Mengapa keberagaman suku dan budaya yang ada di Indonesia dapat menjadi ancaman

KERAGAMAN suku, bahasa, adat istiadat, dan kebudayaan menjadi kekuatan bagi Indonesia. Oleh sebab itu, menjaga eksistensi adat istiadat dan budaya secara tidak langsung juga ikut menjaga persatuan dan kesatuan nasional.

"Bangsa ini kuat justru karena perbedaan yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Kita mempunyai begitu banyak suku bangsa, bahasa, kebiasaan adat yang berbeda-beda, tapi itulah kekuatan kita," ujar Wakil Presiden Jusuf Kalla di Jakarta, kemarin.

Dalam acara yang dihelat keluarga besar Simbolon, Wapres mencontohkan suku Batak yang dinamis, terus terang dalam berbicara, tetapi kadang pembawaannya menjadi meledak-ledak. Sementara itu, suku Padang terkenal indah dalam berbahasa dan santun dengan segala kearifan. Kalla juga menyebut masyarakat di NTT yang terkenal dengan kerja keras di perantauan.

Perbedaan karakteristik suku-suku di Tanah Air itulah yang juga menjadi kekuatan bangsa dan mereka bersama-sama berjuang membangun negara yang maju dan adil. Kalla berpesan perbedaan jangan justru membawa perpecahan. Persatuan dan kesatuan merupakan harga mati bagi NKRI yang harus dijaga bersama. "Coba bayangkan kalau negeri ini pecah. Ini membuktikan ragam dan indahnya suku dan adat-istiadat yang ada di Indonesia. Ini yang menjadikan kita kuat," tandasnya.

Dalam kesempatan terpisah, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Zulkifli Hasan menegaskan persatuan umat menjadi salah satu modal utama untuk mengatasi berbagai permasalahan dan mendorong kemajuan bangsa.

Zulkifli mengatakan, bila masyarakat bersatu, banyak potensi yang bisa dikembangkan. Ia juga menegaskan agar masyarakat tidak mengedepankan perbedaan, tetapi berusaha menemukan persamaan.
"Almarhum KH Hasyim Muzadi pernah menyampaikan kalau beda, ya, jangan disamakan, tapi kalau sama, ya, jangan dibeda-bedakan," katanya.

Radikalisme

Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Hamli mengatakan upaya pihak-pihak untuk menyebarkan paham radikal di Tanah Air sudah merambah seluruh aspek dan dimensi kehidupan tanpa memandang status sosial, agama, ras, suku, dan jenjang lembaga pendidikan.

"Jangankan lembaga pendidikan tinggi, SMU, SMP, lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) sudah disasar ajaran kebencian sebagai cikal bakal pelaku teror," katanya di Kendari, Sulawesi Tenggara, kemarin. Karena itu, kata dia, BNPT senantiasa mengimbau institusi Kementerian Pendidikan dan Dinas Pendidikan di daerah-daerah untuk memastikan lembaga penyelenggara pendidikan tidak disusupi radikalisme.

Dalam kesempatan itu, ia juga memaparkan ada sekelompok masyarakat yang setuju dengan radikalisme. Hasil penelitian yang merupakan kerja sama BNPT dengan Wahid Institute serta sejumlah lembaga lain menyebutkan 72% rakyat Indonesia anti terhadap radikalisme yang meresahkan masyarakat. Sementara itu, 7,7% setuju dengan radikalisme dan 0,4% sudah melakukan radikalisme.

Dalam survei itu, Wahid Institute menyebut persentase itu menjadi proyeksi dari 150 juta umat Islam Indonesia. Artinya, jika diproyeksikan, terdapat sekitar 11 juta umat Islam Indonesia yang bersedia bertindak radikal. (DW/Ant/P-4)