Ketika ada yang menghina kitab suci al quran bagaimana sebaiknya sikap kamu

Oleh  :  Dr. Wardani*

Ada adagium lama yang terdengar sangat indah: relevan dengan setiap waktu dan tempat” (shâlih li kulli zamân wa makân). Hal ini perlu dipertanyakan karena beberapa alasan. Pertama, tuntutan realitas selalu berkembang yang meniscayakan peninjauan ulang selalu terhadap pemikiran fiqh, karena sebagai pemikiran manusia atau ijtihadi tidak bisa diandaikan bahwa produk suatu pemahaman yang hidup dalam konteks sosio-historis dan politis tertentu adalah final. Tidak ada finalitas dalam pemikiran fiqh sejauh yang menyangkut konstruksi manusia di dalamnya.

Kedua, adagium itu hanya akan menjadikan fiqh sebagai dogmatisme teks-teks para ahli fiqh (nushûsh al-fuqahâ`) yang sebagiannya telah usang dan menjadi dianggap “suci”. Jika dianggap “suci”, maka tidak boleh dipertanyakan lagi. Anggapan keliru itulah yang menjadikan fiqh terbenam dalam kebekuan, kejumudan, statis, fanatisme mazhab, dan pertentangan antaraliran yang berujung pencelaan dan penghujatan.

Ketiga, adagium itu tidak berlaku karena melihat fakta stagnasi fiqh yang antara lain bercirikan jeratan konteks politis, terutama respon doktrinal Islam terhadap keberadaan komunitas agama-agama lain dalam fase perkembangan formatif fiqh yang kemudian melahirkan formulasi ajaran fiqh yang kini tidak hanya dirasakan sangat ketinggalan, tapi juga sangat diskriminatif dalam konteks keragaman.

Sebagai contoh, apa yang kemudian disebut sebagai fiqh jihad (fiqh al-jihâd) menjadi bagian penting dalam sistematika fiqh Islam klasik yang menyebutkan bahwa jihad merupakan kewajiban yang harus diembankan oleh kaum muslimin sampai hari kiamat. Bahkan, Imam Samudra pernah menuding kaum muslimin selama ini menyembunyikan kewajiban jihad itu. Banyak dari ajaran fiqh tentang relasi dengan komunitas lain kini benar-benar telah usang.

Doktrin fiqh seperti itu harus dipahami dalam konteks yang lebih luas, yaitu konteks sosio-politis masyarakat Islam awal, sehingga doktrin seperti itu lebih banyak merepresentasikan sikap politik yang kemudian “diwadahi” atau dijustifikasi dengan kewajiban doktrinal dengan interpretasi dan justifikasi keilmuan Islam lain yang kemudian secara otomatis melembagakan kekerasan. Imam Samudra, misalnya, menjustifikasi kewajiban “jihad mekanisnya” (baca: perang) dengan mengutip penjelasan Ibn Katsîr dalam tafsirnya tentang ayat-ayat perintah perang untuk menghilangkan fitnah yang ditafsirkan dengan polytheisme (syirk) yang membenarkan perang terhadap semua non-muslim. Ironisnya, perintah perang tersebut dijustifikasi oleh para pemuka Islam generasi awal pada masa pembentukan ilmu-ilmu tafsir dan ditransmisikan secara tidak kritis kepada generasi para penafsir, termasuk Ibn Katsîr, sebagai bagian keilmuan yang harus diikuti dengan perangkat seperti teori “penghapusan” (naskh, abrogation) semua ayat-ayat al-Qur’an yang dikatakan mencapai seratus dua puluh empat ayat yang berisi sikap rekonsiliatif dan inklusif kaum muslimin dengan “ayat pedang” (âyat as-sayf) pada QS. at-Tawbah: 5. Dengan kondisi yang tidak pas seperti itu, sulit untuk membantah beberapa kritik tajam Barat, seperti dilontarkan oleh Zwemer, perintis terbitnya The Muslim World sejak 1911, sebuah jurnal kalangan islamisis terkemuka: “Pedang Mahomet [Muhammad] dan al-Qur’an adalah musuh yang paling fatal bagi peradaban, kebebasan, dan kebenaran yang pernah dikenal oleh dunia” (The Muslim World, vol. xxi, April 1931, no. II, h. 109).

Apalagi, Ibn ‘Abidîn, seorang penulis fiqh terkenal beraliran Hanafi, menyimpulkan bahwa pada permulaan karirnya, Muhammad  mempropagandakan agama Islam dengan pengajaran, dengan dakwah, dan argumen. Pada beberapa surah yang turun lebih awal, tegas Ibn ‘Abidîn, ia mengatakan bahwa ia hanyalah seorang pemberi peringatan. Akan tetapi, ketika ia memperoleh kekuasaan, ia juga merasa sadar sebagai seorang penguasa baru dan memutuskan untuk menggunakan pedang. Nah, dengan adanya mata-rantai atau siklus kekerasan yang terlembagakan melalui silang keilmuan tersebut, akhirnya, usaha para ulama membendung kritik Barat tersebut sulit dilakukan, apalagi problem historis penyebaran Islam. Model pemahaman yang salah tersebut kemudian ditransmisikan dari generasi ke generasi hingga melahirkan pelbagai gerakan Islam garis keras.

Dengan nalar para ahli yang tidak kritis terhadap warisan pendahulunya, termasuk generasi sahabat, tabi’ûn, dan atbâ’ at-tâbi’în di mana ilmu-ilmu Islam dinormatifkan, fiqh menjadi institusi pembenaran kekerasan yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi dasar vitalnya. Ayat perang dengan justifikasi ilmu tafsir melahirkan dikotomi tajam “wilayah Islam” (dâr al-Islâm) vs “wilayah perang” (dâr al-harb) yang menjadi titik-tolak munculnya semua diskriminasi terhadap non-muslim. Dengan bertolak dari kerangka berpikir seperti itu, al-Syîrâzî, penulis al-Muhazzab, misalnya memformulasi ajaran fiqh Syafi’iyah tentang pembatasan gerak non-muslim, seperti: tidak boleh membangun rumah yang tingginya melebihi tinggi rumah kaum muslimin, tidak boleh berpakaian yang lebih baik, seperti dengan memakai kopiah, dan jika mereka memakai kopiah, bagian dari kopiah yang dipakai oleh non-muslin tersebut harus dirobek.

Dalam aturan fiqh yang dikatakan didasarkan hadis yang dipahami keliru dibuat aturan tentang tidak boleh menjawab salam dari non-muslim dan jika berpapasan di jalan, mereka harus didesak ke pinggir jalan yang sempit. Imam an-Nawawi dari mazhab Syafi’i dalam al-Azkar bahkan berijtihad aneh, yaitu jika seorang muslim terlanjur memberi salam atau menjawab salam dari non-muslim, ia harus meralatnya dengan mengatakan: “Kembalikan salamku!” (rudda ‘alayya salâmî). Tujuannya adalah untuk menunjukkan rasa permusuhan. Jika fiqh dibangun di atas tujuan tersebut, tak heran bahwa ijtihad yang dilakukan juga melahirkan fiqh kekerasan.

Memperbarui Fiqh

Fiqh dengan formulasi lama seperti itu adalah bagian dari potret fiqh yang telah usang. Kini perlu mengembalikan dari apa yang diistilahkan oleh Fazlur Rahman sebagai legal spesific (rincian hukum fiqh) ke ideal moralnya atau nilai-nilai moralnya (moral values). Kemanusiaan yang menjadi inti ajaran fiqh, bahkan menjadi inti ajaran Islam, harus menjadi titik-tolak memperbarui fiqh lama menuju fiqh yang lebih bisa menerima keberadaan komunitas lain. Lagi pula, menerima keberadaan yang lain tidak menghilangkan keberadaan kaum muslimin sendiri. Bahkan, sebaliknya, penolakan keberadaan orang lain hanya akan merendahkan martabat kaum muslimin sendiri dan martabat fiqh. Memang, di satu sisi kita harus jalan pikiran para ulama masa lalu, seperti situasi sulit selama momen-momen melelahkan secara psikologis pada era Perang Salib. Akan tetapi, waktu telah berubah dan tempat juga berbeda, sehingga hal itu menghendaki juga perubahan formulasi hukum dengan spirit etis al-Qur`an sendiri.

Pembaruan fiqh berarti menakar kembali kadar kemanusiaan dalam formulasi hukum fiqh. Semangat inilah yang bisa kita tangkap dari kritik para intelektual Islam terhadap fiqh, seperti Muhammad Syahrûr dan Sa’îd al-‘Asymâwî. Yûsuf al-Qaradhâwî pernah menulis Fiqh al-Aqaliyyat al-Muslimah yang hanya membahas komunitas muslim. Pembaruan fiqh diperlukan dalam bingkai kemanusiaan dan pluralitas agama, budaya, dan etnis yang menjadi keniscayaan sepanjang zaman. Di samping itu, juga perlu mengembalikan fiqh ke nilai-nilai moralnya, dan dengan mempertimbangkan kembali konteks ruang dan waktu (locus and tempos) yang sebenarnya tidak selalu relevan untuk sekarang. Bahkan, konteks itu telah hilang dan berganti, seperti perumusan fiqh lama yang diliputi oleh semangat “terlalu menjaga” (over-protection, terlalu defensif, atau bahkan ofensif) untuk kepentingan keutuhan komunitas muslim berhadapan dengan komunitas-komunitas lain. Barangkali perumusan fiqh lama ini adalah karena konteks politis, seperti tampak dalam perhatian terhadap hal-hal yang simbolik—yang sebenarnya naïve–dalam rumusan al-Muhazzab tersebut.

Di petunjuk beribadah di masyarakat Banjar dalam bentuk parukunan, ada larangan memakai kacapiu (topi) dan tali leher (dasi), karena hal ini termasuk “binasa iman” (yang bisa menjadikan seorang muslim kehilangan imannya atau menjadi murtad). Memang, formulasi ini tidak lepas dari konteks pada waktu itu atau konteks sebelumnya yang berpengaruh kemudian, yaitu situasi kolonialisme Belanda pada waktu itu.

Langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah keberanian mempertanyakan kembali asumsi-asumsi atau teori-teori disiplin kelimuan yang melanggengkan kesalahan (baca: kekerasan) fiqh tersebut, termasuk mempertanyakan ortodoksi yang selalu menyandarkan secara tidak kritis beberapa asumsi atau teori disiplin keilmuan Islam ke generasi terdahulu, seperti justifikasi teori penghapusan seratus dua puluh empat ayat al-Qur’an tentang perintah bersikap inkulsif dengan “ayat pedang” dengan bersandar kepada ortodoksi sahabat dan generasi sesudahnya. Itu artinya bahwa pembaruan fiqh menghendaki juga pembaruan ilmu-ilmu lain yang terkait. Jika ini bisa dilakukan, akan lahir fiqh yang inklusif. Meski memutus cara berpikir yang salah dalam pikiran dari generasi ke generasi ini bukanlah soal yang gampang, tapi hal itu niscaya untuk dilakukan.

*Penulis adalah dosen pada Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Antasari Banjarmasin, Ketua Pusat Penelitian dan Publikasi Ilmiah LP2M UIN Antasari Banjarmasin

Apa hukum mencela Allah atau mencela Rasul-Nya, atau merendahkan keduanya? Dan apa hukum menentang satu saja dari perintah yang Allah wajibkan? Atau menghalalkan apa yang Allah haramkan? Mohon jelaskan kepada kami, karena banyak sekali hal ini terjadi di tengah masyarakat.

Syaikh menjawab:

Semua orang yang mencela Allah subhanahu wa ta’ala, apapun bentuk celaannya, atau mencela Rasulullah Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam, atau para Rasul yang lainnya, apapun bentuk celaannya, atau mencela Islam, atau merendahkan Allah atau Rasul-Nya, maka ia kafir dan murtad dari Islam. Walaupun orang tersebut mengaku Muslim. Ulama ijma’ (sepakat) akan hal ini. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ ۝ لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

“Katakanlah: apakah dengan ayat-ayat Allah dan Rasul-Nya, kalian berolok-olok? Tidak perlu minta maaf, kalian telah kafir setelah sebelumnya beriman” (QS. At Taubah: 65-66).

Al Allamah Abul Abbas Ibn Taimiyyah rahimahullah telah berpanjang lebar membahas masalah ini dalam kitab beliau berjudul Ash Sharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul. Siapa yang ingin mempelajari masalah ini lebih banyak beserta dalil-dalilnya, silakan merujuk pada kitab tersebut. Karena kitab ini agung dan penulisnya juga mulia, serta sangat luas ilmunya, rahimahullah.

Demikian juga hukum bagi orang yang menentang satu saja dari perintah yang Allah wajibkan, atau menghalalkan apa yang Allah haramkan yang termasuk perkara ma’lum minad diin bid dharurah (perkara yang secara gamblang diketahui oleh orang Muslim). Seperti menentang wajibnya shalat, menentang wajibnya zakat, menentang wajibnya puasa Ramadhan, menentang wajibnya haji bagi orang yang mampu, menentang wajibnya berbakti kepada orang tua, dan semisalnya, atau menghalalkan minum khamr, menghalalkan durhaka kepada orang tua, menghalalkan harta dan darah orang lain tanpa hak, menghalalkan riba, dan semisalnya, yang termasuk perkara  ma’lum minad diin bid dharurah, berdasarkan ijma ulama ia kafir murtad dari Islam, walaupun mengaku Muslim.

Para ulama telah berpanjang lebar dalam pembatal-pembatal keislaman ini, khususnya dalam bab tentang murtad. Mereka telah menjelaskan dalil-dalilnya. Siapa yang ingin mempelajarinya lebih lanjut, silakan merujuk kepada kitab-kitab para ulama dalam bab ini. Baik ulama dari kalangan Hanabilah, Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanafiyyah dan yang selain mereka. InsyaAllah akan didapatkan penjelasan yang memuaskan dari kitab-kitab mereka.

Dan tidak boleh memberikan udzur bil jahl kepada mereka. Karena ini perkara-perkara yang sudah gamblang diketahui oleh kaum Muslimin. Dan hukumnya sudah jelas dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam.

Wallahu waliyyut taufiq, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa aalihi wasallam.

(Majmu Fatawa wal Maqalat Mutanawwi’ah, 7/45).

Baca Juga: Menyikapi Penghina Nabi Di Negeri Non-Muslim

Sikap terhadap pencela agama

Soal:

Ketika ada da’i yang mendakwahkan Islam dan mendakwahkan tentang shalat, lalu ketika itu ada orang yang mencela agama dan menghina Rasul serta mencela Allah, bagaimana sikap kita?

Syaikh bertanya: siapa yang mencela?

Penanya:  yang mencela adalah yang didakwahi

Syaikh menjawab: 

Pertama, hendaknya dia dinasehati dan dijelaskan bahwasanya itu perbuatan kufur dan sesat. Orang-orang yang hadir juga hendaknya menasehatinya, berbicara dengannya dan menjelaskan kekeliruannya. 

Jika ia bertaubat, alhamdulillah. Jika tidak, maka diangkat perkaranya kepada pemerintah. Jika pemerintahnya menerapkan syari’at Allah, maka diangkat perkaranya kepada pemerintah. Untuk kasus seperti ini, pelaku harus diberi hukuman, bahkan dipenjara.

Namun jangan langsung serahkan kepada pemerintah, namun nasehati terlebih dahulu. Ajak bicara ia dengan perkataan tegas jika ia terus-menerus melakukan perbuatan batil tersebut. Ancam dia bahwa ia akan dilaporkan kepada ulil amri. Mudah-mudahan ia mau kembali ke jalan yang benar.

Karena mencela agama itu perbuatan riddah (mengeluarkan pelakunya) dari Islam, na’udzubillah. Mencela Rasulullah juga perbuatan riddah dari Islam. Andaikan seseorang mengatakan: “Rasulullah tidak paham masalah seperti ini, tidak tahu masalah ini…”, atau mengatakan: “Rasulullah orang kampung, tidak paham masalah seperti ini dan itu…” ini adalah riddah dari Islam, dan merupakan kufur akbar,  na’udzubillah. 

Atau seseorang mengatakan: “Aturan syariat ini tidak benar…”, “Aturan syariat ini tidak cocok untuk zaman sekarang…”, “Syariat ini itu hanya cocok untuk zaman dulu…”, ini juga riddahna’udzubillah.

Sumber: https://bit.ly/2PJZ6YH 

Baca juga: Siapa Yang Berhak Menghukum Penghina Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam?

Pencela agama, jika ia shalat apakah dianggap bertaubat?

Soal:

Bagaimana hukum orang yang pernah mencela agama atau mencela Allah? Namun ketika datang waktu shalat, ia pun berwudhu dan shalat wajib. Apakah dengan ia melaksanakan shalat wajib dapat dianggap bahwa ia telah mengumumkan taubatnya?

Syaikh menjawab: 

Mencela agama dan mencela Allah adalah kemurtadan yang besar. Sekali lagi saya katakan, ini kemurtadan yang besar dari Islam. Na’udzubillah.

Yang wajib dilakukan oleh pelakunya adalah bersegera untuk bertaubat, menyesal dan berhenti melakukan perbuatan tersebut. Tidak cukup dengan shalat. Karena shalat belum memenuhi (syarat taubat dari murtad). Namun wajib bertaubat dengan tulus atas perbuatan yang ia lakukan. Dan bertekad untuk tidak mengulang lagi perbuatan tersebut. Karena perbuatan jahat yang ia lakukan ini sangat fatal. Maka tidak boleh bermudah-mudahan dalam perkara ini. Wajib bagi dia untuk taubat dengan segera.

Dan hakikat dari taubat adalah menyesal atas perbuatan yang telah dilakukan, dengan penuh menyesal dan kesedihan yang mendalam karena telah melakukannya. Disertai tekad yang tulus untuk tidak mengulanginya lagi. Dan sebelum ia lakukan ini semua, shalatnya tidaklah sah. Karena shalatnya dianggap sebagai shalat orang yang kafir. Maka wajib untuk bertaubat sebelum ia shalat. 

Baca Juga:

Sumber: https://bit.ly/2XTfNFF 

***

Penerjemah: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

🔍 Tata Cara Tayammum, Ciri Wanita Muslimah, Adab Azan, Muslimah Sabar, Wisma Yogyakarta