Mengapa manusia dilarang bermegah-megahan jelaskan

BincangSyariah.Com – Berdasarkan urutan turunnya, surat At-Takatsur berada pada urutan ke-15. Sedangkan untuk urutan di dalam Al-Qur’an, surah ini berada pada urutan ke 15, sedangkan secara tartiib mushafi ayat ini berada pada urutan ke 102 dari 114 surah lainnya, selain itu surah ini termasuk kategori Makkiyah (diturunkan di Mekah). Seperti yang tercantum dalam Mabaahits Fi ‘Ulum al-Qur’an karya Syaikh Manna’ Al-Qatthan jika terdapat kalimat-kalimat ancaman, larangan, teriakan, teguran, tantangan bahkan nasib umat-umat terdahulu dalam Alquran itu merupakan ciri-ciri dari Makkiyah.

Surah yang terdiri dari 8 ayat dengan arti bermegah-megahan ini berisi teguran serta ancaman kepada orang-orang terdahulu yang sibuk mengumpulkan kekayaan namun lalai kehidupan akhirat yang kekal.

Cinta Dunia Lalai Akhirat

اَلْهٰٮكُمُ التَّكَاثُرُ ۙ

“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu”. (1)

Adapun surat ini turun sebab Bani Haritsah dan Bani al-Harits yang berasal dari kabilah Anshar saling berbangga-bangga dan bermegah-megah. Mereka saling menyombongkan orang-orang yang masih hidup maupun orang yang sudah wafat. Seperti ungkapan seorang penyair yang dikumandangkan oleh al-Ahnaf bin Qais dengan nama aslinya adh-Dhahhak, “Engkau akan menjadi milik hartamu jika engkau menahannya, dan jika engkau menafkahkannya maka harta itu menjadi milikmu.”

Hal ini disitir dari pertanyaan Al-Hafizh Ibnu ‘Asakir yang melihat uang dirham di tangan seseorang, “Milik siapa dirham ini?” ujarnya, lalu orang itu berkata kepadaku, dia mengatakan, “Uang itu akan menjadi milikmu jika engkau menginfakkannya, baik untuk memperoleh pahala maupun untuk mendapatkan rasa syukur.”

حَتّٰى زُرْتُمُ الْمَقَا بِرَ ۗ

“sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (2)

Ibnu Hatim meriwayatkan dari Ibnu Zaid bin Aslam dari ayahnya, telah berkata Rasulullah bersabda bahwa, “bermegah-megahan telah melalaikanmu dari ketaatan sampai kamu masuk ke dalam kubur, yakni sampai kematian menjemput.”

Peringatan dan Pertanggungjawaban

كَلَّا لَوْ تَعْلَمُوْنَ عِلْمَ الْيَقِيْنِ ۗ

“Sekali-kali tidak! Sekiranya kamu mengetahui dengan pasti,” (4)

Tak tanggung-tanggung, Allah memperingatkan manusia hingga dua kali pada ayat ke 3 dan 4 dalam QS. at-Takasur ini. Lalu, apa yang diancamkan Allah kepada manusia yang melalaikan akhirat sebab bermegah-megahan ?

Al-Hasan al-Bashri mengatakan “ini adalah ancaman di atas ancaman.”pada ayat ini disebutkan bahwa seandainya manusia mengetahui dengan sebenarnya, niscaya akan mengejar kehidupan akhirat ketimbang hidup bermegah-megahan di dunia. Manusia akan tersadar dari kelalaiannya ketika kematian telah mendatanginya, sedangkan ketika masa itu telah datang sia-sialah penyesalannya. Allah telah memberi peringatan secara berulang dalam Q.S. at-Takasur sebagai bukti bahwa ancaman Allah sangatlah dasyhat.

لَتَرَوُنَّ الْجَحِيْمَ ۙ

“niscaya kamu benar-benar akan melihat Neraka Jahim,” (5)

Ancaman pada ayat sebelumnya dijelaskan dalam ayat ini. Bagi orang yang bermegah-megahan hingga lalai dengan kehidupan akhirat akan menjadi penghuni neraka.

ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِيْنِ ۙ

“kemudian kamu benar-benar akan melihatnya dengan mata kepala sendiri,” (6)

Selama di dunia keberadaan neraka hanyalah sebatas ‘ilmu al-yaqin, keyakinan yang didasari oleh penjelasan pengetahuan. Dan saat manusia dibangkitkan pada hari kiamat berganti menjadi ‘ainu al-yaqin yakni penglihatan secara nyata bentuk neraka Jahiim.

Imam al-Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda “Ada tiga hal yang mengantarkan jenazah, lalu dua di antaranya masih kembali sedang satu lagi tetap bersamanya. Jenazah itu diantar oleh keluarga, harta, dan amalnya, lalu keluarga dan hartanya kembali pulang sedangkan amalnya tetap bersamanya.” Riwayat Muslim, at-Tirmidzi dan an-Nasa’i.

Tulisan ini adalah hasil kerjasama bincangsyariah.com dengan CRIS Foundation Surabaya

Saudaraku, ketika mempelajari sejarah kita banyak menemukan kisah-kisah manusia yang hidupnya sibuk dalam kemegahan dunia.

Perjalanannya adalah perjalanan mengumpulkan harta. Seolah harta yang dimiliki tidak pernah cukup. Namun ironisnya, kebanyakan dari kisah-kisah seperti itu berakhir dengan kehancuran. Salah satu kisah yang paling termasyhur adalah kisah Qarun. 

Di dalam surah al-Qashash [28] ayat 76-82, kisah Qarun dijelaskan secara terang-benderang. Qarun adalah sepupu dari Nabi Musa, yang diberikan karunia oleh Allah SWT berupa harta yang berlimpah-ruah banyaknya. Tetapi, dengan harta itu ia bersikap takabur dan memamerkan kekayaannya. Sikapnya itu bahkan hampir-hampir saja mencelakakan umat Bani Israil lainnya, dikarenakan mereka merasa iri terhadap Qarun. Sebelum akhirnya, ia binasa disebabkan sikap yang mengkufuri nikmat Allah SWT. 

Sungguh, Allah tiada pernah melarang hamba-hamba-Nya untuk bekerja guna mendapatkan harta. Malah, justru giat bekerja adalah bagian dari bentuk kepatuhan terhadap-Nya. Bekerja dengan giat juga salah satu bentuk menghidupkan sunnah Rasul-Nya. Bukankah Rasulullah saw juga bekerja, bahkan sejak usianya sangat belia. 

Allah menciptakan alam raya dengan segala kekayaannya ini adalah untuk digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia. Allah berfirman, “Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2]: 22)

Jelas sudah, kekayaan alam ini memang diperuntukkan bagi manusia. Allah tidaklah melarang hamba-Nya memiliki bagian dari kekayaan yang berlimpah itu. Namun, yang dilarang oleh-Nya adalah persaingan tidak sehat dalam mendapatkan kekayaan dunia. Yang dilarang oleh-Nya adalah bersikap sombong dan kufur atas kekayaannya. 

Saat ini, bukan hal asing ketika manusia berlomba-lomba mengumpulkan harta kekayaan, kemudian memamerkannya dengan harapan mendapat sanjungan, pujian dan pengakuan dirinya adalah orang yang kaya raya. Bukan hal asing pula ketika manusia menghalalkan berbagai macam cara hanya demi memiliki harta. Ada yang korupsi, ada yang mencuri, memalsukan uang hingga mencoba-coba ilmu hitam. 

Jika memang yang diharapkan dari limpahan kekayaan itu adalah pujian orang, apa artinya pujian orang. Setelah orang lain memuji kita, maka itu sama sekali tak memberi pengaruh apa-apa. Jika memang yang diharapkan dari limpahan kekayaan itu adalah rasa puas dan bahagia, maka justru semakin berlimpah kekayaan, semakin bertambah pula kegelisahan. Gelisah harta itu dicuri orang, gelisah harta itu berkurang dan lain sebagainya. 

Saudaraku, marilah kita renungkan pesan Allah SWT yang terkandung dalam surah at-Takatsur ini, “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur.  Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu). Dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin. Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim. Dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin. Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS. at-Takâtsur [102]: 1-8)

Page 2

Penting untuk selalu kita sadari, bahwa Allah-lah pemilik segala karunia. Dia-lah Yang Maha Memberi kepada seluruh makhluk-Nya. Tiada satu pun yang luput dari pemberian-Nya. Sedangkan manusia, tidak lebih dari sekadar makhluk yang dititipi oleh-Nya. Sungguh tidak ada artinya apa yang kita miliki dibandingkan kekayaan-Nya.

Menyikapi kekayaan yang kita miliki, alangkah baiknya jika kita memakai teori tukang parkir. Seorang tukang parkir tidak pernah merasa jumawa, sombong dan ujub atas berbagai kendaraan yang berada di dalam kekuasaannya. Karena ia menyadari betul, semua kendaraan itu hanyalah titipan semata yang datang dititipkan kepadanya untuk nanti diambil kembali oleh pemiliknya. 

Demikianlah pula dengan harta kekayaan kita. Tiada lain hanyalah titipan Allah semata. Dia Yang Mahakaya telah menitipkannya kepada kita, sebagai ujian apakah kita amanah ataukah tidak. Apakah kita menggunakan titipan-titipan-Nya itu sesuai dengan kehendak-Nya ataukah malah sebaliknya.

Tidak perlu sibuk berlomba-lomba dalam kemegahan dan kekayaan. Sibuklah berlomba-lomba dalam berbagi, bersedekah, berwakaf dan amal kebaikan lainnya. Berlomba dalam kemegahan akan berujung di garis finish penyesalan. Sedangkan berlomba dalam kebaikan akan berujung di garis finish kebahagiaan.     

Page 3

Saudaraku, ketika mempelajari sejarah kita banyak menemukan kisah-kisah manusia yang hidupnya sibuk dalam kemegahan dunia.

Perjalanannya adalah perjalanan mengumpulkan harta. Seolah harta yang dimiliki tidak pernah cukup. Namun ironisnya, kebanyakan dari kisah-kisah seperti itu berakhir dengan kehancuran. Salah satu kisah yang paling termasyhur adalah kisah Qarun. 

Di dalam surah al-Qashash [28] ayat 76-82, kisah Qarun dijelaskan secara terang-benderang. Qarun adalah sepupu dari Nabi Musa, yang diberikan karunia oleh Allah SWT berupa harta yang berlimpah-ruah banyaknya. Tetapi, dengan harta itu ia bersikap takabur dan memamerkan kekayaannya. Sikapnya itu bahkan hampir-hampir saja mencelakakan umat Bani Israil lainnya, dikarenakan mereka merasa iri terhadap Qarun. Sebelum akhirnya, ia binasa disebabkan sikap yang mengkufuri nikmat Allah SWT. 

Sungguh, Allah tiada pernah melarang hamba-hamba-Nya untuk bekerja guna mendapatkan harta. Malah, justru giat bekerja adalah bagian dari bentuk kepatuhan terhadap-Nya. Bekerja dengan giat juga salah satu bentuk menghidupkan sunnah Rasul-Nya. Bukankah Rasulullah saw juga bekerja, bahkan sejak usianya sangat belia. 

Allah menciptakan alam raya dengan segala kekayaannya ini adalah untuk digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia. Allah berfirman, “Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2]: 22)

Jelas sudah, kekayaan alam ini memang diperuntukkan bagi manusia. Allah tidaklah melarang hamba-Nya memiliki bagian dari kekayaan yang berlimpah itu. Namun, yang dilarang oleh-Nya adalah persaingan tidak sehat dalam mendapatkan kekayaan dunia. Yang dilarang oleh-Nya adalah bersikap sombong dan kufur atas kekayaannya. 

Saat ini, bukan hal asing ketika manusia berlomba-lomba mengumpulkan harta kekayaan, kemudian memamerkannya dengan harapan mendapat sanjungan, pujian dan pengakuan dirinya adalah orang yang kaya raya. Bukan hal asing pula ketika manusia menghalalkan berbagai macam cara hanya demi memiliki harta. Ada yang korupsi, ada yang mencuri, memalsukan uang hingga mencoba-coba ilmu hitam. 

Jika memang yang diharapkan dari limpahan kekayaan itu adalah pujian orang, apa artinya pujian orang. Setelah orang lain memuji kita, maka itu sama sekali tak memberi pengaruh apa-apa. Jika memang yang diharapkan dari limpahan kekayaan itu adalah rasa puas dan bahagia, maka justru semakin berlimpah kekayaan, semakin bertambah pula kegelisahan. Gelisah harta itu dicuri orang, gelisah harta itu berkurang dan lain sebagainya. 

Saudaraku, marilah kita renungkan pesan Allah SWT yang terkandung dalam surah at-Takatsur ini, “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur.  Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu). Dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin. Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim. Dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin. Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS. at-Takâtsur [102]: 1-8)

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA