Hukuman korupsi di Indonesia yang tidak adil

Home Nasional Hukum Kriminal

ANALISIS

CNN Indonesia

Kamis, 09 Des 2021 08:00 WIB

Hukuman korupsi di Indonesia yang tidak adil

Ilustrasi jerat pidana hukuman mati. (Istockphoto/AVNphotolab)

Jakarta, CNN Indonesia --

Terdakwa kasus dugaan korupsi PT ASABRI, Heru Hidayat, dituntut hukuman mati oleh jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Agung (Kejagung), di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (7/12). Heru juga dituntut membayar ganti rugi sebesar Rp12,6 triliun.

Jaksa mengungkapkan sejumlah alasan menuntut mati terdakwa koruptor tersebut. Salah satu di antaranya adalah yang bersangkutan melakukan pengulangan tindak pidana setelah sebelumnya terlibat dalam kasus korupsi Jiwasraya.

Tuntutan mati terhadap pelaku korupsi bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya, Dicky Iskandar Dinata dituntut hukuman mati atas kasus pembobolan Bank BNI melalui transaksi fiktif senilai Rp1,7 triliun. Namun, pengadilan memvonis Dicky dengan 20 tahun penjara.


Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri pun sempat mengutarakan kemungkinan menjatuhkan tuntutan hukuman mati pada koruptor, terutama terkait penanggulangan Covid-19. Namun, itu belum terbukti sejauh ini, termasuk pada mantan Menteri Sosial Juliari Batubara kala menjadi terdakwa korupsi dana bansos Covid.

RUU Perampasan Aset ini lah salah satu indikator keseriusan negara dalam melawan korupsi, namun, sayangnya terus ditolak DPR dan pemerintah. Zaenur Rohman

Sebagai informasi, Ketentuan pidana mati diatur dalam Pasal 2 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor):

Ayat (1):Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Ayat (2):Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Keadaan tertentu dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan Undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gajah Mada(Pukat UGM), Zaenur Rohman, mafhum hukuman mati memicu pro kontra di kalangan masyarakat karena menyangkut Hak Asasi Manusia (HAM). Ia menjelaskan catatan utama penolak hukuman mati yaitu terkait dengan hak hidup seseorang yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

Sebab, selain itu terjadi di negara yang masih sering ada error dalam penegakan hukum, hukuman mati juga belum mempunyai bukti ilmiah dapat menimbulkan efek jera.

Sementara dari sisi kelompok pendukung hukuman mati, Zaenur mengatakan mereka menilai korupsi merupakan kejahatan yang sangat serius dan mengakibatkan rakyat sengsara. Selain itu, hukuman yang diberikan kepada koruptor selama ini tidak membuat efek jera.

"Terlepas dari pro kontra pidana mati, korupsi sebagai kejahatan bermotif ekonomi maka bentuk pemidanaannya harus dapat memiskinkan melalui perampasan aset hasil kejahatan. RUU Perampasan Aset ini lah salah satu indikator keseriusan negara dalam melawan korupsi, namun, sayangnya terus ditolak DPR dan pemerintah," kata Zaenur kepada CNNIndonesia.com, Rabu (8/12).

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar,menuturkan pidana mati masih merupakan hukum positif di Indonesia yaitu diatur dalam Pasal 10 KUHP. Ia berujar tuntutan mati yang diberikan jaksa kepada Heru karena korupsi sudah dikualifikasikan sebagai tindak pidana sangat berat.

"Secara yuridis tidak salah JPU menuntut hukuman mati karena memang menurut rasa keadilan negara. Karena itu sah-sah saja, tidak ada masalah apa pun," kata dia.

Namun, secara sosiologis, Fickar berpendapat akan lebih baik hukuman maksimal yang diberikan adalah pidana penjara seumur hidup. Sebab, menurut dia, hukuman mati menutup pintu kemungkinan kekeliruan, kesalahan, bahkan terkesan mendahului Tuhan.

"Karena itu, meskipun KUHP kita masih bisa dijadikan dasar menuntut hukuman mati, sebaiknya tidak digunakan lagi. Lebih adil seumur hidup tanpa remisi," ucap Fickar.

Baca halaman selanjutnya ada suara dari LSM soal hukuman mati koruptor.

Penjara dan Perampasan Aset yang Tak Dimaksimalkan


BACA HALAMAN BERIKUTNYA

24 Agustus 2021

Hukuman korupsi di Indonesia yang tidak adil
Hukuman korupsi di Indonesia yang tidak adil

Sumber gambar, Antara Foto

Keterangan gambar,

Eks Menteri Sosial Juliari Batubara dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi dana bantuan sosial (bansos). Dia divonis penjara selama 12 tahun.

Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dianggap lebih bersimpati kepada eks Menteri Sosial Juliari Batubara ketimbang penerima bansos yang terdampak pandemi Covid-19, menurut pakar hukum.

Sepanjang sejarah peradilan di Indonesia, kata pakar hukum, hakim tidak pernah menggunakan cercaan masyarakat terhadap terdakwa sebagai alasan untuk meringankan hukuman.

Namun KPK menilai hakim telah bersikap objektif karena mengakomodasi permintaan jaksa dan Juliari.

Sementara itu, seorang mantan terpidana korupsi menganggap pertimbangan hakim itu ganjil karena citra negatif selama ini memang melekat pada pelaku kejahatan ini.

Dalam perspektif hukum, kata pengajar ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, seorang terdakwa bisa mendapatkan keringanan hukuman jika melakukan perbuatan positif bagi orang lain atau membantu membongkar suatu perkara.

Feri menilai pertimbangan majelis hakim meringankan vonis terhadap Juliari ganjal. Menurutnya hakim justru lebih mempedulikan nasib politikus PDI Perjuangan itu ketimbang desakan untuk menjatuhkan vonis berat.

Padahal, kata Feri, hakim memiliki opsi memberikan hukuman maksimal berupa penjara seumur hidup bahkan pidana mati terhadap pelaku korupsi di masa bencana.

"Apa alat ukur hakim bahwa publik melakukan penghinaan kepada terdakwa? Seberapa banyak yang mencerca dan berapa yang membela? Kalau hanya berbasis perasaan dan asumsi hakim, itu tidak pas," kata Feri via telepon, Selasa (24/08).

"Pelaku bukan hanya tidak amanah, tapi mengambil keuntungan dari bantuan untuk warga yang terdampak pandemi. Kenapa hakim malah peduli kepada pelaku, bukan publik yang telah dikhianati dan uangnya dicuri?

"Orang patut curiga, hal meringankan ini dicari-cari untuk membenarkan hukuman yang lebih ringan dibandingkan pemberatan yang diatur undang-undang," ujar Feri.

Hukuman korupsi di Indonesia yang tidak adil
Hukuman korupsi di Indonesia yang tidak adil

Sumber gambar, Antara Foto

Keterangan gambar,

Juliari Batubara dalam pleidoinya menyebut berbagai hinaan diarahkan kepada partainya setelah dia terjerat kasus bansos.

Pada sidang pembacaan putusan Senin (23/08), majelis hakim menghukum Juliari dengan penjara selama 12 tahun.

Vonis ini lebih tinggi satu tahun dari tuntutan jaksa KPK, tapi tidak sesuai dengan harapan pegiat antikorupsi yang menganggap Juliari patut dihukum lebih berat.

Juliari juga dihukum membayar denda sebesar Rp500 juta dan uang pengganti sebanyak Rp14,5 miliar. Dia juga divonis tidak boleh menggunakan hak politik selama empat tahun.

Namun dalam salah satu pertimbangannya, majelis hakim menganggap cacian publik terhadapnya patut meringankan hukuman Juliari.

"Terdakwa sudah cukup menderita dicerca, dimaki, dan dihina oleh masyarakat," kata anggota majelis hakim, Yusuf Pranowo saat membacakan berkas putusan.

"Terdakwa divonis masyarakat telah bersalah padahal secara hukum belum tentu bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap," ujar Yusuf.

Feri Amsari menganggap hakim tidak jelas mengukur kerugian yang diterima Juliari akibat cercaan publik. Dia menilai hakim juga abai membaca keresahan publik terhadap korupsi, apalagi dalam masa bencana non-alam seperti pada era penularan Covid-19.

"Kalau pertimbangan itu benar, setiap pelaku kejahatan akan mendapat keringanan," kata Feri.

"Kasus korupsi banyak diprotes publik. Setelah pejabat diberikan kewenangan tapi ternyata mereka korupsi. Publik tentu kecewa, sedih, kesal, marah dan mengeluarkan berbagai pernyataan.

"Sikap antikorupsi itu kenapa malah menjadi alasan untuk meringankan hukuman?" ujar Feri.

Hukuman korupsi di Indonesia yang tidak adil
Hukuman korupsi di Indonesia yang tidak adil

Sumber gambar, Antara Foto

Keterangan gambar,

Ilustrasi. Seorang warga menerima beras bantuan sosial (bansos) dari pemerintah pusat di Kantor Pos Dumai, Riau, Selasa (27/07).

Namun Juru Bicara KPK, Ali Fikri, menyebut majelis hakim telah mengabulkan seluruh tuntutan jaksa terhadap Juliari. Walau enggan mengomentari pertimbangan yang meringankan, menurutnya hakim bersikap adil dalam menjatuhkan vonis.

"Hakim punya pertimbangan sehingga salah satunya mengakomodasi yang disampaikan terdakwa dalam nota pembelaannya," kata Ali.

"Secara normatif, putusan hakim tentu mempertimbangkan dua pihak, baik jaksa maupun terdakwa.

"Dari aspek keadilan, hakim sudah tepat mempertimbangkan alasan yang memberatkan dan meringankan serta dalil dari kedua pihak," ujarnya.

Dalam pleidoinya, Juliari menyebut perkara bansos membuat partainya dihujani hujatan.

"Saya sadar bahwa sejak perkara ini muncul, badai hujatan dan cacian datang silih berganti ditujukan kepada PDI Perjuangan," ucapnya dalam sidang tanggal 9 Agustus lalu.

Pada nota pembelaannya tersebut, Juliari mengeklaim tidak berniat korupsi. Dia juga menyangkal mengambil keuntungan dari anggaran bansos.

Dua hal itu kemudian menjadi hal yang menurut majelis hakim dapat menjadi alasan pemberat hukuman terhadap Juliari.

Hukuman korupsi di Indonesia yang tidak adil
Hukuman korupsi di Indonesia yang tidak adil

Sumber gambar, Antara Foto

Keterangan gambar,

Warga menunjukkan uang Bantuan Sosial Tunai (BST) Kemensos di wilayah Bojong Pondok Terong, Depok, Jawa Barat, Kamis (22/07).

Bagaimanapun, hinaan masyarakat semestinya tidak menjadi alasan yang meringankan hukuman koruptor, kata Wa Ode Nurhayati, politikus yang pernah divonis bersalah dalam kasus suap dana penyesuaian infrastruktur daerah.

Wa Ode divonis enam tahun penjara dalam perkara itu. Dia bebas tahun 2017.

Menurut Wa Ode, setiap terdakwa korupsi selama ini selalu mendapat cercaan dari masyarakat. Stigma buruk itu, kata dia, bahkan terus melekat walau mereka telah keluar dari penjara.

"Saya tidak setuju cacian menurunkan hukuman. Pertimbangan untuk mantan menteri sosial itu sangat dramatis. Caci maki tidak hanya di kasus korupsi bansos tapi banyak kasus yang lain," ujarnya saat dihubungi.

Wa Ode menilai, citra yang begitu negatif terhadap orang yang terjerat korupsi justru dibentuk KPK.

Dia bercerita, anaknya dirundung teman sekolah soal ibunya yang pernah mendekam di penjara.

"Sejak itu saya siapkan mental anak saya. Saya mengedukasinya dengan cara saya. Itu yang paling berat bagi napi korupsi, terutama yang seorang ibu," ujarnya.

Citra itu juga mengiringi Wa Ode yang kini berupaya terjun lagi ke politik.

"Di suatu pilkada, saya pernah dukung satu pasangan, tapi kandidat itu langsung diserang bahwa mereka didukung koruptor," kata Wa Ode.

"Korupsi menjadi bantal yang empuk untuk menghajar kami. Moral masyarakat sudah terbentuk sedemikian rupa. Jujur, KPK berhasil melakukan itu," tuturnya.

Satu hari setelah vonis dijatuhkan, Juliari belum memutuskan apakah akan mengajukan banding terhadap putusan hakim.

Selain Juliari, kasus bansos juga menjerat bawahannya di Kementerian Sosial, yaitu Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso. Adi dituntut tujuh tahun penjara, sedangkan tuntutan KPK untuk Matheus adalah delapan tahun penjara.

Indonesian Corruption Watch mendesak KPK mengungkap berbagai dugaan kejahatan lain dalam proyek bansos ini. Mereka menduga banyak aktor lain yang belum terungkap dalam penyidikan KPK.

KPK menyebut akan melanjutkan investigasi mereka jika menemukan fakta hukum baru dalam putusan majelis hakim terhadap Juliari.