Kapan ijtihad boleh dilakukan dan kapan ijtihad tidak boleh dilakukan

Jakarta - Ijtihad adalah pengerahan segenap upaya untuk menemukan hukum sesuatu secara rinci. Ijtihad juga merupakan salah satu sumber hukum Islam setelah Al-Quran, al-Hadits, Ijma, dan Qiyas.

Ijtihad di era modern merupakan kebutuhan untuk menjawab permasalahan yang terus bermunculan yang hukumnya tidak terurai jelas dalam sumber hukum utama, Al-Quran dan al-Hadits.

Baca juga: Metode Ilmiah: Syarat dan Langkah-Langkahnya

Meski kebutuhan, ijtihad tidak bisa dilakukan semua orang. Hanya ulama yang memenuhi syarat yang bisa melakukan ijtihad.

Ketatnya syarat berijtihad sampai memunculkan kesan yakni pintu ijtihad telah tertutup. Padahal sejak masa sahabat Nabi Muhammad hingga saat ini, fenomena ijtihad masih cukup dinamis.

Orang yang bersunguh-sungguh melakukan ijtihad disebut dengan mujtahid. Namun, tingkatan mujtahid pun beragam tergantung kemampuan dalam menggali hukum dari sumber utamanya.

Dalam ijtihad dikenal ijtihad saintifik adalah sebagai sumber hukum yang bersifat mutlak dan otoritatif. Sedangkan hasil ijtihad saintifik tergolong dalam hukum fiqh yang bersifat relatif, liberal, terbuka untuk diuji dan dikaji ulang serta terbuka untuk dikritik.

Tujuan ijtihad menurut Nur Kholis dalam makalah berjudul 'Urgensi Ijtihad Saintifik Dalam Menjawab Problematika Hukum Transaksi Kontemporer' adalah untuk menjawab problematika transaksi kontemporer pada era global, dengan rasional.

Al Quran dan al-Sunnah sebagai sumber utama hukum Islam telah menyediakan instrumen-instrumen hukum yang menjadikannya fleksibel dengan segala perubahan zaman. Sehingga Islam adalah agama yang senantiasa sesuai untuk segala zaman dan tempat, termasuk di era globalisasi.

Ijtihad juga telah tumbuh sejak masa-masa awal Islam, yakni pada zaman Nabi Muhammad SAW. Kemudian berkembang pada masa-masa sahabat serta masa-masa generasi selanjutnya.

Bahkan justru dengan adanya ijtihad ajaran-ajaran Islam dapat senantiasa sesuai dengan dinamika perkembangan zaman. Di sinilah letak relevansinya ungkapan bahwa syariat Islam itu selalu salihun likulli zaman wa likulli makan (cocok untuk setiap zaman dan tempat).

Dalam suatu hadits, Rasulullah SAW memberikan tempat yang mulia kepada mujtahid, walaupun mujtahid salah dalam berijtihad.

Dari 'Amr bin al-'As ra, ia mendengar Rasulullah SAW bersabda yang artinya, "Apabila seorang hakim hendak menetapkan suatu hukum kemudian dia berijtihad dan ternyata benar ijtihadnya, maka baginya dua pahala, dan apabila dia hendak menetapkan hukum kemudian dia berijtihad dan ternyata salah ijtihadnya, maka untuknya satu pahala".

Hukum Ijtihad

Hukum melakukan ijtihad dalam Jurnal berjudul Ijtihad: Teori dan Penerapannya oleh Ahmad Badi' yakni:


a. Fardu 'ain untuk melakukan ijtihad untuk kasus dirinya sendiri dan ia harus mengamalkan hasil ijtihadnya sendiri.

b. Fardu 'ain juga untuk menjawab permasalahan yang belum ada hukumnya. Dan bila tidak dijawab dikhawatirkan akan terjadi kesalahan dalam melaksanakan hukum tersebut, dan habis waktunya dalam mengetahui kejadian tersebut.

c. Fardu kifayah jika permasalahan yang diajukan kepadanya tidak dikhawatirkan akan habis waktunya, atau ada lagi mujtahid yang lain yang telah memenuhi syarat.

d. Dihukumi sunnah, jika berijtihad terhadap permasalahan yang baru, baik ditanya ataupun tidak.

e. Hukumnya haram terhadap ijtihad yang telah ditetapkan secara qat'i karena bertentangan dengan syara'.

Baca juga: Surat At Takwir tentang Apa? Ini Arab, Latin, dan Terjemahannya



Simak Video "Silaturahmi Senior Golkar Usai Peresmian Mesjid Baru di Markas Partai"
[Gambas:Video 20detik]
(nwy/erd)