Fungsi Moko sebagai hasil kebudayaan pada zaman logam

Moko. Tradisi Berabad-abad di Alor, satu-satunya di dunia?

Satu-satunya di Indonesia, bahkan mungkin satu-satunya di dunia. Di mana benda-benda purbakala menjadi barang begitu terhormat, alat barter, dan simbol status sosial di dalam masyarakat. Inilah tradisi di Pulau Alor yang masuk dalam wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur. Sangat unik, mengesankan, dan begitu mengundang kita mengeksplorasi lebih dalam.

Pulau Alor, selain menyimpan keindahan alam bawah laut yang begitu memukai, juga menyimpan salah satu tradisi yang memukau. Tahukah anda, Pulau Alor juga berjuluk pulau 1000 Moko? Pasti anda bertanya, apakah Moko itu? Sebelum membahas lebih lanjut, mari mengenal Moko terlebih dulu.

Moko atau juga disebut nekara perunggu merupakan benda budaya zaman pra-sejarah. Menurut para ahli Arkeologi dan sejarah, teknologi pembuatan Moko Alor berasal dari teknologi perunggu di Dongson, Vietnam bagian Utara. Kemudian teknologi ini menyebar ke berbagai daerah di Asia Tenggara, termasuk ke pulau Alor. Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana Moko dari Vietnam ini bisa sampai di Alor dalam jumlah beribu-ribu di masa lalu?

Fungsi Moko sebagai hasil kebudayaan pada zaman logam

Sebuah Moko ukuran sedang *1

Mungkin, Moko-moko di bawa oleh para pedagang dari China di masa lalu untuk ditukarkan dengan komoditas dari kawasan tersebut (kawasan penghasil rempah-rempah seperti Kepulauan Banda dan Maluku). Bisa jadi, ada armada kapal pedagang-pedagang tersebut yang terdampar di perairan Alor, dan kehabisan perbekalan. Nekara perunggu yang mereka bawa sebagai alat tukar, akhirnya ditukarkan dengan komoditas utama makanan dari Alor, yakni biji kenari, dan jagung. Ini terjadi 1000 tahun lalu, dan perdagangan kenari juga jagung berlanjut dengan ditukarkan dengan Moko. Jadilah, Pulau Alor menjadi pulau dengan koleksi Moko terbanyak hingga kini, meski tidak ada sejarahnya pulau ini memproduksi barang-barang dari perunggu.

Fungsi Moko sebagai hasil kebudayaan pada zaman logam

Moko yang disimpan di rumah-rumah masyarakat Alor*-2

Secara fisik, moko berbentuk seperti drum tangan dengan diameter 40 cm hingga 60 cm dan tinggi 80 cm hingga 100 cm dan memiliki bentuk dan desain yang bermacam-macam, termasuk ornamen-ornamen khas Indochina seperti Gajah dan ornamen lain, yang beragam. Pada umumnya Moko berbentuk lonjong seperti gendang kecil,namun ada pula yang berbentuk gendang besar.

Fungsi Moko sebagai hasil kebudayaan pada zaman logam

Moko, kebanggaan dan status sosial - *3

Pola hiasannyapun bermacam-macamtergantung jaman pembuatannya dan sangat mirip dengan benda-bendaperunggu di Jawa pada jaman Majapahit. yang beragam. Pada umumnya Moko berbentuk lonjong seperti gendang kecil,namun ada pula yang berbentuk gendang besar. Pola hiasannyapun bermacam-macamtergantung jaman pembuatannya dan sangat mirip dengan benda-benda perunggu di Jawa pada jaman Majapahit.


Moko besar yang tersimpan di Museum 1000 Moko-*4

Konon, Ferdinand Magellan, pelaut ulung dari Portugis sempat singgah ke pulau ini saat saat berlayar kembali dari Maluku menuju Eropa pada tanggal 12 Januari 1522. Di Alor, Magellan melihat ada suatu tradisi yang menarik perhatiannya. Yakni pemberian mas kawin keluarga mempelai pria ke mempelai wanita. Mas kawin diberikan tak seperti kebanyakan di tempat-tempat lain di nusantara, yang biasanya berupa hewan ternak atau hewan piaraan. Di Alor, masyarakatnya menggunakan peninggalan turun-temurun nenek moyangnya yang disimpan secara estafet. Yakni Moko.

Penggunaan Moko sebagai mas kawin di masyarakat Alor terus terjaga hingga kini, dan sudah berlangsung sejak berabad-abad lamanya. Hampir setiap keluarga di Alor, terutama yang masyarakat asli pulau tersebut, menyimpan setidaknya satu Moko di rumahnya. Moko bagaikan barang sangat berharga yang nilainya akan terus bertambah seiring waktu. Bisa dibayangkan, berapa puluh ribu Moko yang tersimpan di pulau Alor yang berpenduduk sekitar 200 ribu jiwa tersebut.


Satu buah moko bisa seharga 50 juta! Harga ini, menurut mereka, pantas mengingat arti pentingnya ikatan perkawinan, yang akan mempersatukan berbagai keluarga.

Seseorang ahli antropologi bernama Cora Dubois pernah meneliti tentang Moko. Dia menyatakan bahwa Moko mempunyai 4 fungsi yaitu; pertama, Moko sebagai simbol status sosial. Memiliki jumlah dan jenis Moko tertentu menunjukan status sosial seseorang dalam masyarakat. Kepemilikan Moko ini mempunyai status sosial yang cukup tinggi dan terpandang. Bahkan orang yang memiliki Moko ini dalam jumlah tertentu akan berpengaruh dalam setiap kepemimpinan tradisional.

Kedua, Moko sebagai mas kawin. Seorang pria yang hendak menikah menyerahkan sejumlah Moko kepada keluarga perempuan calon istri. Jika pihak keluarga pria tidak memiliki Moko, maka keluarga tersebut mereka harus meminjam moko kepada Tetua Adat. Peminjaman ini tidaklah gratis, karena pihak keluarga pria harus menggantinya dengan sejumlah uang yang jumlahnya cukup besar. Memang harga satu buah Moko sangatlah bervariasi, bergantung dengan ukuran besar kecilnya Moko, tahun pembuatannya serta pola hiasnya. Namun bagi masyarakat Alor, moko tak bisa diukur dengan uang berapapun jumlahnya karena sekali lagi Moko mempunyai kedudukan dan nilai tersendiri dalam pergaulan sosial masyarakat

Fungsi Moko sebagai hasil kebudayaan pada zaman logam

Moko-moko di Museum 1000 Moko -*5

Ketiga, Moko sebagai alat tukar ekonomi. Sejak dahulu orang Alor mengenal Moko sebagai alat tukar seperti uang. Dalam hal ini Moko dapat di tukar dengan barang tertentu secara barter. Hal inilah yang menyebabkan inflasi pada zaman pemerintahan kolonial Belanda sehingga Belanda membuat sistem baru dengan membatasi peredaran Moko dan bahkan konon berniat membuang moko-moko tersebut ke laut.

Keempat, sesuai fungsinya, yakni sebagai alat Musik. Moko dapat menggantikan fungsi tambur yang terbuat dari kulit kayu dan kulit hewan. Alat musik Gong dan Moko biasa dimainkan untuk pengiring tari-tarian. Dalam perspektif orang Alor, Gong yang berbentuk plat dalam posisi telungkup adalah lambang kewanitaan. Sedangkan Moko berbentuk bulat dalam posisi berdiri adalah lambang kejantanan.

Segala hal terkait Moko, bisa anda dapatkan di Museum 1000 Moko di kota Kalabahi, ibukota Kabupaten Alor. Museum ini menyimpan berbagai jenis dan bentuk Moko dari masa purbakala.

Sekelumit Pulau Alor yang tak besar, namun menyimpan sejarah dan kebanggan yang menggetarkan. Ayo berkunjung ke Alor, jelajahi Pulau 1000 Moko ini. Jika menggunakan transportasi udara, anda harus transit di Bandara El Tari, Kupang, kemudian melanjutkan penerbangan ke Bandara Mali Alor dengan pesawat berbaling-baling selama 1 jam. Sesampainya di pulau Alor anda bisa menggunakan transportasi darat menuju Museum Alor maupun perkampungan adat tradisional di Takpala atau Monbang, di mana masyarakatnya amat memegang teguh tradisi Moko ini.

Dari berbagai sumber.

Sumber gambar:

1. opiumgewichte.com

2. Indonesia.travel

3. traveljunkie.co

4. pariwisata_NTT.com

5. negerikuindonesia.com
Gambar utama : topindonesiaholidays.com

Salah satu peninggalan perunggu dari kebudayaan Dong Son adalah peninggalan berupa Dong Son drum atau dikenal dengan istilah Nekara di wilayah Indonesia. Nekara yang berbentuk seperti drum memiliki berbagai fungsi yang disesuaikan dengan adat dan tradisi dari masing-masing wilayah. Beberapa fungsi utama dari nekara antara lain adalah sebagai alat musik yang digunakan pada upacara pemanggil hujan, upacara pernikahan, upacara pemakaman, dsb. Selain itu, di beberapa wilayah tertentu, nekara juga digunakan sebagai peti untuk menyimpan jenazah atau mausoleum dan juga berfungsi sebagai simbol kekuatan bagi pemimpin atau kepala suku.

Dengan demikian, maka fungsi nekara adalah sebagai alat musik yang digunakan pada upacara pemanggil hujan, upacara pernikahan, upacara pemakaman, dsb.

Fungsi Moko sebagai hasil kebudayaan pada zaman logam

Fungsi Moko sebagai hasil kebudayaan pada zaman logam
Lihat Foto

Trubunnews

Moko, alat yang sangat berpengaruh bagi masyarakat Alor

KOMPAS.com - Moko adalah benda dari logam yang berbentuk tambur dan ditutupi bagian atas serta bawahnya.

Benda yang berbentuk menyerupai drum ini telah ada sejak zaman prasejarah, tepatnya pada zaman logam.

Moko, yang mirip dengan nekara perunggu, memegang peran penting dalam kehidupan sosial-budaya di Austronesia.

Moko menjadi simbol kekayaan, kehormatan, esksistensi, dan pemersatu keluarga bagi masyarakat Alor.

Selain itu, Moko dikenal sebagai peralatan pada masa perundagian sebagai maskawin dalam pernikahan dan dapat juga dipakai untuk membayar denda atau alat tukar sebelum dikenal sistem uang.

Baca juga: Sejarah Munculnya Uang dalam Kehidupan Manusia

Teknologi moko berasal dari Zaman Logam atau perundagian. Pada Zaman Logam, bahan-bahan dari logam diolah dan dibentuk menjadi beraneka ragam peralatan, salah satunya moko.

Moko banyak ditemukan di Alor, Nusa Tenggara Timur. Bahkan Alor berjuluk "Pulau Seribu Moko".

Secara historis, keberadaan moko di Alor berkaitan dengan teknologi pembuatan nekara perunggu dari budaya Dongson di Vietnam Utara.

Budaya Dongson memasuki wilayah Nusantara pada awal masehi, berbarengan dengan aktivitas perdagangan internasional di Alor.

Aktivitas perdagangan membuat pedagang dari berbegai negeri melakukan transaksi dengan menukarkan barang-barang yang mereka miliki, termasuk nekara perunggu.