tirto.id - Pancasila merupakan ideologi, dasar negara, sekaligus pandangan hidup bangsa Indonesia. Dalam isi atau bunyi Pancasila terdapat nilai-nilai luhur mengenai kewajiban dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang dapat diterapkan di dalam kehidupan sehari-hari dalam bingkai berbangsa dan bernegara. Show Dikutip dari Sumber Belajar Kemdikbud, subtansi kewajiban dan hak asasi manusia dalam Pancasila dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan nilai-nilainya, yaitu nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praksis. Nilai dasar adalah nilai yang berhubungan dengan hakikat dan bersifat universal, tetap, dan melekat dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai instrumental yakni pedoman pelaksanaan dari Pancasila. Nilai instrumental berupa ketentuan konstitusi seperti undang-undang sampai dengan peraturan daerah.
Sedangkan nilai praksis merupakan implementasi dari nilai-nilai instrumental dalam kehidupan bernegara. Nilai praksis bersifat berkembang mengikuti zaman dan aspirasi dari masyarakat. Pelaksanaan nilai-nilai dasar Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara akan berhubungan erat dengan kewajiban dan hak asasi manusia.
Baca juga:
Tentang Kewajiban dan Hak Asasi ManusiaSeorang filsuf dari Inggris bernama John Locke menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak yang dibawa sejak lahir yang secara kodrati melekat pada setiap manusia dan tidak dapat diganggu gugat (bersifat mutlak). Sedangkan menurut UU No. 39 Tahun 1999, hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat.
Secara sederhana, hak asasi manusia menempati posisi yang istimewa dan harus dihormati oleh semua orang. Hal tersebut berhubungan dengan hak asasi manusia sebagai wujud implementasi manusia yang seutuhnya. Dikutip dari e-Modul Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (2019:14), hak asasi manusia meliputi beberapa macam bidang yaitu hak asasi pribadi, hak asasi ekonomi, hak asasi politik, hak asasi perlakuan yang sama di depan hukum, hak asasi sosial-kebudayaan, dan hak asasi dalam peradilan serta perlindungan.
Baca juga:
Selain mendapatkan hak, setiap orang juga harus memenuhi kewajiban dalam berbangsa dan bernegara. Secara sederhana, kewajiban merupakan segala sesuatu yang harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Kewajiban memiliki posisi yang sama seperti hak, yaitu harus diimplementasikan untuk mendukung hak yang didapatkan orang lain. Pasal 1 Ayat 2 UU No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia menyatakan bahwa kewajiban adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksananya dan tegaknya hak asasi manusia.
Baca juga:
Kewajiban dan Hak Asasi Manusia dalam Nilai Dasar PancasilaNilai dasar Pancasila merupakan nilai yang terdapat dalam UUD 1945 dan bersifat tetap serta berkaitan dengan hakikat sila-sila Pancasila. Nilai dasar Pancasila memuat cita-cita, tujuan, dan nilai yang baik dalam keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Dikutip dari tulisan Dicky Febrian Ceswara dan Puji Wiyatno bertajuk "Implementasi Nilai Hak Asasi Manusia dalam Sila Pancasila" dalam Lex Scientia Law Review Volume 2 Nomor 2 (2018), beberapa kewajiban dan hak asasi manusia dalam nilai dasar Pancasila adalah sebagai berikut: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa Sila ke-1 Pancasila memuat jaminan warga negara Indonesia untuk memeluk, melaksanakan, dan menghormati agama, serta adanya perbedaan agama. 2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab Sila ke-2 Pancasila kedua menempatkan setiap warga negara berada dalam kedudukan yang sama di depan hukum. Selain itu, warga negara akan mendapatkan kewajiban dan hak berupa jaminan dan perlindungan dari hukum.
Baca juga:
3. Persatuan Indonesia Sila ke-3 Pancasila memberikan pesan yang harus dilaksanakan dalam wujud persatuan seluruh warga negara Indonesia dengan menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan individu maupun golongan. 4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan Sila ke-4 Pancasila menjabarkan mengenai kehidupan berbangsa, pemerintahan, bernegara, dan bermasayarakat secara demokratis. 5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia Sila ke-5 Pancasila memuat adanya pengakuan hak milik dan jaminan sosial individu yang dilindungi langsung oleh negara. Selain itu, juga berisi hak untuk memperoleh pekerjaan dan perlindungan dari pemerintah.
Baca juga:
Baca juga
artikel terkait
PANCASILA
atau
tulisan menarik lainnya
Syamsul Dwi Maarif
Subscribe for updates Unsubscribe from updates
Ia menambahkan berangkat dari lahirnya TAP ini, diterbitkannyalah UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Dalam UU ini dinyatakan beberapa hal yang substansinya senafas dengan TAP No. 17 tersebut, ujarnya. Jadi, lahirnya pasal-pasal dalam bab tentang HAM dalam UUD dilatarbelakangi lahirnya TAP 17 dan UU HAM, ungkapnya. Tetapi pelaksanaan HAM dalam UUD tidak boleh terpisah dengan ketentuan pembatasan HAM yang terdapat dalam Pasal 28J. Patrialis Akbar berpendapat pasal-pasal mengenai HAM dalam UUD telah ‘dikunci' oleh Pasal 28J tersebut. Maksudnya, ketentuan-ketentuan soal HAM dari Pasal 28A sampai 28I telah dibatasi oleh Pasal 28J. Pembatasan dalam Pasal 28J ini sesungguhnya sejalan denngan semangat yang mendasari TAP No. 17 dan UU HAM bahwa HAM yang dianut Indonesia selama ini adalah HAM yang bukan sebebas-bebasnya. Tetapi HAM yang dimungkinkan untuk dibatasi sejauh pembatasannya ditetapkan dengan UU, ujar Lukman Hakim. Pasal 28J sengaja ditempatkan diakhir bab yang mengatur tentang HAM dalam UUD, karena Pasal 28J merupakan kewajiban asasi manusia, tambahnya. Hakim Konstitusi Laica Marzuki mempertanyakan kepada saksi ahli apakah bisa dibenarkan suatu hak konstitusional dapat dikesampingkan oleh UU. Pembatasan dilakukan dengan UU, sedangkan yang dibatasi adalah constitutional rights (seperti Pasal 28I), ujarnya. Patrialis Akbar mengatakan bahwa ketentuan Pasal 28J yang menyebutkan pembatasan harus dengan UU, bukan suatu upaya membuat UU mengenyampingkan UUD. Ketentuan Pasal 28J tersebut merupakan sebuah perintah kepada UU mengesampingkan UUD. Jadi yang mengesampingkan adalah UUD itu sendiri, ujarnya. Sementara itu, kuasa hukum pemohon Alexander Lay menyatakan bahwa ia setuju dengan adanya pembatasan. Tetapi menurutnya, pembatasan yang ditentukan dalam Pasal 28J tersebut tidak untuk membatasi Pasal 28I. Pasal 28J hanya membatasi Pasal 28A sampai Pasal 28H, ujarnya.
Menurut Alexander, Pasal 28J adalah kunci upaya untuk menafsirkan secara sistematis. Penafsiran sistematis sendiri terdapat dua versi, ungkapnya. Pertama bahwa Pasal 28J membatasi semua Pasal dalam Bab mengenai HAM (Bab XA) dalam UUD, termasuk dalam Pasal 28I, ujarnya. Sedangkan versi yang kedua menurutnya, menyatakan bahwa Bab XA UUD (di luar Pasal 28I) tersebut mengatur HAM secara umum. Pasal 28J ayat (2) membatasi secara umum, tetapi ada norma khusus yang tidak bisa dibatasi, yaitu Pasal 28I. Pasal 28I tersebut mencantumkan 7 hak secara khusus, tetapi menjadi janggal bila dibatasi dengan ketentuan yang umum, ujarnya. Alexander mengungkapkan bahwa tujuh hak yang terdapat dalam Pasal 28I ayat (1) hampir sama dengan non derogable- rights (hak yang tak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, red) yang terdapat dalam Pasal 4 ayat (2) ICCPR, bedanya ICCPR mengatur delapan macam hak. Jadi kita dapat mengatakan bahwa sebenarnya Pasal 28I ayat (1) bersumber dari Pasal 2 ayat (2) ICCPR yang mengatur non derogable rights, ujarnya. Page 2Ia menambahkan berangkat dari lahirnya TAP ini, diterbitkannyalah UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Dalam UU ini dinyatakan beberapa hal yang substansinya senafas dengan TAP No. 17 tersebut, ujarnya. Jadi, lahirnya pasal-pasal dalam bab tentang HAM dalam UUD dilatarbelakangi lahirnya TAP 17 dan UU HAM, ungkapnya. Tetapi pelaksanaan HAM dalam UUD tidak boleh terpisah dengan ketentuan pembatasan HAM yang terdapat dalam Pasal 28J. Patrialis Akbar berpendapat pasal-pasal mengenai HAM dalam UUD telah ‘dikunci' oleh Pasal 28J tersebut. Maksudnya, ketentuan-ketentuan soal HAM dari Pasal 28A sampai 28I telah dibatasi oleh Pasal 28J. Pembatasan dalam Pasal 28J ini sesungguhnya sejalan denngan semangat yang mendasari TAP No. 17 dan UU HAM bahwa HAM yang dianut Indonesia selama ini adalah HAM yang bukan sebebas-bebasnya. Tetapi HAM yang dimungkinkan untuk dibatasi sejauh pembatasannya ditetapkan dengan UU, ujar Lukman Hakim. Pasal 28J sengaja ditempatkan diakhir bab yang mengatur tentang HAM dalam UUD, karena Pasal 28J merupakan kewajiban asasi manusia, tambahnya. Hakim Konstitusi Laica Marzuki mempertanyakan kepada saksi ahli apakah bisa dibenarkan suatu hak konstitusional dapat dikesampingkan oleh UU. Pembatasan dilakukan dengan UU, sedangkan yang dibatasi adalah constitutional rights (seperti Pasal 28I), ujarnya. Patrialis Akbar mengatakan bahwa ketentuan Pasal 28J yang menyebutkan pembatasan harus dengan UU, bukan suatu upaya membuat UU mengenyampingkan UUD. Ketentuan Pasal 28J tersebut merupakan sebuah perintah kepada UU mengesampingkan UUD. Jadi yang mengesampingkan adalah UUD itu sendiri, ujarnya. Sementara itu, kuasa hukum pemohon Alexander Lay menyatakan bahwa ia setuju dengan adanya pembatasan. Tetapi menurutnya, pembatasan yang ditentukan dalam Pasal 28J tersebut tidak untuk membatasi Pasal 28I. Pasal 28J hanya membatasi Pasal 28A sampai Pasal 28H, ujarnya.
Page 3Kalaupun ada, pembatasan HAM tidak mencakup Pasal 28I karena bersumber dari konvensi yang mengatur non-derogable rights. Menurut Alexander, Pasal 28J adalah kunci upaya untuk menafsirkan secara sistematis. Penafsiran sistematis sendiri terdapat dua versi, ungkapnya. Pertama bahwa Pasal 28J membatasi semua Pasal dalam Bab mengenai HAM (Bab XA) dalam UUD, termasuk dalam Pasal 28I, ujarnya. Sedangkan versi yang kedua menurutnya, menyatakan bahwa Bab XA UUD (di luar Pasal 28I) tersebut mengatur HAM secara umum. Pasal 28J ayat (2) membatasi secara umum, tetapi ada norma khusus yang tidak bisa dibatasi, yaitu Pasal 28I. Pasal 28I tersebut mencantumkan 7 hak secara khusus, tetapi menjadi janggal bila dibatasi dengan ketentuan yang umum, ujarnya. Alexander mengungkapkan bahwa tujuh hak yang terdapat dalam Pasal 28I ayat (1) hampir sama dengan non derogable- rights (hak yang tak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, red) yang terdapat dalam Pasal 4 ayat (2) ICCPR, bedanya ICCPR mengatur delapan macam hak. Jadi kita dapat mengatakan bahwa sebenarnya Pasal 28I ayat (1) bersumber dari Pasal 2 ayat (2) ICCPR yang mengatur non derogable rights, ujarnya. |