Mengapa Allah SWT tidak akan mengubah keadaan seseorang sehingga ia berusaha mengubahnya sendiri?

Alquran. Sumber: Malik Shibly-Unsplash.com

Alquran merupakan kitab suci yang berisi tentang firman-firman Allah SWT dan Allah pula yang menjaganya. Muhammad Ali as-Shabuni dalam buku Abdul Hamid “Pengantar Studi Al-Qur’an” (2016: 27) menjelaskan bahwa Alquran merupakan kitab suci yang terpelihara keasliannya dan Allah SWT sendiri yang menjamin pemeliharaannya, serta tidak membebankan hal itu kepada seorang pun. Hal ini tercantum dalam Surat Al Hijr ayat 9 yang berbunyi,

اِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَاِنَّا لَهٗ لَحٰفِظُوْنَ - ٩

Artinya: “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya”.

MasyaAllah. Oleh sebab itu, Alquran menjadi kitab suci yang terjaga keasliannya. Alquran menjadi pedoman yang tak termakan oleh zaman. Alquran berisikan banyak peringatan, janji Allah, bahkan ilmu pengetahuan. Salah satunya tentang penjelasan tentang tumbuh kembang janin dalam Surat Al Mu’minun ayat 14, yakni

ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظٰمًا فَكَسَوْنَا الْعِظٰمَ لَحْمًا ثُمَّ اَنْشَأْنٰهُ خَلْقًا اٰخَرَۗ فَتَبَارَكَ اللّٰهُ اَحْسَنُ الْخَالِقِيْنَۗ - ١٤

Artinya: “Kemudian, air mani itu Kami jadikan sesuatu yang melekat, lalu sesuatu yang melekat itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian, Kami menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain. Mahasuci Allah, Pencipta yang paling baik”.

Bagaimana manusia mengetahui penciptaan manusia itu sendiri? Tentunya, Alquran sudah ada jauh sebelum penelitian tentang janin itu dilakukan oleh manusia. Maha Suci Allah atas segala firman-Nya. Masih ingin tahu lagi dengan keajaiban firman Allah?

Keajaiban lainnya adalah Allah Yang Maha Pengasih, memberikan kita motivasi untuk terus berusaha. Salah satu motivasi tersebut tercantum dalam Surat Ar Ra’d ayat 11, yaitu

لَهٗ مُعَقِّبٰتٌ مِّنْۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهٖ يَحْفَظُوْنَهٗ مِنْ اَمْرِ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ وَاِذَآ اَرَادَ اللّٰهُ بِقَوْمٍ سُوْۤءًا فَلَا مَرَدَّ لَهٗ ۚوَمَا لَهُمْ مِّنْ دُوْنِهٖ مِنْ وَّالٍ - ١١

Artinya: “Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia”.

Wallahu a’lam bish-shawab. Itu adalah firman Allah maka tak ada keraguan atas hal itu. Apabila Anda sedang dilanda kesulitan, Allah akan selalu setia untuk mendengarkan. Apabila Anda sedang dilanda kesukaran Allah akan mudahkan kesukaran itu untuk Anda lewati.

Namun, ingatlah bahwa Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Semoga Allah SWT membantu kita untuk berubah menjadi pribadi dan hamba-Nya yang lebih baik lagi. Aamiin aamiin aamiin. (AA)

ERA.id - Dalam surat Ar-Ra'd ayat 11 Allah SWT berfirman yang jika diterjemahkan artinya, "Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia." (QS. Ar-Ra'd: 11).

Lahuu mu'aqqibaatum mim baini yadaihi wa min khalfihii yahfadhuunahuu min amrillaah, innallaaha laa yughayyiru maa biqaumin hattaa yughayyiruu maa bi anfusihim, wa idzaa araadallaahu biqaumin suu an fa laa maradda lah, wa maa lahum min duunihii miw waal.

Surat Ar-Ra'd ayat 11 sering dipotong oleh sebagian kalangan dengan hanya mengambil bagian ayat berikut:

إِنَّ اللهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ  

Innallaaha laa yughayyiru maa biqaumin hattaa yughayyiruu maa bi anfusihim. 

Baca juga:

Artinya: "Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri."

Ayat ini sering digunakan sebagai ayat motivasi bahwa Allah SWT tidak akan mengubah nasib seseorang menjadi lebih baik kecuali dengan usaha dan jerih payahnya sendiri. Namun, pada praktiknya tafsiran seperti ini bertentangan dengan realitas lapangan.

Dilansir dari NU Online, sebagian ulama, sebagaimana dikutip oleh Ath-Thabari dalam tafsirnya, ayat di atas menjelaskan bahwa setiap manusia selalu didampingi oleh malaikat siang–malam yang silih berganti. 

Mengapa Allah SWT tidak akan mengubah keadaan seseorang sehingga ia berusaha mengubahnya sendiri?
Ilustrasi (Pexels dari Pixabay) 

Malaikat siang datang, pada saat itu juga malaikat malam meninggalkan seseorang. Saat sore, malaikat siang pergi sedangkan malaikat malam mulai datang. Menurut sebagian ulama, malaikat yang silih berganti ini bernama malaikat hafadzah.

Masih menurut At-Thabari, maksud ayat ini justru menjelaskan bahwa semua orang itu dalam kebaikan dan kenikmatan. Allah tidak akan mengubah kenikmatan-kenikmatan seseorang kecuali mereka mengubah kenikmatan menjadi keburukan sebab perilakunya sendiri dengan bersikap zalim dan saling bermusuhan kepada saudaranya sendiri.

Baca juga:

Artinya: “(Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum) yang berupa sehat sejahtera dan penuh kenikmatan kemudian kenikmatan itu menjadi dibuang dan dirusak oleh Allah, (sampai mereka mengubah sesuatu yang ada para pribadi mereka) yaitu dengan sikap dzalim antar sesama dan permusuhan terhadap orang lain” (Muhammad bin Jarir at-Thabari, Jami’ul Bayan fi ta’wilil Qu’an, [Muassasah ar-Risalah: 2000], juz 16, hlm. 382).   

Ayat di atas menunjukkan bahwa hakikat setiap manusia itu sebagai orang yang berhak mendapatkan kenikmatan penuh, karena pada dasarnya mereka adalah suci sebagaimana dalam QS Ar-Rum: 30.

Jika setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, tentu dia mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan kenikmatan dari Allah. Perubahan status menjadi Majusi, Yahudi, Nasrani adalah andil orang tua atau dirinya sendiri. 

Berbeda dengan pemahaman jika semua nasib orang itu buruk, untuk mendapatkan nasib yang baik harus mengubahnya. Ini tidak sesuai dengan pemahaman para ulama ahli tafsir.

Dalam ayat ini Allah memberi tahu bahwa Ia tidak mengubah suatu kaum sehingga ada salah satu di antara mereka ada yang mengubahnya. Bisa jadi dari golongan mereka sendiri, pengamat, atau faktor penyebab yang masih mempunyai hubungan sebagaimana para pasukan yang dikalahkan pada saat perang Uhud disebabkan penyelewengan yang dilakukan oleh ahli panah. Demikian pula contoh-contoh dalam syari’at.   

Ayat ini tidak mempunyai arti bahwa kekalahan perang Uhud murni disebabkan perilaku dosa seseorang, tapi terkadang musibah-musibah itu turun disebabkan oleh dosanya orang lain sebagaimana sabda Nabi Muhammad ketika ditanya salah seorang “Wahai Rasul, apakah kita akan mengalami kehancuran sedangkan di antara kita ada yang shalih?”   Jawab Nabi “Ya, jika ada banyak pelaku zinanya” (Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, [Darul Kutub al-Mishriyyah: Kairo, 1964], juz 9, hlm. 294).   

Kedua tafsir tersebut, baik ath-Thabari maupun al-Qurthubi, sepakat bahwa manusia pada dasarnya menerima anugerah kenikmatan tapi perilaku manusia dapat mengubah kenikmatan itu menjadi keburukan atau musibah. 

Hanya saja, Imam al-Qurthubi berpendapat, faktor berkurangnya atau hilangnya kenikmatan yang diterima hamba itu tidak tunggal. Menurutnya, faktor itu bisa murni bersumber dari kesalahan hamba itu sendiri, bisa pula dari kesalahan anggota keluarga atau komunitas sekitarnya, sebagaimana terjadi pada perang Uhud. 

Pasukan Muslimin pada perang Uhud kalah bukan lantaran kesalahan semua pasukan, tapi ada kesalahan beberapa individu saja tapi orang lain mendapatkan getahnya. Dengan bahasa lain, kesalahan segelintir orang itu berdampak sistemik lalu menggoyahkan kekuatan kelompok secara keseluruhan.   

Dalam kitab Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, Imam Baidhawi juga menyatakan:   

إِنَّ اللهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ من العافية والنعمة. حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ من الأحوال الجميلة بالأحوال القبيحة   

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mengganti sesuatu yang ada pada kamu dari kesehatan dan kenikmatan sampai mereka mengubah dengan individu mereka dari keadaan yang baik dengan keadaan yang buruk. (Al-Baidhawi, Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, [Daru Ihyait Turats al-Arabi: Beirut), juz 3, hal. 183)   

Menjadikan ayat tersebut untuk memotivasi orang agar berbuat yang terbaik dan berjuang maksimal merupakan langkah positif. Hanya saja perlu dicatat, perjuangan dalam konteks ayat tersebut bukan mengubah yang buruk menjadi baik, tetapi merawat agar anugerah yang baik-baik dari Allah tak berubah menjadi buruk karena perilaku kita.   

Meski sekilas terlihat mirip, kedua sikap di atas sejatinya berangkat dari paradigma yang berbeda. Yang pertama berangkat dari "keangkuhan" akan potensi diri sendiri, sementara yang kedua berlandaskan pada keyakinan bahwa semua yang Allah berikan pada dasarnya baik, dan kita berkewajiban memeliharanya dengan baik. Poin terakhir ini mengandaikan ketergantungan yang kuat kepada Allah SWT. 

Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren Raudhatul Qur’an an-Nasimiyyah, Semarang, Jawa Tengah.

Tag: al-qur'an nasib QS. Ar-Ra'd: 11 surat ar-ra'd ayat 11 tafsir al-qur'an takdir doa usaha