I. PENDAHULUAN Prof. Abdul Bari Azed berpandangan bahwa konsep negara hukum merupakan pemenuhan hak-hak asasi manusia (HAM) yang harus dilindungi, dan HAM yang paling penting adalah keiuktsertaan atau partisipasi rakyat dalam membuat peraturan-peraturan perundang-undangan yang akan mengatur kehidupannya.[2] Dan partisipasi rakyat untuk menyalurkan kepentingannya dengan ikut serta mengambil bagian dalam pembuatan kebijakan, dan dalam bentuk yang sederhana adalah dengan mengikuti pemilu, atau ikut menjadi anggota parpol, mendirikan parpol, atau mengakomodasi kepentingannya dalam kehidupan bernegara. Kendati menurut teori ilmu hukum tata negara parpol merupakan suatu kajian yang penting, tetapi di dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) Asli tidak menyebut (mengatur) secara eksplisit dan jelas mengenai parpol. Di dalam Penjelasan UUD 1945 (Asli) menyatakan bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum dan bukan negara kekuasaan (machtstaat). Dengan demikian pentingnya peranan parpol di dalam paradigma UUD 1945 (Asli) hanya dapat disimpulkan dari analisa teori-teori hukum tata negara mengenai hubungannya antara negara hukum, kedaulatan rakyat, demokrasi, dan hak asasi manusia (HAM). Lain hal dengan UUD 1945 yang sudah dirubah (Amandemen Kedua) yang menyebut secara eksplisit mengenai parpol. Di dalam Pasal 6 A UUD 1945 (Amandemen Kedua) yang menyatakan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Maraknya beridirinya partai-partai baru setelah berhentinya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 adalah bersamaan dengan adanya perubahan politik yang besar pada saat itu. Gerakan mahasiswa Indonesia pada tahun 1998 (Gerakan 1998) akan ditulis tinta emas di dalam sejarah Republik Indonesia. Sekurang-kurangnya ada dua keberhasilan yang sangat fundamental dari Gerakan 1998, yaitu : pertama, berhasil memaksa Presiden Soeharto yang sudah berkuasa selama 32 tahun untuk berhenti, hingga pemerintahan otoriter Orde Baru menjadi; dan kedua, mendorong lahirnya Gerakan Reformasi di segala bidang.[3] Pengangkatan Prof. B.J. Habibie sebagai Presiden R.I merupakan tonggak awal periode reformasi.[4] Prof. B.J. Habibie melakukan reformasi di segala bidang, memulihkan kehidupan di bidang sosial-ekonomi, dan meningkatkan demokrasi.[5] Di dalam era Presiden Prof. B.J. Habibie, kehidupan bernegara menjadi demokratis, termasuk di dalamnya mengenai wacana pendirian partai politik (parpol) yang baru. Sri Bintang Pamungkas mempelopori mendirikan parpol yang baru, di luar tiga parpol yang diakui pada saat itu, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Golongan Karya (Golkar). Kemudian baru lahir parpol-parpol yang lain sehingga berjumlah 48 parpol, yang pada akhirnya parpol-parpol tersebut mengikuti pemilihan umum yang pertama di era reformasi pada tanggal 7 Juni 1999. Semenjak itu, peran parpol di dalam kehidupan bernegara semakin menonjol. Kebijakan-kebijakan negara, baik pembuatan undang-undang di Dewan Perwakilan Perwakilan maupun oleh Presiden dalam mengeluarkan peraturan pelaksanaan undang-undang, banyak mendengar masukan dari parpol. Begitupun juga dalam melaksanakan pemilihan umum (pemilu) yang pertama di era reformasi pada tanggal 7 Juni 1999, peranan parpol sangat sentral dan strategis. Pelaksana pemilu tahun 1999 tersebut adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang beranggotakan dari seluruh unsur-unsur parpol yang ikut di dalam Pemilu 1999. Selain pelaksana Pemilu 1999, KPU juga yang membuat regulasi Pemilu 1999, penetapan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode tahun 1999-2004, Utusan Golongan dan Utusan Daerah untuk Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat periode tahun 1999-2004. Demikianpun juga dalam pelaksanaan roda pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun di daerah, peranan parpol sangat signifikan, terutama di dalam penyampaian aspirasi dan kontrol sosial. Hal tersebut terlihat di dalam proses perubahan (amandemen) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), banyak aspirasi masyarakat yang disalurkan melalui parpol, terutama mengenai pembatasan masa jabatan presiden, penjaminan hak azasi manusia (HAM), pemiliahan presiden secara langsung. Peran parpol di dalam menyerap aspirasi masyarakat juga nampak dari hasil Pemilu 2004. Hasil perolehan suara di dalam Pemilu 2004 memperlihatkan terjadi perubahan, diantaranya yang menonjol yaitu : Nama Partai Pemilu 1999 Pemilu 2004 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 35.689.173 21.026.629 Partai Keadilan/Partai Keadilan Sejahtera 1.436.565 8.325.020 Partai Demokrat Tidak ikut 8.455.225 Sumber : Komisi Pemilihan Umum Dari tabel di atas menunjukan adanya peran parpol di dalam menyerap aspirasi masyarakat. Sebelum Pemilu 2004 dilaksanakan, banyak masyarakat (terutama mahasiswa dan pemuda) yang tidak puas terhadap Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang mempunyai kursi terbanyak di DPR tidak dapat memberantas Korupsi, Kolisi, Nepotisme (KKN) secara tuntas, sehingga perolehan suara PDIP di dalam Pemilu 2004 menjadi menurun. Sedang Partai Keadilan atau Partai Keadilan Sejahtera (nama pada Pemilu 1999, yang kemudian pada Pemilu 2004 berganti nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera) mendapat penambahan suara yang besar (sekitar 7 juta suara) disebabkan kalangan mahasiswa dan pemuda menaruh harapan agar partai ini sanggup memberantas KKN secara tuntas. Sedang Partai Demokrat yang merupakan parpol yang baru ikut Pemilu 2004, mendapat suara yang melebihi Partai Keadilan Sejahtera, disebabkan ketokohan Susilo Bambang Yudhoyono yang ada dibelakang Partai Demokrat diharapkan masyarakat luas untuk dapat melola negara yang lebih baik. Bersamaan dengan semakin berperannya parpol dalam kehidupan negara yang demokratis, timbul konflik-konflik di dalam tubuh parpol. Salah satu konflik parpol yang menarik perhatian masyarakat adalah perselisihan di dalam tubuh Partai Kebangkitan Bangsa. Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI) pada hari Rabu tanggal 16 November 2005 telah memutus perkara sengketa partai politik (parpol) antara Alwi Shihab melawan Muhaimin Iskandar di tingkat Kasasi.[6] Majelis Hakim Kasasi MA RI menilai pemecatan Alwi Shihab dari keanggotaan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) cacat hukum, karena melanggar Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PKB. Harifin A. Tumpa (salah satu Anggota Majelis Hakim Kasasi) mengatakan kepada Harian Kompas bahwa putusan tersebut diambil melalui mufakat bulat dan Majelis Hakim tidak mengabulkan seluruh gugatan, melainkan hanya sebagian. Lebih jauh menjelaskan bahwa menurut AD/ART PKB, pemilihan Ketua Umum Dewan Tanfidz dilakukan melalui muktamar yang diselenggarakan lima tahun sekali. Ketua Dewan Tanfidz bertanggungjawab kepada Muktamar. Cacat hukum yang dimaksud adalah pemecatan Alwi tidak dilakukan melalui muktamar. Menurut Harifin A. Tumpa putusan MA RI tersebut tidak membawa konsekwensi apapun, karena pengurus baru sekarang sudah ada. Selanjutnya Harifin A. Tumpa berharap putusan MA RI tersebut membuat para pihak berdamai. Putusan MA RI tersebut bukan saja merupakan perkembangan baru semenjak Undang-Undang No.31 tahun 2002 tentang Partai Politik yang diundangkan pada tanggal 27 Desember 2002, tetapi juga merupakan peristiwa yang pertama kali terjadi di era reformasi yang kehidupan politiknya demokratis dan liberal. Konflik kepartaian seperti yang dialami oleh PKB tersebut, juga dialami oleh parpol-parpol besar lainnya seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Bintang Reformasi (PBR), Partai Demokrat (PD). Namun perselisihan kepartaian yang pada akhir berujung berpekara di pengadilan yang dialami PDIP, PBR, dan PBR belum sampai dengan tingkat kasasi. Bahkan PBR sudah berdamai, dan gugatannya sudah dicabut. Sementara itu perselisihan kepartaian yang pada akhir berujung berpekara di pengadilan yang dialami PKB bukan hanya gugatan dari Alwi Shihab itu saja. Pada tahun 2002 PKB mengalami Dualisme Kepemimpinan antara PKB Batutulis yang dipimpin Matori Abd. Djalil dan PKB Kuningan yang dipimpin Alwi Shihab, yang pada akhirnya berpekara sampai di pengadilan. Sesungguhnya perselisihan internal parpol bukan hanya berujung di pengadilan, tapi ada juga perselisihan internal parpol hingga mengakibatkan parpol bersangkutan pecah, antara lain seperti Haryanto Taslam yang merupakan tokoh pendiri PDIP pada akhirnya mendirikan Partai Nasional Banteng Kemderkaan (PNBK). Atau perselisihan internal parpol hingga menyebabkan tokoh-tokoh pendiri partai meninggalkan parpol yang dibentuknya semula, antara lain Faisal Basri meninggalkan Partai Amanat Nasional (PAN). B. Pokok Permasalahan. C. Kerangka Teori. 2.Partai politik menurut Miriam Budiardjo :[8] 3.Partai politik menurut Carl J. Fiederich : [9] 4.Partai politik menurut Soltau :[10] 5.Partai politik menurut Sigmund Neumann :[11] 6.Partai politik menurut Ichlasul Amal :[12] 7.Partai politik menurut Mark N. Hagopian:[13] 8.Menurut Nazuruddin Sjamsuddin, Zukifli Hamid, dan Toto Pribadi :[14]
9.Menurut H. Anto Djawamaku :[15]
10.Menurut Nurcholish Madjid : [16]
A. Batasan dan Pengertian Partai Politik. Sementara itu Miriam Budiardjo berpendapat bahwa Partai politik menurut adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusionil untuk melaksanakan kebijsaksanaan-kebijaksanaan mereka :[18] Partai politik menurut Carl J. Fiederich adalah sekelompok manusia yang terorganisiir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan, berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil.[19] Partai politik menurut Soltau adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih bertujuan menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijakanaan umum mereka.[20] Partai politik menurut Sigmund Neumann adalah organisasi aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.[21] Partai politik menurut Ichlasul Amal adalah suatu kelompok yang mengajukan calon-calon bagi jabatan publik untuk dipilih oleh rakyat sehingga dapat mengontrol atau mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintah.[22] Partai politik menurut Mark N. Hagopian adalah suatu organisasi yang dibentuk untuk mempengaruhi bentuk dan karakter kebijaksanaan publik dalam kerangka prinsip-prinsip kepentingan ideologis tertentu melalui praktek kekuasaan secara langsung atau partisipasi rakyat ddalam pemilihan.[23] Berdasarkan batasan-batasan mengenai parpol seperti tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa :
B. Fungsi Partai Politik. 1.Sebagai sarana komunikasi politik : 2.Sebagai sarana Sosialisasi Politik (Instrument of Political Socializzation). 3.Sebagai sarana Rekrutmen Politik. 4.Sebagai sarana pengatur konflik. Sementara itu Ramlan Surbakti berpendapat bahwa fungsi utama partai politik adalah mencari dan mempertahankan kekuasaan untuk mewujudkan program-program yang disusun berdasarkan ideologi tertentu.[25] Selain fungsi utama parpol seperti tersebut, menurut Ramlan Surbakti masih ada fungsi parpol lainnya, yaitu :
C. Jenis-Jenis Partai Politik.
Partai Proto adalah tipe awal partai politik sebelum mencapai tingkat perkembangan seperti dewasa ini. Partai semacam ini muncul di Eropa Barat sekitar abad pertengahan hingga akhir abad ke-19. Ciri paling menonjol dari partai proto adalah pembedaan antara kelompok anggota (ins) dengan non-anggota (outs). Selebihnya, partai ini belum menunjukan ciri sebagai parpol dalam pengertian moderen. Karena, partai proto sesungguhnya adalah fkasi yang dibentuk berdasarkan pengelompokan ideologis masyarakat. Partai kader merupakan perkembangan lebih lanjut partai proto. Partai ini muncul sebelum diterapkannya sistem hak pilih secara luas bagi rakyat hingga sangat bergantung pada masyarakat kelas menengah ke atas yang memiliki hak pilih, keanggotaan yang terbatas, kepemimpinan, serta para pemberi dana. Tingkat organisasi dan ideologi partai kader sesungguhnya masih rendah karena aktivitasnya jarang didasarkan pada program dan organisasi yang kuat. Keanggotaan partai kader terutama berasal dari golongan kelas menengah ke atas. Akibatnya, ideologi yang dianut partai kader adalah konservatisme ekstrem atau maksimal reformisme moderat. Karena itu partai kader tiidak memerlukan organisasi besar yang dapat memobilasasi massa. Dengan demikian, dalam pengertian ini partai kader lebih nampak sebagai suatu kelompok informal daripada sebagai organisasi yang didasarkan pada disiplin. Partai massa muncul pada saat terjadi perluasan hak pilih rakyat sehingga dianggap sebagai suatu respon politis dan organisasional bagi perluasan hak-hak pilih serta pendorong bagi perluasan lebih lanjut hak-hak pilih tersebut. Latar belakang muncul partai massa sangat bertolak belakang dengan kemunculan partai proto maupun partai kader. Partai proto dan partai kader terbentuk di dalam lingkungan parlemen (intra parlemen), memiliki basis pendukung kelas menengah ke atas, serta memiliki tingkat organisasial dan ideologis yang relatif rendah. Sebaliknya, partai massa dibentuk di luar lingkungan parlemen (ekstra parleementer), berorientasi pada basis pendukung yang luas, misalnya : buruh, petani, dan kelompok agama, dan memiliki ideologi yang cukup jelas untuk memobilisasi massa serta mengembangkan organisasi yang cukup rapi untuk mencapai tujuan-tujuan ideologisnya. Tujuan utama partai massa tidak hanya memperoleh kemenangan dalam pemilihan, tetapi juga memberikan pendidikan politik bagi para anggotanya dalam rangka membentuk elit yang langsung direkrut dari massa. Partai Catch-all merupakan gabungan dari partai kader dan partai massa. Istilah Catch-all pertama kali dikemukakan oleh Otto Kirchheimer untuk memberikan tipologi pada kecenderungan perubahan karakteristik partai-partai politik di Eropa Barat pada massa pasca Perang Dunia Kedua. Catch-all dapat diartikan sebagai menampung kelompok-kelompok sosial sebanyak mungkin untuk dijadikan anggotanya. Tujuan utama partai ini adalah memenangkan pemilihan dengan cara menawarkan program-program dan keuntungan bagi anggotanya sebagai ganti ideologi yang kaku. Dengan demikian, aktivitas partai ini erat berkaitan dengan kelompok kepentingan dan kelompok penekan. D. Konflik dan Perpecahan Partai Politik. Konflik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah : 1) Percecokan, pertentangan; 2) Ketegangan atau pertentangan antara dua kekuatan atau dua tokoh.[27] Menurut Nazuruddin Sjamsuddin, Zukifli Hamid, dan Toto Pribadi Perpecahan dalam parpol bisa disebabkan tiga hal:[28] 1)Perbedaan ideologi dari para anggotanya. Sedangkan menurut H. Anto Djawamaku Ada beberapa macam konflik internal dalam tubuh parpol, yaitu :[29]
III. KONFLIK PARTAI POLITIK DI INDONESIA A. Berdirinya Partai Politik di Indonesia. Partai politik sebagai institusi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan masyarakat dalam mengendalikan kekuasaan. Hubungan ini banyak dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat yang melahirkannya. Kalau kelahiran partai politik sebagai pengejewantahan dari kedaulatan rakyat dalam politik formal, maka semangat kebebasan selalu dikaitkan orang dalam membicarakan partai politik sebagai pengendali kekuasaan. Partai poltik sering dianggap sebagi salah satu atribut negara demokrasi modern, dan tidak ada seorang ahlipun dapat membantahnya, karena partai politik sangat diperlukan kehadirannya bagi negara-negara yang berdaulat. Bagi negara-negara yang merdeka dan berdaulat eksistensi partai politik merupakan prasyarat baik sebagai sarana untuk menyalurkan aspirasi rakyat,juga terlibat langsung dalam proses penyelenggaraan negara melalui wakil-wakilnya yang duduk dalam badan-badan perwakilan rakyat. Partai politik,sering diasosiasikan sebagai organisasi perjuangan, tempat seseorang/kelompok mencari dan memperjuangkan kedudukan politik dalam negara. Bentuk perjuangan yang dilakukan oleh setiap partai politik tidak harus menggunakan kekerasan/kekuatan fisik, tetapi melalui berbagai konflik dan persaingan baik intern partai maupun antar partai yang terjadi secara melembaga dalam partai politik umumnya. Sebagaimana dikatakan oleh Huszar dan Stevenson dalam bukunya Political Science mengemukakan Partai Politik ialah sekelompok orang yang terorganisir serta berusaha untuk mengendalikan pemerintahan agar supaya dapat melaksanakan progam-progamnya dan menempatkan/menundukkan anggota-anggotanya dalam jabatan pemerintah; partai politik berusaha untuk memperoleh kekuasaan dengan dua cara yaitu ikut serta dalam pelaksanaan pemerintah secara sah,dengan tujuan bahwa dalam pemilu memperoleh suara mayoritas dalam badan legislatif,atau mungkin bekerja secara tidak sah/subversif untuk memperoleh kekuasaan tertinggi dalam negara yaitu melalui revolusi atau coup detat. Persaingan antar partai politik merupakan bagian intergral dalam proses politik, guna memperoleh kemenangan dala proses pemilu.Dengan suara mayoritas dalam pemilu, partai yang bersangkutan akan dapat berbuat banyak dalam mengendalikan negara dan pemerintahan;memperkuat dan memperjuangkan ideologi partainya; mempertahankan posisi elitnya dalam kekuasaan pemerintahan;serta merealisir tujuan lebih lanjut,yaitu mengawasi kebijaksanaan umum. Sebagaimana dikatakan Carl.J.Friederich bahwa, partai poltik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara mapan dengan tujuan untuk menjamin dan mepertahanlan pemimpin-pemimpinnya,tetap mengendalikan pemerintahn dan lebih jauh lagi memberikan keuntungan-keuntungan terhadap anggota partai baik keuntungan yang bersifat materiil maupun spirituiil. Sejarah mencatat untuk pertama kali partai politik tumbuh dan berkembang di negara-negara Eropa Barat, merupakan suatu tahap agar pemerintahan yang dijalankan harus berdasarkan kontitusi dan perwakilan. Hasil pembangunan politiknya telah membatasi kekuasaan Monarchi absolut dan perluasan hak-hak warga negara.Keberhasilan inilah yang mendorong meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik.Dan pada gilirannya menempatkan partai politik berfungsi menjadi penghubung antara rakyar dengan pemerintahan, dimana rakyat dapat menentukan pilihannya dengan leluasa,memperjuangkan kepentingannya,mengkritik rezim yamg memerintah,melakukan tata hubungan politik dan lain-lain. Telah banyak penelitian empiris menunjukkan perspektif bari di mana partai-partai politik dan sistem kepartainnya bisa dianalisis dan dipahami secara lebih mendalam dalam kehidupan masa kini.Selain itu,berbagai usaha telah dilakukan untuk menghubungkan partai partai politik dengan lembaga-lembaga lain dalam masyarakat,dengan berbagai kelompok yang bertujuan mengejar kekuasaan dan pencapaian tujuan-tujuan dan kepentingannya. Dalam konteks ini masyarakat sering dipandang sebagai organisme yang dinamis tempat berkembangnya pelbagai persaingan guna memperoleh prestisi,status,kekuasaan perasaan aman. Kompetisi yang berkembangnya biasanya diliputi oleh tujuan-tujuan yang ingin dicapai, bahkan membawa atribut-atribut kelompok yang berafiliasi untuk diperjuangkan kepentingannya. Kondisi konflik dan persaingan semacam ini merupakan hal yang lumrah dan tidak bisa dielakkan dalam kehidupan sehari-hari. Telah banyak penelitian empiris menunjukkan perspektif baru di mana partai-partai politik bisa dianalisis dan dipahami secara lebih mendalam. Kalau kita lihat ketentuan UUD 1945, tidak dijumpai kata-kata partai politik, hal ini tidak berarti bahwa partai politik tidak boleh ada/diatur,apalagi kalau menyangkut kepentingan bangsa dan negara. Berdasarkan pengalaman-pengalaman perkembangan demokrasi di negara kita dalam hubungannya dengan pelaksanaan UUD 1945, Konsitusi RIS dan UUDS50,telah timbul kecenderungan untuk mengatur kehidupan kepartaian. Dilihat dari sudut ideologi dasar,munculnya partai politik di Indonesia pada masa pra kemerdekaan secara garis besar adalah sebagai akyualisasi dari tiga aliran atau pandanagan politik yang menemukan momentum kelahirannya pada dekade abat ke20.Ketiga aliran itu ialah Islam,Nasionalisme,daan Marxisme/Sosialisme.Aktualisasi aliran Islam muncul pertama dalam Sarekat Islam (SI),sebagai partai politik pertama yang bercorak nasional.Partai Sarekat Islam sering dianggap sebagai partai pelopr dan parati ini menjadi dinamis di bawah pimipinan H.O.S.Cokroaminoto.Hal yang menarik dari SI pada periode awal adalah mampu mengidentitaskan dirinya dengan aspirasi politik Bumi Putera untuk memperjuangkan kemerdekaan.Pada tahun 1920-an dengan kelahiran PKI,PNI,yang bercorak ideologi Marxisme dan Nasionalisme,membawa dampak wibawa SI menurun,dan tidak mampu bersaing dengan ideologi-ideologi modern yang berasal dari Barat dalam merebur massa rakyat. PKI yang lahir pada tahun 1920, dalam tempo yang relatif sumgkat berkembang dengan pesat,baik di bidang organisasi maupun dalam usaha memasyarakatkan Marxisme/Komunisme.Partai ini tidak saja berhasil mempengaruhi massa rakyat,juga berhasil memikat kaum intelektual,terutama dengan memperkenalkan analisa Lenin dan Bucharin tentang imperalisme sebagai tingkat terakhir dari kapitalisme. Bilamana pemberontakan PKI tahun 1926/1927 tidak terjadi,tidak menutup kemungkinan PKI akan menjadi pelopor dalam perjuangan anti kolonialisme/imperalisme.Kesalahan PKI waktu itu membuat satu perjuangan (pemberontakan)tanpa persiapan yang matang.Periode 1927 sampai dengan 1945 aktualisasi ideologi Marxis hilang dari arena gerakan politik Indonesia.Kondisi seperti ini,kedudukannya mampu digantikan oleh PNI sebagai partai radikal-revolusioner dan Soekarno mampu belajar dari pengalaman dan kelemahan SI dan PKI. Kalau kita perhatikan jalan pemikiran yang melandasi organisasi-organisasi politik seperti Sarekat Islam(1912), PKI(1921), PSII(1930), PNI(1927), Partindo, Parindra, dan kelompok-kelompok yang berdasarkan suku kederahan seperti Paguyuban Pasundan (1914), Sarikat Sumatra (1918), Serikat Ambon (1920), Rukun Minahasa dan Kaum Betawi (1923) dan lain-lain,jelas perjuangan utama mereka adalah kemerdekaan dari kolonialisme/imperalisme.Namun kalau diklfikasi lebih lanjut, akan meninjukkan beragam alasan dari aliran politik Islam, Nasionalisme dan Marxisme dalam melihat tuntutan untuk merdeka. Perjalanan kehidupan partai politik di Indonesia sering dihadapkan pada berbagai masalah, seperti bagaimana partai politik mengorganisir dirinya agar terbebas dari ancaman perpecahan; bagaimana hubungan antara partai politik dengan rakyat pendukungnya;bagaimana peranan ideologi di dalam kehidupan partai umtuk memperoleh sarana materiil;serta bagimana peranan partai politik bagi kel;nacaran perputaran mesin partai. Ashmad Syafei Maarif mengkonstanti, bahwa perpecahan dalam partai politik bukan karena perbedaan penafsiran terhadap ideologi yang dianut, tetapi kerena perbedaan pandangan dalam membawa ideologi itu menjadi aktual. Hal ini menyangkut sikap terhadap pemerintah Hindia Belanda,misalnya dari non-kooperatif ke kooperatif. Pada pokoknya sesudah PNI dibubarkan sampai dengan kedatangan Jepang pada tahun 1942, tidak ada satu ideologi yang dominan dalam pergerakan politik Indonesia. Sedangkan pada pendudukan Jepang (1942-1945)seluruh kegiatan partai politik dehentikan. Setelah proklamasi kemerdekaan BP-KNIP terhting mulai tanggal 30 Oktober 1945 bertindak sebagai parlemen sementara sebelum diadakan pemilu, berkeputusan untuk membentuk partai politik dengan konsep banyak partai (multy party), dengan pertimbangan bahwaberbagai pendapat yang ada di dalam masyarakat akan tersalur secara tertib. Hal lain yang menjadi dasar pertimbangan adalah bahwa partai politik akan memperkokoh perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan pemeliharaan keamanan massyarakat. Dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tertanggal 3 November 1945 yang ditandatangani oleh Wakil Presuden Moh.Hatta,jelas membawa partai politik garis tempat terpijak yang kokoh.Isi Maklumat itu antara lain memuat keinginan pemerintah akan kehadirann partai politik.Dengan partai politik aliran paham yang ada di dalam masyarakatdapat disalurkan secara teratur.Lebih meyakinkan lagi,berupa limit waktu pendirian partai politik,yakni harus sudah tersusun sebelum dilangsungkan pemilihan anggota0anggota badan perwakilan rakyat pada bulan Januari 1946.Dengan dasar msklumat pemerintah ini,lahirlah berbagai partai politik ditambah partai politil yang telah ada pada zaman penjajahan Belanda maupun partai politik pada masa pendudukan Jepang. Partai politik yang berdiri sejak dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tersebut diklasifikasikan dalam buku Kepartaian Indonesia/terbitan Kementrian Penerangan tahun 1951 sebagai berikut : Dasar Ketuhanan: a) Masjumi; b) Partai Sjarikat Indonesia; c) Pergerakan Tarbiah Islamiah; d) Partai Kristen Indonesia; e) Partai Katholik.
Disamping itu ada dua partai politik yang cukup besar pengaruhnya dalam masyarakat,yang belum tercantum dalam daftar diatas yakni Nahdalatul Ulama (NU) yang secara resmi berdiri sebagai partai politik yang bernasafkan Islam tahun 1952,dan partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) berdasarkan kebangsaan. Adapun Alfian dalam mengelompokkan partai politik berdasarkan hasil pemilun 1955 yakni; 1. Aliran nasionalis : 2. Partai Islam : 3. Aliran Komunis : 4. Aliran Sosialis : 5. Aliran Kristen : Cara lain menurut Alfian dengan pengelompokkan partai politik; non-agama, Islam dan Kristen. Pengelompokkan ini nampaknya relevan dengan pemikiran K.H.A.Wahid Hasjim sebagai akibat dari pemerintahan diktator yang dilaksanakan oleh Jepang,maka di dalam negara kita berkembang tiga aliran yakni; a)Nasionalis opportunis; b)Nasionalis Islam; dan c)Komunis/Sosialis. Ketiga golongan utama inilah yang mendominasi kehidupan politik kita melalui oartai politik.Kalau pada zaman penjajahan konflik antar golongan dapat ditutupi dengan isu melawan penjajahan,sehingga intrik politik diantara masing-masing golongan tidak menampilkan perpecahan intern,jalan keluarnya dengan mendirikan partai baru yang juga mempunyai problem tersendiri dalam menghadapi pemerintah kolonial.Tetapi dalam perkembangan berikutnya setelah lepas dari penjajahan,nampak semakin intensif upaya menanamkan ideologi dalam masyarakat dan masing-masing sebagai golongan politik menampakkan identitas sebagai golongan yang memang memiliki ambisi untuk mempertaruhkan segalanya demi mencapai tujuan dalam kekuasaan politik. Dengan adanya anjuran dan jaminan penderian serta hak hidup partai politik,maka tahun 1955 kita menyaksikan pertimbuhan parati politik yang subur dengan diselingi konflik yang terkadang berbau antagonis diantara berbagai golongan yang ada. Salah satu ciri utama kehidupan politik masa demokrasi liberal ditandai dengan kabinet yang berulang kali rata-rata berumur 8 bulan.Itulah resiko milty partai yakni pertentangan yang tidak pernah berkesudahan antar elit politik terutama golongan nasionalis dan ialam.Adapun simbul kedua golongan itu adalah PNI dam Masjumi.Hanya terdapat dua kabinet yang diperintah secara berimbang antara dua golongan tersebut.Golongan lain adalah PSI,PSII,NU,IPKI,dan beberapa partai kecil lainnya yang ikut duduk dalam kabinet bsampai berakhirnya pemilu 1955.Yang perlu dicatat bahwa masa ini nampak sekali percaturan politik bercirikan militansi politisi sipil. Pemilu 1955 mengangkat posisi NU dan PKI ke panggung politik dan mendepak PSI ke luar,karena partai ini sanagt merosot dalam perolehan suara.Karena tidak ada partai yang mayoritas dalam pemilu,membuka peluangnya adanya koalisi.Kondisi semacam ini menjadi salah satu penyebab sering terjadi pergantian kabinet,dalam bahasa Orde Baru tidak mungkin menyelenggarakan pembangunan ekonomi karena perhatian lenih banyak ditujuka kepada pembenahan bidang politik. Dengan konflik yang berkepanjangan dalam tubuh badan Konstituante dalam merumuskan UUD yang bersifat tetap,mendorong Presiden Soekarno menggunakan kekuasaan ekstrakonstitusional dengan Dekritnya dan melahirkan demokrasi terpimpin.Masa ini tampak kekuasaan Presiden Soekarno mengisap hampir seluruh kekuasaan yang ada disekelilingnya dan berakhirlah kekuasaan partai-partai politik. Disamping cengkraman kekuasaan Soekarno,masa demokrasi terpimpin ditandai pula oleh adanay keinginan kuat kaum militer untuk tampil dalam gelanggang politik dan sejak itu pula muncul kesadaran untuk mengurangi jumlah partai politik, guna mengatasi berbagai gejolak politik.Dengan dikucilkannya PNI dan Masjumi oleh Presiden Soekarno,memberikan angin segar bagi PKI untuk berkiprah lebih leluasa dalam arena politik. Dalam kurun waktu 1959-1965,tampak antara Soekarno,PKI,dan TNI-AD saling bersaing,sedang partai lain kurang menunjukkan aset yang berarti dalam percaturan politik.Dengan kelihaian PKI dalam memobilisasi massa sampai pelosok pedesaan dengan kader-kader yang disiapkan begitu intensif dan militan,memberikan keyakinan padanay bahwa kemenangan akan diraihnya,manakala suatu saat dilakukan pengambil alihan kekuasaan,dengan cara mengucilkan kekuatan TNI-AD. Inilah malapetaka yang dikenal dengan pemberontakkan G 30S/PKI denganh jatuhnya 7 korban perwira tinggi dan menengah TNI-AD.Dari Malapetaka itulah segenap potensi bangsa terutama Militer,Angkatan 66 dan umat Islam ditambah kekuatan sosial keagamaan lainnya ikur bergerak menumpas PKI.Dengan kehancuran PKI,menghantarkan militer berkiprah dalam gelanggangt politik.Kehancuran Orde Lama ditandai dengan surutnya politisi sipil dari gelanggang politik dan naiknya peranan militer,oleh Alfian memberi istilah dengan formal politik baru. Awal kebangkitan Orde Baru dalam melakukan pembenahan intitusi politik,tetap berpandangan bahwa jumlah partai yang terlalu banyak tidak menjamin adanya stabilitas politik.Usaha pertama disamping memulihkan partai-partai yang tidak secara resmi dilarang,adalah menyusun UU tentang pemilu yang dianggap sesuai dengan perkembangan masyarakat saat itu. Dan pemilu yang direncanakan dilaksanakan dalam waktu dekat,ternyata baru terlaksana tahun 1971. Kalau kita cermati kembali perjalanan partai politik di Indonesia pada masa Orde Baru,sebagai peserta pemilu tahun 1971 ada 10 partai politik yakni: Hasil pemilu 1971 yang menunjukkan kemenangan Golkar, kemudian diikuti oleh Parmusi, NU, dan PNI menunjukkan kekuatan formal partai dilihat dari suara yang didapat dalam pemilihan.Hal inipun tidak lepas dari jasa ABRI dalam mensukseskan pemilu pertama dalam masa Orde Baru,yakni memberi peluang cukup leluasa bagi Golkar untuk berusaha sekuat tenaga guna memenengkan pemilu dengan dibantu oleh pemerintah. Dalam gelanggang percaturan politik Orde Baru, nampak hubungan antara ABRI-teknokrat untuk memperkuat birokrasi pemerintahan demikian kuat.Tidak jelas siapa menguasai siapa dalam menggambarkan hubungan ini,hanya kesan umum kekuasaan ABRI lebih kuat dari teknokrat. Dengan adanya partai mayoritas Golkar,sangat mungkin melapangkan jalan untuk penyederhanaan kehidupan partai secara melembaga.Melalui proses fusi yakni partai-partai Islam seperti;NU,Parmusi,PSII,dan Partai Islam.Persatuan Tarbiyah Islamiyah(PERTI)tergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) adapun Partai Demokrasi Indonesia (PDI) merupakan gabungan dari Parkindo, Partai Katolik, PNI, Murba dan IPKI. Dengan berlakunya Undang-undang No.3 tahun 1975, maka Pemilu 1977 dan 1982 hanya tiga peserta pemilu, yakni PPP, Golkar, dan PDI dimana masing-masing mempunyai ciri-ciri sebagaiberikut : Sedang dalam Pemilu 1987 dan 1992, dengan berlakunya Undang-Undang No.3 tahun 1985 (sebagai pengganti Undang-undang No.3 tahun 1975), ditetapkan agar semua parpol hanya menggunakan satu-satunya azas, yaitu azas Pancasila.. Dengan demikian perlombaan pengaruh antar kontestan hanya berorientasi pada program kerja masing-masing parpol. Di dalam sejarah politik Indonesia, Pemilu 1999 adalah Pemilu yang diikuti oleh paling banyak peserta setelah Pemilu 1955. Ada 48 partai yang mengikuti Pemilu 3 tahun lalu itu. Itu yang mengikuti Pemilu. Kalau hanya sekedar mendaftarkan diri ke pemerintah (Departemen Kehakiman dan HAM) pada waktu itu ada 141. Untuk mengingat kembali partai-partai tersebut berikut ini bisa dibaca profil masing-masing partai tersebut. Di dalamnya terdapat informasi mengenai nama partai, ketua umum dan sekretaris jenderal, alamat, tujuan dan asasnya, serta sejarah singkatnya. Di dalam Pemilu 2004 terdaftar 24 partai politik yang berhak ikut serta Pemilu 2004. Ke-24 parpol merupakan hasil dari proses seleksi yang cukup panjang. Ke-24 partai ini ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2004 setelah berhasil melalui 3 tahap penyaringan. Penyaringan tahap pertama dilakukan oleh Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (HAM). Di sini tujuan penyaringan adalah memberikan status atau pengsahan partai politik sebagai sebuah badan hukum sebagaimana ditetapkan oleh UU No. 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik. Pada tahap ini ada 50 partai politik yang dinyatakan lulus penyaringan. Penyaringan tahap kedua adalah verifikasi administratif oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Untuk diketahui, UU No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD menegaskan bahwa partai politik yang dibenarkan mengikuti Pemilu adalah partai yang sudah mendapat pengesahan sebagai badan hukum oleh Depkeh dan HAM. Ke-50 partai yang lulus penyaringan tersebut kemudian mendaftarkan diri ke KPU untuk menjadi calon peserta Pemilu. Sesuai dengan amanat UU No. 12/2003, khususnya Pasal 7 10, yang kemudian dijabarkan di dalam Keputusan KPU No. 105 Tahun 2003 sebagaimana diperbarui dengan Keputusan KPU No. 615 Tahun 2003, sebuah partai politik berhak mengikuti Pemilu apabila memenuhi sejumlah persyaratan. Pertama, mempunyai kepengurusan lengkap di sekurang-kurangnya 2/3 jumlah provinsi di Indonesia. Kedua, mempunyai pengurus lengkap di sekurang-kurangnya 2/3 kabupaten/kota di setiap provinsi di mana ia mempunyai kepengurusan. Ketiga, semua kepengurusan tersebut harus mempunyai kantor. Keempat, mempunyai anggota sekurang-kurangnya 1.000 orang atau 1/1.000 dari jumlah penduduk di setiap daerah di mana ia mempunyai pengurus. Pembuktian setiap partai yang mendaftarkan diri tersebut dilakukan melalui proses verifikasi. Ada dua tahap verifikasi di sini, yaitu verifikasi administratif dan verifikasi faktual. Hanya partai yang lulus verifikasi administratif yang bisa mengikuti penyaringan tahap selanjutnya (verifikasi faktual). Penyaringan tahap ketiga adalah verifikasi faktual. Pada tahap ini yang diteliti adalah memastikan apakah benar dokumen-dokumen mengenai kepengurusan dan keanggotaan sebagaimana di dalam verifikasi administratif tersebut mewujud di lapangan. KPU menyusun ketentuan mengenai tata cara dan prosedur verifikasi tersebut di dalam Keputusan KPU No. 105/2003 dan yang diperbarui dengan Keputusan KPU No. 615/2003. Sebuah catatan perlu ditekankan di sini bahwa 6 dari partai tersebut tidak melalui proses verifikasi yang dilakukan oleh KPU, baik administratif maupun faktual. Sebab, keenam partai tersebut telah lulus electoral threshold (mempunyai 2% dari jumlah kursi di DPR) di dalam Pemilu 1999. Sedangkan menurut UU No. 12/2003 partai yang sudah memenuhi electoral threshold tersebut, langsung ditetapkan menjadi peserta Pemilu 2004 apabila mendaftarkan diri sebagai calon peserta Pemilu ke KPU. Keenam partai tersebut adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golongan Karya, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, dan Partai Bulan Bintang. Oleh karena jumlah partai yang mengikuti proses verifikasi ada 44. Setelah keseluruhan proses verifikasi selesai, ada 18 partai yang lulus. Ditambah dengan 6 partai yang lulus threshold, jumlah keseluruhan partai yang berhak menjadi peserta Pemilu 2004 adalah 24, yaitu :
B. Konflik Partai Politik di Era Reformasi. Kecenderungan konflik internal hingga dualisme kepemimpinan partai politik pascakongres atau muktamar kembali terjadi. Kongres PDIP di Bali membelah kepemimpinan PDIP menjadi dua poros kekuatan, antara DPP PDIP Megawati di satu sisi dengan GP PDIP-nya Roy BB Janis di sisi lain. Muktamar PKB di Semarang membuat dualisme kepemimpinan: Gus Dur-Muhaimin Iskandar berhadapan dengan DPP PKB versi Alwi Shibah dan Syaifullah Yusuf yang didukung oleh poros Kiai Langitan-Lirboyo. Sebelumnya soliditas kepemimpinan DPP PPP juga retak oleh konflik internal antara kaukus elite DPP pro-Silatnas (Silaturahmi Nasional) yang anti Hamzah Haz dengan yang anti Silatnas yang pro Hamzah Haz. Fenomena kepengurusan kembar partai politik (parpol) di Indonesia sebagai imbas konflik internal partai sebenarnya merupakan fenomena klasik dalam politik kepartaian di Indonesia. Kepengurusan kembar partai, baca: pembelahan organisasi, telah mengakar dalam tradisi politik di Indonesia semenjak era kolonialisme hingga membudaya di alam kemerdekaan, masa Soekarno, Orde Baru (Orba) sampai sekarang ini. Faktornya berbeda-beda. Di jaman kolonial, terjadi akibat rivalitas atau proses radikalisasi ideologi, seperti kasus perpecahan Syarikat Islam (SI) di tahun 1920-an menjadi SI merah-nya Semaoen dan SI putih-nya HOS Tjokroaminoto. Di masa Soekarno, Partai Nasional Indonesia (PNI) diperintahkan Soekarno untuk re-shaping semangat revolusionernya, dengan akibat mantan Wakil PM Hardi tergusur. Sedangkan di masa Orba, pembelahan partai disebabkan oleh intervensi rezim berkuasa yang mencoba menghancurkan partai-partai yang diprasangkakan membahayakan kekuasaan. PNI, yang merupakan partai pendukung kaum Soekarnois di awal Orba di pecah menjadi PNI ASU (Ali Sastroamidjojo-Surachman) dengan PNI Osa-Usep, dengan maksud mencegah konsolidasi barisan pendukung Soekarnois. Pembelahan parpol di awal berkuasanya Orde Baru yang militeristik diorientasikan untuk memandulkan fungsi kontrol partai atas pemerintahan. Di awal 1990-an Orba melakukan pembelahan partai pewaris simbol Soekarnois PDI, sebelah di bawah Soerjadi yang direstui pemerintah, sebelah lagi yang pro-Megawati yang didukung arus bawah. Jaman Reformasi Bisa disimpulkan dalam lintasan sejarah kepartaian di Indonesia, pembelahan (perpecahan) parpol yang menghasilkan dualisme kepemimpinan struktural disebabkan oleh tiga faktor: Pertama, radikalisasi ideologi. Kedua, intervensi kekuasaan dalam kerangka kepentingan de-ideologisasi dan de-parpolisasi. Ketiga, strategi resistensi sosial partai. Perpecahan juga menimpa partai-partai gurem. PDKB, partai kecil yang sempat menempatkan tujuh kadernya di DPR (periode 1999-2004) terpecah menjadi dua sebelum resmi mendaftarkan diri menjadi peserta Pemilu 2004. PRD, partai radikal yang konsisten melawan Orba, pecah berkeping-keping menjadi PDS, PRP, dsb. Akhirnya PDIP pasca kongres Bali, Maret 2005 juga terbelah dua menjadi PDIP dan Gerakan Pembaruan PDIP. Pepecahan ini dalam analisis sosiologis dan psikologis politik disebabkan oleh beberapa faktor: Pertama, bipolaritas kepentingan politik yang berpengaruh terhadap harmoni partai. Bipolaritas antara pragmatisme yang menjangkiti kader/elite partai berhadapan dengan idealisme yang dipegang oleh kader/elite partai yang teguh mempertahankan jiwa ideologi dan garis konstitusional partai. Kedua, terhambatnya proses regenerasi akibat pola kepemimpinan yang patronatif, kharismatik, feodalistik yang menjegal kompetisi demokratis dalam pergantian kepemimpinan partai. Karena tokoh yang kharismatik di dalam partai masih ingin mempertahankan otoritasnya, sementara kekuatan reformis atau dekonstruksi di jajaran kader semakin kuat dan menuntut proses percepatan suksesi. Ini terjadi di partai-partai tradisional yang mengandalkan ikon kepemimpinan partai yang kharismatik dan berbasiskan loyalitas massa kepada figur pemimpin partai. Ketiga, intervensi kekuasaan politik dan modal, yang pada umumnya dilakukan poros kepentingan yang merepresentasikan keinginan pemerintah untuk menumpulkan resistensi oposisional partai terhadap kebijakan pemerintah. Intervensi modal terjadi dan dilakukan oleh kekuatan bisnis yang menjadikan parpol sebagai kendaraan untuk mempermudah penguasaan aset politik yang dekat relasinya dengan sumber daya ekonomi. Intervensi modal dan intervensi kekuasaan politik ini mendorong lahirnya budaya money politics, intrik politik, politik dagang sapi dalam arena kongres atau muktamar partai. Muncul pertanyaan: Mengapa partai-partai mudah sekali terbawa arus perpecahan yang menyulut lahirnya dualisme kepemimpinan? Perpecahan di tubuh partai yang kini marak juga dipengaruhi kondisi internal partai-partai yang pada umumnya masih merupakan partai tradisional, yang hanya aktif dan memiliki orientasi berkompetisi dalam pemilu, yang mengandalkan ikatan perekat antara organisasi dan dukungan massa melalui kharisma ketokohan, serta yang merepresentasikan diri sebagai partai aliran. Watak tradisionalisme kepartaian di Indonesia inilah yang menjadikan partai gagal menjalankan fungsi normatif politik, baik dalam hal edukasi politik massa konstituen, rekruitmen kader kepemimpinan internal dan eksternal, komunikasi politik serta aktifitas transformasi konflik. Kegagalan fungsi normatif partai akhirnya menumbuhkan pola pikir dan perilaku pragmatis di antara kaukus elite/kader pengurus partai. Mereka aktif di partai dengan tujuan berkarir di parlemen dan pemerintahan, serta dalam pemahaman bersama meletakkan partai sebagai kendaraan untuk meraih akses ke sumber daya ekonomi. Sehingga akhirnya terjadi rivalitas politik yang tujuannya untuk bertahan atau merebut kepemimpinan di dalam partai. Para elite partai yang mayoritas bersikap-berfikir pragmatis, menjadikan partai sebagai alat meniti karir, alat cari makan dan jabatan. Karena figur pemimpin partai membawa kepentingan kaukus elite-nya, sedangkan kaukus yang gagal menempatkan tokohnya menjadi ketua umum akan tersingkir dari kepengurusan partai. Berarti karir politik mereka tamat. Untuk mempertahankan eksistensi dan karir politik, akhirnya mereka-kaukus elite/kader-yang kalah terdorong membentuk struktur tandingan kepengurusan partai dengan harapan bisa melakukan posisi tawar sekaligus jika memenangkan pertikaian yuridis di pengadilan dalam persoalan absah-tidaknya kepengurusan kembar, bisa menyelamatkan masa depan karir politiknya.
[1] Abdul Bari Azed, dan Makmur Amir; Pemilu dan Partai Politik di Indonesia; Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, tahun 2005, hal 20. [2] Ibid, hal 62 [3] Lelita Yunia; Sosialisasi Politik Mahasiswa : Partisipasi Politik Forum Kota (Forkot) dalam Gerakan 1998; Tesis, Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Program Pascasarjana, Depok, tahun 2002; hal 46-47. [4] Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia mengangkat sumpah Wakil Presiden Prof. B.J. Habibie untuk menjadi Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998 setelah Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia. [5] Ramly Hutabarat; Politik Hukum Pemerintahan Soeharto tentang Demokrasi Politik di Indonesia (1971-1997); Universitas Indonesia, Fakultas Hukum, Pascasarjana, Jakarta, 2004; hal 197. [6] Harian Kompas, Sabtu 19 November 2005, hal 2. [7] Roy C. Macridis; Teori-Teori Mutakhir Partai Politik (Editor : Ichlasul Amal); Penerbit : PT. Tiara Wacana Yogya, tahun 1996, hal 17 [8] Miriam Budiardjo; Dasar-Dasar Ilmu Politik; Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991, hal 160. [9] Ibid hal 161 [10] ibid hal 161 [11] ibid hal 162 [12] Ichlasul Amal (Editor);Teori-Teori Mutakhir Partai Politik ; Penerbit : PT. Tiara Wacana Yogya, tahun 1996, hal xv [13] ibid hal xv [14] Nazuruddin Sjamsuddin, Zukifli Hamid, dan Toto Pribadi; Sistem Politik Indonesia; Penerbit : Karunika Jakarta, Universitas Terbuka, 1988, hal 5.6 [15] H. Anto Djawamaku; Percehan Partai Politik, Pemberantasan Korupsi dan Berbagai Masalah Politik Lainnya; dalam Jurnal Analisis CSIS : Peran Masyarakat dan Demokrasi Lokal, Jakarta, Vol. 34, No.2, 2005, hal 126-127. [16] Harian Kompas, 11 Januari 2002 [17] Roy C. Macridis; opcit hal 17 [18] Miriam Budiardjo; opcit hal 160. [19] Ibid hal 161 [20] ibid hal 161 [21] ibid hal 162 [22] Ichlasul Amal (Editor);Teori-Teori Mutakhir Partai Politik ; Penerbit : PT. Tiara Wacana Yogya, tahun 1996, hal xv [23] ibid hal xv [24] Miriam Budiardjo, opcit hal 163 [25] Ramlan Surbakti; Memahami Ilmu Politik; Penerbit : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1992, hal 116. [26] Ichlasul Amal, opcit hal xv [27] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Cet. Ketiga, tahun 1990, hal 455. [28] Nazuruddin Sjamsuddin, Zukifli Hamid, dan Toto Pribadi; Sistem Politik Indonesia; Penerbit : Karunika Jakarta, Universitas Terbuka, 1988, hal 5.6 [29] H. Anto Djawamaku; Percehan Partai Politik, Pemberantasan Korupsi dan Berbagai Masalah Politik Lainnya; dalam Jurnal Analisis CSIS : Peran Masyarakat dan Demokrasi Lokal, Jakarta, Vol. 34, No.2, 2005, hal 126-127. |