JAKARTA, INDONESIA (20 Februari 2018) — Indonesia perlu menciptakan lapangan kerja yang baik dan berkualitas demi meningkatkan produktivitas dan daya saingnya bagi pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif, demikian menurut studi baru dari Asian Development Bank (ADB). Studi tersebut, yang berjudul “Indonesia: Enhancing Productivity through Quality Jobs,” mengkaji secara mendalam berbagai tantangan dalam menciptakan lapangan kerja yang lebih baik dan meningkatkan produktivitas tenaga kerja di Indonesia, serta keterampilan yang dibutuhkan oleh angkatan kerja muda dan kian terpelajar guna memenuhi tuntutan era digital. Publikasi tersebut diluncurkan hari ini di Jakarta, dalam sebuah acara yang diselenggarakan oleh ADB dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. “Indonesia punya potensi luar biasa yang bisa dimanfaatkan dari angkatan kerjanya yang masih muda dengan mengatasi tantangan jangka panjang dalam penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan yang lebih inklusif,” ungkap Rudy Salahuddin, Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Kreatif, Kewirausahaan, dan Daya Saing Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. “Indonesia tak hanya perlu menciptakan angkatan kerja yang lebih terampil, tetapi juga perlu menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi global yang cepat dan perbaikan keterampilan yang diperlukan,” ujar Bambang Susantono, Wakil Presiden ADB Bidang Pengelolaan Pengetahuan dan Pembangunan Berkelanjutan. Studi ini menghasilkan tiga pesan utama mengenai cara menciptakan lapangan kerja yang baik dan berkualitas bagi angkatan kerja Indonesia yang besar. Yang pertama, diperlukan peningkatan pendidikan dan pengembangan keterampilan agar tercipta cukup banyak lapangan kerja kualitas guna meningkatkan produktivitas. Yang kedua, kebijakan publik harus mendukung pertumbuhan kota secara berkesinambungan, untuk meningkatkan produktivitas. Terakhir, harus ada upaya berkelanjutan untuk menyempurnakan institusi dan peraturan pasar ketenagakerjaan guna menciptakan pilihan pekerjaan yang makin luas dan jaminan penghasilan yang lebih baik bagi para pekerja. Studi tersebut mengidentifikasi prakarsa kebijakan yang berfokus pada penciptaan lapangan kerja yang lebih baik di pasar tenaga kerja, meningkatkan produktivitas tenaga kerja, dan memfasilitasi adaptasi para pekerja terhadap tantangan dunia digital. Isu-isu tersebut dibahas baik dari sisi pasokan (supply) maupun dari sisi permintaan (demand) pasar tenaga kerja. Para pembuat kebijakan perlu memastikan bahwa peningkatan produktivitas juga mencakup kelompok miskin, perempuan, lansia, dan kelompok yang kurang beruntung lainnya. Institusi pasar tenaga kerja, seperti perusahaan swasta, usaha kecil, dan kelompok masyarakat juga berperan sangat penting dalam membantu meningkatkan kualitas dan kapasitas tenaga kerja Indonesia. Menggabungkan teknologi, gagasan, dan perbaikan lingkungan kerja dalam menciptakan kesempatan kerja baru akan meningkatkan produktivitas, yang berkontribusi untuk meningkatkan standar kehidupan. ADB, yang berbasis di Manila, dikhususkan untuk mengurangi kemiskinan di Asia dan Pasifik melalui pertumbuhan ekonomi yang inklusif, pertumbuhan yang menjaga kelestarian lingkungan hidup, dan integrasi kawasan. Didirikan pada 1966, ADB dimiliki oleh 67 anggota—48 di antaranya berada di kawasan Asia dan Pasifik.
Jumat , 28 Nov 2014, 14:01 WIB Republika/Yasin Habibi Red: Erik Purnama Putra REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra/Wartawan RepublikaPaparan menarik disampaikan Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Ahmad Erani Yustika di Jakarta pada Kamis (27/11), terkait kinerja perekonomian Indonesia. Salah satu isu utama yang patut disoroti adalah warisan masalah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkait lapangan kerja.Menurut data Indef, pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam 10 tahun terakhir memang cukup menggembirakan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi tahun 2013 mencapai 5,78 persen.Sayangnya, hal itu menyisakan masalah dengan tidak diikuti terciptanya banyak lapangan kerja. Pasalnya, elastisitas satu persen pertumbuhan ekonomi hanya menciptakan 164 ribu lapangan kerja. Hal itu berarti hanya tercipta 947.920 lapangan kerja pada tahun lalu.Mengacu efektivitas pertumbuhan ekonomi, terjadi penurunan sangat signifikan dibandingkan pada 2004. Ketika awal memimpin, pertumbuhan ekonomi satu persen berkolerasi dengan 436 ribu lapangan kerja.Kalau saja pemerintah mampu mengoptimalkan pertumbuhan ekonomi seperti semula, setidaknya tahun lalu tercipta 2.520.080 tenaga kerja. Dengan kata lain, sebanyak 1.572.160 angkatan kerja belum terserap dunia kerja dan masih harus berkompetisi untuk lepas dari status pengangguran.Fakta tersebut jelas membuat miris. Itu ditambah data bahwa pada tahun lalu, tercatat 360 ribu sarjana masih belum mendapat pekerjaan. Jumlah itu merupakan 5,04 persen dari total pengangguran di Indonesia yang mencapai 7,17 juta orang.Angka itu bisa dengan mudah dikurangi andai saja pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa lebih berkualitas. Tantangan ini mau tidak mau harus diselesaikan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) dengan cepat agar tidak menjadi bom waktu pada masa depan. Masalah tenaga kerja Mau tidak mau kelompok tersebut akan dikategorikan sebagai TKI informal. Tentu sangat tepat kalau Kemenaker berusaha menekan pengiriman unskilled TKI, bahkan kalau bisa disetop. Hal itu sesuai dengan rencana Muhaimin Iskandar yang menetapkan ditiadakannya TKI informal pada 2017. Indonesia lebih baik mengirim TKI yang memiliki keahlian, seperti dokter, insinyur, atau perawat. Peran Kemenaker Mereka tidak hanya sanggup bersaing di dalam negeri dalam mencari pekerjaan yang layak, tetapi juga siap menghadapi tenaga kerja negara tetangga lantaran memiliki skill mumpuni. Pasalnya, kalau tidak begitu, nantinya perguruan tinggi dan SMK hanya mencetak lulusan pengangguran. Jangan sampai, misalnya, semakin banyak mahasiswa menganggur yang tentu menjadi pengangguran terdidik. Hanya saja, catatan ekonom Drajat Wibowo patut dijadikan bahan pegangan. Sekarang, pertumbuhan ekonomi sedang melambat seiring melemahnya ekonomi global. Kalau pertumbuhan ekonomi melambat, otomatis penyerapan tenaga kerja berkurang. Sehingga, kalau tidak diantisipasi, boro-boro mengurangi pengangguran, yang terjadi malah tenaga kerja tak terserap semakin bertambah. Sekarang, kita tunggu saja hasil kerja nyata Menaker Hanif Dhakiri…
|