Ke arah manakah seni dalam Islam harus ditimbulkan

Ke arah manakah seni dalam Islam harus ditimbulkan
Sumber gambar :www.goodreads.com/

Secara umum pengertian seni adalah ungkapan ekspresi manusia yang memuat unsur keindahan dan diungkapkan melalui berbagai media. Seni dapat terbagi menjadi beberapa cabang, yaitu seni audio (seni musik atau seni suara), seni visual atau seni rupa (lukisan, ukiran, patung), seni audio-visual (seni tari, drama, teather, film), dan seni kesusastraan (puisi, syair).

Unsur yang paling utama dari sebuah seni adalah adanya unsur keindahan yang menjadi sebuah sarana pemenuhan kebutuhan rohaniah manusia. Berbicara keindahan sifatnya relatif, artinya tergantung aspek subyektifitas setiap manusia.

Indah menurut seseorang, belum tentu indah menurut orang lain, dan begitupun sebaliknya. Namun, setiap manusia secara fitrah pasti menyukai keindahan, baik yang sifatnya audio, visual, maupun audio visual.

Dalam Islam, seni adalah sebuah perkara “DUNYA” bukan perkara akhirat. Sehingga Islam tidak memberikan teori atau ajaran secara rinci tentang seni dan estetika. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “ kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.” (HR. Muslim)

Baca Juga: Qasidah, Seni Islami Sarana Menggapai Prestasi

Hukum dasar dari kesenian adalah mubah (boleh), karena ia adalah masalah “DUNYA”. Kebutuhan akan kesenian merupakan fitrah manusia yang menyukai keindahan. Namun demikian, sebagai muslim kita mempunyai batasan-batasan dalam menikmati sebuah karya seni.

Karya seni yang bernilai mubah tadi bisa berubah menjadi haram, manakala mengandung unsur-unsur yang diharamkan Allah Subhanahu wata’ala. Misalnya, sebuah karya seni yang mengandung unsur kemusyrikan karena ditujukan untuk pemujaan berhala atau penyembahan kepada sesuatu selain Allah Subhanahu wata’ala. Sebuah karya seni juga bernilai haram manakala mengandung unsur yang dilarang Allah Subhanahu wata’ala, seperti memamerkan aurat wanita (pornografi).

Dalam memahami sebuah arti kefitrahan, sandaran kita adalah Al Qur’an. Dalam Al Qur’an Surat Ar Ruum (30) ayat 30 Allah Subhanahu wata’ala berfirman : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” . (QS:Ar Ruum :30)

Sesuatu dikatakan sesuai dengan fitrah, kalau sesuatu itu tetap berada di jalan yang lurus dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai dienul Islam . Dengan demikian, seni atau kesenian akan dikatakan sesuai dengan fitrah manusia manakala seni tersebut berada dalam bingkai dan koridor yang sesuai dengan ad dienul Islam sehingga dapat mendatangkan pahala dan ridho Allah Subhanahu wa ta’ala manakala dilakukan.

Sebagai contoh seni suara (lagam) dalam membaca Al Qur’an. Kita akan merasa lebih nyaman ketika mendengar suara orang membaca Al Qur’an dengan suara yang merdu dan bernada, daripada tanpa suara yang merdu dan tak bernada.

Kemampuan berseni merupakan salah satu kelebihan manusia dibandingkan makhluk Allah Subhanahu wa ta’ala yang lainnya. Allah Subhanahu wa ta’ala sendiri sangat menyukai keindahan , sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya:

“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar debu.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain”. (HR. Muslim).

Sebuah karya seni yang asalnya mubah, dapat juga berubah menjadi wajib dan bernilai ibadah manakala dilakukan secara ikhlas, karena semata-mata diniatkan untuk mencari keridhoan Allah Subhanahu wa ta’ala dan mengagungkan nama-Nya serta sebagai alternatif dari maraknya karya seni yang bersifat jahiliyah dan penuh maksiat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.

Baca Juga: Menjaga, Melestarikan, dan Mengembangkan Seni Islami

Seni adalah bagian dari hidup manusia. Sementara sebagai muslim, kita sudah mengikrarkan hidup dan mati kita untuk Allah Subhanahu wa ta’ala. Selain itu kitapun menyadari bahwa tujuan hidup manusia diciptakan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala adalah untuk beribadah dan mengabdi hanya kepada-Nya. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Al Qur’an Surat Al An’am ayat 162 :

“Katakanlah: sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”.

Dengan demikian, fungsi seni yang sebenarnya dalam pandangan Islam adalah sebagai media atau sarana untuk mensyukuri nikmat Allah Subhanhu wa ta’ala yang telah berkenan menganugerahi manusia dengan berbagai nikmat-Nya berupa potensi indrawi seperti pendengaran (audio), penglihatan (visual), kemampuan bergerak (kinestetik), dan lain sebagainya.

Semoga kita semua memiliki sikap yang bijak dalam memandang sebuah karya seni serta dapat membedakan mana seni yang dilarang Allah Subhanahu wa ta’ala dan mana seni yang mendatangkan ridho dan kecintaan-Nya. Aamiin ya robbal ‘alamiin.***

Referensi:

muslim.or.id

Nainggolan, Zainuddin S,Prof.DR. Inilah Islam (Falsafah dan Hikmah KeEsaan Allah).Kalam Mulia,Jakarta,2007

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini

Ke arah manakah seni dalam Islam harus ditimbulkan

Ropiyadi ALBA

Tenaga Pendidik di SMA Putra Bangsa Depok dan Mahasiswa Pasca Sarjana Pendidikan MIPA Universitas Indra Prasta Jakarta.

Tuesday, 18 May 2021, 21:14 WIB

Wednesday, 19 May 2021, 10:34 WIB

  Silakan Login untuk Berkomentar

Ke arah manakah seni dalam Islam harus ditimbulkan

Ke arah manakah seni dalam Islam harus ditimbulkan

Ke arah manakah seni dalam Islam harus ditimbulkan

Ke arah manakah seni dalam Islam harus ditimbulkan

Ke arah manakah seni dalam Islam harus ditimbulkan

Ke arah manakah seni dalam Islam harus ditimbulkan

Ke arah manakah seni dalam Islam harus ditimbulkan
Bagaimana Islam memandang kesenian ?

Ke arah manakah seni dalam Islam harus ditimbulkan

BincangSyariah.Com – Sebenarnya bagaimana Islam memandang kesenian? Kita tahu bahwa dalam perjalanan panjang peradaban manusia, termasuk peradaban dimana Islam menjadi agama mayoritas, di dalamnya terdabat perkembangan kesenian yang menakjubkan. Mulai dari kesenian di bidang arsitektur, sastra, musik, sampai seni lukis juga ikut berkembang. Di sisi lain, sebagian dari muslimin ada juga yang menyimpulkan bahwa kesenian, dalam pendapatnya bahwa kesenian itu melalaikan, menyimpulkan bahwa seni itu perkara yang tidak bermanfaat bahkan diharamkan. Salah satu seni yang sering dijadikan sasaran adalah seni music karena berdasarkan ayat Al-Qur’an, ia tergolong Lahwu al-Hadits (ucapan main-main). Tapi, adakah yang tidak berpendapat demikian?

Syaikh Ahmad ar-Raysuni, pakar hukum Islam asal Maroko dalam bukunya al-Ummatu Hiya al-Ashlu, menulis satu ulasan berjudul at-Takyif al-Fiqhi li Mas’alati al-Fann (Pandangan Fikih terhadap Persoalan Seni) (h. 77-94) mencoba mengkonstruksi pandangan fikih mengenai seni ini.

Ke arah manakah seni dalam Islam harus ditimbulkan

Menurutnya, dalam Al-Qur’an, jika kita sepakat menggolongkan kesenian ke dalam persoalan al-Lahwu (permainan), maka bagaimana kita melihat permainan itu? Atau kita melihat seni sebagai sebuah kenikmatan hidup, layaknya manusia umumnya menikmati kelezatan dan ada keinginan (syahwat) untuk mencapainya? Atau kita melihat seni sebagai kebutuhan tambahan (at-tahsiniyyat) yaitu kebutuhan untuk menikmati keindahan? Atau kita melihat seni sebagai sarana mencapai tujuan tertentu? Jika melihatnya demikian, ada banyak para ahli fikih yang menjelaskan bahwa hukum suatu sarana itu tergantung tujuan pemakaiannya. Menurut Ar-Raysuni, keempat unsur tersebut sebenarnya tersedia dalam sebuah kesenian.

Kesenian Sebagai Hiburan

Dalam surah at-Thariq ayat 13-14, Allah Swt. berfirman bahwa,

إنه لقول فصل (١٣) وما هو بالهزل

sesungguhnya Al-Qur’an itu pernyataan yang tegas (13) Ia bukanlah pernyataan yang main-main.

 Firman ini, tegas ar-Raysuni, menunjukkan bahwa apa yang diajarkan oleh agama bagi manusia dalam kehidupannya ini adalah sesuatu yang serius, tegas arah dan tujuan, serta bukan sebuah permainan.

Namun, pertanyaannya adalah – lanjut ar-Raysuni – apakah semua yang kita sebut permainan (al-hazl) termasuk di dalamnya hiburan atau yang dalam bahasa kita hari ini disebut refreshing itu terlarang sama sekali? Memang dalam kehidupan ini sebenarnya kita dituntut untuk serius, tapi bukan berarti Islam melarang kita untuk menikmati sebuah hiburan, termasuk di dalamnya kesenian.

Untuk menegaskan penjelasan ini, dalam sebuah hadis riwayat at-Tirmidzi dan Ahmad, dari ‘Uqbah bin ‘Amir, Rasulullah Saw. bersabda,

كل ما يلهو به الرجل المسلم باطلٌ إلا رميه بقوسه، وتأديبه فرسه، وملاعبته أهله فإنهن من الحق

Semua yang menjadi hiburan seorang muslim (laki-laki juga perempuan) itu tidak ada pahalanya, kecuali ia memanah dengan busur, ia melatih dirinya berkuda, atau ia bersenang-senang dengan pasangannya. Itu semua tergolong al-haqq (yang mendapatkan pahala).

Ke arah manakah seni dalam Islam harus ditimbulkan

Kata bathil dalam penafsiran para ulama terhadap hadis itu tidak menjelaskan bahwa hiburan itu sifatnya jelek. Hanya saja, ia bukan sesuatu yang mendapatkan pahala namun boleh-boleh saja dilakukan dengan batas yang wajar. Yang berpendapat demikian misalnya Ibn Taymiyyah dan as-Syaukani dalam Naylu al-Awthar.

Lanjut ar-Raysuni, menurut Abu Bakar ibn al-‘Arabi, sebenarnya yang disebut tergolong al-Haqq dalam hadis diatas tidak menunjukkan bahwa yang mendapatkan pahala hanya tiga hal (dalam hadis lain ada empat, ditambah dengan belajar berenang) itu saja. Itu hanya menunjukkan kepada hal-hal yang di masa Nabi menjadi perkara-perkara yang jelas manfaatnya di masyarakat.

Contoh lain, pernah suatu ketika kerabat perempuan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menikah. Diriwayatkan kalau itu adalah anak saudarinya. Dalam riwayat al-Bukhari, wanita itu dalam pengurusan ‘Aisyah Ra. dan beliau menikahkannya dengan seorang pemuda Madinah. Rasulullah Saw. lalu bersabda,

يا عائشة، ما كان معكم لهو، فإنّ الأنصار يعجبهم اللهو

Wahai ‘Aisyah, hiburannya di (pernikahan) kalian ini tidak ada? Padahal orang Anshar itu senang dengan hiburan

Hadis ini menjadi dasar – menurut Ar-Raysuni – bahwa Nabi Saw. mengapresiasi adanya hiburan untuk acara-acara tertentu. Hiburan yang sudah ada bahkan sebelum masa Nabi Saw. Nabi mengapresiasi adanya hiburan di acara-acara tertentu karena hikmahnya adalah itu menjadi simbol acara, misalnya acara pernikahan. Al-Lahwu yang dalam penjelasannya disbeut sebagai wanita-wanita yang menabuh rebana, membuat acara menjadi semarak dan membahagiakan mereka yang sedang dirayakan pernikahannya. Dengan demikian, hiburan itu menjadi pendukung agar acara pernikahan menjadi semakin membahagiakan pasangan.

Beberapa hadis diatas menjadi basis dalil bahwa di dalam Islam kesenian sebagai sebuah hiburan itu diperbolehkan jika diarahkan untuk hal-hal yang bermanfaat selama ia tidak bertentangan dengan hal-hal yang tegas hukumnya atau bertentangan dengan hal-hal yang memuliakan manusia.

Wallahu A’lam