguhkan komitmen dan semangat diantara kita di dalam mencegah dan memberantas radikalisme, juga merupakan inisiatif yang konstruktif untuk terus menggunakan spirit gotong royong antar berbagai pihak, sebagai kontribusi terhadap upaya untuk menciptakan Indonesia yang damai serta anti radikalisme, kata Arief.

Baca juga: Menkopolhukam buka International Meeting on Counter Terrorism di Bali

Di tempat yang sama, Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol Ir. Hamli mengatakan bahwa radikal ini bukan soal agama. Berdasarkan penelitian Alvara, ada tiga kelompok masyarakat di Indonesia. Kelompok pertama (39,43%) merupakan kelompok yang menyatakan jika Pancasila tidak bertentangan dengan agama Islam dan dalam bermasyarakat tidak harus memperhatikan norma dan adat yang berlaku.

Kelompok kedua (42,47%) menyatakan Islam adalah agama yang cinta damai dan insklusif, dan mendukung Perda Syariah diterapkan di Indonesia. Sedangkan kelompok ketiga (18,10%) menyatakan, kekerasan diperlukan untuk menegakkan amar maaruf nahi mungkar, pemimpin Kelurahan hingga Presiden harus dari kalangan muslim, dan cenderung setuju dengan konsep khilafah.

Berdasarkan catatan yang kami miliki, pelaku teroris ada sekitar 2 ribu, sekitar 500 orang berada di Lapas dan sisanya masih di luar. Ini belum ditambah dengan yang berangkat ke ISIS ada sekitar 1.500an, mereka ini orang yang sudah jadi semua, katanya.

Oleh karena itu, Hamli mengatakan harus ada perlawanan dalam bentuk counter narasi. Sehingga mereka yang sudah terdoktrin dapat bisa dikembalikan. Ada tiga cara yang kami lakukan yaitu soft approach, hard approach dan kerja sama antar negara, katanya.

Baca juga: Menko Polhukam Apresiasi Nama-Nama Dewan Pengawas

Semenatar itu, Direktur Bina Ideologi, Karakter dan Wawasan Kebangsaan Dirjen Polpum Kemendagri, Praba Eka Soesanta mengatakan, Indonesia tidak akan ada kalau tidak ada perbedaan. Menurutnya, tidak boleh ada mayoritas dan minoritas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Tanah Air ini.

Direktur Pembudayaan BPIP, Irene Camelyn Sinaga mengatakan, Pancasila merupakan roso. Menurutnya, masalah radikal ini menjadi sulit untuk ditekan ketika sudah dibawa ke luar publik. Oleh karena itu, kami bertekad untuk membaliknya yaitu menciptakan radikalisme untuk mencintai Pancasila, bagaimana hidup dengan Pancasila, katanya.

Biro Hukum, Persidangan, dan Hubungan Kelembagaan Kemenko Polhukam RI

Tag: PresidenPolriBNPTWawasan KebangsaanPancasilaHukumNKRITNILapasRadikalisme

Terkait

  • Menko Polhukam Serahkan Rekomendasi Kebijakan Bidang Kesatuan Bangsa
  • Sesuai Perpres 67/2019, Kemenko Polhukam Bertugas Mengoordinasikan 9 K/L dan Instansi Lain
  • Deputi VI/Kesbang : Tujuan Negara Mencerdaskan Kehidupan Bangsa Bukan Otak Manusia Saja
  • Soal Ikrar Eks DI/ TII Semua Pihak Diminta Berpikir Positif
  • Menko Polhukam: Tugas Pemerintah Menjaga Keutuhan Bangsa
  • Menko Polhukam: Organisasi dan Orang-Orang di Papua yang Lakukan Kekerasan Masif Dikategorikan Teroris
  • Menko Polhukam: Indonesia Harus Bersatu Dalam Keberagaman