Mengapa energi nuklir banyak ditentang penggunaannya

Meskipun reaktor tertutup, radiasi telah mencemari seluruh situs bekas pembangkit listrik tenaga nuklir itu. Ada lusinan elemen radioaktif diluncurkan ke udara selama krisis, dengan beberapa di antaranya dianggap paling berbahaya bagi kehidupan.

Penggunaan nuklir sebagai sumber pasokan energi telah banyak diaplikasikan di negara-negara maju. Tercatat negara-negara seperti Prancis, Jepang dan Amerika telah mampu memanfaatkan energi ini untuk kebutuhan listrik nasional mereka dengan proporsi masing-masing sebesar 77,68 persen, 27 persen dan 19,86 persen.

Indonesia sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk terbanyak saat ini masih bergantung dengan penggunaan energi fosil sebagai pemasok utama energi nasional. Bahkan setiap tahunnya kebutuhan energi nasional meningkat seiring dengan meningkatnya laju pertumbuhan penduduk.

Menurut Dr. Deendarlianto, Kepala Pusat Studi Energi UGM, permasalahan kapasitas produksi energi yang menurun dan emisi pemanasan global menjadikan Indonesia berada di posisi defisit energi dan membutuhkan energi non-fosil. Prediksi Fakultas Teknik UGM bersama Toyota dalam penelitian tahun 2012 menyebutkan, meski semua sumber energi dikumpulkan, semua sumber energi di Indonesia pada tahun 2030 tetap tidak mampu mencukupi kebutuhan energi nasional.

"Dalam UU Energi terbaru disebutkan besarnya porsi energi terbarukan pada tahun 2025 mencapai 25 persen. Bahkan detail UU tersebut menyebut porsi nuklir sebesar 5 persen. Itu artinya meski sebagai last option Indonesia mestinya memiliki rencana untuk itu," ujar Deendarlianto, di UC UGM, Rabu (19/3) terkait penyelenggaraan “Seminar on Understanding the Fukushima Nuclear Accident & Its Recovery Efforts”.

Karena sudah ada perintah undang-undang, sambung Deendarlianto, energi nuklir sebagai alternatif harus tetap dilakukan. Pemerintah melalui BATAN, akademisi, dan masyarakat sudah saatnya mulai berpikir tentang teknologi nuklir dan pengembangan nuklir untuk listrik dan sebagainya.

Deendarlianto mengakui meskipun energi nuklir telah memenuhi aspek ekonomis dan emisi, namun masih rendahnya aspek penerimaan masyarakat menjadikan proyek ini terhambat. Hal ini disebabkan masih minimnya sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah mengenai manfaat, risiko, serta penanganan bahaya PLTN. Apalagi masyarakat selama ini cenderung hanya mengetahui kecelakaan reaktor yang terjadi di masa lalu. Sejarah mencatat setidaknya ada tiga kecelakaan reaktor, yakni di Three Mile Island (1979), Chernobyl (1986) dan yang terbaru di Fukushima (2011).

"Hal ini tentu telah menimbulkan pro dan kontra tentang kelayakan atau keamanan penggunaan PLTN di dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Melalui seminar ini kita bisa belajar secara langsung dari pakar-pakar di Jepang terkait penanganan reaktor Fukushima di tahun 2011, seperti Takehiko Mukaiyama, Akimasa Ono, Yoshimitsu Fukushima, Akira Kaneuji, Tadashi Inoue dan Kazuko Uno," papar Deen.

Prof. Dr. Tumiran menambahkan kebutuhan tenaga nuklir di Indonesia cukup penting apalagi jika melihat tingkat kebutuhan listrik nasional yang terus bertambah. Kebutuhan listrik Indonesia selama ini sebesar 14,5 giga untuk 240 juta penduduk. Sementara itu, Malaysia dengan jumlah penduduk 29,5 juta listriknya mencapai 28 giga, sedangkan Jepang dengan 105 juta penduduk memiliki pembangkit listrik 240,5 giga. "Kita tidak ada apa-apanya, tetap tidak cukup jika kita hanya mengandalkan dari energi batubara, minyak dan gas maupun geothermal," kata Tumiran.

Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng., D.Eng mengungkapkan Indonesia yang memiliki keinginan menuju sumber daya berteknologi tinggi memiliki kelemahan dalam kepemilikan energi dan infrastruktur. Infrastruktur dapat dipenuhi melalui koridor-koridor ekonomi, sementara bidang energi bisa dibangun melalui teknologi. "Banyak industri dibangun di tanah air tanpa diimbangi energi untuk menjalankan tentu sangat mustahil," tuturnya. (Humas UGM/Agung)

Bisnis.com, JAKARTA — Dewan Energi Nasional menyebut energi nuklir merupakan salah satu sumber energi bersih yang ramah lingkungan. Selama ini banyak terjadi kesalahan persepsi tentang nuklir.

Anggota Dewan Energi Nasional Satya Widya Yudha menilai banyak kesalahan persepsi yang berkembang di masyarakat mengenai energi nuklir. Padahal, energi nuklir bisa menjadi sumber energi berkelanjutan.

Penggunaan energi nuklir yang tidak menggunakan proses pembakaran sehingga pencemaran CO2 dan NH4 tidak menjadi isu. Dengan demikian, energi nuklir bisa dikategorikan sebagai energi yang bersih dan ramah lingkungan.

“Mengenai isu keselamatan, sampai saat ini masyarakat selalu melihat tentang apa yang terjadi di Chernobyl dan di Fukushima. Inilah yang perlu diluruskan tentang apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa hal itu bisa terjadi," katanya seperti dikutip melalui keterangan resminya, Jumat (19/02/2021).

Satya menambahkan bahwa untuk memastikan penggunaan energi nuklir berjalan aman, maka banyak kondisi atau persyaratan yang harus dipenuhi, mulai dari aspek keselamatan, teknologi, hingga lingkungan.

“Dewan Energi Nasional tentunya akan melakukan review terhadap KEN [kebijakan energi nasional] dan RUEN [rencana umum energi nasional] dalam asumsi ekonomi makro yang lebih realistis, sedangkan dalam pengembangan nuklir tentunya harus sesuai dengan standar dari IAEA [International Atomic Energy Agency]," imbuhnya.

Sementara itu, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dadan Kusdiana menjelaskan bahwa pemanfaatan nuklir sebagai energi membutuhkan jalan yang panjang hingga puluhan tahun karena banyak aspek yang harus diselesaikan.

Dadan mengungkapkan bahwa pemanfaatan pembangkit bertenaga nuklir akan di kembangkan di daerah terpencil. Selain itu, pemanfaatan nuklir akan sungguh-sungguh memperhatikan aspek keselamatan serta terlebih dahulu mengutamakan pemanfaatan energi baru terbarukan.

“Menurut IAEA dari 19 aspek yang harus dipenuhi, Indonesia sudah memenuhi sebanyak 16 aspek. Dalam rencana jangka menengah hingga tahun 2024 akan disusun roadmap pengembangan pembangkit listrik bertenaga nuklir di Indonesia," ungkapnya.

Baca Juga : Wuih! Pertamina Akan Kembangkan Nuklir Ramah Lingkungan

Simak Video Pilihan di Bawah Ini :

Author :: Herry Pasya Sumbada Date :: Sen 04/18/2011 @ 09:43

Sebagai orang awam dan orang tua biasa, Saya bukanlah ahli tentang hal yang satu ini. Kalaupun pernah tahu dan mempelajarinya, itupun dulu ketika aku masih duduk di SMA. Namun, sebagai warganegara, mungkin ada baiknya Saya pun berbagi “sedikit” tentang informasi ini terkait dengan hiruk pikuk kontroversi yang “menyelimuti” rencana pemerintah mengembangkan energi nuklir sebagai alternatif energi masa depan.

Jujur harus saya akui, belakangan ini Saya rajin mencari tahu informasi tentang energi nuklir melalui jaringan internet (thanks to “keajaiban teknologi informasi dan komunikasi”), yang beberapa naskahnya Saya unduh-cetak, hingga sudah menghabiskan tak kurang dari 1 (satu) rim kertas HVS ukuran A4, 70 gram (soalnya, untuk sesuatu yang selalu “all-new” Saya amat penasaran, bro…!). Jujur juga saya akui, tadinya Saya adalah orang yang dibayangi “ketakutan” dan “trauma” dengan sesuatu yang “berbau nuklir”; apalagi dengan kejadian atau “kecelakaan” yang terjadi di Three Mile Island, di sungai Susquehanna, selatan Harrisburg, Pennsylvania (28 Maret 1979), dan Chernobyl, Prypiat, Ukraina (26 April 1986).

Benar bahwa kecelakaan Chernobyl, telah menimbulkan korban tewas seketika 31 orang, dan tak kurang dari 120.000 orang dievakuasi dari area sekitar dampak ledakan. Yang pasti beberapa alasan penting dari timbulnya kecelakaan itu adalah : dangerous design of the reactor, dan poor safety culture. Dan “the direct reason for the accident was consistent violation of rules during the scheduled test of the turbo generator”(ICJT). Dan itu merupakan “dua kecelakaan signifikan PLTN” dalam rentang waktu 50 tahun, sebagaimana dapat dilihat dalam www.world-nuclear.org/info/inf06.html.

  • Three Mile Island (USA 1979) where the reactor was severely damaged but radiation was contained and there were no adverse health or environmental consequences.
  • Chernobyl (Ukraine 1986) where the destruction of the reactor by steam explosion and fire killed 31 people and had significant health and environmental consequences. The death toll has since increased to about 56.

Baca juga:  Menko Polhukam: Pembatasan Sosial Media untuk Kepentingan Negara

Atas dasar itu, Saya pun mencoba mencari tahu dan menggali sebanyak mungkin informasi tentang hal itu. Satu hal yang memang muncul seketika setelah “bencana” (Chernobyl) tersebut adalah timbul gerakan atau sentimen “anti nuklir” di seluruh dunia. Swedia adalah salah satu negara yang seketika itu juga (1990) melakukan referendum untuk menghentikan 12 pembangkit tenaga nuklirnya. Namun kini, setelah lebih dari 24 tahun, yang Saya dapat dari informasi unduhan adalah kenyataan bahwa pengembangan energi nuklir tidak malah semakin surut dan berhenti total. Di Eropa sendiri (termasuk Swedia) hingga Maret 2010 terdapat 195 pembangkit listrik tenaga nuklir (Nuclear Power Plants=NPP) yang tersebar di 17 negara; dengan Prancis sebagai pemilik NPP terbanyak, yaitu 58 pembangkit; disusul Rusia, sebanyak 32 pembangkit; Kerajaan Inggris, 19 pembangkit dan Jerman, 17 pembangkit. Kebutuhan listrik di Prancis, 76,2% dipenuhi oleh pembangkit-pembangkit ini; disusul Lituania, 72,9%; Republik Slovakia, 54,4%; Belgia, 53,8% dan (yang pada mulanya “menangguhkan”), Swedia, 42%(!!!). Bahkan saat ini, tengah dibangun tak kurang dari 16 pembangkit baru di Eropa, dengan Rusia sebagai negara terbanyak yang tengah merampungkan pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklirnya, yaitu sebanyak 8 pembangkit. Amerika Serikat sendiri nyatanya memiliki 104 pembangkit listrik tenaga nuklir, untuk memenuhi kebutuhan listrik dalam negerinya. Dan menurut Forrest J. Remick, profesor emeritus teknik nuklir, menyatakan : “Nuclear plants are very safe”. Ini ditunjukkan dengan membandingkan tingkat kecelakaan industri untuk PLTN yang hanya 0,24 per 200.000 jam-kerja, dibandingkan dengan 3,5 kecelakaan per 200.000 jam-kerja untuk seluruh industri manufaktur di AS (14,6 kali lebih besar). Dan selama hampir 50 tahun beroperasinya PLTN di AS, tak ada satu anggota masyarakat-pun tewas atau mengalami luka akibat radiasi nuklir. Menurut beliau juga saat ini telah dikembangkan “a new generation of reactors has been designed to include passive safely features”; dan telah didemonstrasikan dalam reaktor uji di AS, Jerman, China dan Afrika Selatan. Desain reaktor baru tersebut dikenal sebagai VHTR (Very High Temperature Reactor). Memang benar bahwa untuk membangunnya cukup mahal dibandingkan pembangkit non-nuklir, seperti gas dan batubara. Namun ia tidak menimbulkan polusi udara, yang bisa menimbulkan hujan asam, dan pelepasan CO2 ke atmosfir yang menimbulkan efek rumah kaca. Limbah nuklir memang ada, tetapi berdasarkan informasi unduhan, limbah ini jika ditangani secara tepat dengan tingkat keselamatan yang tinggi (dan memang telah tersedia teknologinya) tidak terlalu merisaukan. Tampaknya, justru setelah kejadian Chernobyl, semua negara yang selama ini mengembangkan PLTN semakin mengetatkan berbagai persyaratan pembangunan PLTN. PBB melalui IAEA-nya adalah badan yang secara tegas dan ketat mengawasi pembangunan PLTN dimanapun berada. Disadari atau tidak, justru kecelakaan Chernobyl-lah yang telah memberikan banyak pelajaran berharga bagi negara pengembang PLTN. PLTN kini dibangun secara lebih aman dan selamat, dan menghasilkan energi yang “bersih” dan “murah”. Nyatanya, energi nuklir atau PLTN merupakan penghasil listrik berbiaya termurah, dimana rata-rata biaya produksi per kWh-nya hanya 1,87 sen dollar. Satu pon uranium menghasilkan energi setara dengan enam ton batubara; atau 1200 galon minyak. Nuklir untuk pembangkit listrik tidaklah sama dengan nuklir untuk senjata pemusnah massal. Nuklir untuk listrik tidak bisa meledak karena pengayaannya tak lebih dari 20%; sedangkan nuklir untuk senjata, pengayaannya harus mencapai 100%. (jadi tidaklah realistik mengidentikkan kecelakaan Chernobyl dengan bom atom Hiroshima-Nagasaki). (It should be emphasised that a commercial-type power reactor simply cannot under any circumstances explode like a nuclear bomb [www.world-nuclear.org/info/inf06.html]).

Catatan : Saya memang bukan Ahli Nuklir. Tapi bolehkan berbagi pandangan…?

Tag: amerika serikatPBBRusiaTeknologiBencanaAMAN

Terkait

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA