Di mana penghasil timah?

Home Opini Berita Opini

Tambang Timah Kini, Masa Depan Indonesia Nanti

Derita Prapti Rahayu, CNBC Indonesia
Opini
Rabu, 29/09/2021 16:14 WIB
Di mana penghasil timah?

Indonesia merupakan negeri yang memiliki sumber daya alam cukup besar, salah satunya pada sektor pertambangan mineral dan batu bara yaitu timah yang memiliki nama kimia Selenium (Sn).

Timah dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuat kemasan untuk makanan, campuran amalgam tambal gigi sebagai pengganti air raksa (Hg), campuran pada stick golf dan amunisi, penutup botol, sebagai lapisan penghambat api pada produk kabel listrik dan peralatan rumah tangga, timah solder, bola lampu, dan cat.

Beberapa daerah penghasil timah di Indonesia antara lain mencakup Pulau Karimun, Kundur, Singkep, dan sebagian daratan Sumatera (Bangkinang) di utara terus ke arah selatan yaitu Pulau Bangka, Belitung (Erman; 2009; 73). Pulau-pulau ini berada pada jalur yang disebut The South East Asia Tin Belt (Sabuk Timah Asia Tenggara).


Kategori Indonesia, pulau-pulau penghasil timah ini disebut sebagai The Indonesian Tin Islands (Sujitno; 2005; 3), dan pulau Bangka termasuk dalam jalur orogenese Melayu yang dilalui bentangan sabuk timah terjaya di dunia yang membentang dari Birma, Malaysia, Singkep, Bangka, dan Pulau Belitung. Lebih jelasnya disampaikan pada gambar peta di bawah ini (Djangki; 2015):

Gambar Peta Penghasil Timah di Indonesia:

Di mana penghasil timah?
Foto: Peta penghasil timah. (Dok: Derita Prapti Rahayu)
Peta penghasil timah. (Dok: Derita Prapti Rahayu)

Dalam tulisan CNBC Indonesia pada 08 September 2021, disebutkan bahwa Indonesia berperan penting dalam penyediaan bahan baku timah dunia. Total cadangan timah dunia pada awal 2020 tercatat sebesar 4,74 juta ton logam timah, di mana cadangan timah Indonesia tercatat sebesar 800 ribu ton logam.

Namun kemudian, Kementerian ESDM juga menyebutkan cadangan logam timah RI sebesar 2,23 juta ton dan 2,29 miliar ton untuk bijih timah.

Berdasarkan data Peluang Investasi Timah Indonesia 2020, cadangan timah Indonesia merupakan terbesar ke-2 di dunia, yakni 17% dari total cadangan timah dunia, setelah China yang menguasai 23% cadangan timah dunia.

Adapun sebagian besar timah Indonesia berada di Kepulauan Bangka Belitung, Bangkinang, Sungai Liat, Dabo, dan Muntok.

Mengutip detikX.com pada 27 April 2021, bukan rahasia lagi bahwa Bangka merupakan pulau dengan cadangan timah terbesar dunia. Meski sudah dikeruk lebih dari tiga abad sejak masa kejayaan Sultan Palembang pada 1671 hingga sekarang, cadangan timah di pulau ini masih sangat berlimpah.

Berdasarkan data terakhir Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) per Juli 2020, sumber daya timah di pulau ini mencapai 10,05 miliar ton dengan cadangan 6,81 miliar ton.

Saat ini, sektor timah banyak memberikan dampak perubahan beragam di Kepulauan Bangka Belitung, mulai dari akses kesejahteraan ekonomi, masalah lingkungan hidup, konflik sosial sesama masyarakat, rendahnya kepatuhan penambang terhadap regulasi, kerancuan otoritas perizinan tambang, hingga relasi politis pemilik modal tambang dan pemerintah menambah buruk situasi kebijakan tata kelola pertambangan. Ini menunjukkan bahwa selain dari aspek produksi timah yang dihasilkan di atas, ada dampak yang dirasakan secara lokal di daerah sekitar tambang.

Karena secara faktual, jumlah produksi timah yang dihasilkan tidak hanya berasal dari produksi perusahaan timah yang ada di Pulau Bangka dan Belitung, tapi juga ada timah yang berasal dari aktivitas tambang timah inkonvensional yang merupakan kategori tambang rakyat yang mempunyai ciri ilegal (Derita Prapti Rahayu; 2012) yang cukup signifikan memberikan kontribusi produksi timah.

Berikut data jumlah produksi tambang timah inkonvensional (TI) tahun 2004, 2006 dan 2007 di Kepulauan Bangka Belitung berdasarkan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia Semester II Tahun Anggaran (TA) 2007 Atas Pengendalian Kerusakan Pertambangan Umum dan Penerimaan Royalti Tahun 2003-2007 pada PT Timah dan PT Koba Tin di Jakarta dan Pangkal Pinang Februari 2008, yang dapat digunakan sebagai analisis dikarenakan data terbaru tidak diperoleh.

Data ini menunjukkan angka yang sangat signifikan. Lebih dari 90% produksi timah berasal dari operasi tambang inkonvensional (TI) dengan rincian sebagai berikut:

Di mana penghasil timah?
Foto: Tabel kontribusi tambang timah. (Dok: Derita Prapti Rahayu)
Tabel kontribusi tambang timah. (Dok: Derita Prapti Rahayu)


Data di atas menunjukkan bahwa produksi atau hasil tambang timah inkonvensional memegang peranan signifikan di setiap wilayah produksi PT Timah, bahkan untuk Unit Wasprod (Pengawas Produksi) 1 dan 3 yang merupakan wilayah di Kabupaten Bangka, kontribusi para tambang timah inkonvensional mencapai 95,36% dan 99,14% dari keseluruhan produksinya pada 2007.

Dengan jumlah tambang timah inkonvensional yang mencapai ribuan unit dan beroperasi di seluruh wilayah Pulau Bangka, termasuk di Kabupaten Bangka, maka kontrol yang dilakukan oleh perusahaan menjadi sangat luas, sehingga aspek pengawasan kerja, khususnya yang terkait dengan pengendalian hasil produksi tambang dan kewajiban pengelolaan lingkungan, menjadi sulit dilakukan.

Data Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2004-2015 yang ditampilkan oleh detikX.com menunjukkan bahwa adanya potensi kerugian negara hingga Rp 85,302 triliun dari ekspor timah yang diduga ilegal.

Dari data tersebut, yang sangat penting untuk dibahas di sini adalah aktivitas tambang dengan kategori rakyat (atau secara faktual di masyarakat Bangka Belitung disebut dengan TI/ tambang timah inkonvensional) yang memberikan kontribusi pada jumlah produksi timah.

Secara yuridis, tambang kategori ini memang diakui dalam peraturan perundang-undangan sebelum rezim UU No. 3 tahun 2020 (yang dimaksud di sini sampai pada teknis izin dan pihak yang berwenang memberikan izin).

Sejarah telah mencatat, sebelum Indonesia merdeka di masa Hindia Belanda melalui Indische Mijnwet Staatsblad 1899 Nomor 214 mengatur perihal penggolongan bahan galian dan pengusahaan pertambangan. Setelah itu terbit aturan lainnya pada tahun 1907 dan 1930 yaitu Mijnordonnantie mengenai pengawasan keselamatan kerja.

Pasca kemerdekaan 1945, dalam kurun waktu 64 tahun Indonesia menerbitkan empat regulasi undang-undang pertambangan yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1959 tentang Pembatalan Hak-Hak Pertambangan, Undang-Undang Nomor 37 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan, dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang telah dirubah tahun 2020 (Redi; 2014).

Regulasi hukum pertambangan terhadap tambang rakyat dalam praktiknya memberikan jaminan kepastian legalitas menambang. Perilaku subjek diformulasikan dalam bentuk norma hukum. Ragam aktor yang sedang berkontestasi dalam memanfaatkan sumber daya alam mineral dan batu bara dirinci sedemikian rupa.

Otoritas kekuasaan secara spesifik menjadi dalil kewenangan guna mengintervensi kontradiksi konflik tambang rakyat. Aktivitas tambang skala kecil diberi ruang dan diasuh secara legal oleh negara. Praktik diskursif yang berkembang di tengah masyarakat ditarik pada rasionalitas penyeragaman. Pluralitas kearifan lokal yang tumbuh dan eksis bukan merupakan dalil kebijakan legislasi hukum pertambangan.

Konsep kepengaturan dikalkulasi hanya sebatas pendekatan yang serba negara. Keterlibatan masyarakat lokal dilupakan dalam menyusun dan menata proyeksi tambang rakyat, justru merupakan modal dasar sebagai tujuan pendisiplinan terhadap kaidah teknik pertambangan.

Pengelolaan pertambangan sejak awal sangat dipengaruhi paradigma hubungan antara pemerintahan pusat dengan pemerintah daerah. Sejak hadirnya UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, regulasi kebijakan administrasi perizinan pertambangan dilakukan secara sektoral dalam undang-undang pertambangan beserta peraturan pelaksananya, terakhir dengan diundangkannya UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).

Namun, pasca Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), pendekatan sektoral administrasi perizinan dalam undang-undang pertambangan terjadi pergeseran ke rezim urusan pemerintahan.

Melalui penjelasan di atas, akan memberikan ketegasan di sini bahwa keberadaan TI di Bangka Belitung saat ini secara yuridis mengalami kekosongan hukum karena semua pengaturan terkait TI berada dalam kewenangan pemerintah pusat, yang menyebabkan kewenangan dalam menetapkan izin oleh bupati/ walikota telah ditiadakan.

Hal ini saja dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pertambangan rakyat karena tidak ada kejelasan pihak mana yang berwenang menetapkan izin yang telah memenuhi syarat dan kriteria sesuai ketentuan yang berlaku.

Beberapa peran strategis pemerintah daerah termuat dalam dalam Pasal 7 dan Pasal 8 UU Minerba No.4 Tahun 2009 telah dihapus atau dicabut oleh pemerintah pusat. Saat ini, pemerintah daerah hanya menjadi perpanjangan tangan pemerintah pusat dalam hal pendelegasian atau pelimpahan kewenangan perizinan sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat 4 UU Minerba No.3 Tahun 2020.

Dari aspek perizinan, pengawasan, pembinaan, penindakan, pengelolaan lingkungan pasca tambang (reklamasi), hingga jaminan keselamatan dan kesehatan penambang semua itu menjadi kewenangan pemerintah pusat. Pemda hanya difungsikan sebagai alat koordinasi pemerintah pusat. Masalah mendasar yang akan muncul budaya birokratisasi alur koordinasi yang akan panjang dan berbelit-belit dalam tata kelola pertambangan rakyat (Derita Prapti Rahayu&Faisal; 2021).


Masa Depan Indonesia Nanti

Kondisi investasi dari tambang timah kini bisa menjadi gambaran masa depan Indonesia nanti di mana terdapat kontribusi hasil dari pertambangan rakyat. Masa depan pertambangan rakyat yang sebelumnya ada di tangan kewenangan pemerintah daerah, saat ini dalam kondisi terbalik. Pemerintah pusat telah mengakuisisi kewenangan pemberian izin pertambangan rakyat melalui pihak kementerian terkait.

Pasca perubahan undang-undang pertambangan tahun 2020, utamanya pada Pasal 7 dan Pasal 8 telah dihapuskan dalam rangka mengambil alih pengelolaan dan perizinan pertambangan rakyat oleh otoritas pemerintah pusat. Terlebih lagi, pemberian izin pertambangan rakyat tidak hanya telah dipenuhinya persyaratan administrasi dan teknis, terbit atau tidaknya izin tambang rakyat sangat bergantung pada kondisi keuangan negara mengingat kewajiban reklamasi dibebankan pada pemerintah pusat yang memberikan izin sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 73 ayat (2). Padahal, wilayah dan daerahnya sebagai lokasi yang ditambang.

Boleh jadi, secara aspek materiil dan formil telah dilengkapi oleh perusahaan tambang yang sedang ingin ajukan izin, akan tetapi ada penolakan yang nyata dari masyarakat dari sisi aspek lingkungan dan sosial. Pemerintah pusat akan sangat minim akses informasi terhadap hal ini. Hanya pemerintah daerah yang lebih memahami kondisi sosio-kultur masyarakatnya. Kompleksitas masalah ini akan selalu bermunculan di tengah masyarakat pertambangan.

Dengan memangkas hak penguasaan pemerintah daerah terhadap mineral dan batu bara, hal itu menandakan perizinan dilakukan secara terpadu oleh pemerintah pusat. Hak otonomi yang telah diberikan kepada pemerintah daerah untuk mengurus dan mengelola daerahnya, termasuk di dalamnya mengenai pengelolaan sumber daya alam mineral dan batu bara, saat ini diambil alih oleh pemerintah pusat.

Pemerintah daerah nyaris tidak lagi memiliki hak otonomi yang sifatnya mandiri dalam hak penguasaan sumber daya alamnya terhadap kewenangan perizinan. Padahal, upaya yang paling rasional ialah memberikan hak penguasaan pengelolaan atas sumber daya alam agar setiap pemerintah daerah dapat melakukan pengawasan langsung terkait pemberian perizinan sebagai bentuk pengendalian kelestarian lingkungan hidup (Derita Prapti Rahayu&Faisal; 2021).

Dengan ditetapkan UU No. 3 tahun 2020 yang menghapus kewenangan Pemda, bagaimana akan menentukan sikap terhadap penambang rakyat yang masih beroperasi saat ini? Izin yang diberikan bertujuan untuk mengontrol lokasi tambang, luas wilayah yang ditambang, kemana hasil tambang akan dijual, keselamatan dan kesejahteraan warga sekitar pertambangan dan tidak kalah pentingnya siapa yang bertanggung jawab atas pengelolaan lahan pasca tambang (reklamasi), sehingga keberlangsungan lingkungan akibat tambang rakyat dapat terkendali.

Kerangka hukum pertambangan rakyat akan menampilkan ulasan-ulasan yang tidak sekedar teknis yuridis sebatas pada formulasi norma, tetapi yang utama akan menunjukkan "the spirit of laws" di balik diskursus hukum pertambangan rakyat itu. Seperti apa yang pernah dikatakan oleh Montesquieu bahwa "the spirit of laws" selain mencari semangat hukum, yakni mengungkap hubungan rumit antara hukum dengan lingkungan tempat hukum itu muncul, ia juga menjelajah segala kemungkinan bahwa segala macam faktor yang mempengaruhi semangat hukum manapun mengandung karakter atau warna yang tersebar dalam seluruh gaya hidup dan cara pandang masyarakat itu.

Hukum sama sekali bukan merupakan sesuatu yang dibuat begitu saja tanpa memiliki hubungan logis dengan lingkungannya (Montesquieu; 2007). Seperti yang ditegaskan oleh Tania Murray Li ketika ia menuliskan risetnya di Indonesia dan telah diabadikan menjadi buku dengan judul "The Will To Improve: Perencanaan, Kekuasaan, dan Pembangunan di Indonesia". Motifnya ialah kehendak untuk memperbaiki keadaan masyarakat dan lingkungannya.

Hal ini menjadi momen penting untuk memperbaiki pengelolaan sektor pertambangan di Provinsi Bangka Belitung agar lebih baik, aman dan adil. Tidak hanya membicarakan soal keuntungan pemerintah dan perusahaan, tetapi juga harus menjamin keselamatan dan kesejahteraan warga sekitar pertambangan.

Selama tiga tahun (2015-2017), dana bagi hasil (DBH) pertambangan mineral dan batubara untuk Provinsi Bangka Belitung sebesar Rp 383,87 miliar dengan rerata tiap tahun sebesar Rp 127,95 miliar, di mana pendapatan iuran tetap sebesar Rp 117,85 miliar (31%) atau rerata tiap tahun sebesar Rp 39,23 miliar. Sementara untuk pembayaran royalti sejumlah Rp 266,02 miliar (69%) atau rerata tiap tahun senilai Rp 88,67 miliar (Koalisi Jatam-Walhi Babel, 2017).

Pada 2017 Provinsi Babel mendapatkan total Dana Bagi Hasil (DBH) dari royalti timah sebesar Rp 40,5 miliar. Data Badan Keuangan Daerah (BAKUDA) Pemerintah Provinsi Babel periode Januari-Juni 2019, DBH sudah mencapai Rp 57,6 miliar. Kontribusi dana bagi hasil ini mayoritas dari PT Timah Tbk.

Sebagai produsen timah terbesar di Indonesia sesuai UU, PT Timah Tbk wajib berkontribusi kepada negara melalui pajak (PPh, PPN), PBB, royalti, iuran IUP atau lainnya, kontribusi produksi, dividen dan bea materai/ masuk, termasuk juga dana tanggungjawab sosial perusahaan. Nilainya pun mencapai triliun rupiah, tergantung pada produksi dan ekspor.

Jika melihat tren ekonomi, pada umumnya, signifikansi aktivitas pertambangan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terhadap pertumbuhan ekonomi direfleksikan dengan tinggi atau rendahnya kontribusi pertambangan dan aktivitas galian ikutannya terhadap Gross Regional Domestic Product (GRDP).

Pada kurun waktu lima tahun terakhir, kontribusi dari industri ini secara keseluruhan terhadap aktivitas ekonomi di Provinsi Bangka Belitung sekitar 12%. Angka ini lebih tinggi dari rata-rata angka nasional yang berkisar 7% (BPS 2016, percentage contribution of mining and quarrying industry to total GDRP).

Merujuk pada data ini, kontribusi langsung pertimahan bagi daerah, relatif masih sangat kecil apalagi dibandingkan dengan dampak dari aktifitas pertambangan ini. Namun hasil dari pertambangan yang belum maksimal ini pun sudah memegang peranan penting sebagai sumber pemasukan bagi daerah, bahkan timah masih menempatkan diri sebagai pemasok utama. Bisa diprediksikan apabila timah dapat dimaksimalkan nilai ekonomisnya (Yulianti, dkk; 2020).

Dr. Derita Prapti Rahayu, S.H.,M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung


(wia)
TAG: timah tambang esdm uu minerba tambang ilegal