Bahasa dan Kesantunan Melayu5 April 2017 Telaah 6 SHARESShareTweet berbuah kayu rindang daunnya bertuah Melayu terbilang santunnya Dalam budaya Melayu, kesantunan berkait-kelindan dengan persoalan aib/malu, adab, dan adat. Ketidaksantunan sama dengan membuka aib, tidak beradab, dan melanggar adat. Oleh karena itu, kesantunan dianggap sebagai salah satu pertaruhan hidup orang Melayu sejati. Kesantunan berhubungan dengan bahasa dan perilaku. Berkenaan dengan bahasa, pujangga Melayu Raja Ali Haji (1809-1873), dalam bukunya Bustan al-Katibin (Taman Tulisan; 1267H/ 1850M) menulis: adab dan sopan itu daripada tutur kata juga asalnya, kemudian baharulah pada kelakuan [lihat: Hashim bin Musa, 2005:5]. Tutur kata merupakan inti dari kegiatan berbahasa. Menurut Raja Ali Haji, agar dapat mencapai tingkat berbahasa yang beradab dan sopan itu, orang memerlukan ilmu wa al-kalam (pengetahuan dan bahasa/percakapan) yang diperoleh melalui kehendak yang kuat (al-himmat), dan kegiatan-kegiatan mengulang-ulang (al-mudarasah), menghafal (al-muhazafat), berbincang untuk mengingat-ingat (muzakarah), dan menelaah/meneliti kembali (muthalaat). Bahasa yang beradab, sopan, dan santun itu dengan demikian adalah kegiatan yang mengarus dari akalbudi (pikiran & hati) ke lidah. Dengan demikian, bahasa dalam adat dan budaya Melayu memiliki fungsi yang utuh, yaitu sebagai:
Fungsi penanda jatidiri dan cermin budi, menegaskan kaitan erat antara bahasa dengan etika dan etiket dalam adat dan budaya Melayu: dari bagaimana bahasanya, orang dapat menentukan dimana posisi penutur bahasa tersebut dalam ranah etika dan adab. Ingat: hendak mengenal orang berbangsa lihat kepada budi bahasa (Raja Ali Haji: Gurindam 12). Tindakan berbahasa yang santun itu sekurang-kurangnya mencakup kemampuan memilih kata (ketepatan bahasa dengan pikiran dan perasaan yang hendak dikemukakan) dan kearifan merangkai kata, sebagaimana dikemukakan pujangga Tenas Effendy (2010): tanda orang yang bijaksana tahu memilih merangkai kata Adat dan adab Melayu membedakan pemakaian bahasa dalam tiga kelompok, yakni:
Ketiga kelompok pemakaian bahasa tersebut sejajar dengan tiga sikap afektif Melayu terhadap sesamanya, sebagaimana digambarkan dalam ungkapan: yang tua dihormati, yang sebaya dikasihi, yang muda disayangi. Tunjuk-ajar Melayu menyatakan: adat bergaul di kampung negeri: Kemudian: Yang disebut adat berbahasa: Apa tanda orang berbangsa Tindakan kebahasaan yang santun dan bermarwah ialah berbahasa yang mengedepankan adab, sesuai dengan nilai-nilai asas adat dan budaya Melayu, serta norma-norma sosial. Dari khasanah petuah Melayu, Tenas Effendy (2010: 21-22) mencatat, tindakan kebahasaan yang dikatakan santun itu mencakup: Bercakap: adat bercakap mengandung adab Begitulah; dalam budaya Melayu, bahasa dan etika merupakan dua hal yang sebati, dan di simpul kesebatiannya itu memancar harkat, martabat, dan marwah seseorang di tengah-tengah kelompok, kaum, dan bangsanya. Wallahu alam bissawab. Oleh : Al azhar Rujukan: Raja Ali Haji. 1848. Gurindam Dua Belas. Manuskrip. |