Mengapa pembangunan wilayah pedesaan dan perkotaan harus seimbang

Ruang Negara Kesatuan Republik Indonesia secara wilayah administratif pemerintahan pada tataran terendah terbagi atas ruang desa dan ruang kelurahan. Masing-masing desa dan kelurahan tersebut mewakili ruang wilayah perdesaan (desa) dan ruang perkotaan (kota), dengan karakter yang satu sama lainnya berbeda. Sejarah membuktikan bahwa perjalanan perkembangan desa-kota sebagai ruang kehidupan tidak sejajar, bahkan cenderung melebar. Inilah yang antara lain disebut sebagai persoalan kesenjangan desa-kota yang kronis dan laten. Persoalan ini bukan berarti tidak mendapat perhatian Pemerintah untuk mengatasinya, banyak upaya yang telah dilakukan melalui berbagai program dan kegiatan baik yang bersifat sektoral maupun kewilayahan. Masalahnya terletak pada pendikotomian dalam cara memandang desa-kota bukan sebagai entitas ruang kehidupan melainkan desa sebagai inferior dalam berbagai hal dari kota (Saleh, 2015).

Ketimpangan atau kesenjangan pembangunan antar wilayah di Indonesia masih merupakan tantangan yang harus diselesaikan dalam pembangunan ke depan. Kesenjangan pembangunan antar wilayah juga masih dapat dilihat dari masih terdapatnya 62 kabupaten yang merupakan daerah tertinggal (Perpres 63 Tahun 2020). DI samping itu juga terdapat kesenjangan antara wilayah desa dan kota. Kesenjangan pembangunan antara desa-kota perlu ditangani secara serius untuk mencegah terjadinya urbanisasi, yang pada gilirannya akan memberikan beban dan masalah sosial di wilayah perkotaan.

Ketimpangan wilayah dan ketimpangan desa-kota merupakan masalah pembangunan yang dihadapi oleh banyak negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia. Sebenarnya masalah ini sudah disadari sejak lama, namun tidak kunjung dapat diselesaikan dengan tuntas karena implementasi pemerataan pembangunan masih jauh dari harapan. Sebaliknya yang terjadi adalah bahwa wilayah yang sudah maju atau kota-kota besar berkembang dengan sangat cepat sementara wilayah yang tertinggal, kota-kota kecil serta wilayah perdesaan berkembang lebih lambat, tidak dapat mengejar laju perkembangan wilayah yang sudah maju dan kota-kota besar. Akibatnya ketimpangan ini semakin menganga yang pada gilirannya dapat mendorong permasalahan sosial, ekonomi, dan politik.

Permasalahan keterkaitan desa kota sudah sejak lama terjadi di Indonesia. Dikotomi desa-kota dan adanya hierarki desa-kota menyebabkan berbagai macam permasalahan pengembangan wilayah di dua wilayah tersebut. Berbeda dengan kondisi di negara-negara maju seperti di Amerika Serikat, Kanada dan Eropa Barat, disana antara dua wilayah tersebut tidak ada dikotomi desa-kota dan masing-masing wilayah tersebut bukan wilayah yang eksklusif, karena desa-kota merupakan suatu kontimnum yang saling berhubungan. Salah satu contoh pembangunan desa kota yang berhasil adalah pengembangan Metropolitan Food Cluster di Venlo, Belanda, yaitu mengembangkan jejaring klaster di desa dan kota dan hal ini telah berhasil mengaitkan antara desa dan kota (Sugeng, 2015).

Pembangunan desa yang dikaitkan dalam satu kontinum dengan wilayah kota di Indonesia menemukan momentumnya kembali pada saat pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla dengan pencanangan Nawa Cita. Nawa Cita ketiga menyatakan bahwa pembangunan Indonesia dari wilayah pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa pembangunan dari desa atau wilayah-wilayah termarjinalkan seperti Kawasan Timur Indonesia, daerah perbatasan maupun daerah tertinggal.

Salah satu paradigma yang menekankan bahwa salah satu solusi ketimpangan wilayah dan ketimpangan desa-kota di negara yang sedang berkembang adalah perspektif Pembangunan Ekonomi Lokal (Local Economic Development) yang menekankan bahwa pengembangan ekonomi lokal harus didorong oleh inisiasi lokal, dengan memadukan aktor-aktor lokal secara bersinergi, meliputi pemerintah daerah, sektor swasta khususnya pengusaha lokal, universitas, asosiasi industri dan lainnya, dengan tujuan utama untuk membangun suatu daya saing (competitiveness) dan kesempatan kerja yang berkelanjutan pada wilayah tersebut. Pembangunan dari pinggiran seperti yang sedang digalakkan oleh Presiden Joko Widodo pada hakikatnya sejalan dengan paradigma pembangunan lokal, dimana wilayah, kota atau desa di pinggiran harus memiliki daya saing untuk suatu kegiatan ekonomi tertentu dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan dan diinisiasi secara lokal.

Kehadiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa yang diikuti dengan kelahiran Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi diharapkan dapat menjadi pemicu dan pemacu untuk merekatkan kesenjangan desa-kota. Optimisme untuk dapat merekatkan kesenjangan ini semakin tinggi dengan memperhatikan Nawa Cita yang menegaskan bahwa membangun Indonesia dari Pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Daerah pinggiran dalam hal ini adalah desa-desa yang berada di Kawasan Timur Indonesia, kawasan perbatasan, dan daerah tertinggal. Pertanyaanya adalah apakah dengan membangun desa akan secara otomatis dapat menanggalkan ketertinggalan desa untuk mendekati dan menyamai kota, serta seterusnya daerah pinggiran akan semakin berhimpit dengan derah pusat? Jawaban atas pertanyaan ini dapat diperkirakan tidak akan terjadi bila yang dibangun hanya sebatas desa atau kawasan perdesaan tanpa memperhatikan keterkaitannya dengan pembangunan kawasan perkotaan. Kalaupun keterkaitan desa-kota baik secara fungsional dan hierarki keruangan sudah dipertimbangkan, namun bila kualitas standar pelayanan minimal desa-kota masih berbeda dan hubungannya masih menganut paham inferior (desa)-superior (kota), maka jawabannya akan tetap sama.

2. Desa-Kota Dalam Perspektif Pengembangan Wilayah Dan Pembangunan Kependudukan

Ketimpangan atau kesenjangan pembangunan antar wilayah di Indonesia masih merupakan tantangan yang harus diselesaikan dalam pembangunan kedepan. Selama ini kontribusi PDRB Kawasan Barat Indonesia (KBI), yang mencakup wilayah Sumatera, Jawa dan Bali sangat dominan, yaitu sekitar 80 persen dari PDB, sedangkan peran Kawasan Timur Indonesia (KTI) baru sekitar 20 persen.

Kesenjangan pembangunan antar wilayah dalam jangka panjang bisa memberikan damapak pada kehidupan sosial masyarakat. Kesenjangan antar wilayah juga dapat dilihat dari masih terdapatnya 62 kabupaten yang merupakan daerah tertinggal (Perpres 63 Tahun 2020). Disamping itu juga terdapat kesenjangan antara wilayah desa dan kota. Kesenjangan pembangunan antara desa-kota maupun antara kota-kota perlu ditangani secara serius untuk mencegah terjadinya urbanisasi, yang pada gilirannya akan memberikan beban dan masalah sosial di wilayah perkotaan.

Isu utama pembangunan wilayah nasional saat ini adalah masih besarnya kesenjangan antar wilayah, khususnya kesenjangan pembangunan anatara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Hal ini tercermin salah satunya dari kontribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang mana kontribusi PDRB KBI sangat dominan dan tidak pernah berkurang dari 80 persen terhadap PDB.

Arah kebijakan utama pembangunan wilayah nasional dengan demikian difokuskan untuk mempercepat pengurangan kesenjangan pembangunan antar wilayah. Arah pengembangan wilayah yang dapat mendorong transformasi dan akselerasi pembangunan wilayah KTI yaitu Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Nusa Tenggara dan Papua diperlukan dengan tetap menjaga momentum pertumbuhan di wilayah Jawa, Bali dan Sumatera. Kesenjangan tersebut berkaitan dengan sebaran demografi yang tidak seimbang dan ketersediaan infrastruktur yang tidak memadai. Upaya-upaya pembangunan yang lebih berpihak pada kawasan yang tertinggal menjadi suatu keharusan untuk menangani tantangan ketimpangan dan kesenjangan pembangunan.

Aglomerasi demografis di wiayah barat ini terjadi sebagai akibat dari politik investasi dan pembangunan, yang menempatkan jumlah penduduk yang besar di wilayah Jawa dan Sumatera sebagai dalih bagi Pemerintah dan swasta untuk berinvestasi di segala bidang, sehingga memicu semakin terkonsterasinya pusat-pusat pemerintahan, informasi, transportasi, ekonomi dan berbagai fasilitas publik lain yang lebih banyak berada disuatu wilayah. Kondisi demikian melahirkan aglomerasi ekonomi (World Bank, 2011) dengan konsekuensi bahwa penduduk di wilayah-wilayah lain akan cenderung terus bergerak masuk ke wilayah padat penduduk dan mendorong terjadinya konsentrasi (pemusatan) yang kemudian menjadi kontraproduktif bagi upaya-upaya pemerataan pembangunan antar wilayah.

Aglomerasi ekonomi tersebut terjadi sebagai akibat dari pembangunan yang bias pada jobs follow people, berupa semakin deras dan besarnya arus urbanisasi ke wilayah perkotaan tertentu di wilayah Barat Indonesia. Dengan kata lain, upaya untuk menebar kekuatan ekonomi keluar Jawa-Bali menjadi kurang optimal dengan adanya fenomena jobs follow people.

Pada sisi lain kota dan kawasan perkotaan memiliki dinamika pembangunan yang cepat. Pertumbuhan tersebut menghasilkan daya tarik bagi penduduk di perdesaan untuk berpindah dan berkegiatan di kota dan kawasan perkotaan (urabanisasi). Berdasarkan data BPS (2013), perpindahan tersebut terlihat dari kompisisi penduduk perkotaan di Indoensia yang telah mencapai lebih dari 50 persen dengan tingkat pertumbuhan penduduk 2,75 persen pertahun yang melebihi rata-rata pertumbuhan penduduk nasional (1,17 persen pertahun). Tingkat urbanisasi dan jumlah penduduk perkotaan akan meningkat tajam pada tahun-tahun mendatang yang diperkirakan mencapai 70 persen pada tahun 2025 dan mencapai 85 persen pada tahun 2050.

Urbanisasi dapat menjadi ancaman bila tidak ditangani serta diantisipasi perkembangannya di masa mendatang sehingga melahirkan isu-isu strategis pembangunan wilayah perkotaan yaitu :

  1. Tingginya kesenjangan anatara kota/pusat pertumbuhan di KBI dengan KTI serta antara kota-kota di Jawa Bali dengan luar Jawa Bali;
  2. Masih belum terpenuhinya Standar Pelayanan Perkotaan (SPP);
  3. Rendahnya daya saing kota dan ketahanan sosial, ekonomi dan lingkungan kota terhadap perubahan iklim dan kejadian bencana;
  4. Belum optimalnya pengelolaan perkotaan.

Pembangunan perkotaan sebagai pusat-pusat pertumbuhan diarahkan untuk mewujudkan kota-kota berkelanjutan dan berdaya saing melalui pemerataan pembangunan di luar Pulau Jawa sekaligus mengembangkan kota layak huni, kota hijau yang berketahanan iklim dan bencana serta kota cerdas, berdasarkan karakter fisik, potensi ekonomi dan budaya lokal.

Pada bagian lain, besarnya jumlah penduduk di perdesaan serta kompleksnya permasalahan perkotaan turut berkontribusi pada persoalan kependudukan di Indonesia. Terdapat tiga isu penting yang dihadapi Indonesia saat ini dan mendatang terkait dengan perkembangan penduduk sebagaimana dinyatakan dalam Population Dynamics and Sustainable Development in Indonesia (UNFPA Indonesia, 2015):

  1. Jumlah penduduk yang besar dengan pertumbuhan penduduk dan tingkat urbanisasi yang tinggi;
  2. Transisi struktur pnduduk dengan penduduk berusia lebih tua, persentase penduduk usia kerja lebih tinggi dengan bonus demografi;
  3. Perubahan pola mobilitas penduduk ke arah mobilitas non permanen.

Kecenderungan kependudukan ini tidak hanya akan berdampak pada komposisi dan distribusi penduduk namun juga terhadap ekonomi, geopolitik dan lingkungan. Oleh karenanya upaya-upaya untuk pembangunan yang berkelanjutan memerlukan penyesuaian seiring dengan perubahan kependudukan dan mempertimbangkan kerangka pembangunan wilayah.

Paradigma urban biased pada khususnya dan jobs follow people pada umumnya merupakan pemicu utama kesenjangan antara desa-kota. Pembangunan yang berlangsung selama ini memang telah mendorong kemunculan pusat-pusat pertumbuhan. BPS (2008) mengidentifikasi ada sembilan daerah metropolitan di Indonesia. Selanjutnya menurut kerangka aglomerasi perkotaan oleh Uchida dan Nelson (2008) teridentifikasi wilayah-wilayah kabupaten sekitar metropolitan bersama inti pekotaan yang membentuk aglomerasi metropolitan/megapolitan. Ada dua kriteria suatu wilayah kabupaten sekitar inti perkotaan dapat ditambahkan menjadi bagian wilayah perkotaan yaitu:

  1. Kepadatan penduduk minimum 150 orang/km2
  2. Waktu perjalanan maksimum dari pusat perkotaan besar 60 menit.

Selain kedua kriteria itu dan ada kriteria ketiga yang memungkinkan wuatu wilayah dapat masuk ke wilayah metropolitan yaitu memiliki populasi sama dengan atau lebih dari 50.000 penduduk. Metode Uchida dan Nelson memang sesuai untuk konteks internasional. Namun untuk kasus Indonesia, Bank Dunia (2011) melakukan adaptasi metode dengan memodifikasinya sebagai berikut:

  1. Menentukan batas kepadatan penduduk di persentil ke-20 kabupaten non kota dan menggunakan ambang yang berbeda untuk Jawa-Bali dan di luar Jawa-Bali. Kepadatan ambang batas untuk Jawa-Bali adalah 710 orang/km2, sedangkan ambang batas untuk smeua daerah lainnya adalah 150 orang/km2.
  2. Menggunakan waktu tempuh maksimal 90 menit untuk Jakarta dan Surabaya dan 60 menit untuk kota-kota lainnnya, yang masing-masing waktu perjalanan dan jarak tempuh dari pusat massa di daerah asal ke pusat massa di daerah tujuan.

Berdasarkan hal tersebut dapat diidentifikasikan 9 Metopolitan dan berkembang menjadi 41 wilayah yang berdampingan yang dapat dirinci sebagai kota inti dan gabungan kota-kota inti dengan wilayah kabupaten-kabupaten yang berdampingan. Hasil perhitungan tersebut antara lain menjadi dasar dalam penetapan PP Nomor 26 Tahun 2008:

No

Wilayah Metropolitan/ dan Kota Inti

Wilayah Kabupaten/Kota yang Berdampingan

1

Mebidangro/Kota Medan

Kab. Deli Serdang, Kab. Tanah Karo dan Kota Binjai

2

Jabodetabek/DKI Jakarta

Kab. Tangerang, Kab. Bogor, Kab. Bekasi, Kota Bekasi, Kota Bogor, Kota Tangerang dan Kota Depok

3

Bandung Raya/Kota Bandung

Kab. Bandung dan Kota Cimahi

4

Kedungsepur/Kota Semarang

Kab. Kendal, Kab. Demak, Kab. Grobogan, Kab. Semarang dan Kota Salatiga

5

Gerbangkertosusila/Kota Surabaya

Kab. Gresik, Kab. Bangkalan, Kab. Sidoarjo, Kab. Lamongan dan Kota Mojokerto

6

Sarbagita/Kota Denpasar

Kab. Bangli, Kab. Gianyar dan Kab. Tabanan

7

Not Named

Kab. Kutai Kartanegara, Kota Balikpapan, Kota Samarinda dan Kota Bontang

8

Not Named

Kota Manado dan Kota Bitung

9

Maminasata/Kota Makassar

Kab. Gowa, Kab. Takalar dan Kab. Maros

Dengan terbentuknya kota-kota tersebut diharapkan memberi dampak secara otomatis terhadap pertumbuhan wilayah perdesaan sebagai pendukungnya. Namun yang terjadi adalah:

  1. Kerusakan lingkungan di wilayah perdesaan yang dampaknya juga mempengaruhi kondisi perkotaan;
  2. Berkurangnya kualitas sumber daya manusia di wilayah perdesaan;
  3. Terjadinya urbanisasi yang berlebihan;

Ketiga permasalahan tersebut pada akhirnya menimbulkan berbagai persoalan di kota yang mengakibatkan bukan lagi economies of scale namun justru diseconomies of scale. Kondisi tersebut merupakan wujud dari pengurasan sumber daya desa oleh kota dan akan semakin parah ketika kota-kota dipacu dalam persaingan global, dengan meninggalkan desa jauh di belakangnya.

Kecenderungan kependudukan ini tidak hanya akan berdampak pada komposisi dan distribusi penduduk namun juga terhadap ekonomi, geopolitik dan lingkungan. Oleh karenanya diperlukan upaya-upaya untuk pembangunan perdesaan yang berkelanjutan yang memerlukan penyesuaian seiring dengan perubahan kependudukan dan mempertimbangkan kerangka pembangunan wilayah.

Tinjauan Pustaka

BPS. 2013. Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2025. Jakarta.

Budi Harsono, S. 2015. Pengembangan Ekonomi Lokal dan Daerah untuk Meningkatkan Daya Saing Daerah. The Region Branding Institute. Bogor.

Peraturan Presiden 63 Tahun 2020. 2020. Penetapan Daerah Tertinggal tahun 2020-2024. Jakarta.

Saleh, Harry Heriawan. 2015. Menjalin Desa Kota Upaya Membangun Indonesia. Jakarta: Tempo Inti Media.