Fungsi patung yang ada di Bali adalah sebagai

Jakarta -

Patung merupakan salah satu karya seni yang sering kita temui. Di Indonesia banyak patung yang digunakan untuk bermacam keperluan. Patung dapat digunakan sebagai sarana ibadah, monumen, atau dekorasi bangunan, dan patung sebagai karya seni yang dipamerkan dalam pameran seni rupa. Patung diciptakan oleh seniman sebagai wujud ekspresi gagasan, komunikasi dan seni agar kita dapat menikmati keindahan dan fungsinya.

Menurut Sumber Belajar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, patung merupakan karya seni tiga dimensi yang dibuat dengan metode substraktif (mengurangi volume) atau metode adiktif (penambahan volume). Pembuatan patung menggunakan bahan lunak (tanah liat, gypsum, lilin) atau bahan keras (kayu, batu, logam).

Berikut penjelasan lengkap terkait patung

Dalam Modul Pembelajaran Seni Budaya Kelas 12 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, patung dibagi menjadi beragam jenis berdasarkan fungsinya. Jenis patung berdasarkan fungsi yaitu:

1. Patung religi

Patung religi memiliki makna relijius dan berfungsi sebagai sarana ibadah

2. Patung monumen

Patung monumen dibuat dengan fungsi peringatan peristiwa bersejarah atau jasa seorang pahlawan

3. Patung arsitektur

Patung arsitektur dapat dinikmati keindahannya dalam kontruksi bangunan.

4. Patung dekorasi

Patung dekorasi digunakan untuk menghias bangunan atau lingkungan taman

5. Patung seni

Patung seni dipamerkan dalam pameran seni untuk dinikmati keindahan bentuknya.

6. Patung kerajinan

Patung kerajinan dibuat oleh para pengrajin dengan tujuan ekonomi.

B. Bahan Dalam Pembuatan Patung

Dalam proses pembuatan patung, dibutuhkan beberapa jenis bahan agar patung memiliki nilai seni dan keindahan tersendiri. Dalam Sumber Belajar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bahan yang digunakan dalam pembuatan karya seni patung terdiri atas 4 jenis, yaitu:

1. Bahan lunak

Bahan lunak merupakan bahan yang empuk dan mudah dibentuk. Contoh bahan lunak adalah tanah liat, lilin, sabun, dan plastisin.

2. Bahan sedang

Bahan sedang merupakan bahan yang tidak lunak namun tidak keras. Contoh dari bahan sedang adalah kayu sengan, kayu randu, kayu waru, kayu mahoni.

3. Bahan keras

Bahan keras adalah bahan dengan bentuk dan material berbahan keras. Contoh dari bahan keras yaitu kayu jati, kayu ulin, batu pualam.

4. Bahan cor

Bahan cor merupakan bahan yang digemari dalam pembuatan patung. Hal ini karena bahan cor tinggal dicetak sesuai dengan keinginan pembuat patung. Contoh bahan cor yaitu semen, pasir gipsum, logam, perak, fiber atau resin.

5. Bahan limbah, barang bekas, dan daur ulang

Bahan limbah, barang bekas, dan daur ulang dapat dijadikan karya seni patung dengan cara dirakit membentuk objek yang diinginkan. Contoh bahan ini yaitu koran bekas, jerami, dan kayu.

C. Teknik Membuat Patung

Teknik dalam seni patung merupakan cara yang dilakukan dalam mengolah bahan menjadi suatu karya jadi dari seni patung. Simak teknik membuat patung berikut:

1. Teknik Butsir

Teknik butsir merupakan cara membuat patung dari bahan lunak dengan metode substraktif (mengurangi) ataupun aditif (menambah) bagian.

2. Teknik Pahat

Teknik pahat merupakan cara pembuatan patung dari bahan keras dengan proses subtraktif (pengurangan) bagian yang tidak diperlukan.

3. Teknik Merakit

Teknik merakit merupakan pembuatan patung dengan cara merangkai bahan serta menghubungkan berbagai objek.

4. Teknik Cetak atau Cor

Teknik cetak atau cor merupakan cara pembuatan patung dengan menuangkan cairan bahan patung pada cetakan yang telah dibuat.

5. Teknik Modelling

Teknik modelling merupakan teknik pembuatan patung dengan cara membuat model terlebih dahulu.

Patung adalah karya seni tiga dimensi yang memiliki beragam fungsi. Bahan dan teknik pembuatan yang berbeda akan menghasilkan bentuk patung yang berbeda sesuai dengan keinginan membuat patung. Membuat patung dapat siswa coba sendiri di rumah sebagai aktivitas untuk mengisi waktu luang.

Simak Video "Ketika Karya Seni Berpadu dengan Kecanggihan Teknologi"



(row/row)



KONTAN.CO.ID -Jakarta. Ogoh-ogoh adalah karya seni patung dalam kebudayaan Bali yang menggambarkan kepribadian Bhuta Kala. Dalam ajaran Hindu Dharma, Bhuta Kala merepresentasikan kekuatan (Bhu) alam semesta dan waktu (Kala) yang tak terukur dan tak terbantahkan.  Dirangkum dari laman resmi Pemerintah Kabupaten Buleleng, Bhuta Kala dalam ogoh-ogoh adalah digambarkan sebagai sosok yang besar dan menakutkan, biasanya dalam wujud Rakshasa. Selain wujud Rakshasa, ogoh-ogoh sering pula digambarkan dalam wujud makhluk-makhluk yang hidup di Mayapada, Syurga dan Naraka.  Di antaranya naga, gajah, widyadari, bahkan dalam perkembangannya ada yang dibuat menyerupai orang-orang terkenal, seperti para pemimpin dunia, artis atau tokoh agama bahkan penjahat. Lantas, seperti apa sejarah ogoh-ogoh dalam Hari Raya Nyepi?  Baca Juga: Perhatikan! Ini 4 Hal Yang Boleh Dilakukan Saat Merayakan Hari Raya Nyepi di Bali

Sejarah ogoh-ogoh di Hari Raya Nyepi 

Ogoh-ogoh sebetulnya tidak memiliki hubungan langsung dengan upacara Hari Raya Nyepi.  Namun, sejarah ogoh-ogoh di Hari Raya Nyepi yakni sejak tahun 1980-an, umat Hindu mengusung ogoh-ogoh yang dijadikan satu dengan acara mengelilingi desa dan membawa obor atau yang disebut acara ngerupuk.  Sebelum memulai pawai ogoh-ogoh para peserta upacara atau pawai biasanya melakukan minum-minuman keras traditional yang dikenal dengan nama arak.  Pada umumnya ogoh-ogoh di arak menuju suatu tempat yang diberi nama sema (tempat persemayaman umat Hindu sebelum dibakar dan pada saat pembakaran mayat). Kemudian ogoh-ogoh yang sudah diarak mengelilingi desa tersebut dibakar. Baca Juga: Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali ditutup sementara selama Nyepi

Fungsi patung yang ada di Bali adalah sebagai

Begini Makna di Balik Dua Patung di Setiap Pintu Gerbang Pura

BALI EXPRESS, DENPASAR – Jika hendak masuk ke tempat suci di Bali, tak jarang dua patung berwujud seram menyambut di sebelah kanan dan kiri pintu gerbang. Dua patung ini umumnya memiliki ekspresi yang unik, yakni mata melotot, taring panjang dan tajam, namun dibarengi senyum tipis. Dan, salah satu lengannya memegang senjata berupa gada. Siapakah sebenarnya sosok makhluk ini?

Masyarakat Hindu di Bali tidak asing dengan keberadaan dua patung ini. Mereka berdua disebut Dwarapala, yakni sosok penjaga pintu gerbang. Ekspresinya yang seram menyimpan kesan ketegasan dan peringatan bagi siapa pun agar tidak sembarangan masuk ke tempat yang dimaksud. Namun demikian, senyumnya tetap menyiratkan keramahan.

Masing-masing dari patung ini bernama Nandiswara yang terletak di sebelah kanan (kiri pintu gerbang) dan Mahakala yang terletak di sebelah kiri (kanan pintu gerbang). Keberadaan keduanya dikaitkan dengan kekuatan Dewa Siwa sebagai salah satu manifestasi Tuhan dalam Agama Hindu.

Berdasarkan pustaka Uttara Kandha, diceritakan ketika Dewa Indra bertapa di gunung Kailasa bersama para dewa lainnya, datanglah Rahwana untuk mengganggu. Dengan kehebatannya, Rahwana mengangkat Gunung Kailasa sehingga tapa para dewa menjadi gagal.

Saat yang sama, di gunung tersebut ada manusia dengan kepala seperti kera bernama Nandiswara. Nandiswara kemudian menekan gunung sehingga Rahwana terjepit dan kesakitan.  Nandiswara bersedia mengampuni Rahwana, asal bersumpah kelak dirinya dikalahkan prajurit berkepala kera.

Berkenaan dengan itu,  Dewa Indra berpesan, jika ingin mendapat kesucian, agar mendirikan Candi Kurung atau Kori Agung pada pintu masuk tempat suci dan pekarangan. Candi kurung atau kori agung adalah lambang Gunung Kailasa. Sementara  Nandiswara diberikan pesan agar selalu menjaga orang-orang yang mencari kesucian, dengan wujud Dwarapala. Untuk mendampinginya, diwujudkanlah Mahakala.

Keberadaan sosok Dwarapala tidak hanya di Pulau Dewata, namun juga di tempat lain, yang dulunya merupakan pusat-pusat perkembangan ajaran Siwa-Buddha juga terdapat patung ini. Pulau Jawa misalnya. Tidak jarang ditemukan patung Dwarapala pada situs-situs peninggalan kerajaan yang menganut ajaran Siwa-Buddha pada masanya. Bahkan di Singasari, Malang, Jawa Timur, ditemukan pula patung Dwarapala dengan tinggi sekitar 3,7 meter. Selain itu, patung sejenis juga ditemukan di Keraton Yogyakarta, Kamboja, hingga Thailand. Meski sudah berusia ratusan tahun, namun patung-patung tersebut tetap berdiri kokoh.

Kembali ke Patung Dwarapala di Bali, pada hari suci tertentu, umat Hindu menghaturkan sesajen di depannya sebagai ucapan terima kasih kepada sosok penjaga tersebut. Meski terkadang tidak ada patungnya, namun masyarakat Bali biasanya menyediakan kolong di bagian depan sebelah kanan dan kiri gerbang untuk meletakkan sesajen bagi Sang Nandiswara dan Mahakala.

Sementara pada Lontar Widhi Tattwa dan Bhuana Kosa juga disebutkan terkait keberadaan Dwarapala sebagai pancaran kekuatan Tuhan Yang Maha Esa, yakni dinamakan Sang Hyang Panca Kala sebagai penjaga alam semesta. Dalam miniaturnya, konsep ini ditanamkan di pekarangan tempat suci atau rumah. Di sebelah kanan gerbang dinamakan Sang Maha Kala, Sebelah kiri Sang Adi Kala, tepat di pintu masuk Sang Kala, di depan pintu Sang Sunia Kala, dan pada aling-aling Sang Dora Kala. 

Menurut Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M.Fil.H, keberadaan sosok Dwarapala ini memang akrab dengan kehidupan umat Hindu di Bali. Tak hanya di tempat suci, namun terkadang beberapa rumah juga memajang patung Dwarapala di sebelah kanan dan kiri gerbang. “Tentunya patung ini bukan sekadar pajangan. Namun seperti yang kita tahu, senantiasa ada makna di balik benda-benda yang dibuat dan diletakkan oleh umat Hindu di Bali. Apalagi patung ini yang kerap ditemui di pintu masuk tempat suci,” ujarnya.

Selain mitologi yang berkaitan dengan sosok penjaga pintu masuk, Dwarapala dikatakannya merupakan cerminan manusia yang hendak masuk ke tempat suci. Dari raut muka Dwarapala, manusia dikatakannya diingatkan untuk mengintrospeksi diri sebelum masuk ke pura, sanggah merajan, atau bertamu ke rumha orang. “Jadi, patung tersebut ibaratnya cerminan bagi kita. Sebelum masuk ke tempat suci, hendaknya mengintrospkesi diri. Apakah kita sudah membersihkan diri, pikiran, perkataan, maupun tindakan. Artinya, begitu masuk tempat suci, kita harus melepaskan sifat-sifat keraksasaan kita,” terangnya.

Lebih lanjut, kata pria yang akrab disapa Jro Dalang Nabe Roby ini, patung tersebut hendaknya memang dihormati dan bisa diberikan sesajen. Namun perlu diingat, konsentrasi umat bukan kepada wujud fisik patung tersebut, melainkan makna ketuhanan di balik sosok patung tersebut. Dalam hal ini, kekuatan Tuhan sebagai penjaga dunia. “Jadi, seperti arca atau patung lainnya, konsentrasi kita adalah tetap kepada kemahakuasaan Tuhan yang salah satu kekuatan-Nya disimbolkan berbentuk sosok penjaga. Ini yang penting,” tegas dosen IHDN Denpasar tersebut.

Sementara, kini di depan pintu gerbang rumah umat Hindu di Bali tak jarang dipasang patung berupa tokoh pewayangan seperti Sangut-Delem, Tualen-Merdah, atau binatang tertentu seperti singa, macan, bahkan anjing. Hal itu menurutnya tentu memiliki makna yang tak jauh berbeda. Sangut-Delem dan Merdah-Tualen  adalah simbol rwabhineda atau dua hal berlainan yang tak dapat dipisahkan. Misalnya, baik-buruk, benar-salah, langit-bumi, positif-negatif, dan sebagainya.

Selain itu, mereka ada sosok parekan atau abdi yang biasa menjaga dan mendampingi tokoh-tokoh kerajaan. Sedangkan patung berbentuk binatang tentunya juga memiliki makna sebagai sosok penjaga. Dengan demikian, diharapkan si pemilik lebih terlihat berwibawa dan keadaan rumah senantiasa aman. 

BALI EXPRESS, DENPASAR – Jika hendak masuk ke tempat suci di Bali, tak jarang dua patung berwujud seram menyambut di sebelah kanan dan kiri pintu gerbang. Dua patung ini umumnya memiliki ekspresi yang unik, yakni mata melotot, taring panjang dan tajam, namun dibarengi senyum tipis. Dan, salah satu lengannya memegang senjata berupa gada. Siapakah sebenarnya sosok makhluk ini?

Masyarakat Hindu di Bali tidak asing dengan keberadaan dua patung ini. Mereka berdua disebut Dwarapala, yakni sosok penjaga pintu gerbang. Ekspresinya yang seram menyimpan kesan ketegasan dan peringatan bagi siapa pun agar tidak sembarangan masuk ke tempat yang dimaksud. Namun demikian, senyumnya tetap menyiratkan keramahan.

Masing-masing dari patung ini bernama Nandiswara yang terletak di sebelah kanan (kiri pintu gerbang) dan Mahakala yang terletak di sebelah kiri (kanan pintu gerbang). Keberadaan keduanya dikaitkan dengan kekuatan Dewa Siwa sebagai salah satu manifestasi Tuhan dalam Agama Hindu.

Berdasarkan pustaka Uttara Kandha, diceritakan ketika Dewa Indra bertapa di gunung Kailasa bersama para dewa lainnya, datanglah Rahwana untuk mengganggu. Dengan kehebatannya, Rahwana mengangkat Gunung Kailasa sehingga tapa para dewa menjadi gagal.

Saat yang sama, di gunung tersebut ada manusia dengan kepala seperti kera bernama Nandiswara. Nandiswara kemudian menekan gunung sehingga Rahwana terjepit dan kesakitan.  Nandiswara bersedia mengampuni Rahwana, asal bersumpah kelak dirinya dikalahkan prajurit berkepala kera.

Berkenaan dengan itu,  Dewa Indra berpesan, jika ingin mendapat kesucian, agar mendirikan Candi Kurung atau Kori Agung pada pintu masuk tempat suci dan pekarangan. Candi kurung atau kori agung adalah lambang Gunung Kailasa. Sementara  Nandiswara diberikan pesan agar selalu menjaga orang-orang yang mencari kesucian, dengan wujud Dwarapala. Untuk mendampinginya, diwujudkanlah Mahakala.

Keberadaan sosok Dwarapala tidak hanya di Pulau Dewata, namun juga di tempat lain, yang dulunya merupakan pusat-pusat perkembangan ajaran Siwa-Buddha juga terdapat patung ini. Pulau Jawa misalnya. Tidak jarang ditemukan patung Dwarapala pada situs-situs peninggalan kerajaan yang menganut ajaran Siwa-Buddha pada masanya. Bahkan di Singasari, Malang, Jawa Timur, ditemukan pula patung Dwarapala dengan tinggi sekitar 3,7 meter. Selain itu, patung sejenis juga ditemukan di Keraton Yogyakarta, Kamboja, hingga Thailand. Meski sudah berusia ratusan tahun, namun patung-patung tersebut tetap berdiri kokoh.

Kembali ke Patung Dwarapala di Bali, pada hari suci tertentu, umat Hindu menghaturkan sesajen di depannya sebagai ucapan terima kasih kepada sosok penjaga tersebut. Meski terkadang tidak ada patungnya, namun masyarakat Bali biasanya menyediakan kolong di bagian depan sebelah kanan dan kiri gerbang untuk meletakkan sesajen bagi Sang Nandiswara dan Mahakala.

Sementara pada Lontar Widhi Tattwa dan Bhuana Kosa juga disebutkan terkait keberadaan Dwarapala sebagai pancaran kekuatan Tuhan Yang Maha Esa, yakni dinamakan Sang Hyang Panca Kala sebagai penjaga alam semesta. Dalam miniaturnya, konsep ini ditanamkan di pekarangan tempat suci atau rumah. Di sebelah kanan gerbang dinamakan Sang Maha Kala, Sebelah kiri Sang Adi Kala, tepat di pintu masuk Sang Kala, di depan pintu Sang Sunia Kala, dan pada aling-aling Sang Dora Kala. 

Menurut Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M.Fil.H, keberadaan sosok Dwarapala ini memang akrab dengan kehidupan umat Hindu di Bali. Tak hanya di tempat suci, namun terkadang beberapa rumah juga memajang patung Dwarapala di sebelah kanan dan kiri gerbang. “Tentunya patung ini bukan sekadar pajangan. Namun seperti yang kita tahu, senantiasa ada makna di balik benda-benda yang dibuat dan diletakkan oleh umat Hindu di Bali. Apalagi patung ini yang kerap ditemui di pintu masuk tempat suci,” ujarnya.

Selain mitologi yang berkaitan dengan sosok penjaga pintu masuk, Dwarapala dikatakannya merupakan cerminan manusia yang hendak masuk ke tempat suci. Dari raut muka Dwarapala, manusia dikatakannya diingatkan untuk mengintrospeksi diri sebelum masuk ke pura, sanggah merajan, atau bertamu ke rumha orang. “Jadi, patung tersebut ibaratnya cerminan bagi kita. Sebelum masuk ke tempat suci, hendaknya mengintrospkesi diri. Apakah kita sudah membersihkan diri, pikiran, perkataan, maupun tindakan. Artinya, begitu masuk tempat suci, kita harus melepaskan sifat-sifat keraksasaan kita,” terangnya.

Lebih lanjut, kata pria yang akrab disapa Jro Dalang Nabe Roby ini, patung tersebut hendaknya memang dihormati dan bisa diberikan sesajen. Namun perlu diingat, konsentrasi umat bukan kepada wujud fisik patung tersebut, melainkan makna ketuhanan di balik sosok patung tersebut. Dalam hal ini, kekuatan Tuhan sebagai penjaga dunia. “Jadi, seperti arca atau patung lainnya, konsentrasi kita adalah tetap kepada kemahakuasaan Tuhan yang salah satu kekuatan-Nya disimbolkan berbentuk sosok penjaga. Ini yang penting,” tegas dosen IHDN Denpasar tersebut.

Sementara, kini di depan pintu gerbang rumah umat Hindu di Bali tak jarang dipasang patung berupa tokoh pewayangan seperti Sangut-Delem, Tualen-Merdah, atau binatang tertentu seperti singa, macan, bahkan anjing. Hal itu menurutnya tentu memiliki makna yang tak jauh berbeda. Sangut-Delem dan Merdah-Tualen  adalah simbol rwabhineda atau dua hal berlainan yang tak dapat dipisahkan. Misalnya, baik-buruk, benar-salah, langit-bumi, positif-negatif, dan sebagainya.

Selain itu, mereka ada sosok parekan atau abdi yang biasa menjaga dan mendampingi tokoh-tokoh kerajaan. Sedangkan patung berbentuk binatang tentunya juga memiliki makna sebagai sosok penjaga. Dengan demikian, diharapkan si pemilik lebih terlihat berwibawa dan keadaan rumah senantiasa aman.