Mengapa kita diperintahkan untuk membaca dan mempelajari Alquran

Sebagai pedoman dan petunjuk untu alam semesta dan seluruh umat. Kita sebagai umat Islam diperintahkan untuk membaca, mempelajari, mengamalkan serta mengajarkan Al-Quran, sebagai kitab terakhir yang diturunkan oleh Allah Swt dan masih terjaga isinya hingga sekarang. Salah satu adabnya adalah membaca Al-Quran dengan tartil, sebagaimana firman Allah SWT.

Dan bacalah Al-Quran itu dengan tartil.
(QS. Al-Muzzammil : 4).

Sebenarnya ada 4 tingkatan membaca Al-Qur’an yaitu tahqiq, tartil, tadwir dan hadr. Namun, di sini kita akan mengulas cara membaca dengan tartil karena lebih utama sesuai pesan Al-Qur’an.

Tartil menurut arti kata adalah perlahan-lahan. Dalam Tafsir Ibnu Katsir, tartil berarti membaca sesuai hukum tajwid. Membaca secara perlahan akan membantu seseorang untuk memahami dan mentadabburi maknanya.

Syeikh Abdul Aziz dalam tafsirnya menyebutkan bahwa arti asal tartil adalah membaca dengan terang dan jelas. Sedangkan menurut syariat adalah membaca Al-Qur’an dengan tertib.

Rasulullah SAW membaca Al Quran dengan tartil, tidak lambat, tetapi juga tidak cepat. Sebagaimana diperintahkan oleh Allah Ta’ala, dan beliau membaca satu per satu kalimat. Sehingga satu surah dibaca lebih lama daripada kalau dibaca biasa.

Rasulullah bersabda bahwa orang yang membaca Al Quran kelak akan diseru:

Bacalah, telitilah, dan tartilkan sebagaimana kamu dahulu di dunia mentartilkannya, karena kedudukanmu berada di akhir ayat yang engkau baca.
(HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Adapun cara membaca Al-Quran dengan Tartil yakni sebagai berikut:

  1. Setiap huruf harus diucapkan dengan makhraj (tempat keluarnya huruf) yang benar. Sehingga ط (tha’) tidak dibaca تَ (ta) dan ضَ (dha’) tidak dibaca ظ (zha).
  2. Berhenti pada tempat yang benar. Jangan memutuskan atau melanjutkan bacaan di tempat yang salah.
  3. Membaca semua harakat dengan benar, yakni menyebut fathah, kasrah dan dhommah dengan perbedaan yang jelas.
  4. Mengeraskan suara sampai terdengar oleh telinga kita, sehingga Al-Qur’an dapat mempengaruhi dan meresap ke hati.
  5. Memperindah suara agar muncul rasa takut kepada Allah Ta’ala, sehingga mempercepat pengaruh ke dalam hati. Orang yang membaca dengan rasa takut kepada Allah, hatinya akan lebih cepat tepengaruh serta menguatkan nurani dan menimbulkan kesan yang mendalam di hati.
  6. Membaca dengan sempurna dan jelas setiap tasydid dan madnya. Jika membaca dengan lebih jelas, maka akan menimbulkan keagungan Allah serta mempercepat masuknya kesan dalam hati kita.
  7. Memenuhi hak ayat-ayat yang mengandung rahmat dan ayat-ayat azab.

Seseorang bertanya kepada Ummul Mu’minin, Ummu Salamah, “Bagaimanakah Rasulullah SAW membaca Al-Qur’an?” Ia menjawab, “Beliau menunaikan setiap harakatnya: fathah, dhammah, dan kasrah dibaca dengan sangat jelas. Juga setiap hurufnya dibaca dengan sangat jelas. Juga setiap hurufnya dibaca dengan terang dan jelas.” Membaca dengan tartil itu mustahab, walaupun tidak dipahami artinya.

Membaca Al-Quran tentunya memiliki banyak keutamaan. Mulai dari sebagai syafaat kita di hari akhir nanti, mendapatkan pahala, hingga keberkahan bagi kita dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Dan tentunya dengan membaca Al-Quran beserta tartilnya akan membawa keutamaan lebih bagi kita, lantaran seperti yang telah disampaikan diawal, bahwasanya kita diperintahkan untuk bukan hanya sekadar membacanya saja, tetapi mempelajarinya, mengamalkannya serta mengajarkannya. Maka dari itu, dengan kita membaca Al-Quran beserta tartilnya, kita sudah mempelajarinya serta membacanya dengan baik. Tinggal selanjutnya kita harus terus istiqomah, agar kita benar-benar senantiasa menjadi Al-Quran sebagai pedoman hidup kita.

Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy (1980) al-Qur’an menurut bahasa ialah bacaan atau dibaca. Al-Qur’an adalah mashdar yang diartikan dengan arti isim maf’ul yaitu maqru atau yang dibaca. Para ahli ushul fiqh menetapkan bahwa al-Qur’an adalah nama bagi keseluruhan al-Qur’an dan nama bagi suku-sukunya. Menurut Quraisy Shihab (1997), al-Qur’an yang secara harfiah berarti “bacaan sempurna” merupakan suatu nama pilihan Allah yang sungguh tepat, karena tiada satu bacaan pun sejak manusia mengenal tuliss-baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi al-Qur’an Al-Karim, bacaan sempurna lagi mulia. Tiada bacaan semacam al-Qur’an yang dibaca oleh ratusan juta orang yang tidak mengerti artinya dan atai tidak dapat menulis dengan kasaranya. Bahkan dihafal huruf demi huruf oleh orang dewasa, remaja, dan anak-anak. Pada masa hidup Nabi Muhammad saw, perhatian umat terhadap kitab al-Qur’an ialah memperoleh ayat-ayat al-Qur’an itu dengan cara mendengarkan, membaca, dan menghafalkannya secara lisan dari mulut ke mulut. Mulai dari Nabi kepada para sahabat, dari sahabat yang satu ke sahabat yang lain, dan dari seorang imam ahli bacaan yang satu kepada imam yang lain (Abdul Djalal, 1998). Pada periode pertama ini, al-Qur’an belum dibukukan, sehingga dasar pembacaan dan pelajarannya adalah masih secara lisan. Pedomannya adalah Nabi dan para sahabat serta orang-orang yang sudah hafal al-Qur’an. Kondisi ini berlangsung terus sampai masa sahabat, masa pemerintahan khalifah Abu Bakar ra. dan Umar ra. Pada masa kekhalifahan ini, kitab al-Qur’an sudah dibukukan dalam satu mushhaf. Pembukuan al-Qur’an tersebut merupakan ikhtiar khalifah Abu Bakar ra. atas inisiatif Umar bin Khattab ra. Pada masa pemerintahan khalifah Utsman bin Affan ra. mushhaf al-Qur’an disalin dan dibuat banyak, serta dikirim ke daerah-daerah Islam yang pada waktu itu sudah menyebar luas guna menjadi pedoman bacaan pelajaran dan hafalan al-Qur’an (Djalal, 1998). Dengan penyebaran al-Qur’an yang menjangkau wilayah yang luas ini, diharapkan akan semakin memudahkan orang untuk membaca dan mempelajari al-Qur’an, bahkan dapat menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya.

Lebih daripada itu, dengan membaca al-Qur’an dan diikuti dengan pemahaman yang benar, maka diharapkan tumbuh keyakinan akan kebenaran al-Qur’an. Demikian juga siapapun yang mendengarkan bacaan al-Qur’an, akan dinilai seperti orang yang membaca al-Qur’an (Samsul Ulum, 2007). Begitu besarnya nilai manfaat yang diperoleh dari orang yang membaca, mempelajari, dan juga hanya sekedar mendengarkan al-Qur’an. Agar seseorang dapat melakukan ini semua, maka harus ada sikap hati yang menyerah kepada kebenaran (al-Haqq). Karena sikap hati adalah dasar untuk bisa memahami al-Qur’an (Dawam Rahardjo, 2002). Dengan itu, maka bayangan akan susahnya mempelajari dan memahami al-Qur’an lambat laun akan sirna seiring dengan semangat orang untuk menjadikan al-Qur’an sebagai pegangan hidupnya.

Al-Qur’an sebagai pegangan hidup seseorang memberikan implikasi bahwa, al-Qur’an harus pula dihayati akan nilai-nilai Islam yang terkandung di dalamnya, agar nilai-nilai itu bisa menjadi kekuatan yang memotivasi dan mendasari kegiatan sehari-hari, dan menjadi alat perjuangan di bidang kemasyarakatan atau keilmuan. Lebih indah lagi kalau penghayatan itu meningkat atau berkembang menjadi usaha untuk meningkatkan pengkajian tafsir al-Qur’an (Rahardjo, 2002), bahkan berusaha menghafalkannya sebagai bagian dari ibadah. Sebab menghafal al-Qur’an bagi orang-orang tertentu, meskipun terdiri dari 30 juz dan 114 surah, bukanlah hal yang sulit. Allah swt. telah memberikan jaminan mengenai kemudahan dalam mempelajari al-Qur’an, sebagaimana Firman-Nya dalam Surah Al-Qamar (54) ayat 17 sebagai berikut: “Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran ?”. Ayat ini menegaskan bahwa al-Qur’an itu mudah diingat bagi setiap orang yang menginginkannya, dan kemudahan al-Qur’an itu juga mencakup dalam hal membacanya, menghafalnya, memahaminya, mentadaburinya, dan menguak keajaibannya. Jika memang begitu, maka hakikat ilahiyah yang seharusnya didapatkan terlebih dahulu adalah bahwa Allah akan emudahkan menghafal al-Qur’an bagi yang berminat dengan niatan jujur. Kemudian Allah akan mempersiapkan waktu yang tepat baginya untuk menghafal al-Qur’an, jika dia memang bertekad untuk menghafalnya dan menghadap kepada Allah dengan hatinya yang bersih dan memohon pertolongan kepada-Nya (Al-Kahlil, 2010). Kemudahan dalam menghafal al-Qur’an ini sudah banyak buktinya. Di Bangladesh misalnya, seorang anak telah hafal al-Qur’an dalam usia 9 (sembilan) tahun. Hafalannya bagus dan suaranya begitu memukau. Di Mesir, ada anak usia 7 (tujuh) tahun sudah hafal al-Qur’an (Samsul Ulum, 2007), dan masih banyak lagi contoh di dunia Islam yang membuktikan betapa al-Qur’an bisa dihafal oleh anak-anak Islam dalam usia yang sangat belia. . Akhir-akhir ini di kalangan perguruan tinggi keagamaan Islam (PTKI), semacam UIN, IAIN, dan STAIN mulai ada kesadaran yang tumbuh untuk memberikan fasilitas pada mahasiswa yang ingin menghafal al-Qur’an. Bahkan beberapa perguruan tinggi umum (PTU) juga banyak yang memberikan apresiasi dan memfasilitasi mahasiswa yang menghafal al-Qur’an, melalui pemberian beasiswa bagi mahasiswa penghafal al-Qur’an. Fenomena ini terus berkembang seiring dengan berbagai peluang yang terbuka yang diberikan oleh pengelola perguruan tinggi bagi mereka yang menghafal Al-Qur’an. Banyak ahli berpandangan bahwa, menghafal al-Qur’an tidak akan mengganggu intelektual seseorang, Tetapi justeru dapat menjadi pemicu kecerdasan seseorang. Artinya, seorang pelajar yang sedang menghafal al-Qur’an tidak akan mempengaruhi prestasi belajarnya. Untuk itu, menghafal al-Qur’an dapat bersinergi dengan kegiatan belajar di bangku sekolah/perguruan tinggi. Kampus UIN Maulana Malik Ibrahim Malang misalnya, beberapa mahasiswa atau wisudawan terbaik 5 tahun terakhir kebanyakan diraih oleh mahasiswa penghafal al-Qur’an. Ini menunjukkan bahwa, dengan belajar yang rajin untuk menggapai prestasi kuliah yang bagus dan dalam waktu yang bersamaan ikut menghafal al-Qur’an, aktifitas keduanya tidak akan terganggu. Untuk itu, bagi mahasiswa yang berminat mempelajari, memahami, sekaligus menghafal al-Qur’an bisa memulainya dari sekarang. Bahkan Kampus UIN menyediakan lembaga yang namanya Haiah Tahfidzil Qur’an (HTQ), suatu lembaga yang secara khusus menangani hafalan al-Quran bagi mahasiswa.

Memang membaca, memahami, dan menghafal al-Qur’an bukan fardhu kifayah yang dapat diwakili atau dibebankan kepada ulama, kiai atau ustadz. Tetapi seperti dicontohkan oleh para sahabat, semua itu dilakukan sebagai kewajiban individual setiap kaum muslimin. Bila secara individu seorang muslim mampu dan sanggup membaca, memahami, dan menghafal al-Qur’an dengan baik, maka keluarga yang dibinanya juga akan mendapatkan imbas kebaikan itu, sehingga akhirnya semua komunitas masyarakat di sekitarnya juga akan menjadi baik.