Daftar Pustaka Buku A. Ahsin Thohari. (2004). Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, Jakarta: Elsam. A. Mukti Arto. (2001). Konsepsi Ideal Mahkamah Agung, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Abdul Wahid, dan Moh. Muhibbin. (2009). Etika Profesi Hukum, Rekonstruksi Citra Peradilan di Indonesia, Malang: Bayumedia Publishing. Achmad Edisubiyanto. (2012). Mendesain Kewenangan Kekuasaan Kehakiman Setelah Perubahan UUD 1945, Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 4, Desember 2012, Jakarta: Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI. Bagir Manan. (1995). Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Bandung: LPPM Universitas Islam Bandung. Bambang Sutiyoso & Sri Puspitasai. (2005). Aspek-aspek Pengembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Yogyakarta: UII Press. Imam Anshori Saleh. (2014). Konsep Pengawasan Kehakiman, Setara Press, Malang. Jimly Asshiddiqie. (2005). Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. Jimly Asshiddiqie. (2007). Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Buana Ilmu Popular. Komisi Yudisial. (2007). Mendorong terwujudnya Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka., Bulletin, Volume I Nomor 5 April 2007, Jakarta: Komisi Yudisial. Ma’shum Ahmad. (2009). Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, Yogyakarta: Total Media. Moh. Mahfud MD. (2002). Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta: LP3ES. Moh. Mahfud MD. (2009). Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, Jakarta: Rajawali Pers. Moh. Mahfud MD, (2011). Politik Hukum di Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Muhammad Tahir Azhary. (1992). Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Jakarta: Bulan Bintang. Sri Soemantri. (1993). Tentang Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945, Bandung: Citra Aditya Bakti. Perundang-Undangan Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; ---------, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; ---------, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; ---------, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial; ---------, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung; Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009;
ABSTRAKSI Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya praktek penyalahgunaan wewenang di badan peradilan cenderung menguat dan merusak seluruh sendi peradilan yang mengakibatkan menurunnya kewibawaan dan kepercayaan badan peradilan terhadap masyarakat dan dunia internasional. Terjadinya praktek penyalahgunaan wewenang di lembaga peradilan disebabkan oleh banyak faktor antara lain dan terutama adalah tidak efektifnya pengawasan internal (fungsional) yang ada di badan peradilan. Disadari bahwa tidak efektifnya fungsi pengawasan internal badan peradilan pada dasarnya disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu adanya semangat membela sesama korps (esprit de corps) dan tidak adanya kehendak yang sungguh-sungguh dari pimpinan badan. Oleh karena itu, dibutuhkan kehadiran suatu lembaga khusus yang menjalankan fungsi pengawasan eksternal terhadap hakim. Lembaga khusus tersebut adalah Komisi Yudisial. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang bertujuan untuk mendiskripsikan dan mengkaji asas-asas hukum, taraf sinkronisasi hukum, sistematika hukum, perbandingan hukum, dan sejarah hukum tentang pengaturan kewenangan Komisi Yudisial serta pengaturan fungsi Komisi Yudisial Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Ada perbedaan rumusan mengenai pengaturan kewenangan Komisi Yudisial yang diatur dalam pasal 24B UUD 945 dan pasal 13 UU No 22 Tahun 2004. Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 dikatakan bahwa â€ÂKomisi Yudisial mempunyai wewenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)â€Â. Padahal dalam pasal 24B UUD 1945 dinyatakanâ€ÂKomisi Yudisial bersifat mandiri dan berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung. Dari segi kewenangan yang kedua, pasal 24B UUD 1945 menentukan â€ÂKomisi Yudisial mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakimâ€Â. Dari ketentuan ini dapat dielaborasi menjadi (i) menjaga kehormatan hakim; (ii) menjaga keluhuran martabat hakim; (iii) menjaga perilaku hakim; (iv) menegakkan kehormatan hakim; (v) menegakkan keluhuran martabat hakim; dan (vi) menegakkan perilaku hakim. Dalam kata â€Âmenjaga†terkandung pengertian tindakan yang bersifat preventif, sedangkan dalam kata â€Âmenegakkan†terdapat pengertian tindakan yang bersifat korektif. Karena itu, tiga kewenangan yang pertama bersifat preventif atau pencegahan, sedangkan tiga yang kedua bersifat korektif. Namun didalam rumusan pasal 13 UU No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial huruf b, rumusan salah satu kewenangan Komisi Yudisial tersebut diubah menjadi “menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim†. jika dielaborasi cakupannya menjadi jauh lebih sempit, yaitu hanya (i) menegakkan kehormatan hakim; (ii) menegakkan keluhuran martabat hakim; dan (iii) menjaga perilaku hakim. Ini menunjukkan bahwa pembentuk Undang-undang telah mengabaikan asasâ€Âkejelasan rumusan†yang mensyaratkan bahwa setiap peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan Perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas, dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Substansi pengaturan fungsi pengawasan Komisi Yudisial Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 sekurang-kurangnya harus mencakup tiga hal yaitu: (1) Obyek Pengawasan Komisi Yudisial adalah semua hakim yang meliputi Hakim pada Mahkamah Agung, hakim pada badan peradilan yang ada di bawah Mahkamah Agung dalam lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan Hakim Pada Mahkamah Konstitusi; (2) Ruang Lingkup Pengawasan Komisi Yudisial adalah sebatas â€Âperilaku hakim†bukan teknis yudisial. Untuk itu Komisi Yudisial tidak boleh memasuki teknis yudisial dengan mengkaji putusan yang independensinya dijamin secara konstitusional; (3) Pedoman Pengawasan perilaku hakim oleh Komisi Yudisial ditetapkan melalui Code of Ethics. [newpage] BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang menjamin kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjalankan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu substansi penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah adanya Komisi Yudisial. Praktek penyalahgunaan wewenang di badan peradilan cenderung menguat dan merusak seluruh sendi peradilan, mengakibatkan menurunnya kewibawaan dan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap badan peradilan. Keadaan badan peradilan yang demikian tidak dapat dibiarkan terus berlangsung, perlu dilakukan upaya-upaya yang luar biasa yang berorientasi kepada terciptanya badan peradilan dan hakim yang sungguh-sungguh dapat menjamin masyarakat dan pencari keadilan memperoleh keadilan, dan diperlakukan secara adil dalam proses pengadilan sesuai peraturan perundang-undangan. Disadari bahwa terjadinya praktek penyalahgunaan wewenang di lembaga peradilan sebagaimana dikemukakan di atas, disebabkan oleh banyak faktor antara lain dan terutama adalah tidak efektifnya pengawasan internal (fungsional) yang ada di badan peradilan. Sehingga tidak terbantahkan, bahwa pembentukan Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal didasarkan pada lemahnya pengawasan internal tersebut. Menurut Mas Achmad Santosa, bahwa lemahnya pengawasan internal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1) kualitas dan integritas pengawas yang tidak memadai, (2) proses pemeriksaan disiplin yang tidak transparan, (3) belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan untuk menyampaikan pengaduan, memantau proses serta hasilnya (ketiadaan akses), (4) semangat membela sesama korps (esprit de corps) yang mengakibatkan penjatuhan hukuman tidak seimbang dengan perbuatan. Setiap upaya untuk memperbaiki suatu kondisi yang buruk pasti akan mendapat reaksi dari pihak yang selama ini mendapatkan keuntungan dari kondisi yang buruk itu, dan (5) tidak terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga penegak hukum untuk menindak-lanjuti hasil pengawasan. Beranjak dari pendapat di atas, menunjukkan bahwa tidak efektifnya fungsi pengawasan internal badan peradilan pada dasarnya disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu adanya semangat membela sesama korps (esprit de corps) dan tidak adanya kehendak yang sungguh-sungguh dari pimpinan badan peradilan untuk menindaklanjuti hasil pengawasan internal terhadap hakim, sehingga membuka peluang bagi hakim yang terbukti melakukan pelanggaran hukum dan kode etik untuk mendapat “pengampunan†dari pimpinan badan peradilan yang bersangkutan, sehingga tidak dikenakan sanksi sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, dibutuhkan kehadiran suatu lembaga khusus yang menjalankan fungsi pengawasan eksternal terhadap hakim. Lembaga khusus tersebut adalah Komisi Yudisial. Dibentuknya Komisi Yudisial pada perubahan ke 3 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan reaksi terhadap kegagalan sistem peradilan untuk menciptakan peradilan yang lebih baik. Kegagalan sistem peradilan tersebut menyangkut banyak aspek mulai dari aspek kelembagaan, aspek substansi dan aspek budaya hukum. Aspek kelembagaan antara lain mencakup sub aspek pengawasan baik pengawasan administrasi, teknis yudisial maupun perilaku hakim. Pengawasan perilaku hakim yang dilakukan Ketua Muda Urusan Pengawasan dan Pembinaan (TUADA WASBIN) dipandang belum berhasil. Kegagalan sistem pengawasan sebagaimana tersebut diatas yang kelihatannya belum dapat diatasi oleh Mahkamah Agung, namun dilain pihak pada waktu yang bersamaan juga dilaksanakan konsep peradilan satu atap (one roof system) yang justru menimbulkan kekhawatiran terjadinya monopoli kekuasaan di Mahkamah Agung. Situasi dan kekhawatiran tersebut mendorong lahirnya gagasan ke arah pembentukan lembaga independen yang berada diluar Mahkamah Agung, yang dapat mengimbangi agar tidak terjadi monopoli ke kuasaan pada lembaga tersebut. Dalam rangka merealisasikan gagasan tersebut dibentuklah Komisi Yudisial yang diharapkan menjadi “external auditorâ€Â, yang dapat mengimbangi pelaksana kekuasaan kehakiman. Adanya sistem pengawasan dan saling imbang dalam sistem kekuasaan kehakiman tersebut diharapkan dapat mendorong terciptanya peradilan yang lebih baik. Sebagai pelaku utama badan peradilan, maka posisi dan peran hakim agung dan hakim menjadi sangat penting, terlebih dengan segala kewenangan yang dimilikinya sangat memerlukan pengawasan yang efektif. Melalui putusannya, seorang hakim misalnya: dapat mengalihkan hak kepemilikan seseorang, mencabut kebebasan warga negara, menyatakan tidak sah tindakan sewenang-wenang pemerintah terhadap masyarakat, sampai dengan memerintahkan penghilangan hak hidup seseorang, dan lain-lain. Oleh karena itu, wewenang dan tugas yang dimiliki oleh hakim harus dilaksanakan dalam rangka menegakkan hukum, kebenaran, dan keadilan sesuai kode etik tanpa pandang bulu dengan tidak membeda-bedakan orang seperti diatur dalam lafal sumpah seorang hakim, di mana setiap orang sama kedudukannya di depan hukum (equality before the law) dan hakim. Kewenangan hakim yang sangat besar itu menuntut tanggungjawab yang tinggi, sehingga putusan pengadilan yang diucapkan dengan irah-irah “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa†mengandung arti bahwa kewajiban menegakkan kebenaran dan keadilan itu wajib dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada semua manusia, dan secara vertikal dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Untuk dapat melaksanakan semua fungsinya secara efektif, hakim tentu membutuhkan kepercayaan dari masyarakat dan pencari keadilan. Hanya dengan adanya kepercayaan itulah pengadilan dapat menyelesaikan perkara melalui jalur hukum dengan baik. Kepercayaan terhadap lembaga peradilan tidaklah muncul dengan sendirinya, tetapi harus melalui berbagai pembuktian bahwa badan peradilan dan hakim sungguh-sungguh menjunjung tinggi hukum serta menegakkan kebenaran dan keadilan secara benar dan konsisten. Oleh karenanya, dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan itu, maka hakim sebagai pelaksana utama dari fungsi pengadilan, harus mempunyai komitmen, tekad, dan semangat dalam membersihkan badan peradilan dari segala bentuk penyalahgunaan wewenang dalam rangka memulihkan kewibawaan badan peradilan dan upaya memulihkan kepercayaan masyarakat kepada hakim. Salah satu hal penting yang disorot masyarakat untuk mempercayai hakim, adalah perilaku dari hakim yang bersangkutan, baik dalam menjalankan tugas yudisialnya maupun dalam kesehariannya. Karena itu setiap hakim harus menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dalam rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Terkait dengan tugas Mahkamah Konstitusi untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, pada tanggal 10 Maret 2006 terdapat pengajuan permohonan ke Mahkamah Konstitusi oleh 31 Hakim Agung terhadap peninjauan atas Undang-Undang No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dengan registrasi nomor 005/ PUU-IV/2006. Dalam permohonan tersebut, 31 Hakim Agung mengajukan judicial review atas pasal 1 angka 5, pasal 20, pasal 21, pasal 22 ayat (1) dan (5), pasal 23 ayat (2), (3), dan (5), pasal 24 ayat (1), pasal 25 ayat (3) dan (4) Undang- Undang No. 22 tahun 2004 tentang Komisi yudisial dan pasal 34 ayat (3) Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 005/ PUU/IV-2006, menyatakan bahwa: Pertama: permohonan para pemohon menyangkut perluasan pengertian hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang meliputi hakim konstitusi bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, hakim konstitusi tidak termasuk dalam pengertian hakim yang perilaku etiknya diawasi oleh Komisi Yudisial. Pengawasan Komisi Yudisial terhadap hakim Mahkamah Konstitusi akan mengganggu dan memandulkan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pemutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara; Kedua: permohonan para pemohon menyangkut pengertian hakim menurut Pasal 24 B ayat (1) UUD 1945 tidak cukup beralasan. Oleh karena itu, permohonan para pemohon sepanjang menyangkut hakim agung tidak terdapat cukup alasan untuk mengabulkannya. Mahkamah Konstitusi tidak menemukan dasar konstitusionalitas dihapuskannya pengawasan Komisi Yudisial terhadap hakim agung; Ketiga: Menyangkut fungsi pengawasan, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa segala ketentuan dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Undang- Undang Komisi Yudisial yang menyangkut pengawasan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena terbukti menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid). Putusan MK Nomor 005/ PUU-IV/2006, tanggal 23 Agustus 2006, telah membawa perubahan terhadap Komisi Yudisial, Mahkamah Agung, dan terhadap sistem hukum Indonesia. Perubahan terbesar dialami oleh Komisi Yudisial, yaitu menyangkut pembatalan fungsi pengawasan Komisi Yudisial. Dengan adanya pembatalan tersebut, mengakibatkan terjadinya kekosongan hukum (rechts vakum) yang berfungsi sebagai dasar pijakan Komisi Yudisial untuk melaksanakan pengawasan terhadap perilaku hakim, sehingga diperlukan secepatnya revisi Undang- Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial khususnya pasal-pasal yang berkaitan dengan fungsi pengawasan.1.2. Rumusan Masalah Dari paparan di atas ada beberapa hal yang dapat penulis angkat sebagai masalah yaitu:
1.3. Tujuan Penelitian Beberapa permasalahan tersebut di atas menurut peneliti perlu dan mendesak untuk diteliti dengan maksud dan tujuan untuk:
1.4. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah:
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teori Negara Hukum Jika dirunut ke belakang, maka faham negara hukum sebetulnya merupakan konsep yang sudah lama menjadi discourse para ahli. Plato mengemukakan konsep nomoi yang dapat dianggap sebagai cikal bakal pemikiran tentang negara hukum. Sedangkan Ariestoteles mengemukakan ide negara hukum yang dikaitkan dengan arti negara yang dalam perumusannya masih terkait pada polis. Bagi Ariestoteles yang memerintah dalam negara bukanlah manusia, melainkan pikiran yang adil dan kesusilaanlah yang menentukan baik buruknya suatu hukum. Istilah rechtstaat (negara hukum) merupakan istilah baru, baik jika dibandingkan dengan istilah demokrasi, konstitusi, maupun kedaulatan rakyat. Para ahli telah memberikan pengertian tentang negara hukum. R. Supomo misalnya memberikan pengertian terhadap negara hukum sebagai negara yang tunduk pada hukum, peraturan-peraturan hukum berlaku pula bagi segala badan dan alat-alat perlengkapan negara. Negar hukum juga akan menjamin tertib hukum dalam masyarakat yang artinya memberikan perlindungan hukum, antara hukum dan kekuasaan ada hubungan timbal balik. Konsepsi negara hukum merupakan gagasan yang muncul untuk menentang absolutisme yang telah melahirkan negara kekuasaan. Pada pokoknya kekuasaan penguasa (raja) harus dibatasi agar jangan memperlakukan rakyat dengan sewenang-wenang. Pembatasan itu dilakukan dengan jalan adanya supremasi hukum, yaitu bahwa segala tindakan penguasa tidak boleh sekehendak hatinya , tetapi harus berdasar dan berakar pada hukum, menurut ketentuan hukum dan Undang-undang yang berlaku dan untuk itu juga harus ada pembagian kekuasaan negara khususnya kekuasaan yudikatif yang dipisahkan dari penguasa. Menurut M. Tahir Azhary, dalam kepustakaan ditemukan lima konsepsi negara hukum, yakni:
Sedangkan Bagir Manan memandang “kontrol†sebagai sebuah fungsi sekaligus hak, sehingga lazim disebut dengan fungsi kontrol atau hak kontrol. Kontrol mengandung dimensi pengawasan dan pengendalian. Pengawasan bert |