Meminjam uang atau barang dengan syarat ada keuntungan bagi yang meminjam disebut

Ilustrasi riba. Foto: istock

Secara etimologi, riba berasal dari Bahasa Arab yaitu riba yarbu atau rabwan yang berarti tambahan atau kelebihan. Sedangkan secara teknis riba adalah melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok yang dibebankan kepada peminjam.

Hal ini bertentangan dengan ajaran Islam. Di zaman jahiliah, praktik riba dilakukan secara terang-terangan. Islam kemudian mengatur pelarangan riba secara bertahap.

Salah satu ayat Alquran yang menerangkan keharaman riba adalah surat Ali Imran ayat 130 yang berbunyi:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan” (QS. Ali Imran [3]: 130).

Ilustrasi melakukan riba. Foto: Freepik

Allah SWT juga memperingatkan bahwa Ia dan rasul-Nya memusuhi orang-orang yang riba.

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman. Maka jika kalian tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian. Dan jika kalian bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagi kalian pokok harta kalian, kalian tidak menzalimi dan tidak pula dizalimi.” (Al-Baqarah: 278-279).

Setelah mengetahui definisi dan hukum riba, maka penting untuk mengetahui jenis-jenis riba agar umat Islam tidak terjerumus pada dosa. Berikut ini adalah penjelasan macam-macam riba:

Mengutip dari jurnal Riba dan Dampaknya dalam Masyarakat dan Ekonomi, riba terbagi menjadi empat macam yaitu riba nasiah, riba fadhal, riba qardhi, dan riba yadh. Berikut ini adalah penjelasannya:

Ilustrasi kesusahan akibat riba. Foto: Pixabay

Riba nasiah adalah tambahan yang diambil karena penundaan pembayaran utang untuk dibayarkan pada tempo yang baru.

Contohnya Ali meminjam dana kepada Budi sebesar Rp 500.000 dengan jangka waktu atau tenor selama 1 bulan. Apabila pengembalian dilakukan lebih dari satu bulan, maka cicilan pembayaran ditambah sebesar Rp 5000.

Riba fadhal adalah riba yang diambil dari kelebihan pertukaran barang sejenis yang barangnya sama, tetapi jumlahnya berbeda. Contohnya yaitu menukar 3 kg gandum berkualitas baik dengan 4 kg gandum yang sudah berkutu.

Riba qardhi adalah meminjam uang kepada seseorang dengan syarat ada kelebihan atau keuntungan yang harus diberikan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman.

Misalnya seseorang meminjam uang sebesar Rp 1 juta, kemudian diharuskan membayar Rp. 1.300.000 dan kelebihan dana pengembalian ini tidak dijelaskan tujuannya untuk apa. Tambahan bunga 300.000 ini yang dinamakan riba qardhi.

Ilustrasi uang. Foto: Shutterstock

Riba yadh terjadi saat proses jual-beli barang ribawi maupun non ribawi disertai penundaan serah terima kedua barang yang ditukarkan atau penundaan terhadap penerimaan salah satunya. Dengan kata lain kedua belah pihak yang melakukan pertukaran telah berpisah dari tempat akad sebelum diadakan serah terima.

Riba yadh terjadi apabila saat transaksi tidak ada penegasan berapa nominal harga pembayaran. Singkatnya tidak ada kesepakatan sebelum serah terima.

Contohnya Adi menjual mobilnya. Ia memberi penawaran harga Rp70 juta jika dibeli tunai dan Rp76 juta jika dibeli dengan sistem pembayaran dicicil. Kemudian penjual dan pembeli tidak menegaskan berapa yang harus dibayarkan hingga akhir transaksi.

Terdapat 5 ketentuan agar utang-piutang aman dari riba yang diharamkan.

Republika/Musiron

Terdapat 5 ketentuan agar utang-piutang aman dari riba yang diharamkan. Bunga Bank (ilustrasi).

Rep: Ali Yusuf Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA— Perbuatan riba merupakan dosa besar yang akan mendapat laknat Allah SWT dan Rasulullah SAW jika tidak segera ditinggalkan. Umat Islam mesti meninggalkan bermualah yang memiliki unsur riba.

Baca Juga

"Yang menghalalkan riba telah kafir dan yang melakukannya fasik, serta mendapat lima dosa sekaligus," kata Ustaz Ahmad Sarwat Lc MA dalam bukunya. "Hukum Bermualamah Dengan Bank Konvensiona".  

Ustadz Ahmad mengatakan, secara garis besarnya riba ada dua macam, yaitu riba yang terkait dengan jual-beli yang disebut riba fadhl dan riba yang terkait dengan peminjaman uang disebut riba nasiah. "Inti riba nasi’ah adalah pinjaman uang yang harus ada tambahan dalam pengembaliannya," katanya.

Nasi'ah berasal dari kata nasa'i yang artinya penangguhan. Ustadz Ahmad mencontohkan misalnya A memberi utang berupa uang kepada B, dengan ketentuan harus dengan tambahan prosentase bunganya.

"Riba dalam nasi'ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian," katanya.

Menurut Ustadz Ahmad untuk bisa dianggap sebagai riba nasi’ah secara benar dan akurat, setidaknya harus ada lima ketentuan yang terpenuhi.

1. Utang

Tidaklah disebut riba nasi’ah kalau akadnya bukan utang-piutang. Misalnya A pinjam uang dari B, lalu B harus membayar lebih dari jumlah yang dia pinjam.

"Namun kalau yang terjadi bukan pinjam melainkan titip uang, kasusnya sudah keluar dari riba," katanya. 

Ia mencontohkan, misalnya A titip uang 10 juta kepada B. Jelas sekali akadnya bukan utang melainkan titipan. Seandainya saat pengembaliannya B memberi tambahan kepada A menjadi 11 juta, kasus ini tidak bisa dihukumi sebagai riba. "Sebab riba itu hanya terjadi kalau kasusnya pinjam meminjam atau hutang," katanya.

2. Berupa uang

Utang yang dimaksud di atas hanya sebatas pada utang dalam wujud uang, baik emas perak di masa lalu atau pun uang kertas di masa sekarang. Sederhananya harus berupa benda yang berfungsi sebagai alat pembayaran dalam jual-beli.

Sedangkan utang dalam wujud benda-benda, barang atau aset-aset, misalnya rumah, kendaraan, tanah, dan lainnya, tidak berlaku riba meski saat pengembaliannya ada tambahan atau kelebihan yang harus dibayarkan.

Sebab pinjam benda yang harus ada tambahannya masuk ke dalam akad sewa menyewa, atau disebut dengan ijarah. "Dan ijarah adalah akad yang dihalalkan dalam agama," katanya.

3. Tambahan menjadi syarat di awal

Titik keharaman riba nasi’ah ini sebenarnya ada pada syarat yang disepakati di awal, di mana harus ada tambahan dalam pengembaliannya.

Seandainya tambahan itu tidak disyaratkan di awal dan terjadi begitu saja, ini pun juga bukan termasuk riba yang diharamkan. 

Karena dasarnya adalah kasus yang terjadi pada Rasulullah SAW, ketika beliau meminjam seekor unta yang masih muda (kecil) dari seseorang. Giliran harus mengembalikan, ternyata Beliau tidak punya unta yang muda. "Maka diberikanlah unta yang lebih tua (besar)," tulis Ustadz Ahmad.  

Hadits ini, kata dia, menunjukkan bahwa seandainya kelebihan atau tambahan ini diberikan begitu saja, tidak lewat syarat atau kesepakatan sebelumnya, maka tidak menjadi riba.

4. Tambahan yang menjadi kebiasaan 

Namun meski tidak disyaratkan saat akad peminjaman, tetapi bila sudah jadi kebiasaan (’urf) yang berlaku, sehingga setiap pinjam selalu ada tambahan yang diberikan, maka ini termasuk riba yang diharamkan. Memang tidak disyaratkan, tetapi kalau sudah jadi kebiasaan, hukumnya menjadi tidak boleh.

5. Tidak dalam kasus inflasi

Di masa sekarang kita mengenal ada inflasi yang ekstrem, sehingga membuat nilai mata uang anjlok. Misalnya pinjam uang senilai Rp 10 juta pada 1970. Kalau sampai 50 tahun kemudian belum dikembalikan, apakah pengembaliannya tetap 10 juta ataukah harus disesuaikan dengan nilainya di hari ini?

Pada 1970 uang 10 juta bisa beli rumah lumayan besar. Tapi uang segitu di 2020 cuma cukup buat beli pintu gerbangnya saja. Maka hal ini membuat para ulama berbeda pendapat. "Ada yang keukeuh hanya boleh dibayar 10 juta saja," katanya.

Akan tetapi ada juga yang lebih realistis dan membolehkan pengembaliannya disesuaikan dengan nilai yang setara di hari ini.