Dalil yang menunjukkan bahwa Islam adalah agama Toleran

afi.unida.gontor.ac.id – Islam merupakan agama yang sangat toleran terhadap antar agama, namun tentu dengan batasan-batasan yang sudah berlaku dalam agama Islam. Karena keberagamana merupakan sunnatullah yang pasti akan terjadi dimuka bumi ini, keberagaman pun ada bermacam-macam, mulai dari suku, ras, agama, dan lain-lain. Didalam keberagaman ini dibutuhkan akan namanya toleransi, bahkan merupakan suatu keharusan, karena apabila tidak ada toleransi maka hidup akan menjadi tidak teratur.

Juga, tidak bisa dipungkiri bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang tentunya dituntut untuk berinteraksi dengan individu yang lainnya, didalam interaksinya akan terdapat suatu gesekan baik besar maupun kecil antara individu maupun kelompok. Tentu sangat dibutuhkannya toleransi. Toleransi sendiri merupakan suatu sikap menghargai dan menghormati akan adanya ras lain, suku lain, maupun agama lain. Dalam pembahasan ini akan mengkhususkan terkait dengan toleransi antar umat beragama.

Di indonesia sendiri terdapat berbagai macam agama resmi, diantaranya ada Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan Konghucu. Tentu butuh yang namanya toleransi, khususnya kita umat Islam untuk mengahargai dan menghormati agama selain Islam tentu dengan batasan-batasan yang ada.

Tetapi hari-hari ini ada orang yang menuduh bahwa Islam agama yang tidak toleran, dan hal ini menjadi lebih memilukan apabila yang mengatakan seperti itu adalah dari umat islam itu sendiri, hal ini merupakan kesalahan dalam cara memahami Islam. maka perlu adanya kembali kajian yang mendalam terkait toleransi yang ada dalam Islam dengan berlandaskan al-Qur’an dsan Sunnah.

Di dalam kebebasan umat beragama, Toleransi merupakan topik yang menarik untuk dibahas, namun ketika dihadapkan pada situasi dan kondisi pada hari ini, di mana Islam dihadapkan pada banyak kritikan, yang dipublikasikan oleh orang-orang yang tidak senang dengan Islam, seperti ucapan Islam adalah agama intoleran, diskriminatif dan ekstrem.

Islam dipandang sebagai agama yang tidak mau memberikan kebebasan beragama, kebebasan berpendapat. Sebaliknya, Islam sarat dengan kekerasan atas nama agama sehingga jauh dari perdamaian, kasih sayang, dan persatuan. (artikelislam.blogspot.co.id).

Tentu ungkapan diatas merupakan ungkapan yang tidak benar dan tidak tepat, dan pandangan seperti ini tentu sudah ada sejak lama, pandangan ini muncul karena kesalahan dalam mengambil kesimpulan dari para pengkritik Islam, dan kesalahan para pengkritik Islam sendiri tidak terlepas dari kenyataan yang ada bahwa ada sebagian umat Islam ada yang melakukan tindakan tidak baik yang mengatasnamakan jihad. Tentu hal ini merupakan kesalahan dalam memahami makna jihad didalam Islam.

Dari sinilah dapat ditarik benang merah bahwa adanya anggapan bahwa Islam adalah agama yang intoleran merupakan anggapan yang salah dan tidak tepat, karena pada dasarnya para pelaku intoleran itu adalah hanya oknum yang kurang memahami akan makna toleransi didalam Islam, dan menggeneralisir sesuatu yang hanya sedikit jumlahnya merupakan kesalahan dalam cara berfikir.

Makna Toleransi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia toleransi berarti bersifat atau bersikap menghargai, membiarkan, membolehkan pendirian (pendapat, pandangan kepercayaan) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Secara normative, toleransi merupakan salah satu diantara sekian ajaran inti dari Islam. Toleransi sejajar dengan ajaran fundamental yang lain, seperti kasih saying (rahmah), kebijaksanaan (hikmah), kemaslahatan universal (al-maslahah al-ammah), dan keadilan (Syarbini, 2011:129-130).

Menjadi toleran adalah membiarkan atau membolehkan orang lain menjadi diri mereka sendiri, menghargai orang lain, dengan menghargai asal-usul dan latar belakang mereka. Toleransi mengundang dialog untuk mengkomunikasikan adanya saling pengakuan.Inilah gambaran toleransi dalam bentuknya yang solid (Syarbini, 2011:136).

Toleransi bisa bermakna penerimaan kebebasan beragama dan perlndungan undang undang bagi hak asasi manusia dan warga negara. Toleransi adalah sesuatu yang mustahil untuk dipikirkan dari segi kejiwaan dan intelektual dalam hegemoni sistem-sistem teologi yang saling bersikap ekslusif (Baidhawi, 2001). Jika pengertian ini diimplementasikan dalam kehidupan beragama, maka dapat berarti mengakui, menghormati dan membiarkan agama atau kepercayaan orang lain untuk hidup dan berkembang.

Dan Pluralitas merupakan hukum ilahi dan sunnah ilahiyah yang abadi di semua bidang kehidupan, sehingga pluralitas itu sendiri telah menjadi karakteristik utama makhluk Allah pada level syari’at, way of life, dan peradaban, semua bersifat plural. Pluralitas merupakan realitas yang mewujud dan tidak mungkin dipungkiri, yaitu suatu hakikat perbedaan dan keragaman yang timbul semata karena memang adanya kekhususan dan karakteristik yang diciptakan Allah swt dalam setiap ciptaan-Nya.

Pluralitas yang menyangkut agama yaitu toleransi beragama berarti pengakuan akan eksistensi agama-agama yang berbeda dan beragama dengan seluruh karakteristik dan kekhususannya dan menerima kelainan yang lain beserta haknya untuk berbeda dalam beragama dan berkeyakinan (Thoha, 2005:206-207).

toleransi pada dasarnya adalah upaya untuk menahan diri agar potensi konflik dapat ditekan. Dan toleransi ini, adalah salah satu ciri pokok masyarakat egalitarian, yang dimana keanekaragaman budaya, etnis, bahasa dan sejenisnya bukan menunjukkan bahwa secara kodrati, yang satu lebih baik dari yang lain melainkan agar masing-masing saling mengenal, memahami, dan bekerja sama. Untuk itu diperlukan sikap saling pengertian, saling menghormati, dan menghargai, terbuka dan lapang dada (Mukti, 2002).

Dengan demikian, yang dimaksud konsep toleransi di sini adalah suatu sikap saling mengerti, memahami, dan menghormati adanya perbedaanperbedaan demi tercapainya kerukunan antar umat beragama. Dan dalam berinteraksi dengan aneka ragam agama tersebut, diharapkan masih memiliki komitmen yang kokoh terhadap agama masing-masing.

Toleransi Dalam Islam

Pada dasarnya setiap agama membawa kedamaian dan keselarasan hidup. Namun kenyataannya agama-agama yang tadinya berfungsi sebagai pemersatu tak jarang menjadi suatu unsur konflik. Hal tersebut disebabkan adanya truth claim atau klaim kebenaran pada setiap penganutnya. Padahal jika dipahami lebih mendalam kemajemukan diciptakan untuk membuat mereka saling mengenal, memahami, dan bekerjasama satu sama lain (Syarbini, 2011:129-130).

Ajaran Islam menganjurkan untuk selalu bekerjasama dengan orang lain dan saling tolong menolong dengan sesame manusia. Hal ini menggambarkan bahwa umat Islam diperintahkan untuk menjaga kerukunan umat beragama baik yang seagama maupun yang berbeda agama. Karena hal itu ada pada ajaran Islam itu sendiri. Jika ada perbuatan intoleran yang timbul, ketahuilah itu merupakan kesalahan pahamana atas Islam itu sendiri. Dalam hal ini kita dituntut untuk inklusiv disisi lain dan ekslusiv dilain sisi.

Dalam surah Al-baqarah ayat 256 patut menjadi perhatian bersama agar dalam dakwah dapat mempertimbangkan aspek toleransi dan kasih sayang yang telah digariskan oleh Allah dan Rasulullah. Tidak diperkenankan adanya pemaksaan, karena Memaksakankehendak bukanlah hak manusia.Sesungguhnya antara kebaikan dankezaliman sudah jelas.

Kalimat larangan ini diungkapkan dalam bentuk negatif secara mutlak. “Laa ikraaha fid din’ tidak ada paksaan untuk “memasuki‟ agama “Islam”. Menurut Sayyid Quthb (2000: 42- 343) ungkapan ini menegasikan semua bentuk pemaksaan, meniadakan pemaksaan secara mendasar. Dalam ayat diatas tidak ada paksaan dalam menganut agama.

Mengapa ada paksaan, padahal agama tidak butuh sesuatu, mengapa ada paksaan padahal sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja. (QS.Al-maidah: 48). Yang dimaksud dengan tidak ada paksaan dalam menganut agama adalah menganut akidahnya. Ini berarti jika seseorang telah menganut satu akidah maka dia terkait dengan tuntunantuntunanya. Dia berkewajiban melaksanakan perintah-perintahnya Quraish Shihab (2005:550).

Ada beberapa prinsip toleransi (Tasâmuh) yang dapat ditelusuri dalam al-Qur’ân, yaitu pengakuan adanya pluralitas dan berlomba dalam kebajikan, interaksi dalam beragama, serta keadilan dan persamaan dalam perlakuan. Menjaga hubungan baik dan kerjasama antar umat beragama yang terdiri dari menjaga hubungan baik antar sesama umat beragama, dan kerjasama antar sesama umat beragama.

Salah satu ayat yang dijadikan dasar untuk bersikap tasamuh ini adalah :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (الحجرات: 13)

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S Al-Hujurat : 13).

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ ۖ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ ۚ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ (المائدة: 48)

“Dan Kami telah menurunkan al-Qur’ân kepadamu dengan membawa kebenaran, mengkonfirmasi dan menjadi batu ujian terhadap kitabkitab yang ada sebelumnya; maka putuskan perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka dengan mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.

Untuk masing-masing dari kamu (umat manusia) telah Kami tetapkan hukum (syariah) dan jalan hidup (minhaj). Jika Allah menghendaki, maka tentulah Ia jadikan kamu sekalian umat yang tunggal (monolitik). Namun Ia hendak menguji kamu sekalian berkenaan hal-hal yang telah dikaruniakan-Nya kepada kamu. Maka berlombalah kamu sekalian untuk berbuat kebajikan. Kepada Allah-lah tempat kalian semua kembali, maka Ia akan menjelaskan kepadamu sekalian tentang perkara yang pernah kamu perselisihkan.”(Q.S Al-Maidah : 48)

Ayat ini dengan jelas menganjurkan suatu interaksi ko-eksistensi yang konstruktif dan penuh kedamaian, atau bahkan ayat ini mendesak kita untuk dengan segera menciptakan suatu masyarakat global yang terintegrasi.

Selanjutnya, didalam al-Qur’ân diyatakan bahwa pluralitas adalah salah satu kenyataan objektif komunitas umat manusia, sejenis hukum Allah atau sunnah Allah, dan bahwa hanya Allah yang tahu dan dapat menjelaskan, di hari akhir nanti, mengapa manusia berbeda satu dari yanglain. Muhammad Asad sebagaimana dikutip oleh Nurcholish Madjid (1998:108-109), salah seorang penafsir Al-Qur’ân dalam tafsirnya atas ayat di atas menyatakan:

“Pernyataan “masing-masing dari kamu” di atas menunjuk kepada berbagai komunitas yang membentuk umat manusia secara keseluruhan. Kata syir’ah (atau syari’ah) secara harfiah berarti “jalan menuju kepada sumber air” (dari mana manusia dan

binatang memperoleh unsur yang tidak dapat dipisahkan dari hidup mereka), dan dalam Al-Qur’ân digunakan untuk menunjuk ke sistem hukum yang harus ada untuk mencapai kebaikan sosial dan spiritual sebuah komunitas. Kata minhâj, pada sisi lain menunjuk kepada “jalan yang terbuka”, khususnya kata dalampengertian abstrak: yakni, jalan hidup.

Ayat ini menurut Baidhawi (2002:49-52) setidaknya mengandung tiga rinsip utama berkaitan dengan hidup dalam keragaman dan perbedaan, yaitu: Pertama, Prinsip plural is usual. Yakni, kepercayaan dan praktek kehidupan bersama yang menandaskan kemajemukan sebagai sesuatu yang lumrah dan tidak perlu diperdebatkan apalagi dipertentangkan.

Kedua, Prinsip equal is usual. Ayat tersebut merupakan normatifitas bagi kesadaran baru bagi manusia mengenai realitas dunia yang plural. Kesadaran ini bukan hanya karena manusia telah mampu melihat jumlah etnis dan bangsa yang sangat beragam di dunia ini. Namun kesadaran itu telah mengalami perkembangan sesuai dengan episteme zamannya.

Ketiga, Prinsip sahaja dalam keragaman (modesty in diversity). Bersikap dewasa dalam merespon keragaman menghendaki kebersahajaan; yakni sikap moderat yang menjamin kearifan berpikir (open mind) dan bertindak; jauh dari fanatisme yang sering melegitimasi penggunaan instrumen kekerasan dan membenarkan dirty hands (tangan berlumuran darah dan air mata orang tak berdosa) untuk mencapai tujuan apapun; mendialogkan berbagai pandangan keagamaan dan kultural tanpa diiringi tindakan pemaksaan.

Batas-Batas Toleransi antar Umat Beragama

Toleransi mengandung pengertian kesediaan menerima kenyataan pendapat yang berbeda-beda tentang kebenaran yang dianut. Dapat menghargai keyakinan orang lain terhadap agama yang dipeluknya serta memberi kebebasan untuk menjalankan apa yang dianutnya dengan tidak sinkretisme dan bukan pada prinsip agama yang dianutnya. Toleransi antar umat beragama dapat diwujudkan dalam bentuk antara lain:

a. Saling menghormati

b. Memberi kebebasan kepada pemeluk agama lain dalam menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya

c. Tolong-menolong dalam hidup bermasyarakat.

Meskipun demikian antar umat beragama dapat diwujudkan sebagaimana tersebut di atas, tetapi bukan berarti dalam melaksanakan toleransi ini dengan mencampur adukkan antara kepentingan sosial dan aqidah. Dalam melaksanakan toleransi ada batasan-batasan tertentu.

Menurut Ali Machsum (Rais’ Aam Nahdlatul Ulama) :

“Batasan toleransi itu ada menurut keyakinannya masing-masing. Islam menghormati orang yang beragama Kristen, Budha, Hindu dan agama lainnya. Bukan karena dia Kristen, Budha atau Hindu tapi Islam menghormati mereka sebagai umat Allah. Ciptaan Allah yang wajib dikasihi. Islam mewajibkan untuk saling menghormati sesama umat beragama, tapi akan murtad kalau dengan itu membenarkan agama lain… …” (Hasanuddin, 1420 H : 42).

Dari pendapat yang disampaikan oleh Ali Machsum, tentang batasan toleransi ini, membuktikan gambaran bahwa umat beragama bertoleransi dan menghormati orang lain (umat beragama lain) itu dengan tidak memandang apa agama yang dipeluk oleh orang tersebut melainkan dengan melihat bahwa dia adalah umat Allah atau ciptaan Allah yang wajib dikasihi dan dihormati sebab sebagai umat beragama dan umat manusia wajib saling meghormati dan mengasihi.

Toleransi antar umat beragama bukan sinkretisme, seperti yang telah dijelaskan di atas. Toleransi tidak dibenarkan dengan mengakui kebenaran semua agama. Sebab orang salah kaprah dalam mengartikan dan melaksanakan toleransi. Misalnya, ada orang yang rela mengorbankan syari’at agama dengan tidak minta izin pada tamunya untuk sholat malah menunggui tamunya karena takut dibilang tidak toleransi dan tidak menghargai tamu.

Bukan seperti ini yang diinginkan dalam toleransi itu, toleransi antar umat beragama yang diharapkan di sini adalah toleransi yang tidak menyangkut bidang akidah atau dogma masing-masing agama. Melainkan hanya menyangkut amal sosial antar sesama insan sosial, sesama warga negara (Hasanuddin, 1420 H : 50)., sehingga tercipta. persatuan dan kesatuan.

Setiap agama mempunyai ajaran sendiri-sendiri dan pada dasarnya tidak ada agama. yang mengajarkan kejelekan kepada penganutnya. Salah satu tujuan pokok ajaran agama adalah pemeliharaan terhadap agama itu sendiri, yang antara lain menuntut peningkatan pemahaman umat terhadap ajaran agamanya serta membentengi mereka dari setiap usaha pencemaran atau pengaruh lain yang membuat akidah mereka tidak murni lagi (Quraish Shihab, 1992 : 368).

Begitu juga dengan agama Islam, agama Samawi yang ajarannya berasal dari Allah SWT, tidak menghendaki adanya pencampuran ajarannya dengan ajaran lain. Oleh karena itu untuk mengatisipasi hal tersebut Islam telah memberikan batasan-batasan pada umatnya dalam melaksanakan hubungan antar sesama manusia, apalagi dalam melaksanakan toleransi antar umat beragama.

Allah telah menurunkan kitab suci al-Qur’an kepada nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada segenap umat manusia, guna dijadikan pegangan dan pedoman hidup. Dalam kitab suci al-Qur’an inilah terdapat aturan tentang batasan-batasan dalam bertoleransi antar umat beragama bagi umat Islam. Sebagaimana firman Allah SWT :

إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَىٰ إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (الممتحنة : 9)

Artinya : “Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” QS. Al-Muntahanah : 9).

Dengan ayat ini, Allah memberi peringatan kepada umat Islam bahwa toleransi itu ada batasannya. Toleransi antar umat beragama tidak boleh dilaksanakan dengan kaum atau golongan yang memusuhi umat Islam karena agama dan mengusir orang-orang Islam dari kampung halamannya, kalau yang terjadi demikian maka umat Islam dilarang untuk bersahabat dengan golongan tersebut.

Bahkan dalam situasi dan kondisi yang demikian itu, Allah memerintahkan dan mewajibkan kepada umat Islam untuk berjihad dengan jiwa, raga dan harta bendanya untuk membela agamanya, hal ini dijelaskan dalam frman Allah SWT:

وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ (البقرة: 190)

Artinya : “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” (QS. Al-Baqarah : 190).

Di samping itu Allah juga memberikan batasan toleransi itu hanya sebatas pada kepentingan sosial atau kepentingan duniawi saja, tidak boleh menyangkut pautkan dengan masalah aqidah agama, hal ini dijelaskan dalam fiman Allah surat Al-Kafirun ayat 1-6 :

قُلْ يَٰٓأَيُّهَا ٱلْكَٰفِرُونَ ﴿١﴾ لَآ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ ﴿٢﴾ وَلَآ أَنتُمْ عَٰبِدُونَ مَآ أَعْبُدُ ﴿٣﴾ وَلَآ أَنَا۠ عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ ﴿٤﴾ وَلَآ أَنتُمْ عَٰبِدُونَ مَآ أَعْبُدُ ﴿٥﴾ لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِىَ دِينِ ﴿ ٦

Artinya : “Katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku” (Qs. Al-Kafirun : 1-6).

Ayat di atas diturunkan kepada nabi Muhammad pada waktu nabi diajak oleh kaum Musyrik Mekkah untuk mengadakan kompromi agama. Mereka (kaum Musyrik) mengajukan syarat yang tidak bisa diterima oleh Nabi, syaratnya yaitu dengan mengadakan ibadah secara bergantian, maksudnya, pada waktu-waktu tertentu kaum Musyrik melakukan ibadah seperti yang diajarkan oleh nabi Muharnmad, dan sebaliknya nabi Muhammad SAW dan pengikutnya pun harus mengikuti ibadah yang dilaksanakan oleh kaum Musyrik.

Tehadap keinginan kompromi semacam itu, Allah menurunkan wahyu sebagaimana tersebut dalam surat Al-Kafirun bahwa kompromi agama tidak mungkin dilakukan umat Islam, biarlah dalam hal ibadah ini masing-masing melaksanakan sesuai dengan keyakinannya (Ahmad Azhar Basyir, 1993 : 240).

Dan dengan surat ini secara tidak langsung Allah melarang keras adanya kompromi agama serta memberi tahu kepada umat manusia terutama umat Muhammad SAW, bahwa Islam tidak mengenal toleransi dalam hal keimanan dan peribadatan (Maftuh Adnan, 1992 : 240). Hal ini sudah tidak bisa diganggu gugat, sebagai umat Islam kita harus bisa melaksanakan semua itu, agar tidak tersesat.

Jadi Toleransi pada dasarnya adalah upaya untuk menahan diri agar potensi konflik dapat ditekan. Dan toleransi ini, adalah salah satu ciri pokok masyarakat egalitarian, yang dimana keanekaragaman budaya, etnis, bahasa dan sejenisnya bukan menunjukkan bahwa secara kodrati, yang satu lebih baik dari yang lain melainkan agar masing-masing saling mengenal, memahami, dan bekerja sama. Untuk itu diperlukan sikap saling pengertian, saling menghormati, dan menghargai, terbuka dan lapang dada

Dan Islam merupakan agama yang toleran terlepas dari batasan-batasan yang ada di dalam Islam. Menganggap Islam tidak toleran merupakan keputusan yang terburu-buru, dan kurangnya kajian ajaran didalam Islam. Toleransi merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan antar umat beragama. Demi damainya dunia ini mari kita saling menghargai dan menghormati antar sesama manusia walaupun agama berbeda.

Oleh: Muhammad Wahyudi S.Ag.
Alumni Aqidah dan Filsafat Islam Universitas Darusalam Gontor

Daftar Pustaka

Syarbini., Amirulloh, 2011., Mutiara Al-Qur’an., (Yogyakarta: Logung Pustaka,), hlm. vii.

Baidhawy, Zakiyuddin., 2002., Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, Jakarta: Penerbit Erlangga.

Mukti., Abdul, 2000., “Masyarakat Egalitarian”, dalam Thoha Hamim, at.all, Pendidikan Islam, Demokrasi dan Masyarakat Madani, Semarang: Fakultas Tarbiyah

Thoha., Anis Malik. 2006., Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, Jakarta: Perspektif

Shihab., M. Quraish Shihab, 2004., Tafsir al-Misbâh, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’ân Volume 13, (Jakarta: Lentera Hati, 2004), Cet.II., hlm. 261

Sayyid Quthb, 2000., Fi Dzilal Al-Qur’anterj, As’ad Yasin, Jakarta: GemaInsani,

Madjid,., Nurcholish., 1998., Mencari Akar-akar Islam Bagi Pluralisme Modern: Pengalaman Indonesia, dalam Toward A New Paradigm: Developments in Indonesian Islamic Thought, Terj. Ihsan Ali Fauzi, JalanBaru Islam, (Jakarta: Mizan, 1998),

Hasanuddin, A.H. Cakrawala Kuliah Agama, Al Ikhlas, Surabaya, 1402 H.

Basyir, Ahmad Azhar. 1993. Refleksi atas Persoalan Ke-Islaman Seputar Filsafat Hukum, Politik, Ekonomi, , Bandung : Penerbit Mizan, Cet I.