Dinosaurus apa yang paling berbahaya di dunia?


KOMPAS.com - Sebuah studi menunjukkan jika 18.000 tahun yang lalu manusia membesarkan kasuari, spesies burung paling berbahaya di dunia.

Hal tersebut terungkap setelah peneliti melakukan studi menggunakan kulit telur yang ditemukan di Papua Nugini untuk menentukan tahap perkembangan atau anak burung purba ketika telur retak.

Peneliti menemukan kalau orang-orang di wilayah tersebut ternyata mengumpulkan telur kasuari yang hampir menetas dan membesarkan burung hingga dewasa.

"Perilaku yang kita temukan ini terjadi ribuan tahun sebelum domestikasi ayam. Dan ini bukan unggas kecil melainkan burung besar, kasar, tak bisa terbang tetapi bisa membunuh Anda," kata Kristina Douglass, peneliti dari Pennsylvania State University seperti dikutip dari Phys, Selasa (28/9/2021).

Studi yang dipublikasikan di Proceedings of the National Academy of Sciences ini pun menurut peneliti mewakili indikasi paling awal dari manajemen manusia dalam pembiakan unggas sebelum domestikasi ayam dan angsa.

Baca juga: Ribuan Burung Pipit Berjatuhan di Bali, Peneliti BRIN Duga Ini Penyebabnya

Burung Kasuari sendiri pada kenyataannya lebih mirip dengan dinosaurus karnivora, velociraptor, daripada kebanyakan burung peliharaan.

Tetapi peneliti menyebut jika anak burung kasuari yang menetas akan mengelami proses imprinting, di mana saat mereka menetas hal pertama yang dilihat akan dianggap sebagai induknya.

Dalam kasus ini, jika pandangan pertama yang dilihat adalah manusia, maka kasuari akan mengikuti mereka ke mana saja. Itu mengapa anak kasuari mudah dipelihara dan dibesarkan hingga dewasa.

Lebih lanjut, cangkang telur sendiri tak banyak dipelajari oleh para arkeolog. Namun Douglass mengembangkan metode baru untuk menentukan berapa umur embrio burung.

"Saya telah bekerja dengan cangkang telur di situs arkelogi selama bertahun-tahun. Ada perubahan kulit telur selama perkembangan yang merupakan indikasi usia. Dan saya memutuskan ini akan menjadi pendekatan yang berguna," katanya menjelaskan usia embrio burung yang ditemukan.

Baca juga: Bayi Burung Belajar Berkicau Sejak Belum Menetas dari Telur

Menurut Douglass penetapan usia embrio atau anak burung tergantung pada fitur 3 dimensi bagian dalam cangkang.

Dari situ peneliti kemudian membuat gambar 3 dimensi resolusi tinggi dari sampel cangkang.

Dengan memeriksa bagian dalam telur, peneliti dapat membuat penilaian statistik tentang seperti apa telur selama tahap inkubasi.

Bagian dalam kulit telur ternyata berubah melalui perkembangan karena anak burung yang sedang berkembang mendapatkan kalsium dari kulit telur.

"Kami menggunakan kombinasi pencitraan 3D, pemodelan, dan deskripsi morfologis," papar Douglass.

Baca juga: Sangat Mirip, Burung Lyrebird Bisa Tirukan Tangisan Bayi dengan Sempurna

Awalnya ia bersama tim melakukan studi terhadap telur burung unta dan burung emu baru kemudian beralih pada koleksi cangkang di dua situs yang ditemukan di Papua Nugini.

Hasil penelitian justru menunjukkan hal yang menarik yakni tak ada tanda-tanda yang mengarah kalau orang-orang di zaman itu memakan telur, seperti misalnya tak ada tanda kulit terlur yang terbakar.

"Ada cukup banyak sampel kulit telur tahap akhir yang tidak menunjukkan pembakaran sehingga kita dapat mengatakan mereka menetas dan tidak memakannya," imbuh Douglass.

Ia juga menambahkan agar berhasil menetas dan memelihara anak burung kasuari, orang-orang perlu mengetahui di mana sarangnya, mengetahui kapan telur diletakkan dan mengeluarkannya dari sarang sebelum menetas.

Baca juga: Kepunahan Massal Burung dalam 50.000 Tahun Terakhir, Manusia Penyebabnya

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.