Mengapa Demak dijadikan pusat penyebaran agama Islam di Nusantara

Indonesia merupakan negara dengan jumlah mayoritas pemeluk agama Islam terbesar di dunia. Hal ini tidak terlepas dari sejarah kerajaan Islam di seluruh wilayah Indonesia antara abad ke 13 sampai ke 18. Salah satu kerajaan berbentuk kesultanan atau islam ini adalah Kerajaan Demak.

Kerajaan Demak adalah Kerajaan Islam pertama dan terbesar di Pulau Jawa. Jika sebelumnya kerajaan di Nusantara berpedoman kepada agama Hindu, maka berbeda halnya dengan Demak yang melakukan penyebaran agama Islam di Nusantara.

Dalam sejarahnya, Kerajaan Demak didirikan oleh persekutuan pedagang Islam di Pantai utara Jawa yang dipimpin oleh Raden Patah (fatah), seorang keturunan Raja Brawijaya V yang menikat dengan putri dari Vietnam yaitu Champa. Berdirinya kerajaan Demak ini tidak lepas dari jasa para wali songo, hal ini lantaran Raden Patah sewaktu muda belajar ajaran Islam dibawah bimbingan Sunan Ampel.

Sebelum berdirinya Kerajaan Demak, wilayah Demak merupakan bagian dari Majapahit, dimana Raden Patah ditugaskan sebagai Adipati Bintoro, Demak. Pengaruh Kerajaan Majapahit pada akhir pada akhir ke 15 berada diambang keruntuhan. Pada tahun 1500 dengan dukungan para wali, Bintoro menyerang Majapahit dan mengalahkannya.

(Baca juga: Sejarah Kerajaan Tarumanegara)

Setelah Majapahit dikalahkan, Raden Patah memindahkan pusat pemerintahan ke Bintoro yang ditandai dengan peristiwa pemindahan pusaka Majapahit ke Bintoro. Peristiwa simbolis itu melegitimasi bahwa Bintoro sah sebagai pewaris Majapahit dan sekaligus menandai lahirnya Kesultanan Demak. Dimana Raden Patah menjadi sultan pertama dengan gelar Sultan Alam Akbar al-Fatah.

Perkembangan Kerajaan Demak

Selama memerintah, Raden Patah banyak dibantu oleh Wali Sanga yang berperan sebagai penasihat. Awal pemerintahannya ditandai dengan pembangunan Masjid Agung Demak dan perluasan wilayah. Bahkan, Sultan sempat mengirim pasukan untuk menyerang kedudukan Portugis di Malaka, dalam rangka merebut dominasi di Selat Malaka.

Serangan tersebut, dipimpin oleh Dipati Unus atau Putra dari Sultan Raden Patah. Meskipun pada akhirnya serangan tersebut gagal, tetapi ia mendapat julukan Pangeran Sabrang Lor atau pangeran yang menyeberang ke utara sebagai penghargaan atas keberaniannya.

Sepeninggal Raden Patah, maka Dipati Unus naik takhta menjadi Sultan Demak dan semasa pemerintahannya ia berupaya lagi menggempur Portugis di Malaka dengan menggalang pasukan gabungan Demak, Jepara, dan Palembang. Namun, sayangnya serangan tersebut kembali berakhir dalam kegagalan.

Setelah Dipati Unus wafat pada tahun 1521 maka terjadi kemelut di Demak akibat adanya persaingan antara Pangeran Sekar Seda Lepen dan Pangeran Trenggana, akhirnya kemelut ini dimenangkan oleh Pangeran Trenggana yang naik takhta. Selama pemerintahan Sultan Trenggana, Demak mencapai puncak kejayaan karena berhasil memposisikan diri sebagai bandar transit penjualan rempah-rempah.

Bukan hanya itu, karena Demak pun mampu tampil sebagai pusat penyebaran Islam di Jawa, dan kekuasaan Demak saat itu meliputi sebagian Jawa Barat, Jayakarta, Jawa Tengah, dan sebagian Jawa Timur.

Sayangnya, Sultan Trenggana harus gugur dalam perjalanan menyerang Pasuruan untuk memperluas pengaruh Demak ke Jawa Timur. Kosongnya puncak kekuasaan menyulut kembali persaingan politik antara keluarga Pangeran Sekar Seda Lepen dengan keluarga Sultan Trenggana.

Di tengah kemelut tersebut, tampillah Joko Tingkir, seorang Adipati Pajang bawahan Demak. Ia meredam pemberontakan Arya atau Ario Penangsang, putra Pangeran Sekar Seda Lepen yang berkuasa di Jipang atau sekarang Bojonegoro.

Setelah kemelut berakhir, maka Joko Tingkir memindahkan pusaka kerajaan dari Bintoro Demak ke Pajang yang menandai berakhirnya Kerajaan Demak sekaligus awal dari Kesultanan Pajang. Peristiwa ini menandai masa interegnum yakni masa transisi dari Kesultnan Demak ke Kesultanan Mataram.

Lihat Foto

DOK. Dinas Pariwisata Kabupaten Demak

Masjid Agung Demak, Kampung Kauman, Bintoro, Demak, Jawa Tengah DOK. Dinas Pariwisata Kabupaten Demak

KOMPAS.com - Penyebaran agama Islam di Jawa Tengah menjadi sangat pesat berkat peranan para wali.

Bahkan kelompok wali yang terkenal dengan nama Wali Sanga diyakini sebagai pelopor penyiaran agama Islam di Pulau Jawa.

Wali Sanga tidak hidup pada saat yang persis bersamaan, tetapi mereka memiliki keterkaitan darah ataupun hubungan guru-murid.

Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik adalah wali pertama yang menyebarkan pengaruhnya di pesisir pantai utara Jawa Timur.

Berawal dari Gresik, penyebaran Islam mulai bergerak ke arah barat menembus Lamongan, Tuban, hingga akhirnya di masuk ke Jawa Tengah.

Wilayah Jawa Tengah menjadi pusat berkembangnya kebudayaan Islam menjelang akhir abad ke-15, ketika Kerajaan Demak berdiri.

Baca juga: Masuknya Islam ke Nusantara

Munculnya Kerajaan Demak

Sebelum Demak muncul sebagai kerajaan Islam, wilayahnya masuk dalam kekuasaan Kerajaan Majapahit, sehingga penduduknya banyak yang menganut agama Hindu atau Buddha.

Kerajaan Demak ini didirikan oleh Raden Patah, putra Prabu Brawijaya, penguasa terakhir Kerajaan Majapahit pada sekitar tahun 1478.

Raden Patah membangun Kerajaan Demak dengan bantuan para Wali Sanga, termasuk gurunya, Sunan Ampel.

Kesultanan Demak terbukti menjadi kerajaan bercorak Islam pertama di Jawa yang mendorong perkembangan Islam yang diajarkan oleh para wali.

Lihat Foto

Masjid Agung Demak

KOMPAS.com - Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Kejayaan kerajaan ini tidak lepas dari peranannya menyebarkan Islam di Pulau Jawa.

Penyebarannya diprakarasai oleh sembilan orang wali atau yang lebih dikenal sebagai Wali Songo.

Kita mungkin mengenal Kerajaan Demak dari salah satu peninggalannya, Masjid Demak yang merupakan salah satu masjid tertua di Indonesia.

Masjid yang menjadi pusat syiar Islam itu terletak di Kampung Kauman, Kelurahan Bintoro, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak.

Sejarah Kerajaan Demak

MC Ricklesfs dalam buku A Historis of Modern Indonesia since 1200 (2001) menyebut, Kerajaan Demak berdiri menjelang abad ke-15 atau sekitar 1475-1518. Kerajaan Demak didirikan oleh Raden Patah.

Raden Patah adalah putra Brawijaya, raja terakhir Majapahit dari seorang selir Tionghoa. Kerajaan Demak berdiri setelah Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran.

Baca juga: Tol Semarang-Demak Bakal Habiskan Waktu Tiga Tahun

Gejolak yang terjadi di Kerajaan Majapahit membuat beberapa wilayah kekuasaannya memisahkan diri, salah satunya Demak yang awalnya hanya Kadipaten.

Adanya dukungan dari para Wali Songo membuat Kerajaan Demak menjadi kerajaan besar dalam waktu singkat. Kerajaan Demak juga disegani oleh kerajaan-kerajaan lain di Nusantara.

Kerajaan besar

Kerajaan yang berlokasi di pesisir utara Pulau Jawa, membuat Demak menjadikan kerajaan besar dan punya wilayah yang luas.

Lokasinya sangat strategis, berada di tengah-tengah jalur pelayaran nasional dan punya pelabuhan besar. Ini membuat perekonomian Kerajaan Demak bagus dan mapan.

Baca juga: Desain Tol Semarang-Demak Masih Proses Review

tirto.id - Kesultanan Demak adalah kerajaan Islam pertama di Jawa. Kerajaan ini berdiri pada awal abad ke-16 Masehi seiring kemunduran Majapahit. Kesultanan Demak pun mulai memperlihatkan eksistensinya dan tentunya meninggalkan peninggalan sejarah.

Dalam buku Sejarah yang ditulis oleh Nana Supriatna diungkapkan, Kesultanan Demak didirikan oleh Raden Patah, putra Raja Majapahit dari istri seorang perempuan asal Cina, yang telah masuk Islam. Raden Patah memimpin Demak pada 1500 hingga 1518 M.

Di bawah kepemimpinan Raden Patah, Kesultanan Demak menjadi pusat penyebaran agama Islam dengan peran sentral Wali Songo. Periode ini adalah fase awal semakin berkembangnya ajaran Islam di Jawa.

Setelah Raden Patah wafat pada 1518, takhta Demak dilanjutkan oleh putranya, Adipati Unus (1488-1521). Sebelumnya menjadi sultan, Pati Unus terkenal dengan keberaniannya sebagai panglima perang hingga diberi julukan Pangeran Sabrang Lor.

Dikutip dari buku Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara (2005) karya Slamet Muljana, pada 1521 Pati Unus memimpin penyerbuan kedua ke Malaka melawan Portugis.

Pati Unus gugur dalam pertempuran tersebut kemudian digantikan Trenggana (1521-1546) sebagai pemimpin ke-3 Kesultanan Demak.

Baca juga:

  • Jalan Setapak Syekh Siti Jenar
  • Sejarah Lahirnya J.P. Coen Penakluk Jayakarta
  • Tan Go Wat: Dari Cina, Lalu "Mengislamkan" Jawa

Sultan Trenggana membawa Kesultanan Demak mencapai periode kejayaannya. Wilayah kekuasaan Demak meluas hingga ke Jawa bagian timur dan barat.

Pada 1527, pasukan Islam gabungan dari Demak dan Cirebon yang dipimpin Fatahillah atas perintah Sultan Trenggana berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa.

Nama Sunda Kelapa kemudian diganti menjadi Jayakarta atau "kemenangan yang sempurna". Kelak, Jayakarta berganti nama lagi menjadi Batavia lalu Jakarta, ibu kota Republik Indonesia.

Saat menyerang Panarukan, Situbondo, yang saat itu dikuasai Kerajaan Blambangan (Banyuwangi), pada 1546, terjadi insiden yang membuat Sultan Trenggana terbunuh.

Meninggalnya Sultan Trenggana inilah yang menjadi awal keruntuhan Kesultanan Demak karena terjadi perselisihan mengenai siapa yang berhak menduduki takhta selanjutnya. Hingga akhirnya, pemerintahan Kesultanan Demak benar-benar usai pada 1554.

Peninggalan Kesultanan Demak

Masjid Agung Demak

Salah satu masjid tertua di Indonesia ini merupakan peninggalan utama yang paling terkenal dari Kesultanan Demak. Dibangun pada masa pemerintahan Sultan Demak pertama, Raden Patah (1475–1518), masjid ini menjadi pusat pengajaran dan penyebaran ajaran Islam yang dirintis oleh Wali Songo.

Pintu Bledek

Pintu ini adalah jalan masuk Masjid Agung Demak yang mitosnya dikatakan terbuat dari petir yang menyambar sehingga dinamakan “bledek". Saat ini, Pintu Bledek sudah rapuh dan tua sehingga dipindahkan ke dalam Masjid Agung Demak.

Soko Guru

Masjid Agung Demak disokong oleh empat soko guru atau tiang penyangga setinggi 19,54 meter dan berdiameter 1,45 meter. Soko guru ini dipercaya merupakan sumbangan dari 4 anggota Wali Songo, yakni Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Ampel, dan Sunan Gunung Jati.

Bedug dan Kentongan

Bedug dan kentongan di Masjid Agung Demak digunakan untuk memanggil masyarakat sekitar guna melaksanakan salat. Dua peninggalan era Kesultanan Demak ini masih ada hingga kini.

Baca juga:

  • Sejarah & Daftar Kerajaan-kerajaan Maritim Islam di Indonesia
  • Candi Mendut: Sejarah & Arsitektur Peninggalan Bercorak Buddha
  • Sejarah Kekhalifahan Umayyah, Kejayaan, Hingga Keruntuhannya

Situs Kolam Wudhu

Sekarang, situs ini tidak digunakan sebagaimana fungsinya dan hanya menjadi bukti peninggalan sejarah. Pada masa Kesultanan Demak dulu, tempat ini selalu digunakan untuk wudhu bagi mereka yang hendak melaksanakan salat di Masjid Agung Demak.

Maksurah

Merupakan dinding berkaligrafi yang dibuat pada 1866 M, yakni ketika Aryo Purbaningrat menjadi Adipati Demak atau setelah era Kesultanan Demak berakhir.

Dampar Kencana

Dahulu, benda peninggalan ini merupakan singgasana Sultan Demak yang berada di dalam Masjid Agung Demak. Kini dijadikan sebagai mimbar untuk penceramah.

Piring Campa

Di dinding dan tempat imam Masjid Agung Demak, terdapat piring yang ditempelkan. Hiasan ini merupakan hadiah dari ibunda Raden Patah yang konon berasal dari Cina.

Baca juga artikel terkait KESULTANAN DEMAK atau tulisan menarik lainnya Yuda Prinada
(tirto.id - prd/isw)


Penulis: Yuda Prinada
Editor: Iswara N Raditya
Kontributor: Yuda Prinada

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA